Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja petugas Surveilans DBD dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, sikap, motivasi kerja, beban kerja, dukungan
pimpinan, dan imbalan yang diperoleh melalui uji statistik dengan menggunakan uji chi square. Sedangkan faktor yang paling dominan memengaruhi kinerja petugas
surveilans DBD dalam penelitian ini adalah variabel imbalan. Variabel imbalan menjadi variabel paling dominan memengaruhi kinerja petugas surveilans DBD,
dimana diperoleh nilai koefisien Exp B sebesar 29.085, dengan p value 0.022 artinya apabila imbalan yang diterima petugas surveilans lebih ditingkatkan, maka
berpeluang sebesar 29.085kali terhadap perbaikan kinerja petugas surveilans DBD di Kota Pematangsiantar.
5.2. Hubungan Faktor Instrinsik terhadap Kinerja Petugas Surveilans DBD
5.2.1. Hubungan Pendidikan Petugas terhadap Kinerja Petugas Surveilans DBD
Pendidikan dalam penelitian ini adalah jenjang pendidikan formal yang ditempuh petugas surveilans DBD. Hasil penelitian menunjukkan 82,4 petugas
surveilans DBD berpendidikan tinggi yaitu sarjana kesehatan dan diploma kesehatan. Secara proporsi menunjukkan 42,9 kinerja petugas surveilans yang baik adalah
petugas surveilans yang berpendidikan tinggi, Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kinerja petugas surveilans DBD dengan nilai
p = 0,667 p 0,05. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Nur Khayati 2011 dimana berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara tingkat pendidikan petugas dengan hasil pelaksanaan surveilans
Universitas Sumatera Utara
epidemiologi penyakit malaria walaupun sebagian besar puskesmas tidak memiliki hasil analisis dan penyajian data yang lengkap tekait hasil kegiatan surveilans
malaria. Pendidikan petugas surveilans DBD Kota Pematangsiantar umumnya
setingkat diploma. Hal ini dapat dimaklumi karena komposisi SDM kesehatan saat ini diharapkan yang bertugas di Puskesmas setara Diploma sesuai dengan Keputusan
Menteri Kesehatan No. 1239 tahun 2001 tentang tenaga perawat dan tenaga kesehatan pada sarana kesehatan minimal D3, sehingga dapat melaksanakan tugas-
tugas dengan baik begitu juga sebagai petugas surveilans DBD di wilayah kerjanya. Dalam penelitian ini tingkat pendidikan mayoritas responden sudah tinggi namun
dalam pelaksanaan tugas sebagai surveilans DBD masih rendah, ini disebabkan karena responden hanya memperoleh materi surveilans epidemiologi secara singkat
saja dalam pendidikan formalnya. Selain itu dalam pelaksanaan tugas sehari-hari juga hanya mendapat sekilas informasi mengenai pelaksanaan surveilans DBD
melalui pertemuan-pertemuan dan tidak pernah dilakukan pelatihan khusus menganai surveilans DBD kepada petugas. Bappenas 2006 kualifikasi pendidikan yang belum
sesuai merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja petugas surveilans.
Menurut Andrew E. Sikula dalam Mangkunegara 2003 tingkat pendidikan adalah suatu proses jangka panjang yang menggunakan prosedur sistematis dan
terorganisir, yang mana tenaga kerja manajerial mempelajari pengetahuan konseptual dan teoritis untuk tujuan-tujuan umum. Dengan demikian Hariandja 2002
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa tingkat pendidikan seorang karyawan dapat meningkatkan daya saing perusahaan dan memperbaiki kinerja perusahaan. Notoatmodjo 2007
menyatakan pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang
yang perpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula.
5.2.2. Hubungan Pengetahuan Petugas terhadap Kinerja Petugas Surveilans DBD