30
menunjukkan gejala yang sama dengan teori, yaitu berkaitan masalah prestasi di bawah rata-rata dan subjek lambat belajar.
2. Keterbatasan Interaksi Sosial Anak Berkesulitan Belajar
Sekolah inklusif menjadi bagian dari lingkup implementasi pendidikan inklusif. Tarmansyah 2007: 88 menyatakan implementasi inklusif terjadi di
dalam rumah, masyarakat, sekolah, instansi, organisasi, dan disemua lini adanya kehidupan manusia. Sekolah menjadi implementasi inklusif berarti
benar-benar harus mampu mengakomodir semua warga sekolahnya. Interaksi sosial yang dibangun harus dikemasi dengan sedemikian rupa. Maka sekolah
inklusif sebagai penyokong pendidikan untuk anak ABK akan berjalan maksimal apabila interaksi sosial sudah terjalin dengan baik.
Joppy Liando dan Dappa 2007: 37 menyatakan penting untuk mengetahui bahwa anak berkebutuhan khusus memiliki perasaan emosional
yang sama tentang kebutuhannya dalam berinteraksi dengan orang lain seperti halnya anak normal pada umumnya. Kaitannya dengan anak anak berkesulitan
belajar di sekolah inklusif yaitu terletak pada pola interaksi khususnya antar teman, guru, dan warga sekolah. Lingkungan kelas yang terdiri dari guru dan
siswa adalah bagian terpenting karena kontak sosial dan komunikasi yang intensif pasti terjadi setiap harinya dengan anggota kelas. Kesepahaman siswa
satu dengan yang lain mengenai keberadaan teman yang memiliki kekurangan harus dibangun untuk mendukung dalam hal interaksi sosial.
Uraian beikut ini akan membahas mengenai permasalahan kemampuan interaksi sosial pada kasus anak berkesulitan belajar. Berkesulitan belajar
31
membuat anak tidak bisa mengikuti aktifitas belajar seperti siswa pada umumnya. Permasalahan ini tidak jarang menimbulkan efek penghakiman
pada anak berkesulitan belajar dan berakibat tekanan psikis. Fakta yang sering dijumpai di lingkungan sekolah ini didukung dengan teori berikut ini. Tin
Suharmini 2009: 99 menggambarkan kekacauan sosial pada anak berkesulitan belajar spesifik yaitu seringnya anak mengalami kegagalan
menyebabkan anak menjadi frustasi, malas, dan sulit mengontrol emosinya, dan akhirnya anak seolah-olah tidak memiliki kemampuan untuk berinteraksi
sosial. Pendapat ini berkaitan pada anak berkesulitan belajar yang gagal dalam akademik sehingga tidak percaya diri untuk bergaul dengan teman sebayanya.
Munawir Yusuf 2005: 63 juga menjelaskan anak berkesulitan belajar mengalami kesulitan dalam penyesuaian perilaku sosial yang terangkum
dalam kutipan berikut ini. Ada anak yang perilakunya tidak dapat diterima oleh lingkungan
sosialnya, baik sesama anak, guru, maupun orangtua. Ia ditolak oleh lingkungan sosialnya karena sering mengganggu, tidak sopan, tidak tahu
aturan, atau berbagai perilaku negatif lainnya. Jika kesulitan penyesuaian perilaku ini tidak segera ditangani maka tidak hanya menimbulkan
kerugian bagi anak itu sendiri, tetapi juga bagi lingkungannya.
Pendapat lain juga disampaikan berkaitan dengan permasalahan sosial pada anak berkesulitan belajar yang dipandang dari kesulitan yang dialami.
Pendapat berikut memang tidak spesifik menyebutkan jenis kelainan berkesulitan belajar tetapi secara umum dapat dipahami kurangnya kecerdasan
pada anak berkesulitan belajar sama halnya dengan kesulitan belajar. Smith 2006: 83 mengemukakan kesulitan yang memungkinkan lainnya
bagi masalah-masalah sosial dan emosi yang dihadapi siswa berkesulitan belajar adalah kurangnya “kecerdasan sosial”. Pendapat yang
32
dikemukakan ini menunjukkan siswa berkesulitan belajar juga mengalami masalah sosial. Kurangnya kecerdasan sosial ini tentu akan berpengaruh
pada kehidupan sosial anak berkesulitan belajar di sekolah maupun di rumah.
Suatu hasil penelitian menunjukkan gangguan kepribadian dapat disembuhkan apabila orang yang mengalami dapat belajar memperbaiki diri.
Padahal dalam memperbaiki diri perlu belajar dari hal-hal dilingkungannya. Silver Smith, 2006: 83 menyampaikan sebuah hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa ada sejumlah besar remaja dan orang dewasa didiagnosis dengan gangguan kepribadian personality disorders atau
mereka yang telah diperiksa di pusat-pusat terapi, ternyata tidak diketahui atau tidak tersembuhkan dianggap tidak mampu belajarlearning
disabilities.
Kaitannya dengan anak berkesulitan belajar yaitu pada kelemahan belajar anak yang juga berimbas pada lemahnya belajar tentang kepribadian yang
baik. Interaksi sosial dalam hal pembelajaran kepribadian menjadi pemegang peranan penting untuk memberikan arahan dan bentuk contoh sikap yang
mampu membimbing anak berkesulitan belajar memiliki kecerdasan sosial. Pendapat lain menggambarkan bentuk ikut bertanggungjawab dalam
persoalan kelemahan keterampilan sosial pada anak berkesulitan belajar. Gresham dan Elliot Cecil D. Mercer, 1992: 47 menyatakan “the fact alone
that many children classified as having learning disabilities display social skill deficits, coupled with the evolution of an adequate assesment..., is reason
enough to target social behaviors for intervention.” Jadi, fakta menunjukkan beberapa anak yang tergolong mengalami hambatan belajar menunjukkan
kelemahan keterampilan sosial, dihubungkan dengan perkembangan dari
33
asesmen menjadi alasan yang cukup untuk terlibat mendidik perilaku sosialnya.
Ikut campur dalam mengembangkan kemampuan sosial menjadi
tanggungjawab semua yang berkaitan langsung dengan kasus anak dengan hambatan belajar. Oleh karena itu, sebelum ikut terlibat ada baiknya untuk
mempelajari dahulu keterampilan sosial anak berkesulitan belajar. Salah satu caranya yaitu melalui penjabaran perilaku interaksi sosialnya.
Harwell 2001: 8 membagi karakteristik yang menunjukkan keterbatasan anak berkesulitan belajar menjadi dua, yaitu:
1Primary characteristic, eighty percent of students identified as being learning disability have problems in the area of reading. It appears that
deficits in phonological processing underlie difficulties learning to read. 2 Secondary characteristic, individuals with learning disability develop
as a result of prologed academic failures including low self esteem, low motivation to learn, nonstrategic metacognitive learning style, and poor
coping skill such as withdrawal, feigned, illness, absenteeism, anxiety, overdependence on other and acting out.
Karakteristik berkesulitan belajar menurut Harwell dapat diartikan: 1
karakteristik primer, delapanpuluh persen murid yang teridentifikasi
mengalami kesulitan belajar mempunyai permasalahan seputar membaca. Hal ini terlihat pada kelemahan proses fonologis yang menyebabkan kesulitan
belajar membaca. 2 Karakteristik sekunder, individu dengan kesulitan
belajar dalam perkembangannya menunjukkan gangguan akademik berkepanjangan meliputi rendah diri, motivasi belajar rendah, pengetahuan
belajarnya tidak teratur, dan lemahnya kemampuan mengatasi masalah seperti minder, berpura-pura, tersingung, menghindar, gelisah, ketergantungan pada
orang lain dan mencari perhatian.
34
Berdasarkan beberapa pendapat di atas ditemukan keterbatasan interaksi sosial dalam diri anak berkesulitan belajar. Lemahnya kemampuan belajar
ditengarai juga berakibat pada lemahnya memahami aturan-aturan sosial yang berlaku. Kondisi anak berkesulitan belajar juga berimbas pada rasa frustasi
dan emosi karena seringnya mengalami kegagalan belajar. Kedua permaslahan berupa sikap frustasi dan lemahnya memahami aturan bisa
berakibat menyulitkan siswa diterima lingkungan interaksi sosialnya. Penelitian ini nantinya akan menelaah kondisi interaksi sosial yang terjadi
di SD Negeri Banyusoco II pada anak berkesulitan belajar. Kondisi interaksi sosial yang selama ini terbangun akan ditinjau dari faktor-faktor penyebab
terjadinya interaksi sosial di lingkungan SD Negeri Banyusoco II. Termasuk hal lemahnya kemampuan belajar yang berpengaruh pada interaksi sosial
dapat diketahui berdasarkan fakta keadaan anak berkesulitan belajar di kelas maupun di luar kelas.
D. Pendidikan Inklusif 1. Pengertian Pendidikan Inklusif