Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Barat

(1)

STRATEGI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI

DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT

ANCA MARTHA UTAMA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Peningkatan Pendapatan

Asli Daerah Kabupaten Lampung Barat adalah karya saya dengan arahan dari

komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan

tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks

dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2009

Anca Martha Utama

NRP.H252070085


(3)

ABSTRACT

ANCA MARTHA UTAMA. Strategy to Increase of Regional Income in Lampung Barat

District. Under supervision of DEDI BUDIMAN HAKIM And SUTARA HENDRAKUSUMAATMAJA.

Regional autonomy in Indonesia has been effective since 2001. Regional

autonomy means transfering part of authority from central government to

autonomic region. The government in autonomic region is support to response

more pro actively responding demand of the community in the region. Lampung

Barat District. In 2007, has regional income (RI) share only 2.75% of regional

budget (RB). This number is categorized as low because the ideal is more than

40%. The objectives of this reason are to analyis financial management and to

recomend programe to increase local goverment income.To answer this objeck,

this reasech apply independent ratio,effectiveness ratio, and effiency ratio. The

result of this study shows that the independent level of Lampung Barat District is

low, so that the role of central government is still bigger than the independence of

regional government. Based on the effectiveness ratio, the financial performance

is already effective since RI exceed the target every year. However, efficiency

ratio shows that the cost for collecting RI is higher than the amount of RI

obtained. Analytical Hierarchy Process (AHP) results in 5 strategies : information

system and reporting administration improvement, increasing human resource

expertise and personnel incentive, regional company empowerment and natural

resource profit sharing, infrastructure development, and leading sector

development. To implement those strategies, however, leading sector

development is to be a fisrt priority.


(4)

RINGKASAN

Keuangan daerah tidak terlepas dari sumber penerimaan dan belanja

daerah, dimana pada era otonomi daerah diberi keleluasaan penuh untuk

mengelola APBD. Salah satu tolok ukur keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah

adalah daerah mampu membiayai berbagai pengeluaran daerah itu sendiri.

Dengan demikian PAD yang merupakan salah satu komponen dalam neraca

keuangan daerah memiliki peranan yang cukup menentukan jalannya roda

pemerintahan dan pembangunan. Sejak digulirkan otonomi daerah tahun 1999

PAD Kabupaten Lampung Barat mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Jika

pada tahun 2000 PAD Kabupaten Lampung Barat baru mencapai Rp. 1,55 milyar

maka pada tiga tahun terakhir yaitu tahun 2005 sebesar Rp. 6,19 milyar, tahun

2006 Rp. 11,21 milyar dan pada tahun 2007 telah mampu mencapai Rp. 12,34

milyar.

Tujuan dari penelitian ini adalah Mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah

Kabupaten Lampung Barat dan menyusun rancangan program untuk

meningkatkan PAD Kabupaten. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Lampung

Barat Propinsi Lampung, dengan metode deskriptif dengan cara survey melalui

wawancara, kuesioner dan diskusi langsung kepada sejumlah pihak yang terkait.

Analisis data menggunakan berdasarkan 3 rasio, yaitu tingkat kemandirian, rasio

efektivitas, dan rasio efisiensi. Perancangan program menggunakan metode

Analytical Hierarchy Process

(AHP).

Hasil kajian terlihat Tingkat kemandirian Kabupaten Lampung Barat

sampai dengan akhir tahun 2007 tergolong rendah yaitu sebesar 2,75%. Rasio

efektivitas PAD Kabupaten Lampung Barat selama periode kajian berfluktuatif

dari 107% hingga 218%. Hal ini menggambarkan bahwa Pemerintah Kabupaten

Lampung Barat sudah efektif dalam melakukan pemungutan sumber pendapatan

daerah hal ini disebabkan karena realisasi PAD lebih besar dibandingkan target

yang telah ditetapkan. Sedangkan untuk rasio efisiensi PAD periode 2003–2007

mengalami penurunan, hingga mencapai 7,62% dari 6,3%. Penurunan tingkat


(5)

efisiensi terkait dengan tidak sebandingnya peningkatan biaya pemungutan

dengan realisasi penerimaan PAD pada periode tersebut.

Perancangan strategi untuk meningkatkan PAD Kabupaten Lampung

Barat. Penulis telah melakukan pemilahan terhadap strategi yang kemungkinan

dapat dilaksanakan pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD, yaitu perbaikan

sistem informasi dan administrasi pelaporan, peningkatan keahlian SDM dan

insentif petugas, pemberdayaan BUMD dan bagi hasil sumberdaya alam,

pembangunan infrastruktur, dan pengembangan sektor unggulan. Kelima strategi

tersebut tidak dilaksanakan semuanya namun dipilih berdasarkan suatu kriteria

tertentu. Dalam kajian ini penulis dengan menggunakan metode

Analytical

Hierarchy Process

(AHP) mencoba menilai setiap strategi dengan pendekatan 5

kriteria, yaitu efektivitas, potensi SDM, anggaran biaya, kemudahan, dan potensi

pengembangan.

Sesuai dengan hasil analisis sintesis AHP (

Analysis Hierarchy Process

)

serta analisis sumber-sumber PAD dan PDRB, maka strategi yang dapat

diprioritaskan dalam perancangan program untuk meningkatkan PAD Kabupaten

Lampung Barat yaitu pengembangan sektor unggulan, yaitu retribusi pemungutan

kayu dan pajak restoran. Penulis tetap memprioritaskan strategi ini meski hasil

analisis sintesi AHP-nya tidak terlalu menunjukkan bahwa strategi ini perlu

diprioritaskan. Asumsi penulis adalah bahwa strategi ini merupakan upaya yang

dapat diusahakan oleh pemerintah sehingga perlu diprioritaskan meski strategi ini

dinilai memiliki anggaran biaya yang besar untuk dilaksanakan dan kurang dapat

mengembangkan potensi SDM sehingga akan kurang efektif untuk meningkatkan

PAD. Strategi ini pun dinilai penulis dapat menjadi kekuatan bagi kabupaten ini

untuk terus mengembangkan potensi tersebut sehingga PAD pun dapat terus

meningkat. Dengan tidak menghilangkan potensi dari 4 strategi lainnya, maka

keempat strategi tersebut dibuatkan pula rancangan kegiatan dan pelaksanaannya.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau

tinjauan suatu masala; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

STRATEGI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH

KABUPATEN LAMPUNG BARAT

ANCA MARTHA UTAMA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Profesional pada

Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

(9)

Judul Tugas Akhir

: Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah

Kabupaten Lampung Barat

Nama

: Anca Martha Utama

NRP

: H252070085

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim , MAEc.

Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja , M.Sc

Ketua

Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

Manajemen Pembangunan Daerah

Dr. Ir. Yusman Syaukat , M.Ec

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.


(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH SWT atas limpahan

rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.

Penghargaan dan ucapan terimakasih kepada Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim,

MAEc. dan Bapak Ir. Sutara Hendrakusumaatmaja, M.Sc. selaku komisi

pembimbing untuk segala arahan, bimbingan, dan perhatiannya dalam

penyelesaian karya ilmiah ini.Ucapan terimakasih juga penulis haturkan kepada

Bapak Dr, Ir. Nunung Kusnadi, MS. sebagai dosen penguji yang memberikan

masukan yang berharga bagi penulis, serta kepada Bapak Dr. Ir. Yusman Syaukat,

M.Ec selaku Ketua Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah.

Rasa hormat dan penghargaan yang sebesarnya penulis sampaikan kepada

Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat atas kesempatan dan segala

dukungan, dan semua rekan rekan seangkatan MPD Lampung Barat atas bantuan

dan kerjasamanya.Terkhusus istri tercinta dr. Leni Ervina dan anakku tersayang

R. Fathan Rajendra Vinanca yang setia menunggu dan mendukung dengan kasih

sayang serta seluruh keluargaku atas semua perhatian dan doa selama mengikuti

pendidikan.

Semoga kebaikan semuanya dijadikan ibadah dan diberikan balasan yang

berlipat ganda oleh ALLAH SWT.Amin.

Bogor, Pebruari 2009


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bumi Lampung Utara pada tanggal 21 November

1980 dari Bapak H. A. Sayuti Nawawi, SH dan Ibu Hj. Siti Zubaiti. Penulis

merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Tahun 1999 penulis lulus SMA Negeri 3 Tanjung Karang, Bandar Lampung

dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Sekolah Tinggi Pemerintahan

Dalam Negeri (STPDN) serta pada tahun yang sama pula penulis diangkat

menjadi pegawai negeri sipil. Pada tahun 2003 sampai dengan 2006 penulis

mengabdi di Kabupaten Lampung Utara dan pada tahun 2006 sampai dengan

2008 penulis mengabdi di Kabupaten Lampung Barat yang kemudian sejak tahun

2008 sampai dengan sekarang penulis mengabdi di Kabupaten Pesawaran.

Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi Program Magister Profesional di

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi

Manajemen Pembangunan Daerah melalui izin belajar atas biaya Pemerintah

Kabupaten Lampung Barat.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Kajian ... 7

1.4. Manfaat Kajian ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Otonomi Daerah ... 8

2.1.1. Pengertian Otonomi Daerah... 8

2.1.2. Keuangan Daerah ... 9

2.2. Rasio Keuangan ... 14

2.2.1. Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah ... 16

2.2.2. Tingkat Efektivitas Keungan Daerah ... 18

2.2.3. Tingkat Efisiensi Keungan Daerah ... 19

2.3. Analisis Hierarchy Process (AHP) ... 19

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 27

BAB III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran ... 31

3.2. Metode Penelitian... 35

3.2.1. Metode Penetapan Responden ... 35

3.2.2. Lokasi dan Waktu Kajian... 35

3.2.3. Metode Pengambilan Data ... 35

3.3. Analisis Data ... 36

3.3.1. Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah ... 37

3.3.2. Tingkat Efektivitas ... 37

3.3.3. Tingkat Efisiensi ... 38

3.3.4. Perancangan Program dengan Metode AHP ... 39

BAB IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geografis ... 44


(13)

4.2. Keadaan Topografi... 44

4.3. Penduduk... 46

4.4. Tingkat Pendidikan... 47

4.5. Kondisi Perekonomian ... 48

4.6. Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Lampung Barat ... 51

4.7. Kebijakan Peningkatan dan Pengelolaan PAD Kabupaten Lampung Barat ... 55

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kinerja Keuangan Kabupaten Lampung Barat ... 57

5.1.1. Tingkat Kemandirian PAD ... 57

5.1.2.... Tingkat Efektivitas PAD ... 55

5.1.3.... Tingkat Efisiensi PAD ... 58

5.2. Strategi Peningkatan PAD Kabupaten Lampung Barat ... 63

5.3. Kriteria dalam Menetapkan Strategi Peningkatan PAD Kabupaten Lampung Barat... 64

5.4. Penilaian Strategi Peningkatan PAD Kabupaten Lampung Barat Berdasarkan Tiap Kriteria ... 66

5.4.1. Kriteria Efektivitas ... 66

5.4.2. Kriteria Potensi Sumberdaya Manusia (SDM) ... 68

5.4.3. Kriteria Anggaran Biaya ... 69

5.4.4. Kriteria Kemudahan... 70

5.4.5. Kriteria Potensi Pengembangan ... 72

5.5. Sintesis Penilaian Strategi Peningkatan PAD Kabupaten Lampung Barat ... 74

BAB VI. RANCANGAN PROGRAM UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT 6.1. Visi dan Misi Kabupaten Lampung Barat ... 76

6.2. Rancangan Program Peningkatan PAD Kabupaten Lampung Barat ... 77

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1.... Kesimpulan ... 88

7.2. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA... 91


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1.

Perbandingan PAD dengan APBD Kabupaten Lampung Barat

Tahun 2003-2007...

2

2.

Realisasi Sumber-sumber PAD Kabupaten Lampung Barat Tahun

2001-2007... 5

3.

Pola Hubungan dan Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah ...

18

4.

Contoh Matriks Perbandingan Berpasangan...

22

5.

Skala Banding secara Berpasangan...

22

6.

Mensintesis Pertimbangan ...

23

7.

Matriks yang Dinormalisasi ...

23

8.

Contoh Mensistesis Pertimbangan ...

25

9.

Matriks yang Dinormalisasi, Jumlah Baris, dan Prioritas Menyeluruh ...

25

10.

Menjumlahkan Entri ...

25

11.

Nilai Random Indeks ...

26

12.

Jenis dan Sumber Data Sekunder...

36

13.

Hubungan antara Tujuan, Data dan Metode Analisis ...

36

14.

Jumlah Lulusan TK, SD, SMP, dan SLTA Negeri/Swasta di

Kabupaten Lampung Barat...

47

15.

Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Lampung Barat Tahun 2005-2006...

49

16.

Produk Domestik Bruto Kabupaten Lampung Barat menurut

Lapangan Usaha atas dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan Tahun

2006 ... 51

17.

Persentase Kontribusi Sumber-sumber PAD terhadap Total PAD

pada Tahun 2001-2007 ...

52

18.

Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Lampung Barat ...

57


(15)

19.

Rasio Efektivitas Keuangan Daerah Kabupaten Lampung Barat

Tahun 2002-2007 ...

60

20.

Rasio Efisiensi Keuangan Daerah Kabupaten Lampung Barat Tahun

2002-2007... 63

21.

Hasil Penilaian terhadap Kriteria Peningkatan PAD ...

65

22.

Penilaian Strategi Peningkatan PAD Berdasarkan Kriteria Efektivitas...

66

23.

Penilaian Strategi Peningkatan PAD Berdasarkan Kriteria

Peningkatan Sumberdaya Manusia (SDM) ...

68

24.

Penilaian Strategi Peningkatan PAD berdasarkan Anggaran Biaya ...

69

25.

Penilaian Strategi Peningkatan PAD Berdasarkan Kriteria

Kemudahan... 71

26.

Penilaian Strategi Peningkatan PAD Berdasarkan Kriteria Potensi

Pengembangan... 72

27.

Sintesis Penilaian Strategi Peningkatan PAD ...

74

28.

Rancangan Program Peningkatan PAD Kabupaten Lampung Barat ...

79


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.

Kerangka Pemikiran Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah

Kabupaten Lampung Barat……….. ...

34

2.

Hirarki Pemilihan Strategi Peningkatan PAD di Kabupaten Lampung

Barat... ... 43

3.

Prioritas Ranking dari Strategi Peningkatan PAD di Kabupaten

Lampung Barat periode 1993 - 2007 ...

74

4.

Hasil AHP terhadap Strategi Peningkatan PAD di Kabupaten


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1

Contoh Kuesioner……….. ...

94

2

Besarnya PAD Kabupaten Lampung Barat dari Setiap

Sumber-sumber PAD dari Tahun 2001-2007……….. ...

97

3

Pengolahan Data AHP Setiap Responden………... 102

4

Penghitungan Hasil Penilaian terhadap Kriteria Peningkatan


(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33

tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah dengan sistem

pemerintahan desentralisasi sudah mulai efektif dilaksanakan sejak 1 Januari

2001. Undang-undang tersebut merupakan kebijakan yang dipandang sangat

demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya.

Otonomi daerah berarti telah memindahkan sebagian besar kewenangan yang

tadinya berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga

pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat

daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Karena kewenangan membuat

kebijakan (peraturan daerah) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom,

dengan otonomi daerah diharapkan pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan

pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas.

Latar belakang pertimbangan mendasar terselenggaranya Otonomi Daerah

(0tda) adalah perkembangan kondisi di dalam negeri yang mengindikasikan

bahwa rakyat menghendaki keterbukaan dan kemandirian (desentralisasi). Selain

itu keadaan di luar negeri juga menunjukkan bahwa semakin maraknya globalisasi

yang menuntut daya saing tiap negara, termasuk daya saing pemerintah

daerahnya. Daya saing pemerintah daerah ini diharapkan akan tercapai melalui

peningkatan kemandirian pemerintah daerah. Selanjutnya peningkatan

kemandirian pemerintah daerah tersebut diharapkan dapat diraih melalui 0tda

(Halim, 2002).

Tujuan program otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan

ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar-daerah dan

meningkatkan kualitas pelayanan publik agar lebih efisien dan responsif terhadap

kebutuhan, potensi maupun karakteristik di daerah masing-masing. Hal ini


(19)

ditempuh melalui peningkatan hak dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk

mengelola rumah tangganya sendiri (Bastian, 2006).

Adapun misi Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 dan Undang-Undang

nomor 33 tahun 2004 tersebut bukan hanya melimpahkan kewenangan

pembangunan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi yang lebih

penting adalah efektivitas dan efisiensi sumberdaya keuangan. Sehingga

diperlukan suatu laporan keuangan yang handal dan dapat dipercaya agar dapat

menggambarkan sumberdaya keuangan daerah berikut dengan analisis prestasi

pengelolaan sumberdaya keuangan daerah itu sendiri (Bastian, 2001)

.

Hal tersebut

sesuai dengan ciri penting suatu daerah otonom yang mampu menyelenggarakan

otonomi daerahnya, yaitu terletak pada strategi sumberdaya manusia (SDM) dan

kemampuan di bidang keuangan daerah (Soedjono, 2000).

Kabupaten Lampung Barat dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan

dan pembangunan tidak terlepas dari masalah sumber dan pembiayaan yang

dalam hal ini adalah Anggaran Pengeluaran dan Belanja Daerah (APBD).

Secara

konseptual APBD adalah alat untuk menjalankan otonomi daerah yang nyata dan

bertanggungjawab dan merupakan rencana operasional Pemerintah Daerah.

Dalam APBD menggambarkan pengeluaran untuk kegiatan pemerintahan dan

proyek daerah. Proporsi APBD Kabupaten Lampung Barat saat ini sebagian besar

masih bersumber dari pemerintah pusat dalam bentuk Dana Alokasi Khusus

(DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU). Sedangkan pendapatan daerah yang

bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) masih relatif kecil. Tabel 1 di

bawah ini memperlihatkan gambaran dari perbandingan antara PAD dengan

APBD Kabupaten Lampung Barat dari tahun 2000 hingga 2007.

Tabel 1.

Perbandingan PAD dengan APBD Kabupaten Lampung Barat

Tahun 2003-2007 (Ribuan Rupiah)

No Tahun

PAD (Juta Rupiah)

APBD (Juta Rupiah) 1 2003 5.394,41 235.949,47 2 2004 4.954,46 231.450,55


(20)

3 2005 6.197,94 272.990,81 4 2006 11.215,88 409.383,83 5 2007 12.341,41 449.439,42 Sumber : Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah, Tahun 2007

Berdasarkan data tersebut di atas, dapat diketahui bahwa penerimaan dari pendapatan asli daerah setiap tahunnya mengalami peningkatan dibandingkan dengan penerimaan daerah secara keseluruhan (APBD). Namun demikian peningkatan tersebut relatif kecil dan dapat dikategorikan rendah atau di bawah 50 persen. Idealnya kontribusi PAD terhadap APBD daerah adalah sebesar 50 persen hingga 75 persen (Halim, 2002). Tahun 2007 PAD Kabupaten Lampung Barat masih sebesar 2,75 persen dari APBD-nya. Persentase ini tentu saja juga menjadi jauh lebih kecil bila membandingkan PAD Kabupaten Lampung Barat dengan alokasi Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN). Kondisi tersebut memerlukan strategi yang tepat dalam upaya meningkatkan PAD. Diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah diharapkan Daerah lebih proaktif meningkatkan PAD. Dengan demikian pemerintah daerah mampu mandiri serta tidak tergantung kepada pemerintah pusat.

Pendapatan daerah dalam struktur APBD Kabupaten Lampung Barat masih merupakan elemen yang cukup penting peranannya, baik untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan maupun pemberian pelayanan kepada publik. Apabila dikaitkan dengan pembiayaan, maka pendapatan daerah masih merupakan alternatif pilihan utama dalam mendukung program dan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik di Kabupaten Lampung Barat.

Arah pengelolaan pendapatan Kabupaten Lampung Barat pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang yaitu mobilisasi sumber-sumber PAD, dana perimbangan dan penerimaan daerah lainnya. Selain penerimaan dari pusat, sumber-sumber PAD ini berasal dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan daerah (Badan Usaha


(21)

Milik Daerah), dan lain-lain hasil usaha daerah yang sah. Dalam pengelolaan anggaran pendapatan daerah sangat perlu diperhatikan upaya untuk peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah tanpa harus menambah beban bagi masyarakat dan menimbulkan ketidaktertarikan berinvestasi. Selain itu perlu juga perhatian pada pengembangan potensi atau mencari sumber-sumber PAD baru.


(22)

1.2.

Perumusan Masalah

Keuangan daerah tidak terlepas dari sumber penerimaan dan belanja daerah, dimana pada era otonomi daerah diberi keleluasaan penuh untuk mengelola APBD. Salah satu tolok ukur keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah daerah mampu membiayai berbagai pengeluaran daerah itu sendiri. Dengan demikian PAD yang merupakan salah satu komponen dalam neraca keuangan daerah memiliki peranan yang cukup menentukan jalannya roda pemerintahan dan pembangunan. Sejak digulirkan otonomi daerah tahun 1999 PAD Kabupaten Lampung Barat mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Jika pada tahun 2000 PAD Kabupaten Lampung Barat baru mencapai Rp. 1,55 milyar maka pada tiga tahun terakhir yaitu tahun 2005 sebesar Rp. 6,19 milyar, tahun 2006 Rp. 11,21 milyar dan pada tahun 2007 telah mampu mencapai Rp. 12,34 milyar.

Namun secara umum, peningkatan PAD dari tahun ke tahun tidak terlepas dari semakin tingginya tuntutan beban anggaran, dimana sampai pada tahun 2007 kontribusi PAD Kabupaten Lampung Barat terhadap APBD sebesar 4,39 persen. Pencapaian PAD ini apabila dilihat dari potensi yang ada di Kabupaten Lampung Barat belum maksimal. Karena idealnya kontribusi PAD terhadap APBD daerah adalah sebesar 50 persen hingga 75 persen (Halim, 2002). Kondisi tersebut perlu diberi perhatian khusus yaitu dengan mengidentifikasi mengapa hal tersebut dapat terjadi pada kabupaten yang berani memisahkan diri dan berdiri secara otonomi. Berdirinya secara otonomi suatu daerah biasanya sejalan dengan banyaknya potensi daerah yang menjadi keunggulan daerah tersebut dibanding daerah lainnya.

Sektor pertanian memainkan peran yang penting dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDRB) Kabupaten Lampung Barat yang pada tahun 2006 mencapai 64,65 persen. Sektor pertanian telah memberikan identitas yang terkenal pada daerah ini sebagai penghasil kopi di Indonesia. Potensi dari sektor pertanian ini tentu saja menjadi produk unggulan dari daerah ini dan aliran dana dari sektor ini dapat untuk meningkatkan PAD daerah ini. Namun jika hanya mengandalkan pada komoditi ini, maka PAD mungkin tidak akan maksimal. Oleh karena


(23)

itu perlu ditelaah kembali sumber-sumber PAD apa saja yang dapat meningkatkan PAD Kabupaten Lampung Barat. Hal ini dapat terjadi karena dengan perkembangan PAD semakin meningkat dari tahun ke tahun. Potensi penerimaan daerah pun masih sangat berpeluang untuk ditingkatkan, yaitu melalui pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Gambaran sumber-sumber PAD Kabupaten Lampung Barat dari tahun 2001 hingga 2007 disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Realisasi Sumber-sumber PAD terhadap PAD Kabupaten Lampung Barat tahun 2001-2007 (Jutaan Rupiah)

JENIS PENERIMAAN

TAHUN

Pajak Daerah

Retribusi Daerah

Laba Perusahaa

n Daerah

Lain-lain Pendapata n yang Sah

Jumlah PAD

2001 502 540 - 1,011 2,054 2002 696 569 - 2,712 3,978 2003 925 1,068 231 3,168 5,394 2004 906 1,465 287 2,295 4,954 2005 1,147 1,588 326 3,136 6,197 2006 1,798 2,084 437 6,895 11,215 2007 1,869 2,586 576 7,308 12,341

Sumber : Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Tahun 2008

Dengan diberlakukannya otonomi daerah diharapkan Pemerintah Kabupaten/Kota menjadi lebih mandiri dengan salah satu indikatornya adalah meningkatnya PAD dan berkurangnya subsidi (grant) dari pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang dititikberatkan pada bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur jalan. Selanjutnya untuk membiayai program-program di luar ketiga bidang tersebut pemerintah daerah mengandalkan PAD. Rasio antara PAD dengan total pendapatan daerah yang menunjukkan kemandirian suatu daerah merupakan indikator keberhasilan pemerintah daerah dalam


(24)

menggali sumber-sumber pendapatan yang berasal dari potensi riil daerah. Kondisi tersebut semestinya membuat pemerintah daerah memiliki kemampuan dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi.

Uraian di atas menggambarkan bahwa dimensi keuangan daerah otonom yang paling krusial adalah tingkat kemandirian keuangan. Kemandirian keuangan daerah yang dimaksud adalah kebebasan untuk memelihara dan menjalankan kepentingan daerah dengan keuangan sendiri. Kebebasan yang dimaksud di sini bukanlah kemerdekaan melainkan kemandirian yang merupakan wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Kemandirian keuangan daerah juga menunjukkan kemampuan daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang menggambarkan sejauhmana ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi).

Dimensi lain yang tidak kalah pentingnya sebagai indikator keberhasilan daerah dalam merealisasikan PAD yang dianggarkan adalah efektivitas keuangan daerah otonom. Efektivitas keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintahan daerah dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Efektivitas keuangan daerah juga menggambarkan kemampuan daerah dalam menjalankan tugas yang dibebakan melalui target APBD, semakin tinggi pemerintah daerah merealisasikan maka pemerintah daerah dikategorikan efektif.

Perbandingan PAD yang direncanakan dengan realisasi PAD akan mempengaruhi tingkat efektivitas pemerintah daerah. Di sisi lain dalam melakukan pemungutan pendapatan pemerintah daerah dituntut untuk dapat bertindak efisien, sehingga perbandingan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan besarnya pendapatan yang diterima bersifat rasional. Sehingga dimensi terakhir yang juga menentukan keberhasilan daerah dalam merealisasikan PAD yang dianggarkan adalah efisiensi keuangan daerah otonom. Efisiensi dalam hal ini mengarahkan pada sejauhmana besarnya biaya yang dikeluarkan


(25)

untuk memperoleh pendapatan yang diterima. Semakin rendah biaya yang dikeluarkan pemerintah dalam menjaring pendapatan dari PAD, maka pemerintah daerah masuk dalam kategori efisien.

Namun dengan adanya tiga dimensi keuangan daerah tersebut belum tentu

menjamin dapat meningkatkan PAD Kabupaten Lampung Barat. Kemandirian

keuangan, efektivitas, dan efisiensi tidak mungkin dapat dengan sendirinya

meningkatkan PAD jika potensi sumber-sumber PAD dari kabupaten tersebut

belum berkembang dengan maksimal. Sehingga perlu upaya-upaya untuk

meningkatkan PAD Kabupaten Lampung Barat melalui strategi-strategi yang

dapat diimplementasikan dengan mempertimbangkan berbagai aspek sesuai

dengan potensi yang dapat digali di Kabupaten Lampung Barat. Strategi tersebut

tidak serta merta langsung dipilih semuanya untuk menjadi rancangan program.

Lima strategi tersebut dipilih menjadi satu yang terpenting berdasarkan suatu

kriteria yang juga paling dianggap penting. Kriteria-kriteria tersebut yaitu

efektivitas, potensi SDM, anggaran biaya, kemudahan, dan potensi

pengembangan. Oleh karena itu permasalahan dalam kajian ini adalah:

1.

Sejauhmana kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Lampung Barat dalam

upaya meningkatkan PAD?

2.

Bagaimana rancangan program yang tepat untuk meningkatan PAD

Kabupaten Lampung Barat?

1.3. Tujuan Kajian

Tujuan dari kajian ini adalah:

1. Mengukur kinerja keuangan pemerintah daerah Kabupaten Lampung Barat

2. Menyusun rancangan program untuk meningkatkan PAD Kabupaten Lampung Barat

1.4. Manfaat Kajian

Manfaat ilmiah/akademik dari kajian strategi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Lampung Barat ini adalah untuk menambah wawasan tentang pembangunan daerah khusunya yang terkait


(26)

dengan peningkatan PAD. Manfaat praktisnya adalah diharapkan dapat menjadi pertimbangan pemerintah daerah dalam pengambilan kebijakan untuk meningkatkan penerimaan daerah yang bersumber dari potensi daerah terutama PAD di Kabupaten Lampung Barat.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otonomi Daerah

2.1.1. Pengertian Otonomi Daerah

Menurut Ketentuan Umum Undang-Undang No.32 tahun 2004 Pasal 1 yang dimaksud dengan Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Daerah otonomi yang dimaksud adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilyah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem negara Kesatuan republik Indonesia. Menurut Wayang yang dikutip Syafrudin (1984) otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan menjalankan kepentingan khusus se-daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan berpemerintahan sendiri.

Syafrudin (1984) berpendapat bahwa istilah otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atas kemandirian adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan. Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan pemerintah daerah juga sangat berkaitan dengan desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat (nasional) kepada pemerintah lokal atau daerah sedangkan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sesuai dengan aspirasi dan keputusannya dikenal sebagai otonomi daerah. Dengan pemahaman ini maka otonomi daerah merupakan inti dari desentralisasi. Jadi yang dimaksud otonomi daerah pada pokoknya selalu melihat otonomi itu sebagai hal, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(28)

Keuangan daerah mempunyai arti yang sangat penting dalam rangka pelaksanaan pemerintahan dan kegiatan pembangunan oleh pelayanan kemasyarakatan di daerah. Oleh karena itu keuangan daerah diupayakan untuk berjalan secara berdaya guna dan berhasil guna. Secara konseptual munculnya otonomi daerah telah memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber penerimaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan Sumber-sumber Penerimaan lainnya. Sehingga kebijakan keuangan daerah diarahkan pada upaya penyesuaian secara terarah dan sistematis untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah bagi pembiayaan pembangunan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kebijakan ini juga diarahkan pada penerapan prinsip-prinsip, norma, asas, dan standar akuntansi dalam penyusunan APBD agar mampu menjadi dasar bagi kegiatan pengelolaan, pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.

Tujuan keuangan daerah pada masa otonomi adalah menjamin tersedianya keuangan daerah untuk pembiayaan pembangunan daerah, pengembangan pengelolaan keuangan daerah yang memenuhi prinsip, norma, asas, dan standar akuntansi serta meningkatkan PAD secara kreatif melalui penggalian potensi, intensifikasi dan ekstensifikasi. Tujuan ini diupayakan agar tidak berbenturan dengan upaya menarik investasi baik dari dalam negeri atau yang dikenal dengan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun investasi dari luar yang disebut juga sebagai Penanaman Modal Asing (PMA). Sedangkan sasaran yang ingin dicapai keuangan daerah adalah kemandirian keuangan daerah melalui upaya yang terencana, sistematis dan berkelanjutan, efektif dan efisien.

Penyelenggaraan tugas pemerintahan di suatu negara memerlukan sumber-sumber pembiayaan untuk menunjang kegiatan yang dijalankan oleh pemerintah daerah. Hal ini berarti bahwa penyediaan sumber keuangan tersebut sebanding dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Undang Undang No.32/2004 dan UU No.33/2004 memberikan peluang lebih banyak bagi daerah untuk menggali potensi sumber-sumber penerimaan daerah dibanding


(29)

peraturan-peraturan sebelumnya. Peraturan-peraturan sebelumnya lebih banyak memberikan keleluasaan pemerintah di atasnya untuk menggali sumber-sumber penerimaan. Penerimaan daerah sesuai dengan Pasal 5 UU No.32 Tahun 2004 terdiri dari:

1. Pendapatan asli daerah yang meliputi:

a)

Hasil pajak daerah

b)

Hasil retribusi daerah

c)

Laba perusahaan daerah (BUMD)

d)

Lain-lain hasil usaha daerah yang sah 2. Pendapatan yang berasal dari pusat meliputi:

a) Sumbangan dari pemerintah

b) Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundangundangan

3. Lain-lain pendapatan daerah yang sah

Berdasarkan uraian tersebut PAD terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, dan lain-lain hasil usaha daerah yang sah. Di bawah ini akan dijelaskan dari 2 komponen PAD, yaitu pajak daerah dan retribusi daerah.

1.

Hasil Pajak Daerah

Menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang

Pajak Daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran yang wajib

dilakukan oleh orang pribadi atau badan pada daerah tanpa imbalan langsung

yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan-peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan daerah. Penggolongan pajak

daerah mencakup:

a.

Pajak propinsi terdiri dari :

1)

Pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air

2)

Bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air

3)

Pajak bahan bakar kendaraan bermotor


(30)

4)

Pajak pengembalian dan pemanfaatan air bawah tanah dan air

permukaan

b.

Pajak kabupaten /kota terdiri dari :

1)

Pajak parkir

Objek pajak parkir antara lain tempat penyelenggaraan tempat parkir di

luar badan jalan, baik yang disediakan sebagai suatu usaha, tempat

penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi

kendaraan bermotor yang memungut bayaran. Yang tidak termasuk

objek pajak adalah penyelenggaraan tempat parkir oleh pemerintah

pusat dan daerah, kedutaan dan perwakilan negara asing.

Penyelenggaraan tempat parkir diatur oleh pemerintah daerah. Subjek

parkir antara lain orang pribadi atau badan yang melakukan

pembayaran atas tempat parkir, maupun orang pribadi atau badan yang

menyelenggarakan tempat parkir. Tarif pajak parkir paling tinggi

sebesar 20 persen yang diatur oleh pemerintah daerah. Dasar

pengenaan pajak parkir adalah orang pribadi atau badan yang

seharusnya dibayar untuk pemakaian tempat parkir.

2)

Pajak hotel

3)

Pajak restoran

4)

Pajak hiburan

5)

Pajak reklame

6)

Pajak penerangan jalan

7)

Pajak pengambilan bahan galian golongan C

Selain jenis pajak yang telah ditetapkan tersebut, pemerintah daerah juga memiliki wewenang untuk menetapkan jenis pajak yang lain dengan mengeluarkan peraturan daerah. Jenis pajak tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut:


(31)

2) Objek pajak terletak/terdapat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta harus melayani masyarakat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.

3) Objek dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum

4) Objek bukan merupakan pajak propinsi atau objek pajak pusat 5) Potensinya memadai

6) Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif

7) Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat 8) Menjaga kelestarian lingkungan

2. Hasil retribusi daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 menyebutkan bahwa retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atau jasa atau pemberian izin yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Menurut Kunarjo (1993) retribusi adalah pungutan uang sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh pekerjaan, atau usaha milik pemerintah baik yang berkepentingan atau jasa yang diberikan oleh pemerintah dan berdasarkan peraturan umum yang dibuat oleh pemerintah. Kaho (1997) menyatakan pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena mernperoleh jasa pekerjaan. Berdasarkan pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa retribusi daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas pemakaian jasa atau karena mendapatkan jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah bagi yang berkepntingan atau karena jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang retribusi daerah, dapat digolongkan menjadi:

a. Retribusi Jasa Umum

Adalah retribusi jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan kemanfaatan umum


(32)

serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. Jenis retribusi jasa umum antara lain retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum yaitu penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh pemerintah daerah. Karena jalan menyangkut kepentingan umum, penetapan jalan umum sebagai tempat parkir mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, retribusi pelayanan kesehatan, retribusi pelayanan persampahan/kebersihan, retribusi penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akte catatan sipil, retribusi pelayanan pemakaman dan penguburan mayat, retribusi kendaraan bermotor, retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran, retribusi biaya cetak peta, retribusi pengujian kapal perikanan, dan retribusi pelayanan pasar.

b. Retribusi Jasa Usaha

Adalah retribusi yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan

menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan

oleh sektor swasta. Jenis-jenis retribusi jasa usaha antara lain retribusi

tempat parkir khusus yaitu penyediaan tempat parkir yang khusus

disediakan. Retribusi ini dimiliki dan atau dikelola oleh pemerintah

daerah, tidak termasuk dikelola oleh badan usaha milik daerah dan pihak

swasta. Retribusi pemakaian kekayaan daerah, retribusi pasar grosir

/pertokoan, retribusi tempat pelelangan, retribusi terminal, retribusi tempat

penginapan, retribusi penyedotan kakus, retribusi pelabuhan kapal,

retribusi potong hewan, retribusi tempat rekreasi dan olahraga, retribusi

tempat penyeberangan di atas air, retribusi pengolahan limbah cair, dan

retribusi penjualan produksi usaha daerah.

c.

Retribusi perizinan tertentu

Adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka

pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk

pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan

pemanfaatan ruang, penggunaan sumberdaya alam, barang, prasarana,

sarana atau faslitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan


(33)

menjaga kelestarian lingkungan. Jenis retribusi perizinan tertentu antara

lain retribusi mendirikan bangunan, retribusi izin menjual tempat minuman

alkohol, retribusi izin gangguan, retribusi izin trayek, hasil perusahaan

daerah (BUMD), serta lain-lain hasil usaha daerah yang sah.

2.2Rasio Keuangan

Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan, dan layanan sosial masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Dalam instansi pemerintahan pengukuran kinerja tidak dapat diukur dengan rasio-rasio yang biasa didapatkan dari sebuah laporan keuangan dalam suatu perusahaan seperti, Return on Investment. Hal ini disebabkan karena sebenarnya dalam kinerja pemerintah tidak ada “Net Profit”. Kewajiban pemerintah untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya dengan sendirinya dipenuhi dengan menyampaikan informasi yang relevan sehubungan dengan hasil program yang dilaksanakan kepada wakil rakyat dan juga kelompok-kelompok masyarakat yang memang ingin menilai kinerja pemerintah.

Pelaporan keuangan pemerintah pada umumnya hanya menekankan pada pertanggungjawaban apakah sumber yang diperoleh sudah digunakan sesuai dengan anggaran atau perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian pelaporan keuangan yang ada hanya memaparkan informasi yang berkaitan dengan sumber pendapatan pemerintah, bagaimana penggunaannya dan posisi pemerintah saat itu.

Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melaksanakan analisis rasio terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Hasil analisis rasio keuangan ini selanjutnya digunakan untuk:

a. Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelengggaraan otonomi daerah

b. Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah


(34)

c. Mengukur sejauhmana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya

d. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah

e. Melihat pertumbuhan atau perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluaran yang dilakukan selama periode waktu tertentu

Penggunaan analisis rasio pada sektor publik khususnya terhadap APBD belum banyak dilakukan, sehinggga secara teori belum ada kesepakatan secara utuh mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Meskipun demikian dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien dan akuntabel, analisis rasio terhadap APBD perlu dilaksanakan meskipun kaidah pengakuntansian dalam APBD berbeda dengan keuangan yang dimiliki oleh perusahaan swasta (Halim, 2002).

Suprapto (2007) menilai bahwa analisis rasio keuangan pada APBD dapat dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehinggga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Ia menilai bahwa terdapat beberapa pihak yang berkepentingan dengan rasio keuangan pada APBD, yaitu:

1. DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)

DPRD adalah badan yang memberikan otorisasi kepada pemerintah daerah untuk mengelola laporan keuangan daerah.

2. Badan eksekutif

Badan eksekutif merupakan badan penyelenggara pemerintahan yang menerima otorisasi pengelolaan keuangan daerah dari DPRD, seperti Gubernur, Bupati, Walikota, serta pimpinan unit Pemerintah Daerah linnya.


(35)

3. Badan pengawas keuangan

Badan Pengawas Keuangan adalah badan yang melakukan pengawasan atas pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Yang termasuk dalam badan ini adalah Inspektorat Jendral, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Badan Pemeriksa Keuangan.

4. Investor, kreditor dan donatur

Badan atau organisasi baik pemerintah, lembaga keuangan, maupun lainnya baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang menyediakan sumber keuangan bagi pemerintah daerah.

5. Analisis ekonomi dan pemerhati pemerintah daerah

Yaitu pihak-pihak yang menaruh perhatian atas aktivitas yang dilakukan Pemerintah Daerah, seperti lembaga pendidikan, ilmuwan, peneliti dan lain-lain.

6. Rakyat

Rakyat dalam konteks ini adalah kelompok masyarakat yang menaruh perhatian kepada aktivitas pemerintah khususnya yang menerima pelayanan pemerintah daerah atau yang menerima produk dan jasa dari pemerintah daerah

7. Pemerintah Pusat

Pemerintah pusat memerlukan laporan keuangan pemerintah daerah untuk menilai pertanggungjawaban Gubernur sebagai wakil pemerintah (Pasal 2 PP No. 108/2000).

Suprapto (2007) menyatakan ada beberapa jenis rasio yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja keungan pemerintah daerah, yaitu:

2.2.1. Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah

Halim (2002) menyatakan bahwa tingkat kemandirian menggambarkan citra kemandirian daerah dalam berotonomi yang dapat diketahui melalui seberapa besar kemampuan sumberdaya keuangan daerah tersebut agar mampu membangun daerahnya di samping mampu


(36)

pula untuk bersaing secara sehat dengan kabupaten lainnya dalam mencapai otonomi yang sesungguhnya. Tingkat kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerahnya. Upaya untuk mengukur tingkat kemandirian yaitu dengan membandingkan besarnya realisasi PAD dengan total pendapatan daerah yang ditunjukkan dengan rumus sebagai berikut:

% 100 x

=

PD PAD TK

Keterangan :

TK = Tingkat Kemandirian

ΣPAD = Penerimaan Asli Daerah

ΣPD = Total Penerimaan Daerah

Berdasarkan formula di atas dapat diketahui bahwa tingkat kemandirian keuangan daerah merupakan gambaran sejauhmana ketergantungan daerah terhadap sumber dana dari luar (eksternal). Semakin tinggi rasio ini berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak luar (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dapat dilihat dalam pola hubungan sebagai berikut:

a. Pola hubungan instruktif

Pada pola hubungan ini peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah)

b. Pola hubungan konsultatif

Karakteristik dari pola hubungan ini ditandai oleh berkurangnya campur tangan pemerintah pusat, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi.


(37)

Pola hubungan partisipatif memiliki ciri adanya peranan pemerintah pusat yang semakin berkurang mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi daerah.

d. Pola hubungan delegatif

Pada pola hubungan ini ditandai sudah tidak adanya campur tangan pemerintah pusat karena daerah telah benar-benar mampu mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.

Nadeak (2003) menghubungkan pola hubungan tersebut dengan perhitungan tingkat kemandirian sehingga memunculkan empat kategori kemampuan daerah dari sisi keuangan. Uraian dari empat kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pola Hubungan dan Tingkat Kemandirian Daerah

Pola Hubungan Tingkat Kemandirian (%) Kemampuan Keuangan

Instruktif 0 - 25 Rendah Sekali

Konsultatif 25 - 50 Rendah

Partisipatif 50 - 75 Sedang

Delegatif 75 - 100 Tinggi

Sumber: Nadeak, 2003

Tingkat kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen dari PAD.

2.2.2.

Tingkat Efektivitas Keuangan Daerah

Rasio efektivitas menurut Halim (2002) adalah kemampuan pemerintahan daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah (PAD) yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan


(38)

berdasarkan potensi riil daerah. Perhitungan tingkat efektivitas keuangan daerah dapat ditunjukkan dengan rumus sebagai berikut:

%

100

.

x

TPPAD

PAD

Efe

T

=

Keterangan :

T.Efe = Tingkat Efektivitas

Σ PAD = Realisasi penerimaan PAD

TPPAD = Target penerimaan PAD berdasarkan potensi daerah

Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 100 persen. Semakin tinggi nilai efektivitas menggambarkan kemampuan daerah dalam hal upaya mengumpulkan PAD semakin baik.

2.2.3.

Tingkat Efisiensi Keuangan Daerah

Rasio efesiensi merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Untuk memperoleh tingkat efisiensi dapat digunakan rumus sebagai berikut:

=

PAD BPPAD Efi

T.

Keterangan :

T. Efi = Tingkat efisiensi

ΣBPPAD = Biaya pungut PAD

ΣPAD = Realisasi Penerimaan PAD

Pemerintah daerah perlu menghitung secara cermat berapa besarnya biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan seluruh pendapatan yang diterimanya sehingga dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan pendapatannya tersebut efisien atau tidak. Hal itu perlu dilakukan karena meskipun Pemerintah Daerah berhasil merealisasikan pendapatan sesuai dengan target yang ditetapkan, namun keberhasilan itu kurang memiliki arti apabila ternyata biaya yang dikeluarkan untuk


(39)

merealisasikan target penerimaan pendapatannya itu lebih besar dari pada realisasi pendapatan yang diterimanya. Pemungutan pendapatan dikategorikan efisien, apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau di bawah 100 persen. Semakin kecil rasio efisien berarti kinerja pemerintah semakin baik.

2.3. Analytical Hierarchy Process (AHP)

Perancangan suatu program yang bertujuan untuk meninmgkatkan PAD dapat dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang dikembangkan oleh Saaty (1993). AHP menguraikan masalah multifaktor atau multikriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Menurut Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multilevel dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis.

Sebagai sebuah metode analisis, AHP pun memiliki kelebihan dan kelemahan dalam system analisisnya. Kelebihan-kelebihan analsis ini adalah :

1. Kesatuan (Unity)

AHP membuat permasalahan yang luas dan tidak terstruktur menjadi suatu model yang fleksibel dan mudah dipahami.

2. Kompleksitas (Complexity)

AHP memecahkan permasalahan yang kompleks melalui pendekatan sistem dan pengintegrasian secara deduktif.

3. Saling ketergantungan (Inter Dependence)

AHP dapat digunakan pada elemen-elemen sistem yang saling bebas dan tidak memerlukan hubungan linier.


(40)

AHP mewakili pemikiran alamiah yang cenderung mengelompokkan elemen sistem ke level-level yang berbeda dari masing-masing level berisi elemen yang serupa.

5. Pengukuran (Measurement)

AHP menyediakan skala pengukuran dan metode untuk mendapatkan prioritas.

6. Konsistensi (Consistency)

AHP mempertimbangkan konsistensi logis dalam penilaian yang digunakan untuk menentukan prioritas.

7. Sintesis (Synthesis)

AHP mengarah pada perkiraan keseluruhan mengenai seberapa diinginkannya masing-masing alternatif.

8. Trade Off

AHP mempertimbangkan prioritas relatif faktor-faktor pada sistem sehingga orang mampu memilih altenatif terbaik berdasarkan tujuan mereka.

9. Penilaian dan Konsensus (Judgement and Consensus)

AHP tidak mengharuskan adanya suatu konsensus, tapi menggabungkan hasil penilaian yang berbeda.

10.Pengulangan Proses (Process Repetition)

AHP mampu membuat orang menyaring definisi dari suatu permasalahan dan mengembangkan penilaian serta pengertian mereka melalui proses pengulangan.

Sedangkan kelemahan metode AHP adalah sebagai berikut:

1. Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru.

2. Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari model yang terbentuk.


(41)

Dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, ada tiga prinsip menurut Falatehan (2007), yaitu:

a. Menyusun Hirarki

Menyusun hirarki ialah menggambarkan dan menguraikan secara hirarki, yaitu dengan memecah persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisah. Menurut Saaty (1993) sasaran keseluruhan yang sifatnya luas disebut sebagai fokus dan merupakan tingkat puncak hirarki yang terdiri dari satu elemen. Tingkat berikutnya dapat terdiri dari beberapa elemen menurut hubungan esensial yang sama dan berada dalam tingkat hirarki yang sama. Hirarki antara beberapa elemen dalam level yang sama disebut sebagai hirarki fungsional. Sedangkan hubungan setiap elemen dalam suatu tingkat yang dibandingkan satu dengan lainnya terhadap kriteria yang berada di atasnya disebut sebagai hirarki struktural. Hirarki ini memiliki karakteristik sistem yang kompleks dalam urutan menurun berdasarkan sifat strukturalnya. Jumlah tingkat dalam suatu hirarki tidak dibatasi. Bila elemen-elemen dalam suatu tingkat tidak dapat dibandingkan dengan mudah, maka suatu tingkat baru dapat dibuat lagi, karena hirarki bersifat luas. b. Menentukan Prioritas

Penentuan prioritas ini berdasarkan atas perbedaan prioritas dan sintesis, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif tingkat kepentingannya. Langkah pertama dalam menentukan prioritas yaitu dengan membuat perbandingan berpasangan dari setiap elemen yang berpasangan. Bentuk dari perbandingan ini biasanya dalam bentuk matriks. Langkah ini dapat dimulai pada puncak hirarki untuk memilih kriteria atau sifat yang akan digunakan untuk melakukan perbandingan yang pertama (C). Lalu elemen tingkat bawahnya dibandingkan, misalnya A1, A2, A3, dan seterusnya. Proses perbandingan berpasangan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Contoh Matriks untuk Perbandingan Berpasangan C A1 A2 A3 ... An


(42)

A1 1 A2 1 A3 1

... ... An 1

Matriks dalam Tabel 4 dapat diisi dengan menggunakan angka yang berdasarkan skala nilai antara nilai 1 hingga 9. Tabel 5 menguraikan tentang definisi dari nilai 1 hingga 9 tersebut.

Tabel 5. Skala Banding secara Berpasangan

Intensitas Keterangan 1 Kedua elemen sama pentingnya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya

5 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain

7 Elemen sang satu jelas lebih penting daripada elemen yang lain.

9 Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen yang lain

2, 4, 6, 8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Jika untuk aktivitas ke-I mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas ke-j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.

Sumber : Saaty (1993) dalam Falatehan (2007)

Langkah selanjutnya adalah sintesis, yaitu proses menyatukan atau mensintesis pertimbangan yang telah dibuat dalam perbandingan berpasangan, dengan cara pembobotan dan penjumlahan untuk menghasilkan satu bilangan tunggal yang menunjukkan prioritas


(43)

setiap elemen. Semakin tinggi nilai suatu pilihan, semakin tinggi prioritasnya. Langkah dalam melakukan sintesis adalah sebagai berikut setelah matriks terisi dilakukan sintesis pertimbangan dengan cara membagi nilai perbandingan dengan jumlah setiap kolom untuk memperoleh matriks yang dinormalisasi. Sebagai contoh adalah pemilihan prioritas alokasi anggaran dengan kriteria ketersediaan dana, prioritas anggaran, dan dukungan kelembagaan. Misalnya ketersediaan dana (Dana) setengah kali lebih penting dibanding prioritas anggaran (PA) dan seperempat kali dari dukungan kelembagaan (DK). Dari Tabel 6 terlihat bahwa prioritas anggaran dua kali lebih penting dari ketersediaan dana dan dukungan kelembagaan empat kali lebih penting dari ketersediaan dana.

Tabel 6. Mensintesis Pertimbangan

Alokasi Dana PA DK

Dana 1 ½ ¼

PA 2 1 ½

DK 4 2 1

Jumlah 7 3,5 1,75

Setelah dimasukkan matriks tersebut dinormalisasi dengan cara membagi setiap entri kolom dengan jumlah pada kolom tersebut sehingga diperoleh matriks yang dinormalisasi dan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Matriks yang dinormalisasi

Alokasi Dana PA DK

Dana 1/7 1/7 1/7


(44)

DK 4/7 4/7 4/7

Jumlah 7 3,5 1,75

Setelah mendapatkan nilai matriks yang dinormalisasi kemudian dirata-ratakan dengan cara menjumlahkan nilai dalam setiap baris dari matriks yang dinormalisasi tersebut, lalu membaginya dengan banyaknya entri dari setiap baris.

14

,

0

7

1

3

7

1

7

1

7

1

=

=

+

+

: Ketersediaan Dana

29

,

0

7

2

3

7

2

7

2

7

2

=

=

+

+

: Prioritas Anggaran

57

,

0

7

4

3

7

4

7

4

7

4

=

=

+

+

: Dukungan Kelembagaan

Sintesis ini menghasilkan persentase prioritas relatif menyeluruh. Dari contoh di atas maka prioritasnya adalah dukungan kelembagaan dengan bobot 57, prioritas anggaran dengan bobot 29 dan ketersediaan dana dengan bobot 14. Dari hasil tersebut dapat diartikan bahwa dalam pengalokasian anggaran dukungan kelembagaan empat kali lebih penting dibanding ketersediaan dana. Semakin tinggi bobot suatu pilihan, semakin tinggi prioritasnya.

c. Konsistensi Logis

Konsistensi logis yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dab diperingkat secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Dalam pengambilan keputusan, perlu diketahui tingkat konsistensinya. Konsistensi sampai pada tingkatan tertentu diperlukan untuk memperoleh hasil yang optimal dengan keadaan di dunia nyata. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai


(45)

pertimbangan melalui suatu rasio konsistensi. Nilai rasio konsistensi paling tinggi 10 persen, jika lebih maka pertimbangan yang telah dilakukan perlu diperbaiki. Contoh di atas jika terjadi ketidakkonsistenan misalkan untuk prioritas alokasi anggaran diatas, prioritas dukungan kelembagaan 4 kali lebih pening dibanding prioritas anggaran maka cara perhitungannya adalah sebagai berikut (Falatehan, 2007):

1) Melakukan sintesis pertimbangan, setelah diolah maka didapatlah persentase prioritas relatif menyeluruh, yaitu 13, 21 dan 66 persen. Tabel 8 akan menyajikan contoh dalam mensisntesis pertimbangan sedangkan Tabel 9 menunjukkan matriks yang dinormalisasi, jumlah baris, dan prioritas menyeluruh.

Tabel 8. Contoh Mensintesis Pertimbangan

Alokasi Dana PA DK

Dana 1 ½ ¼

PA 2 1 ¼

DK 4 4 1

Jumlah 7 5,5 1,5

Tabel 9. Matriks yang Dinormalisasi, Jumlah Baris, dan Prioritas Menyeluruh

Alokasi Dana PA DK Jumlah Baris

Rataan

Dana 1/7 1/11 1/6 0,40 0,40/3= 0,13 PA 2/7 2/11 1/6 0,63 0,63/3= 0,21 DK 4/7 8/11 4/6 1,97 1,97/3= 0,66 Jumlah 7 5,5 1,5


(46)

2) Menghitung besarnya ketidakkonsistenan tersebut dengan cara mengalikan kolom pertama pada matriks yang baru (tidak konsisten) dengan prioritas relatif dari Dana (0,13), kolom kedua dengan Prioritas Anggaran (0,21) dan kolom ketiga dengan Dukungan Kelembagaan (0,66). Lalu entri dalam baris-baris tersebut dijumlahkan.

Tabel 10. Menjumlahkan Entri

Alokasi Dana (0,13) PA (0,21) DK (0,66)

Dana 1 ½ ¼

PA 2 1 ¼ DK 4 4 1

Alokasi Dana PA DK Jumlah Dana 0,13 0,11 0,17 0,41 PA 0,26 0,21 0,17 0,64 DK 0,52 0,84 0,66 2,02 3) Untuk menghitung indeks konsistensi, dicari nilai maks:

⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ = ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ 06 , 3 05 , 3 15 , 3 66 , 0 21 , 0 13 , 0 : 02 , 2 64 , 0 41 , 0

4) Dari nilai-nilai tersebut diambil rata-ratanya:

09

,

3

3

26

,

9

3

06

,

3

05

,

3

15

,

3

+

+

=

=


(47)

1

=

n

n

maks

CI

λ

045

,

0

2

09

,

0

1

3

3

09

,

3

=

=

=

CI

6) Kemudian dicari nilai Consistency Ratio menggunakan persamaan:

RI

CI

CR

=

Nilai RI (Random Indeks) didapat dari:

Tabel 11. Nilai Random Indeks

Ukuran Matriks Indeks Random 1 dan 2 0.00

3 0.58 4 0.90 5 1.12 6 1.24 7 1.32 8 1.41

7) Karena ukuran matriksnya adalah 3 maka indeks randomnya adalah 0.58, sehingga nilai Consistency Ratio-nya adalah:

08

,

0

58

,

0

045

,

0

=

=

CR

Nilai CR sebesar 0,08, berarti dibawah nilai 0,1, sehingga menunjukkan konsistensinya baik.

Setelah memperoleh nilai sintesis, maka yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah konsistensi. Hal ini dapat terjadi karena dalam


(48)

kehidupan sehari-hari berbagai keadaan khusus sering mempengaruhi preferensi, sehingga keadaan dapat berubah dan membuat keadaan menjadi tidak konsisten. Di sisi yang lain konsistensi sempurna pun sukar dicapai. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai penilaian yang dilakukan melalaui suatu Rasio Konsistensi (RK). Nilai rasio konsistensi harus 10 persen atau kurang dimana jika rasio ini lebih dari 10 persen memungkinkan penilaian yang sudah diperoleh terlihat agak acak dan mungkin perlu diperbaiki.

2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan efektivitas dan kemandirian

Pendapatan Asli Daerah telah banyak dilakukan sebelumnya. Salah satu di

antaranya adalah Saragih (1996) yang menyatakan bahwa peran PAD sebagai

sumber pembiayaan pembangunan masih rendah meskipun perolehannya setiap

tahun mengalami peningkatan. Lains (1995) meneliti tentang keuangan dan

pembangunan daerah di Sumatera Barat. Menurut Lains kemampuan pembiayaan

dengan PAD dalam pelaksanaan pembangunan daerah sangat kecil atau dengan

kata lain sebagian besar pembiayaan dasar dibiayai oleh Pemerintah Pusat.

Kecilnya proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah disebabkan antara lain

karena jenis-jenis pajak yang menjadi hak daerah kurang potensial. Lains

menyarankan perlu adanya desentralisasi perencanaan dan pelaksanaan

pembiayaan serta sistem pajak dengan pemberian wewenang yang lebih besar

kepada Pemerintah Daerah.

Hasil penelitian Suprapto (2007) terhadap kinerja keuangan Kabupaten

Sleman menunjukkan tingkat kemandirian Kabupaten Sleman pada periode 2000

– 2004 pada kategori instruktif yang berarti kemandirian Kabupaten Sleman

sangat rendah dan belum mampu untuk melaksanakan otonomi keuangan daerah.

Rasio Efektivitas cenderung efektif, karena kontribusi yang diberikan terhadap

target yang ingin dicapai lebih dari 100 persen. Selanjutnya Lee dan Snow (1997)

mengungkapkan bahwa apabila Pemerintah Daerah akan menaikkan penerimaan

pajak, maka sebaiknya Pemerintah Daerah memperhitungkan kemampuan


(49)

membayar dari masyarakat di daerah tersebut dengan mempertimbangkan aspek

sosial, ekonomi, dan politik.

Radianto (1997) melakukan penelitian di Daerah Tingkat II Maluku

bahwa peranan PAD dalam membiayai pembangunan Daerah Tingkat II Maluku

masih sangat rendah. Hal ini tercermin dari Indeks Kemampuan Rutin (IKR)

Daerah Tingkat II Maluku yang masih berada jauh di bawah rata-rata IKR Daerah

Tingkat II secara nasional. Misalnya selama kurun waktu Pelita V

(1991/1992-1993/1994) IKR Daerah Tingkat II Maluku berturut-turut adalah sebesar 8,1

persen, 7,3 persen, dan 6,5 persen. Kuncoro (1995) memfokuskan pengamatannya

pada kenyataan rendahnya PAD, sehingga ketergantungan keuangan Pemerintah

Daerah sangat tinggi kepada Pemerintah Pusat. Upaya mengurangi beban subsidi

Pemerintah Pusat, Kuncoro menganjurkan diberikannya otonomi keuangan daerah

yang relatif luas, sehingga daerah mampu menggali sumber-sumber keuangan

sendiri dan memanfaatkannya secara optimal. Lebih lanjut Kuncoro (1995)

mengungkapkan bahwa PAD menunjukkan kontribusi yang sangat rendah

terhadap total penerimaan daerah di propinsi di Indonesia rata-rata hanya 15,4

persen selama tahun 1984/1985 – 1990/1991. Artinya dibanding dengan PAD,

subsidi dari Pemerintah Pusat lebih banyak dalam membiayai pengeluaran daerah.

PAD hanya 30 persen mampu membiayai pengeluaran rutin. Pemerintah Daerah

Tingkat II, PAD hanya mampu membiayai pengeluaran rutinnya sebesar kurang

dari 22 persen. Sebagian besar Daerah Tingkat II di Indonesia prosentase PAD

terhadap total belanja daerah kurang dari 15 persen.

PAU-SE UGM (2000) yang melakukan penelitian di Kabupaten Magelang

menyimpulkan bahwa ketergantungan daerah terhadap sumber penerimaan dari

sumbangan dan bantuan Pemerintah Pusat dan dari Pemerintah Daerah Propinsi

Jawa Tengah masih sangat tinggi. Dalam era otonomi daerah akan semakin sulit

mendapatkan sumbangan dan bantuan sehingga perlu biaya untuk meningkatkan

pendapatan daerah sendiri, terutama dari pajak daerah dan retribusi daerah.

Sementara Miller dan Russek (1997) meneliti semua negara bagian di Amerika

Serikat mengenai struktur pajak dan pertumbuhan ekonomi, dan menemukan

bahwa pajak dapat berpengaruh positif dan negatif terhadap pertumbuhan

ekonomi. Implikasinya adalah Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah


(50)

harus dapat mendorong penerimaan melalui pajak dan menggunakannya secara

tepat untuk membiayai pengeluaran yang bersifat strategis untuk mendorong

pertumbuhan ekonomi.

Efektivitas dan kemandirian keuangan daerah kabupaten/kota di Bali

periode 2002 – 2006 dalam periode dua tahun terakhir masuk dalam kategori

kemandirian keuangan yang sedang (rasio KKD lebih dari 50 persen sampai

dengan 75 persen) dan rendah (rasio KKD lebih dari 25 persen sampai dengan 50

persen) masing-masing hanya satu kabupaten/kota, sedangkan sisanya (tujuh

kabupaten) masuk kategori kemandirian keuangan yang sangat rendah (rasio KKD

1 persen sampai dengan 25 persen). Dua tahun awal, Kabupaten Badung masuk

kategori kemandirian keuangan tinggi (rasio KKD lebih dari 75 persen sampai

dengan 100 persen), tetapi menurun pada dua tahun terakhir (Dwirandra, 2007).

Ada tiga sektor perekonomian di Kabupaten Indragiri Hilir selama periode

(2000-2003) yang pungutan PAD-nya memiliki elastisitas negatif yaitu sektor

pertanian, sektor bangunan dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.

Sedangkan yang memiliki nilai elastisitas PAD positif tertinggi adalah sektor

jasa-jasa dan terendah adalah sektor pertanian. Kendala utama adalah lemahnya SDM

aparat, lemahnya akurasi data subyek dan obyek pungutan, kurangnya kesadaran

masyarakat dan minimnya sarana dan prasarana, (Syamsurizal, 2004). Selanjutnya

penelitian Rahman (2005) mengungkapkan efektivitas PAD Kabupaten Pelalawan

selama periode (2000-2003) berfluktuasi dan relatif tinggi. Efisiensi PAD

cenderung mengalami peningkatan. Elastisitas PAD terhadap PDRB memiliki

nilai negatif. Rasio kemandirian cenderung menunjukkan peningkatan.

Penelitian yang dilakuakn oleh Nadaek (2003) bertujuan untuk melihat

perkembangan rasio kemandirian, rasio efektivitas dan rasio efisiensi pada

Keuangan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara. Hasil penelitian adalah bahwa

tingkat kemandirian daerah Kabupaten Maluku Tenggara yang diukur melalui

PAD, hanya mencapai rata-rata sebesar 2,93 persen untuk setiap tahun anggaran

dengan peningkatan tiap tahun sebesar 0,46 persen. Kondisi ini menunjukan

bahwa kemandirian daerah masih sengat jauh dari yang diharapkan. Pendapatan

daerah masyarakat Maluku Tenggara sebagian besar masih diprioritaskan untuk


(51)

mencukupi belanja rutin yaitu rata-rata 56 persen dari total pendapatan yang

diterima. Kondisi ini menunjukan bahwa jika menggunakan indikator PAD, maka

Kabupaten Maluku Tenggara dalam rangka melaksanakan otonomi daerah masih

belum mampu ditinjau dari aspek kemampuan keuangan daerahnya sebab masih

sangat tergantung dengan pemerintah pusat. Rasio efektivitas pemungutan PAD

Kabupaten Maluku Tenggara dari tahun anggaran 1998/1999 sampai tahun

anggaran 2002 rata-rata 89,59 dengan peningkatan setiap tahunnya sebesar 7,22

persen. Dengan demikian pemungutan PAD di Kabupaten Maluku Tenggara

cenderung tidak efektif karena kontribusi yang diberikan terhadap target yang

ingin dicapai kurang dari 100 persen. Rasio efisiensi pemungutan PAD Kab.

Maluku Tenggara selama lima tahun anggaran yaitu dari tahun anggaran

1998/1999 sampai dengan 2002 rata-rata sebesar 3,27 persen dan setiap tahun

anggaran mengalami penurunan sebesar 0,1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa

pemungutan PAD Kabupaten. Maluku Tenggara dari tahun ke tahun semakin

efisien karena biaya yang dikeluarkan untuk memungut PAD semakin rendah

dengan realisasi PAD yang didapatkan. Hal ini menunujukkan kinerja pemerintah

daerah yang semakin baik.


(52)

III. METODOLOGI

3.1. Kerangka Pemikiran

Pembangunan Kabupaten Lampung Barat sebagai bagian integral dari

pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan

pengaturan sumberdaya nasional. Hal ini berarti memberikan kesempatan bagi

peningkatan demokrasi dan kinerja daerah untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi, dan

nepotisme. Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai subsistem

pemerintahan negara dimaksudkan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna

penyelenggaran pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Sebagai daerah otonom,

daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan

kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip keterbukaan, partisipasi

masyarakat, dan pertanggungjawaban kepada masyarakat.

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan

kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab di daerah secara

proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan

sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pemerintah

Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan Pemerintah Pusat dan Daerah

dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari pendapatan

asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang

sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang

digali dari dalam wilayah yang bersangkutan dan terdiri dari hasil pajak daerah,

hasil restribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan

lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

Ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah (1) kemampuan dan kewenangan daerah untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) meminimalkan ketergantungan kepada bantuan pusat sehingga menjadikan PAD menjadi


(1)

4

Perbaikan Sistem Informasi dan Administrasi

Pelaporan 0.346 0.274 0.271 0.482 0.271

5

Pemberdayaan BUMD dan Bagi Hasil

Sdumberdaya Alam 0.278 0.141 0.186 0.175 0.282


(2)

Urutan Alternatif Responden 1 Responden 2 Responden 3 Responden

4 R1+r2+r3+r4/Rn

1 Peningkatan Keahlian SDm dan Insentif Petugas 0.112 0.192 0.107 0.094 0.261

2 Pengembangan Sektor Unggulan 0.058 0.108 0.112 0.146 0.081

3 Pengembangan Infrastruktur 0.097 0.070 0.175 0.226 0.077

4

Perbaikan Sistem Informasi dan Administrasi

Pelaporan 0.447 0.395 0.535 0.352 0.338

5

Pemberdayaan BUMD dan Bagi Hasil

Sdumberdaya Alam 0.286 0.235 0.071 0.182 0.243

4.4. Penghitungan Penilaian Strategi Peningkatan PAD berdasarkan Kriteria Anggaran Biaya

Bobot Prioritas

Urutan Alternatif Responden

1 Responden 2 Responden 3 Responden

4 R1+r2+r3+r4/Rn

1 Peningkatan Keahlian SDm dan Insentif Petugas 0.395 0.229 0.168 0.252 0.281

2 Pengembangan Sektor Unggulan 0.056 0.100 0.086 0.081 0.082


(3)

5

Pemberdayaan BUMD dan Bagi Hasil

Sdumberdaya Alam 0.266 0.100 0.326 0.280 0.195

4.5. Penghitungan Penilaian Strategi Peningkatan PAD berdasarkan Kriteria Kemudahan

Bobot Prioritas

Urutan Alternatif Responden

1

Responden 2

Responden 3

Responden

4 R1+r2+r3+r4/Rn

1 Peningkatan Keahlian SDm dan Insentif Petugas 0.154 0.207 0.180 0.103 0.161

2 Pengembangan Sektor Unggulan 0.098 0.081 0.366 0.146 0.173

3 Pengembangan Infrastruktur 0.028 0.110 0.046 0.433 0.154

4

Perbaikan Sistem Informasi dan Administrasi

Pelaporan 0.455 0.407 0.228 0.186 0.319

5

Pemberdayaan BUMD dan Bagi Hasil

Sdumberdaya Alam 0.265 0.196 0.180 0.132 0.193


(4)

Urutan Alternatif Responden 1 Responden 2 Responden 3 Responden

4 R1+r2+r3+r4/Rn

1 Peningkatan Keahlian SDm dan Insentif Petugas 0.525 0.345 0.193 0.123 0.297

2 Pengembangan Sektor Unggulan 0.077 0.098 0.086 0.103 0.091

3 Pengembangan Infrastruktur 0.038 0.068 0.056 0.077 0.060

4

Perbaikan Sistem Informasi dan Administrasi

Pelaporan 0.068 0.317 0.390 0.310 0.271

5

Pemberdayaan BUMD dan Bagi Hasil

Sdumberdaya Alam 0.292 0.172 0.275 0.387 0.282

4.7. Penghitungan Sintesis Penilaian Strategi Peningkatan PAD

Bobot Prioritas

Urutan Alternatif Responden

1 Responden 2 Responden 3 Responden

4 R1+r2+r3+r4/Rn

1 Peningkatan Keahlian SDm dan Insentif Petugas 0.235 0.295 0.253 0.145 0.232

2 Pengembangan Sektor Unggulan 0.058 0.118 0.109 0.103 0.097


(5)

5

Pemberdayaan BUMD dan Bagi Hasil


(6)

Dokumen yang terkait

Analisis Flypaper Effect Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Belanja Daerah Terhadap Efisiensi Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

3 74 100

Strategi Pelaksanaan Retribusi Terminal Guna Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Di Kota Rantauprapat (Studi Pada Dinas Perhubungan, Komunikasi, dan Informatika Kabupaten Labuhanbatu)

4 112 94

Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Melalui Penerimaan Retribusi Izin Mendidirikan Bangunan

19 165 120

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

2 38 82

Analisis Pengaruh Tingkat Kemandirian Fiskal, Pendapatan Asli Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Melalui Belanja Modal Di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara

1 30 114

Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Dan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Deli Serdang Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah.

1 81 92

Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Langsung Pemerintah Kabupaten/Kota Di Sumatera Barat

3 56 90

Upaya-Upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Melalui Penerimaan Retribusi Terminal Angkutan Penumpang Umum Dan Angkutan Barang Yang Dikelola Dinas Perhubungan Kota Padang Sidempuan

10 96 69

Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi...

0 37 3

Peran Kegiatan Kemetrologian Terhadap Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten...

0 23 3