environmental promises
yang setengah-setengan
unreliable, membangunnya dengan fungsi environmental pada produk mereka,
sehingga akibatnya konsumen tidak mau mempercayai produk tersebut dan reputasi dari produk tersebut pun tidak akan terangkat kalafis and Pollard,
1999. Studi ini mengajukan dua novel construct, “green trust” dan “green brand equity” di dalam hipotesis yang sebelumnya. Menghubungkan konsep
dari relationship marketing dengan trust based-approach untuk brand equity di dalam konsteks environmrental, studi ini mengajukan hipotesis
sebagai berikut:
H5: Green Trust secara positif berhubungan dengan Green Brand
Equity.
G. Customer Loyalty
Definisi loyalty dalam tingkat yang paling umum adalah sesuatu yang konsumen bisa menjadi cerminan dari sebuah produk, jasa, toko, kategori
produk contoh: rokok, dan aktivitas contoh: berenang. Di sisni akan digunakan terminologi customer loyalty sebagai kebalikan dari brand
loyalty. Hal ini untuk mengetahui bahwa customer loyalty adalah bagian dari seseorang, bukan sesuatu yang menempel kepada merek.
Sayangnya, belum terdapat definisi yang disetujui secara universal Jacoby and Chesnut, 1978; Dick and Basu, 1994; Oliver, 1999. Bahkan, di
sini terdapat tiga konsep yang popular dari loyalty:
a Loyalty loyalitas adalah sikap utama yang biasanya mendorong ke hubungan dengan sebuah merek.
b Loyalty loyalitas
biasanya diekspresikan
setelah terjadi
pembelian. c Pembelian yang dipengaruhi oleh kharakteristik individu, kondisi,
dan situasi pembelian. Banyak peneliti dan konsultan berdebat bahwa harus terdapat
“attitudinal commitment” yang kuat pada sebuah merek agar loyalitas yang sebenarnya muncul Day, 1969; Jacoby and Chesnut 1978; Foxall and
Goldsmith, 1994; Mellens et al., 1996; Reichheld, 1996. Dari kesimpulan di atas terlihat bahwa sebuah set kepercayaan dan kesenangan yang terjadi
secara konsisten pada produk yang telah dibeli. Sikap ini dapat diukur dengan menanyakan seberapa banyak konsumen yang menyukai sebuah
merek, apakah mereka meresa berkomitmen dengan brand tersebut, akan merekomendasikannya dengan orang lain, dan mempunyai kepercayaan dan
perasaan yang baik pada produk tersebut – berhubungan dengan merek yang bersangkutan Dick and Basu, 1994. kekuatan dari sikap ini adalah
prediktor utama key predictor dari pembelian sebuah merek dan pembelian kembali. Hal ini adalah yang dipikirkan oleh Oliver 1997, p. 392 saat dia
mendefinisikan customer loyalty sebagai “sebuah komitmen yang dijaga dengan kuat untuk membeli atau berlangganan kembali, yang hal tersebut
dapat menyebabkan pembelian berulang pada merek yang sama meskipun pengaruh situasional situational influences dan upaya pemasaran
marketing efforts mempunyai potensi untuk menyebabkan switching behavior”.
Di dalam ranah pemasaran dan penelitian mengenai brand equity, model ini menerima dukungan konsep yang cukup banyak dari para peneliti
contoh Aaker, 1996; De Chernatony and McDonald, 1998; Keller 1998. Pendekatan ini juga menarik banyak praktisi di dalam periklanan dan
manajemen merek karena hal ini menyati dengan pencarian strategi untuk meningkatkan sikap seorang konsumen terhadap sebuah merek. Telebih
lagi, terdapat beberapa bukti yang menyatakan bahwa hal ini adalah strategi yang menguntungkan. Ahluwalia et al., 1999 telah menunjukkan bahwa
konsumen yang attitudinally loyal lebih sulit untuk terpengaruh oleh informasi negatif dari pada konsumen yang tidak loyal. Juga, saat loyalitas
pada sebuah merek semakin meningkat, tingkat pemasukan dari konsumen yang loyal lebih dapat diprediksi dan dapat menjadi pertimbangan
selanjutnya – hal ini berdasarkan analisis kasus yang dilakukan pada perusahaan besar seperti Federal Express, Pizza Hut, dealer cadillac
Gremler and brown, 1999. Sebuah perluasan dari sudut pandang “sikap menjelaskan loyalitas
attitude define loyalty” juga menyatakan bahwa konsumen membentuk sebuah hubungan dengan merek mereka. Hal ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Fournier 1998 yang memandang loyalitas sebagai hubungan timbal balik dan komitmen yang terjadi diantara konsumen dan
merek.