M. Ansyori Syabana R. : Penerapan Prinsip Good Corporate Governance GCG Pada BUMN Di PTP Nusantara IV Persero Medan, 2008.
USU Repository © 2009
komitmennya untuk melakukan yang terbaik bagi perusahaan dan para stakeholder-nya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan usaha yang sehat dan beretika adalah usaha yang
mampu mewujudkan kinerja optimal, berkelanjutan sustainable, dan memiliki keseimbangan internal maupun eksternal.
Dari uraian tadi terlihat keunggulan soft defenition dalam memberikan pemahaman mengenai esensi makna Tata kelola perusahaan yang baik. Namun demikian
upaya menjelaskan lebih lanjut soft defenition tersebut tidaklah selalu mudah karena menyangkut hal-hal yang sukar terukur disebabkan terkait dengan sifat-sifat atau
karakteristik kebaikan manusia pada umumnya, seperti komitmen, perilaku Fair adilwajar, sikap transparan, integritas dan lain sebagainya yang hendak dilihat di dalam
suatu organisasi.
B. Dasar Hukum Penerapan Good Corporate Governance
Perusahaan perseroan persero merupakan bagian dari Badan Usaha Milik Negara, oleh karena itu tunduk terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku pada Badan
Usaha Milik Negara. Ketentuan-ketentuan yang relevan adalah Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 dan Keputusan Menteri 117M-MBU2002 tanggal 1 Agustus 2002 tentang
Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara BUMN.
Keputusan Menteri BUMN No. KEP-117M-MBU2002 pasal 2 menyatakan: Ayat 1: BUMN wajib menerapkan good corporate governance secara konsisten dan atau
menjadikan good corporate governance sebagai landasan operasionalnya.
M. Ansyori Syabana R. : Penerapan Prinsip Good Corporate Governance GCG Pada BUMN Di PTP Nusantara IV Persero Medan, 2008.
USU Repository © 2009
Ayat 2: Penerapan good corporate governance pada BUMN dilaksanakan berdasarkan keputusan ini dengan tetap memperhatikan ketentuan dan prinsip yang berlaku dan
angggaran dasar BUMN. Ketentuan tersebut dimaksudkan sebagai perintah dari Menteri BUMN kepada
BUMN yang berada di bawah pengawasannya agar menjalankan prinsip good corporate governance,disamping sebagai upaya untuk memberikan landasan hukum dan pedoman
bagi BUMN dalam melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik. Adapun doktrin hukum moderen dalam Keputusan Menteri BUMN No. KEP-
117M-MBU2002 tersebut terdapat pada hal berikut ini. 1. Doctrine Fiduciary Duty
Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab direksi BUMN yang juga sebagai bagian dari piercing the corporate veil dalam ketentuan tersebut, antara lain diatur pada:
Pasal 3: tentang prinsip-prinsipgood corporate governance yang meliputi tansparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kewajaran fairness;
Pasal 8: pemegang sahampemilik modal tidak diperkenankan mencampuri kegiatan operasional perusahaan yang menjadi tanggung jawab direksi sesuai ketentuan anggaran
dasar perusahaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 15:
Ayat 1: Dalam melaksanakan tugasnya Direksi harus mematuhi Anggaran Dasar
BUMN dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat 2:
Direksi bertugas untuk mengelola BUMN dan wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada pemegang
sahampemilik modal.
M. Ansyori Syabana R. : Penerapan Prinsip Good Corporate Governance GCG Pada BUMN Di PTP Nusantara IV Persero Medan, 2008.
USU Repository © 2009
Ayat 3: Setiap anggota Direksi harus orang yang berwatak baik dan mempunyai
kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan jabatan yang diduduk inya.
Ayat 4: Direksi harus melaksanakan tugasnya dengan baik demi kepentingan
BUMN dan Direksi harus memastikan agar BUMN melaksanakan tanggung jawab sosialnya serta memperhatikan kepentingan dari berbagai
stakeholder sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 31: BUMN harus menghormati hak stakeholder yang timbul berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku danatau perjanjian yang dibuat oleh BUMN dengan karyawan, pelanggan, pemasok, dan kreditur serta masyarakat sekitar tempat usaha
BUMN, dan stakeholder lainnya. Pasal 32 ayat 3: BUMN wajib membuat suatu pedoman tentang perilaku etis, yang pada
dasarnya memuat nilai-nilai etika berusaha. Pasal 35 ayat 1: Dalam hal BUMN mencapai tingkat keuntungan, maka BUMN dapat
memberikan insentif kepada KomisarisDewan Pengawas, Direksi dan karyawan sebagai imbalan atas prestasi kerjanya.
Pasal 22 ayat 1: Direksi harus menetapkan suatu sistem Pengendalian internal yang efektif untuk mengamankan investasi dan aset BUMN.
2. Penyimpangan doctrine fiduciary duty Hal lain yang dimuat dalam Surat Keputusan Menteri BUMN tersebut yang masih
berkaitan dengan doctrine fiduciary duty adalah ketentuan yang dimuat dalam pasal 19 yang menyatakan “Perjanjian Penunjukan Anggota Direksi ditandatangani oleh anggota
Direksi yang bersangkutan dan kuasa pemegang sahampemilik modal pada saat
M. Ansyori Syabana R. : Penerapan Prinsip Good Corporate Governance GCG Pada BUMN Di PTP Nusantara IV Persero Medan, 2008.
USU Repository © 2009
penunjukan yang bersangkutan sebagai anggota Direksi, yang memuat persyaratan pennunjukan dan pemberhentian termasuk peran dan tanggung jawab”.
Tidak diketahui latar belakang, maksud dan tujuan dari ketentuan ini. Hal ini berarti bagi Direksi BUMN harus menandatangani perjanjian ini yang isinya juga telah
ditentukan dalam klausula tersebut. Walaupun sebenarnya hal ini merupakan persyaratan baru dan dapat diinterpretasikan lain, sebab isi dari perjanjian tersebut hakikatnya dapat
dimuat dalam anggaran dasar perseroan, yang juga dibuat oleh para pemegang saham. Disamping itu, pasal tersebut dilihat dari doctrine fiduciary duty tidak tepat,
karena pemilihan direksi perseroan harus berdasarkan prinsip standart of care dan prinsip kepercayaan pemegang saham kepada direksi perseroan. Aturan sebagai dasar hak dan
kewajiban direksi perseroan telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku dan doktrin-doktrin hukum.
Dengan demikian, hubungan hukum antara pemegang saham dengan direksi perseroan tidak lazim dibuat dalam bentuk “perjanjian” penunjukan. Penunjukan direksi
oleh pemegang saham harus berbentuk keputusan RUPS dan bukan berbentuk “perjanjian”. Sedangkan hak dan kewajiban direksi secara rinci dimuat dalam anggaran
dasar perseroan yang ditetapkan oleh RUPS. Anggaran Dasar perseroan tersebut seharusnya telah memuat hak dan kewajiban direksi. Sekali lagi, hubungan perseroan
dengan direksi harus berdasarkan trust dan fiducia dan pemegang saham tidak boleh menjadi alter ego, sebab dapat mengakibatkan pelanggaran doctrine piercing the
corporate veil. 3. Standard of Care
M. Ansyori Syabana R. : Penerapan Prinsip Good Corporate Governance GCG Pada BUMN Di PTP Nusantara IV Persero Medan, 2008.
USU Repository © 2009
Mengenai doktrin standard of care dalam ketentuan tersebut diatas, diatur dalam pasal 4.
Ayat a: Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung jawab, dan adil agar perusahaan
memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional. Ayat b: Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan dan efisien, serta
memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ. Ayat c: Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan
dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan yang berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial
BUMN terhadap stakeholder maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN. 4. Self Dealing Transaction dan Corporate Opportunity
Doctrine self dealing transaction dalam ketentuan tersebut di atur dalam pasal 20, yang menyatakan para anggota direksi dilarang melakukan transaksi yang mempunyai
benturan kepentingan dan mengambil keuntungan pribadi dari kegiatan BUMN yang dikelolanya selain gaji dan fasilitas sebagaimana anggaran direksi yang ditentukan oleh
RUPSpemilik modal. 5. Doctrine Business Judgement Rule
Doctrine business judgement rule diatur dalam pasal 3 huruf e yang menyatakan, kewajaran fairness yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak
stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal lain yang penting dalam ketentuan tersebut adalah adanya keharusan
membuat disenting opiniondissenting comments.
M. Ansyori Syabana R. : Penerapan Prinsip Good Corporate Governance GCG Pada BUMN Di PTP Nusantara IV Persero Medan, 2008.
USU Repository © 2009
Dalam ketentuan Menteri Negara BUMN tersebut diatur dalam pasal 21 ayat 3, yang menyatakan risalah rapat direksi harus dibuat untuk setiap rapat direksi dan dalam
risalah rapat tersebut harus dicantumkan pula pendapat yang berbeda dissenting comments dengan apa yang diputuskan dalam rapat direksi bila ada.
C. Prinsip-prinsip Good Corporate Governance