Transportasi Sistem Kekerabatan Masyarakat Angkola-Sipirok

Bahasa yang dipakai masyarakat Angkola-Sipirok pada kegiatan sehari-hari berbeda dengan bahasa yang dipakai dalam upacara-upacara adat dikarenakan dalam upacara- upacara banyak hal yang diumpamakan dan merupakan perlambangan yang memiliki arti tersendiri. Demikian juga hal ini dikemukakan oleh Matondang 11 1. Bahasa sehari-hari , mengatakan bahwa ada empat ragam bahasa etnik Angkola yakni : 2. Bahasa pantun 3. Bahasa ratapan andung 4. Bahasa adat

2.6 Transportasi

Jalan menuju Bunga Bondar sudah sangat baik dikarenakan jalan besar bukan merupakan jalan yang dipakai untuk jalan lintas Sumatera yang dilewati oleh berbagai angkutan umum. Transportasi di daerah ini sudah dapat dikatakan cukup baik. Angkutan yang tersedia adalah : sepeda motor, angkutan umum kota, dan juga mobil pengangkutan barang ke kota. Desa Bunga Bondar tidak lagi seperti desa yang susah untuk dikunjungi dikarenakan ada tempat wisata yang dapat dikunjungi seperti Danau Marsabut di daerah Bunga Bondar Sappulu X dan melewati desa Bunga Bondar. Meskipun desa Bunga Bondar hanya memiliki daerah sekitar 502 ha, namun dari segi tatanan desa, dan jalanan serta transportasi sudah dapat dikatakan baik sehingga bagi 11 Lihat www.mandailing.com, artikel Saiful Anwar tentang Teks dan Analisis Wacana Lisan Upacara Perkawinan Angkola_Mandailing, 2001. pendatang atau para wisatawan yang hendak berkunjung tidak mengalami kendala dalam fasilitas kenderaan.

2.7 Sistem Kekerabatan Masyarakat Angkola-Sipirok

Pada masyarakat Angkola-Sipirok ada disebut falsapah Dalihan Na Tolu Jojak di Bondul Na Opat. Dalihan dahulu diawali dari batu kemudian dibuat lagi dari besi dengan tiga kaki yang biasa dibuat untuk tungku tataring. Dahulu tungku ini ditancapkan pada lantai agar tidak goyang dan dan diatasnya dibuat kayu sebanyak empat dan inilah yang disebut dengan bondul. Bondul inilah yang akan menjaga dalihan yang berada di atas tungku agar tidak jatuh. Sehingga hal ini disebut falsapah bagi masyrakat Angkola-Sipirok dengan Dalihan Na Tolu Jojak di Bondul Na Opat. Dan dalam ketetapannya dikatakan: 1. Manat sangape jamot markahanggi 2. Elek marboru 3. Hormat Marmora Sedangkan Bondul Na Opat, yaitu: Hahutaon yang digambarkan pada Hatobangon-Harajaon Bonabulu. Dalam istilah Angkola-Sipirok, nasi dapat masak dengan lauknya di dalam periuk jika dimasak di atas tungku, artinya Dalihan Na Tolu adalah adat tetapi tidak boleh keluar dari aturan di daerah, oleh karena itu harus melibatkan Bondul Na Opat Hatobangon- Harajaon di dalam kerja adat. Falsapah Dalihan Na Tolu inilah yang menentukan tutur sapa masyarakat Angkola-Sipirok. Dalihan Na Tolu terdiri dari kahanggi, anak boru dan mora. a. Mora Mora artinya pengambilan perempuan untuk menjadi istri. Perempuan inilah yang akan menghasilkan keturunan supaya marga ayahnya tidak hilang dari garis keturunan berikutnya. Menurut orangtua dahulu, mora dalam keluarga adalah pemulapangkal dan mora itu adalah dari Pencipta, jiwanya memberi berkat dan juga pemberi wibawa kepada anakborunya. Apabila ada pertentangan di dalam keluarga maka mora akan menjadi pihak yang mendamaikan tidak memihak sebelah sehingga ada peribahasa yang mengatakan “Katian na so ra miling, batuan na so ra teleng“ yang berarti sebagai neraca beban dan anak timbangan tidak berat sebelah. Anakboru sangat percaya kepada moranya karena mora harus berdiri dengan kebenaran, bahkan dikatakan mora mau bertindak rugi demi kesenangan anakboru. Karena mora dikatakan juru damai bagi anakboru, maka lahirlah suatu umpama: Lelan ni Malombu Siliming ni Raniate Horas, mardame-dame anakboru Anso sumonang ate-ate Artinya seekor ikan yang bernama Lelan yang berasal dari Malombu dan ikan yang bernama Siliming yang berasal dari Raniate, diharapkan selamat dan damailah Anakboru agar mora tetap gembira dan senang. Penuturan dalam mora: 1. Nenek laki-laki dan yang perempuan dari pihak ibu kita disebut Ompung. 2. Kakak, abang, adik dari ibu kita disebut Tulang. 3. Istri dari tulang kita disebut Nantulang. 4. Anak laki-laki dari tulang kita disebut Tunggane 5. Anak perempuan dari tulang kita atau pariban kita disebut Anggi 6. Istri dari tunggane kita disebut Ompung 7. Anak lelaki dari tunggane kita disebut Tulang 8. Anak perempuan dari tunggane kita disebut Parumaen atau Maen 9. Tulang dari ibu kita= mora ni mora disebut Ompung 10. Anak laki-laki dari nenek ibu kita disebut Tulang. b. Kahanggi Kahanggi artinya teman semarga. Kahanggi terlihat keakrabannya dalam satahi semufakat, saparadaton teman seadat, sapanganan sepenganan, sapangupaansepenerima berkah, salaksak sasingkoru saanak saboru anak dari yang satu dan anak yang satu lagi dalam pengertian luas sama-sama anaknya, sajop ni roha satu kegembiraan, salungun satu kerinduan, samalu sabile dihina satu berarti semua yang dihina. Penuturan dalam kahanggi : 1. Bapak ibu dari bapak kita disebut Ompung 2. Ayah kandung dari ayah kita disebut Amang 3. Ibu kandung kita disebut Inang 4. Anak laki-laki yang tertua dari kita disebut Angkang 5. Anak laki-laki yang termuda dari kita disebut Anggi 6. Kakak atau adik perempuan dari ayah kita disebut Namboru 7. Anak perempuan dari ayah kita disebut Ito 8. Anak perempuan namboru dari ayah kita disebut Ito 9. Abang dari ayah kita disebut Amantua 10. Adik laki-laki dari ayah kita disebut Uda 11. Istri dari amantua kita disebut Nantua 12. Istri dari uda kita disebut Nanguda 13. Anak laki atau anak perempuan dari kita disebut Amang-Inang 14. Cucu dari ayah kita terhadap nenek kita disebut Nini dan Nono 15. Cucu kita terhadap nenek kita disebut Ondok-Ondok Dalam ikatan markahanggi diharapkan terjalin hubungan yang erat karena dimana dan kapan saja mereka tetaplah satu keluarga. Seperti peribahasa dalam masyarakat Angkola-Sipirok: “Tampulon aek do na marhamaranggi, sigaton lalai do na Marmora” artinya, sifat air yang dihempang tidak akan menyatu karena ada penghempangnya tetapi kalau sudah ditarik maka mereka akan menjadi satu. Dan inilah yang menjadi nasehat orangtua yang sudah pertama sekali diamalkan untuk menjauhkan selisih markahanggi. Perselisihan ini sering muncul dikarenakan harta warisan dari ompung dan orang tua. Dan untuk menjaga agar perselisihan ini tidak terjadi maka dibuatlah sebuah umpama yang berisi: Habang na Ambaroba Tu bona ni sanduduk Nada ra au marbada Nada ra au pangulut Artinya tidak mau ceroboh dan tidak mau berkelahi dalam hal harta warisan dari nenek. c. Anak Boru Anak boru artinya kelompok yang diberi gadis untuk menjadi istri dan menantu. Sementara yang mengambil anak gadis ini disebut bere dibagian mora dan bere yang akan membantu mora. Meskipun boru anak perempuan tersebut sudah menikah dan memiliki keluarga yang baru, rasa sayang tidak akan berhenti bahkan semakin bertambah dalam doa supaya memiliki keturunan dan dapat diperhitungkan bagi masyarakat. Kedudukan boru anak perempuan tidak jauh berbeda dengan anak laki-laki. Penuturan dalam Anak boru : 1. Kakak ataupun adik perempuan dari ayah disebut Namboru 2. Suami dari namboru kita disebut Amangboru 3. Anak lelaki dari amangboru kita disebut Lae 4. Anak perempuan dari amangboru kita disebut Ompung 5. Anak dari lae kita disebut Bere 6. Mantu dari amangboru kita disebut Ito 7. Tutur ibu kita terhadap amangboru kita disebut Ompung 8. Yang mengambil bere kita disebut Bere Huladongan Sistem kekerabatan pada masyarakat Angkola adalah patrilineal garis keturunan ayah. Dan berdasarkan garis patrilineal inilah keturunan dibentuk kelompok-kelompok marga. Matondang mengatakan bahwa marga yang termasuk ke dalam etnis Angkola-Sipirok adalah Siregar, Harahap. Pohan, Hasibuan, Hutasuhut, Daulae, Rambe, dan Pane.

2.8 Kesenian