Perkawinan Model Padang Pengembalaan Angonan.

2.2.4.5. Perkawinan Model Padang Pengembalaan Angonan.

Bahan dan alat berupa padang pengembalaan yang pada umumnya dekat hutanperkebunan maupun di ladang sendiri yang dilengkapi dengan kandang kecil berupa gubuk untuk memperoleh pakan tambahan atau air minum terutama pada saat musim kemarau yang banyak diperoleh di dekat hutan atau Indonesia Bagian Timur Aryogi 2006 dalam Lukman Affandhy dkk 2007. Model ini kotoran sapi dan dapat langsung jatuh di ladang milik sendiri atau milik petani lain yang berfungsi menambah kesuburan tanah ketika musim tanam. Kapasitas areal angonan sangat luas dan dapat diangon hingga ratusan ekor betina dan beberapa pejantan, yakni hingga 60-100 ekor induk dengan 2-3 pejantan rasio betina : pejantan 100:3 dengan memperoleh hijauan pakan rumput atau tanaman hutan. Manajemen perkawinan dengan cara angon dapat dilakukan oleh petani atau kemitraan antara kelompok perbibitan sapi potong rakyat dengan perkebunan atau kehutanan seperti di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Induk bunting tua maupun setelah beranak tetap langsung diangon bersama pedetnya. 2. Bila ada sapi yang terlihat gejala birahi langsung dipisah untuk diamati keadaan birahinya. Selanjutnya setelah diketahui bahwa sapi tersebut birahi benar, maka langsung dapat dikawinkan dengan pejantan terpilih dan ditaruh dikandang dekat rumah. 3. Setelah dua hari dikawinkan selanjutnya dapat dilepaskan kembali ke hutan atau padang angonan Tim Prima Tani Way Kanan, 2007. Universita Sumatera Utara 4. Pergantian pejantan dapat dilakukan selama tiga kali beranak guna menghindari kawin keluarga. 5. Sapi induk yang positif bunting tua akan beranak sebaiknya dipisah dari kelompok angonan hingga beranak dan diletakkan di pekarangan yang dekat dengan rumah atau dikandangkan dengan diberikan pakan tambahan berupa konsentrat atau jamu tradisional terutama pada sapi induk pasca beranak. Perbandingan anak jantan dan betina yang lahir pada kedua musim tidak menunjukkan adanya pengaruh musim tersebut. Jumlah anak yang lahir pada musim hujan sebanyak 40 ekor dengan sex ratio 60 jantan dan 40 betina sedangkan pada musim kemarau jumlah anak yang lahir sebanyak 30 ekor dengan 18 ekor jantan dan 12 ekor betina 60 : 40. Angka kematian antara umur 0 sampai dengan 5 bulan pada musim kemarau lebih tinggi jika di bandingkan dengan angka kematian anak yang lahir dan hidup pada musim hujan. Masing- masing jumlah anak yang lahir dan yang mati selama priode musim kemarau dan hujan dalam Lukman Affandhy dkk 2007

2.2.4.6. Reproduksi