Sapi Bali Produksi Landasan Teori 1. Sapi Potong

Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi asal Indonesia yang mempunyai potensi untuk di kembangkan. Sapi bali mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan baru sehingga sering di sebut dengan ternak perintis Astuti 2009 . Sapi bali di jumpai di Indonesia yang telah didomistikasi dari sapi liar masih di jumpai di Ujung Kulon di sebut banteng bos sundaicus. Jantan sapi bali berwarna coklat tua pada umur 1,5 tahun, dan betina coklat muda. Kehidupan sapi bali di pulau Bali daily-gain atau pertambahan berat hidup mencapai 0,6-0,7 kghariekor, sedangkan si betina dapat beranak setiap 1,5-2 tahunsekali. Apabila si pejantan dikebiri warnanya kembali seperti warna si betina Sitepoe 1996.

2.2.2. Sapi Bali

Sapi bali adalah keturunan sapi liar yaitu banteng yang telah mengalami proses penjinakan selain itu sapi bali banyak mempunyai keunggulan sama halnya menurut Suharjawanasuria keunggulan sapi bali sebagai berikut; 1. Subur cepat berkembang biak fertilitas tinggi 2. Mudah beradaptasi dengan lingkungannya, 3. Dapat hidup di lahan kritis. 4. Mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan. 5. Persentase karkas yang tinggi. 6. Harga yang stabil dan bahkan setiap tahunnya cenderung meningkat. 7. Khusus sapi bali Nusa Penida, selain bebas empat macam penyakit, yaitu jembrana, penyakit mulut dan kuku, antraks, serta MCF Malignant Catarrhal Fever. Sapi Nusa Penida juga dapat menghasilkan vaksin penyakit jembrana. Universita Sumatera Utara 8. Kandungan lemak karkas rendah. 9. Keempukan daging tidak kalah dengan daging impor. 10. Fertilitas sapi bali berkisar 83 - 86 , lebih tinggi dibandingkan sapi eropa yang 60 . 11. Karakteristik reproduktif antara lain : periode kehamilan 280 - 294 hari, rata- rata persentase kebuntingan 86,56 , tingkat kematian kelahiran anak sapi hanya 3,65 , persentase kelahiran 83,4 , dan interval penyapihan antara 15,48 - 16,28 bulan.

2.2.3 Karakteristik Peternak

Hasil penelitian Yanti 1997 menemukan bahwa karakteristik peternak dapat menggambarkan keadaan peternak yang berhubungan dengan keterlibatannya dalam mengelola usaha ternak. Karakteristik peternak bisa mempengaruhi dalam hal mengadopsi suatu inovasi. Karakteristik peternak sebagai individu yang perlu diperhatikan untuk melihat apakah faktor-faktor ini akan mempengaruhi respon peternak terhadap inovasi yang diperkenalkan Sumarwan 2004. Simamora 2002 juga mengatakan bahwa karakteristik seseorang mempengaruhi cara dan kemampuan yang berbeda dalam bentuk persepsi, informasi apa yang diinginkan, bagaimana menginterpretasi informasi tersebut. Universita Sumatera Utara Karakteristik individu adalah bagian dari pribadi dan melekat pada diri seseorang. Karakteristik ini mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi yang lainnya Rogers dan Shoemaker, 1971 dalam Rini Sri Damihartini at All. 2004. dalam Rini Sri Damihartini dan Amri Jahi, 2005.

2.2.3.1. Umur

Klausmeir dan Goodwin 1966 dalam Haryadi 1997 berpendapat bahwa umur pengajar maupun pelajar merupakan salah satu karakteristik penting yang berkaitan dengan efektivitas belajar dimana kapasitas belajar seseorang tidak merata, tetapi menurut perkembangan umurnya. Kapasitas belajar akan naik sampai usia dewasa kemudian menurun dengan bertambahnya umur. Dahama dan Bhatnagar 1980 dalam Haryadi 1997 juga menyatakan bahwa kapasitas belajar akan terus menaik sejak anak mengenal lingkungan dimana kenaikan tersebut berakhir pada awal dewasa yaitu umur 25 tahun sampai 28 tahun, kemudian menurun secara drastis setelah umur 50 tahun. Umur seseorang pada umumnya dapat mempengaruhi aktivitas petani dalam mengelola usahataninya, dalam hal ini mempengaruhi kondisi fisik dan kemampuan berpikir. Makin muda umur petani, cenderung memiliki fisik yang kuat dan dinamis dalam mengelola usahataninya, sehingga mampu bekerja lebih kuat dari petani yang umurnya tua. Selain itu petani yang lebih muda mempunyai keberanian untuk menanggung resiko dalam mencoba inovasi baru demi kemajuan usahataninya Syafrudin 2003.

2.2.3.2. Pendidikan

Universita Sumatera Utara Menurut Wiraatmadja 1977 pendidikan merupakan upaya untuk mengadakan perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman yang sudah diakui dan direstui oleh masyarakat, lebih lanjut Slamet dalam penelitian Haryadi 1977 menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi tingkat pemahamannya terhadap sesuatu yang dipelajarinya. Muhibinsyah 1995 dalam Kasup 1998 menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku manusia melalui pengajaran, tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting diperhatikan dalam melakukan suatu kegiatan, karena melalui pendidikanlah pengetahuan dan keterampilan serta perubahan sikap dapat dilakukan. Mardikanto 1990 menyatakan bahwa pendidikan petani umumnya mempengaruhi cara dan pola pikir petani dalam mengelola usahatani. Pendidikan yang relatif tinggi menyebabkan petani lebih dinamis dalam Rini Sri Damihartini at all. 2004. dalam Rini Sri Damihartini dan Amri Jahi, 2005. Suhardiyono 1995 dalam Kasup 1998, juga menyatakan bahwa para ahli pendidikan mengenal tiga sumber utama pengetahuan bagi setiap orang yaitu: 1 pendidikan informal, yaitu proses pendidikan yang panjang yang diperoleh dan dikumpulkan seseorang berupa pengetahuan, keterampilan, sikap hidup dan segala sesuatu yang diperoleh dari pengalaman pribadi sehari-hari dari kehidupan di dalam masyarakat; 2 pendidikan formal, yaitu struktur dari sistem pendidikanpengajaran yang kronologis dan berjenjang lembaga pendidikan mulai dari pra sekolah sampai ke perguruan tinggi; 3 pendidikan nonformal adalah Universita Sumatera Utara pengajaran sistematis yang diorganisir dari luar pendidikan formal bagi sekelompok orang untuk memenuhi keperluan khusus seperti penyuluhan pertanian.

2.2.3.3 . Jumlah Tanggungan Keluarga

Menurut Syafrudin 2003 jumlah tanggungan keluarga merupakan salah satu sumberdaya manusia yang dimiliki peternak, terutama yang berusia produktif dan ikut membantu usaha ternaknya tanggungan keluarga juga bisa menjadi beban keluarga jika tidak aktif bekerja.

2.2.3.4. Pengalam Peternak dan Jumlah Ternak

Pengalaman beternaknya cukup lama akan lebih mudah diberi pengertiannya Margono dan Asngari, 1969. Jumlah ternak sapi yaitu ternak utama yang diusahakan peternak sebagai mata pencaharian utama oleh peternak, dihitung dalam satuan ternak ST. Lahan merupakan sarana produksi bagi usahatani, termasuk salah satu faktor produksi dan pabrik hasil pertanian. Lahan adalah sumberdaya alam fisik yang mempunyai peranan sangat penting bagi petani Mosher, 1965. dalam Rini Sri Damihartini at all. 2004. dalam Rini Sri damihartini dan Amri Jahi 2005. Padmowihardjo 1994, mengemukakan bahwa pengalaman baik yang menyenangkan maupun mengecewakan berpengaruh pada proses belajar seseorang. Motivasi berusahatani motivasi merupakan usaha yang dilakukan oleh manusia untuk menimbulkan dorongan berbuat atau melakukan tindakan. Universita Sumatera Utara Motivasi dapat menjelaskan alasan seseorang melakukan sesuatu tindakan Padmowihardjo, 2002 dalam Rini Sri Damihartini at all. 2004.

2.2.3.5. Ketersediaan Modal Usahatani

Modal adalah faktor penunjang utama dalam kegiatan berusahatani. Hal ini dikarenakan tanpa modal usahatani niscaya petani akan sulit mengembangkan usahatani yang dilakukan Wolf, 1985. dalam Rini Sri Damihartini at all. 2004. 2.2.4. Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong 2.2.4.1. Pakan Makanan hijauan adalah semua bahan makanan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun daunan. Termaksud kelompok makanan hijauan ini adalah bangsa rumput, grmaninae, legominosa, dan hijauan dari tumbuh tumbuhan lain. Kebutuhan hijauan makanan pada setiap jenis hewan berbeda –beda. Hewan hewan ternak seperti sapi, kerbau dan kambing memerlukan jumlah hijauan lebih banyak dari pada hewan hewan seperti babi dan bangsa unggas. Perbedaan ini terutama pasa sistem alat pencernaan yang berlainan.AAK, 1983. Hewan- hewan ternak yang tergolong memiliki sistem alat pencernaan ini makanan pokok hewan ini adalah hijauan. Sedangkan kebutuhan akan makanan penguat sekedar makanan tambahan saja. Pada umumnya jumlah hijauan yang di berikan pada ternak tersebut 10 dari berat hidup, sedangkan makanan penguat Universita Sumatera Utara di berikan 1 saja. Sapi potong memerlukan hijauan hijauan hampir 80 dari seluruh makanan yang di perlukan AKK, 1983. Menurut Anonim, 2008 bahan dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan pakan konvensional dan bahan pakan subtitusi, yaitu: 1. Bahan pakan konvensional adalah bahan baku yang sering digunakan dalam pakan yang biasanya mempunyai kandungan nutrisi yang cukup misalnya Protein dan disukai ternak. 2. Bahan pakan konvensional merupakan bahan makro seperti jagung, bungkil kedelai, gandum, tepung ikan dan bahan lainnya. Ternak ruminansia membutuhkan sejumlah serat kasar dalam ransumnya agar proses pencernaanya berlansung secara optimal. Sumber utama serat kasar adalah hijauan. Oleh karena itu, ada batasan minimal pemberian hijauan dalam komponen ternak ruminansia. Untuk penggemukan ternak ruminansia misalnya, kebutuhan minimal hijauan berkisar antara 0,5-0,8 bahan kering dari bobot badan ternak yang di gemukkan. Apabila usaha penggemukan ternak ruminansia dilakukan dalam waktu relatif singkat maka di perlukan konsentrat yang banyak dalam komponen ransumnya. Namun perlu diketahui bahwa pemberian konsentrat yang lebih dari 60 dalam komponen ransumnya tidak akan ekonomis lagi walaupun harganya murah. Kenneth dkk, 1960 dalam Sori Basya Siregar, 1996.

2.2.4.2. Manfaat Air dalam Usaha Ternak

Menurut Abidin, Zaenal 2002, air juga berfungsi untuk memandikan sapi, karena tubuh sapi mudah sekali kotor akibat terkena tanah berair becek dan Universita Sumatera Utara daki dari keringatnya sendiri atau dari kotoran sapi sendiri, agar selalu bersih, sebaiknya sapi di mandikan sekali sehari, caranya kulit sapi di gosok- gosok dengan sikat, spon, atau bahan lain sehingga bersih. Air minum yang di berikan pada sapi sebaiknya harus bersih dan tersedia setiap saat, tempat air minum di buat permanen berupa bak semen dan letaknya lebih tinggi dari pada permukaan lantai untuk mempermudah sapi minum, kebutuhan air minum pada sapi mencapai 70 liter ekor hari Sasroamidjojo 1975. Ketersediaan air minum perlu di perhitungkan terlebih dahulu sebelum suatu usaha pemeliharaan sapi di mulai karena air mutlak dibutuhkan. Ketersediaan air di perlukan untuk mencukupi kebutuhan air minum, pembersihan kandang atau halaman. Distribusi air kesetiap lapang ternak atau halaman pengelolaan harus terjamin, banyaknya air yang tersedia sangat penting sekali terutama pada ladang ternak ranch. Ladang ternak yang menampung 180 ekor sapi dan ternak minum 2 kali sehari akan memerlukan bak air minum dengan volume tidak kurang dari 4.500 liter Parhan A.P 1969.

2.2.4.3. Selang Beranak Calving Interval

Lama kebuntingan adalah priode dari mulai terjadinya fertilasi sampai terjadinya kelahiran normal Jainudeen dan Hafez, 2000. Lama kebuntingan ini berbeda dari satu bangsa ternak ke bangsa ternak lainnya. Lama kebuntingan sapi pada penelitian ini adalah 284,4 + 5, 7 hari dengan kisaran 278,8 sampai 290,1 hari. Lama kebuntingan untuk sapi bali telah banyak dilaporkan Davendra et.al Universita Sumatera Utara 1973 melaporkan lama kebuntingan sapi bali adalah 287 + 0,7 hari ; dengan kisaran 276 -295 hari Lubis dan Sitepu, 1998.lamanya kebuntingan di pengaruhi oleh jenis sapi, jenis kelamin dan jumlah anak yang dikandung dan faktor lain seperti umur induk, musim, sifat genetik dan letak giografis Lama kebuntingan pada sapi bali sekitar 280-294 hari Davendra et al,1973, lama kebuntingan tersebut di pengaruhi oleh jenis kelamin, iklim, kondisi makanan dan umur induk Diagra et al 1979 , selanjutnya di tambahkan oleh Jainudeen dan Hafez 2000 bahwa pertumbuhan dan perkembangan fetus juga di pengaruhi oleh faktor genetik spesies, bangsa ukuran tubuh dan genotip, faktor lingkungan industri dan plasenta serta faktor hormonal, sementara Fane 1990 menyatakan bahwa kisaran bobot lahir sapi bali adalah 13-18 kg atau 9-20 kg Anonimus ,1979. Bobot lahir anak ditemukan oleh bangsa industri, umur atau aripitas induk dan makanan induk sewaktu mengandung Sutan,1988. Jarak beranak kerbau rata- rata 2-3 Tahun Guntoro et al ,2001, di bandingkan dengan sapi bali yang selang beratnya berkisar 350-589 hari Darmadja,1981.dalam Suprio Guntoro dan M. Rai Yasa 2002 Tanari 2011 menyebutkan bahwa perkembangan sapi bali sangat cepat di banding lainya karena tingkat kesuburanya yang tinggi, persentase beranak dapat mencapai 80 dengan bobot lahir berkisar antara 9-20 kg Anomimus ,1979, Jainudeen dan Hafez, 2000. Pada penelitian ini, dari sejumlah 799 Kelahiran ternyata lama kebuntingan pada sapi bali antara anak jantan dan anak betina tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Lama kebuntingan pada induk yang mengandung anak jantan adalah 284 lama kebuntingan pada induk yang Universita Sumatera Utara mengandung anak jantan adalah 284,9 ± 5,7 hari, dan induk yang mengandung anak betina hampir sama yaitu 283,9 ± 5,6 hari. Performans reproduktivitas yang tinggi pada sapi bali ditandai dengan aktivitas ovarium dan perkawinan kembali kurang dari 2 bulan sesudah melahirkan Talib et al., 2001, sehingga memberikan tingkat efisiensi reproduksi yang lebih baik dibading dengan sapi PO Putu et al.,1998. Aktivitas ovarium pada sapi betina biasanya muncul beberapa minggu setelah melahirkan, tergantung oleh kondisi tubuh induk selama menyusui laktasi. Talib et al. 1998 menyatakan bahwa sapi bali rela mengorbankan anaknya dengan cara meminimkan produksi susunya agar aktivitas reproduksinya siklus birahi segera aktif kembali setelah melahirkan, sedangkan sapi potong lainnya kebalikannnya yaitu menghentikan aktivitas reproduksinya dan terfokus pada pembesaran anaknya. dalam Endang Ramjali dan Ainur Rasyid 2007. Ball dan Peters 2004 menyatakan dalam produksi sapi potong, reproduksi yang baik sangat penting untuk efisiensi manajemen dan keseluruhan produksi. Reproduksi terbaik adalah seekor induk menghasilkan satu anak setiap tahun.

2.2.4.4. Rasio Pejantan dan Betina

Salah satu kesuksesan untuk mendapatkan anak sapi melalui kawin alam adalah kemampuan mengenal kekuatan lingkungan yang mendukung, dan bangsa ternak lokal yang telah terbukti adaftip pada lingkungan. Untuk sapi potong, sekitar 95 sistim perkawinan yang dilakukan di Amerika Serikat dan Australia Universita Sumatera Utara adalah secara alam Omarry dan Dyer, 1978; Hafez, 1993. Teknik perkawinan dengan inseminasi buatan IB pada sistim penggembalaan dilaporkan pada beberapa peternakan dan hasil kebuntingan yang didapat cukup tinggi, yaitu berkisar 74-84 pada IB pertama Wiltbank, 1970. Beberapa faktor yang perlu mendapat perhatian antara lain: 1 pemilihan pejantan dan 2 perbandingan pejantan dan betina .Dalam Polmer Situmorang dan I Putu Gede

1. Pemilihan Pejantan

Pemilihan pejantan yang unggul secara genetik menjadi sangat penting untuk meningkatkan produksi ternak baik secara kuantitas maupun kualitas. Pengaruh bangsa ternak terhadap pertumbuhan anaknya telah dilaporkan oleh Baker 1996. Disamping pemilihan bangsa pejantan, penilaian performa pejantan yang bersangkutan juga diperlukan antara lain : kondisi kaki, testes, penis, internal genitalia melalui palpasi rektal, kualitas semen dan cacat. Testes yang kecil dan lunak merupakan indikasi produksi semen yang rendah. Hubungan antara luas testes dan kualitas semen sudah ditunjukan oleh Reddy et al. 1996. Faktor lain yang perlu dilakukan adalah menyiapkan kondisi pejantan yang prima karena disamping memproduksi semen juga harus mempunyai libido yang tinggi dan fisik yang memungkinkan untuk mendeteksi birahi dan mengawini betina Chenoweth, 1981. Pemberian pakan yang baik, sehinggga total konsumsi mencapai 12-16 TDN, 1,32-2,37 protein tercerna, 35-45.000 IU carotein dan 18- 20 mg phosphor per hari selama 90-100 hari sebelum penyatuan pejantan dengan kelompok betina, dapat meningkatkan persentase kebuntingan dan produksi anak Omarry dan Dyer ,1978 dalam Polmer Situmorang dan I Putu Gede. Universita Sumatera Utara

2. Perbandingan Pejantan dan Betina

Disamping kualitas genetik pejantan perbandingan pejantan, dengan betina sangat mempengaruhi produktivitas. Penentuan perbandingan antara jantan dan betina dipengaruhi banyak faktor, antara lain keadaan topografi padang penggembalaan, umur pejantan, kondisi pastura, pakan dan sumber air yang tersedia dan lama perkawinan. Topografi yang jelek, keadaan pastura dan air yang terbatas, memerlukan jumlah pejantan yang lebih banyak. Perbandingan jantan dan betina antara 30-60 telah dipraktekkan secara luas Hafez, 1993, dan nisbah yang lebih kecil yaitu 1: 25 untuk waktu perkawinan yang lebih singkat, yaitu 60- 90 hari Omarry and Dyer 1978. Disamping perbandingan jantan betina, jumlah pejantan per satu kelompok perkawinan juga dapat dilakukan untuk meningkatkan daya kompetisi pejantan untuk mengawini ternak betina ataupun sistim rotasi dimana selalu satu ekor pejantan per satuan jangka waktu tertentu. Kedua sistim perkawinan alam ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan sistim rotasi dapat mengoptimalkan performans pejantan yang digunakan dimana pejantan mendapat kesempatan untuk istirahat, pemulihan kondisi dengan suplementasi makanan dan peningkatan produksi dan deposito semen. Kekurangannya adalah memerlukan extra tenaga kerja, dan penanganan pejantan selama pengeluaran dari kelompok yang tidak sempurna dapat merupakan stress tambahan untuk pejantan, dan akan mempengaruhi kualitas semen dalam Polmer Situmorang dan I Putu Gede. Universita Sumatera Utara

2.2.4.5. Perkawinan Model Padang Pengembalaan Angonan.

Bahan dan alat berupa padang pengembalaan yang pada umumnya dekat hutanperkebunan maupun di ladang sendiri yang dilengkapi dengan kandang kecil berupa gubuk untuk memperoleh pakan tambahan atau air minum terutama pada saat musim kemarau yang banyak diperoleh di dekat hutan atau Indonesia Bagian Timur Aryogi 2006 dalam Lukman Affandhy dkk 2007. Model ini kotoran sapi dan dapat langsung jatuh di ladang milik sendiri atau milik petani lain yang berfungsi menambah kesuburan tanah ketika musim tanam. Kapasitas areal angonan sangat luas dan dapat diangon hingga ratusan ekor betina dan beberapa pejantan, yakni hingga 60-100 ekor induk dengan 2-3 pejantan rasio betina : pejantan 100:3 dengan memperoleh hijauan pakan rumput atau tanaman hutan. Manajemen perkawinan dengan cara angon dapat dilakukan oleh petani atau kemitraan antara kelompok perbibitan sapi potong rakyat dengan perkebunan atau kehutanan seperti di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Induk bunting tua maupun setelah beranak tetap langsung diangon bersama pedetnya. 2. Bila ada sapi yang terlihat gejala birahi langsung dipisah untuk diamati keadaan birahinya. Selanjutnya setelah diketahui bahwa sapi tersebut birahi benar, maka langsung dapat dikawinkan dengan pejantan terpilih dan ditaruh dikandang dekat rumah. 3. Setelah dua hari dikawinkan selanjutnya dapat dilepaskan kembali ke hutan atau padang angonan Tim Prima Tani Way Kanan, 2007. Universita Sumatera Utara 4. Pergantian pejantan dapat dilakukan selama tiga kali beranak guna menghindari kawin keluarga. 5. Sapi induk yang positif bunting tua akan beranak sebaiknya dipisah dari kelompok angonan hingga beranak dan diletakkan di pekarangan yang dekat dengan rumah atau dikandangkan dengan diberikan pakan tambahan berupa konsentrat atau jamu tradisional terutama pada sapi induk pasca beranak. Perbandingan anak jantan dan betina yang lahir pada kedua musim tidak menunjukkan adanya pengaruh musim tersebut. Jumlah anak yang lahir pada musim hujan sebanyak 40 ekor dengan sex ratio 60 jantan dan 40 betina sedangkan pada musim kemarau jumlah anak yang lahir sebanyak 30 ekor dengan 18 ekor jantan dan 12 ekor betina 60 : 40. Angka kematian antara umur 0 sampai dengan 5 bulan pada musim kemarau lebih tinggi jika di bandingkan dengan angka kematian anak yang lahir dan hidup pada musim hujan. Masing- masing jumlah anak yang lahir dan yang mati selama priode musim kemarau dan hujan dalam Lukman Affandhy dkk 2007

2.2.4.6. Reproduksi

Suryana 2009 Produksi daging sapi dalam negeri yang belum mampu memenuhi permintaan tersebut terkait dengan adanya berbagai permasalahan dalam pengembangan sapi potong beberapa permasalahan tersebut adalah: 1 usaha bakalan atau calf-cow operation kurang diminati oleh pemilik modal karena secara ekonomis kurang menguntungkan dan di butuhkan waktu pemeliharaan yang lama, 2 adanya keterbatasan pejantan unggul pada pembibitan dan Universita Sumatera Utara peternak, 3 ketersediaan pakan tidak kontinyu dan kualitasnya rendah terutama di musim kemarau, 4 pemanfaatan limbah pertanian dan angroindustri pertanian sebagai bahan pakan belum optimal, 5 efisiensi reproduksi ternak rendah dengan jarak beranak calving interval yang panjang.

2.2.5. Produksi

Meskipun banyak keunggulan dari sapi bali, tetapi ditinjau dari pengembangannya terutama usaha peternakan rakyat masih sering muncul beberapa permasalahan diantaranya pola perkawinan yang kurang benar sering terjadi inbreeding perkawinan sedarah, minimnya pengetahuan tentang deteksi berahi sehingga terjadi perkawinan dengan waktu yang tidak tepat, hal ini juga dapat mempengaruhi pruduksi ternak sapi menurun drastis Reksohadiprojo, S. 1984. Rendahnya produksi dikarenakan angka kebuntingan sehingga menyebabkan jarak beranak calving interval yang terlalu panjang lebih dari 18 bulan yang berdampak terhadap rendahnya perkembangan populasi sapi pertahun dan Akibatnya terjadi penurunan income petani dalam usaha ternaknya, dan dikurangnya pengetahuan peternak tentang teknologi tepat guna Sudono, A ,1969. Faktor produksi usahatani ternak pada dasarnya adalah tanah dan alam sekitarnya, tenaga kerja, modal serta peralatan. Namun demikian, ada beberapa pendapat yang memasukan manajemen sebagai faktor produksi ke empat walaupun tidak langsung Suratiah, K 2008. Universita Sumatera Utara Ternak sapi potong sebagai salah satu sumber makanan berupa daging, produktivitasnya masih sangat memperhatikan karena volumenya masih jauh dari target yang di perlukan konsumen, hasil ini di sebabkan oleh produksi daging masih rendah Anwar 2002. Beberapa faktor yang menyebapkan produksi rendah, yaitu : 1. Populasi rendah Rendahnya populasi ternak sapi karena umumnya sebagian besar ternak sapi potong yang di pelihara oleh peternak masih dalam skala kecil, dengan lahan dan modal yang sangat terbatas. 2. Produksi rendah Tingkat produksi rendah akibat faktor tujuan pemeliharaan dan penggunaan bibit belum memadai, serta pakan yang masih rendah. • Faktor bibit • Faktor pakan tersedia terbatas Menurut Guntoro 2008, sapi bali mulai berproduksi antara 2,5 sampai 3 tahun selama 1 tahun sekali. Hal ini juga sangat bergantung pada pakan dan pemeliharaan yang baik dengan berat bakalan bekisar antara 200-300 kg dengan kisaran umur 1-2 tahun.

2.2.6. Regresi Linier Berganda