33
2.2.4. Keterbatasan Model Input-Output
Keterbatasan alat analisis ini karena memerlukan asumsi-asumsi agar model I-O relevan untuk digunakan. Asumsi-asumsi sekaligus menjadi menjadi
keterbatasan atau kelemahannya sebagaimana disebutkan oleh BPS 1999, adalah :
1. Keseragaman homogeneity, yaitu asumsi bahwa setiap sektor hanya
memproduksi satu jenis output barang dan jasa dengan struktur input tunggal seragam dan tidak ada substitusi otomatis antar output dari sektor yang
berbeda. 2.
Kesebandingan proportionality, yaitu asumsi bahwa kenaikan penggunaan input oleh suatu sektor akan sebanding dengan kenaikan output yang
dihasilkannya. 3.
Penjumlahan additivity, yaitu asumsi bahwa jumlah pengaruh kegiatan produksi diberbagai sektor merupakan penjumlahan dari pengaruh pada
masing-masing sektor tersebut. 4.
Ekses kapasitas atau kapasitas sumberdaya berlebih. Artinya, sisi penawaran selalu bisa merespon perubahan sisi permintaan, sehingga interaksi antara
permintaan dan penawaran tdak pernah menimbulkan kesenjangan diantara keduanya.
5. Salah satu kelemahan yang dianggap paling mendasar dari model analisis ini
adalah adanya asumsi dimana variabel harga diperlakukan secara eksogen, dan keterbatasan yang lain karena model ini tidak memiliki persamaan prilaku
behavioral equations yang mampu menjelaskan perubahan nilai variabel dari waktu ke waktu Azis, 1996.
2.3. Penelitian Terkait yang Sudah Dilakukan
Ketika paradigma pembangunan ekonomi lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi, ternyata tidak memuaskan banyak pihak. Maka sejak saat
itu masalah equity atau pemerataan banyak menjadi perhatian orang. Karenanya,
kerangka analisis Input-Output I-O dan Social Accounting Matrix SAM yang
34
mampu menggambarkan lebih detail mengenai distribusi hasil pembangunan yang telah dicapai suatu bangsa atau negara, dengan segala kekurangan dan
kelebihannya, mulai banyak digunakan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wuryanto 1996, pada awalnya SAM digunakan untik menggambarkan secara
komprehensif distribusi pendapatan, konsumsi dan faktor produksi dalam suatu perekonomian. Para peneliti umumnya menggunakan kedua alat analisis di atas
mencoba mengungkapkan dan mencari jawabannya, “siapa menerima apa” dari hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan,
Penelitian dengan menggunakan analisis I-O di Indonesia sampai saat ini sudah banyak digunakan. Sumartono 1985, mencoba mengungkapkan
keterkaitan dan ketergantungan sektor pertanian dalam struktur perekonomian di Iindonesia. Dari hasil studi ini, disimpulkan bahwa keterkaitan langsung antar
sektor pertanian dengan sektor non-pertanian masih relatif lemah. Ini menandakan output sektor pertanian belum banyak digunakan oleh sektor lain,
demikian pula output sektor lain belum banyak digunakan oleh sektor pertanian. Secara kuantitatif, nilai rata-rata koefisien keterkaitan langsung ke depan besarnya
0.44, dan nilai rata-rata koefisien keterkaitan kebelakang besarnya 0.34. Hal ini menunjukkan belum adanya keseimbangan antara sektor pertanian dengan sektor
non-pertanian dalam struktur ekonomi Indonesia tahun 1980. Sarkaniputra 1986, dari hasil penelitiannya yang berjudul
Analisis Input- Output sebagai Kerangka Strategi Pembangunan Pertanian merumuskan strategi
pembangunan pertanian, antara lain: 1. Kebijakan yang berorientasi pada perluasan lapangan kerja di sektor agribisnis
yang disertai dengan perbaikan penghasilan melalui sistem bagi hasil; 2. Kebijakan yang berorientasi pada pembangunan organisasi yang ditujukan
untuk mrmperkuat institusi sosial yang telah ada, pengaturan kepastian pemilikan tanah, besar sewa dan bagi hasil;
3. Kebijakan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi di daerah pedesaan.
35
Selanjutnya Hafsah 1989, dalam studinya yang berjudul Analisis Sosial
Ekonomi Tebu Rakyat Intensifikasi TRI dan Dampaknya terhadap Struktur Perekonomian Wilayah, yang dilakukan di Propinsi Jawa Tengah menyimpulkan
sebagai berikut : 1. Usahatani tebu ikut memberikan kontribusi pada total output wilayah dan
PDRB di Propinsi Jawa Tengah. Kendati kontribusi tersebut secara absolut tidak terlalu besar, tetapi menduduki peringkat pertama pada sub-sektor
perkebunan, dan peringkat keenam pada kelompok sektor pertanian. 2. Usahatani tebu di wilayah ini mampu menyerap sekitar 1.2 persen dari total
kesempatan kerja wilayah, atau sekitar 21 persen dari kesempatan kerja sub- sektor perkebunan.
3. Usahatani tebu memberikan koefisien pengaruh ganda pendapatan dan pengaruh ganda kesempatan kerja yang relatif tinggi, di atas rata-rata nilai
koefisien pengaruh ganda kelompok sektor pertanian; dan kontribusi sektor industri gula terhadap output wilayah, PDRB dan pendapatan wilayah tidak
terlallu menonjol bila dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Studi tentang pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi Propinsi
Jambi dianalisis dengan model Input-Output oleh Sastrowiharjo 1989, Hasil studi ini menemukan bahwa:
1. Pertumbuhan ekonomi di Propinsi Jambi ditentukan oleh permintaan akhir, yang terdiri dari : konsumsi rumahtangga, pengeluaran pemerintah rutin,
pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek pembangunan, investasi swasta, stok dan ekspor.
2. Struktur perekonomian Propinsi Jambi pada tahun 1984 menunjukkan perubahan yang jelas, yang ditunjukkan oleh menurunnya sumbangan sektor
pertanian pada PDRB Propinsi Jambi pada tahun 1978 sebesar 53.46 persen, menjadi 44.46 persen tahun 1984. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan
kelompok sektor bukan pertanian lebih besar bila dibandingkan dengan pertumbuhan sektor pertanian.
36
3. Dalam kelompok sektor pertanian sendiri, telah terjadi perubahan struktural dari dominasi karet kearah struktur yang makin seimbang.
Kerangka analisis I-O juga digunakan oleh Dasril 1993 dalam penelitiannya yang berjudul
Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Produksi Sektor dalam Industrialisasi di Indonesia, tahun 1971-1990, menyimpulkan
bahwa : 1.
Dalam periode kebijakan substitusi impor, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami masa pertumbuhan pertumbuhan tinggi 1971-1980 dan masa
pertumbuhan rendah 1980-1985 disertai oleh pertumbuhan sektor pertanian yang relatif stabil. Pada periode tahun 1971-1980, perubahan struktur
produksi sektor pertanian yang diukur dengan pangsa subsektor pertanian dalam PDB, relatif kecil. Mulai tahun 1985 terjadi perubahan pangsa sektor
pertanian yang ditunjukkan oleh meningkatnya pangsa subsektor peternakan dan perikanan. Dengan demikian telah terjadi perubahan struktur produksi
sektor pertanian yang mengarah kepada subsektor yang permintaannya relatif lebih elastis.
2. Sumber pertumbuhan sektor pertanian yang paling dominan adalah konsumsi
swasta, baik pada periode 1971-1985 maupun pada periode 1985-1990, tetapi dengan kecenderungan yang semakin menurun. Bagi subsektor peternakan
dan perikanan, penurunan sumbangan konsumsi swasta pada periode 1985- 1990, diimbangi dengan peningkatan sumbangan perkembangan ekspor.
3. Pembentukan modal tetap relatif kecil sumbangannya dalam semua subsektor
pada kedua periode tersebut, tetapi kecenderungannya meningkat terutama pada subsektor tanaman bahan makanan dan peternakan.
4. Bagi subsektor perkebunan dan kehutanan, konsumsi swasta dan
perkembangan ekspor memberikan sumbangan yang cukup berarti pada kedua periode tersebut. Pembentukan modal tetap pada subsektor perkebunan relatif
kecil sumbangannya terhadap pertumbuhan, sedangkan subsektor kehutanan memberikan sumbangan yang cukup berarti.
37
Sembiring 1995, juga menggunakan analisis I-O dalam menganalis peranan agroindustri terhadap pembangunan ekonomi di Propinsi Sumatera Utara.
Hasil studi ini, menjelaskan bahwa sektor agroindustri memberikan kontribusi terbesar pada output dan ekspor di Propinsi Sumatera Utara masing-masing
sebesar 26.3 persen dan 33.9 persen tetapi juga sekaligus menjadi pengimpor terbesar 45 persen untuk proses produksinya, sehingga mengakibatkan defisit
terbesar, yaitu sebesar 34.89 persen. Kontribusi sektor agroindustri terhadap nilai tambah dan kesempatan kerja masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor
pertanian, tetapi produktivitas tenaga kerja disektor ini lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas di sektor pertanian. Dikemukakan juga bahwa sektor
agroindustri merupakan salah satu sektor utama dalam pembangunan ekonomi di Sumatera Utara tahun 1990. Fakta di lapangan juga menunjukkan keterkaitan
output tidak langsung antara sektor pertanian dan sektor agroindustri, ini berarti sektor pertanian kurang mendukung sektor agroindustri dan terjadi pula
sebaliknya. SAM sebagai kerangka analisis mampu memberikan gambaran yang lebih
komprehensif bila dibandingkan dengan kerangka analisis I-O, belakangan ini mulai banyak digunakan. Analisis SAM di berbagai negara, sudah dilakukan
mulai akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970. Sebagai contoh, studi tentang SAM untuk United Kingdom sudah dilaksanakan pada tahun 1968, Sri Lanka
tahun 1970, Malaysia tahun 1970, Swaziland tahun 1971-1972, dan Botswana tahun 1974-1975 Pyatt dan Round, 1985b
Untuk kasus Indonesia, analisis SAM baru mulai dilakukan pertengahan tahun 1980-an. Downey 1984, melakukan penelitian untuk disertasi, mencoba
menganalisis ketimpangan pendapatan yang terjadi di Indonesia, untuk melihat siapa mendapat apa
Who gets What. Untuk menggambarkan kondisi ini, Downey melakukan disagregasi terhadap institusi rumahtangga berdasarkan
kepemilikan tanah pertanian, buruh tani, buruh non-pertanian, desa-kota, dan lain sebaginya. Kemudian baru dianalisis distribusi pendapatan yang diterima oleh
masing-masing klasifikasi rumahtangga tersebut. Pendapatan terendah diterima oleh rumahtangga buruhtani sedangkan yang tertinggi diterima oleh tenagakerja
38
perkotaan dan diikuti oleh pemilik tanah di atas lima hektar. Selanjutnya, Badan Pusat Statistik 1986, menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi istilah lain
dari SAM dan Model Keseimbangan Umum untuk melihat pengaruh turunnya harga minyak dan subsidi minyak terhadap distribusi pendapatan. Analisis SAM
juga dapat digunakan untuk menganalisis distribusi pendapatan antar sistem usahatani tanaman dan ternak, daerah-daerah produksi, buruh tani dan tenaga
kerja wanita, dilakukan oleh Budiyanti dan Schreiner 1991. Sutomo 1995, dengan memngunakan analisis SAM mencoba
membandingkan kemiskinan dan pembangunan ekonomi yang terjadi pada dua wilayah, yaitu Propinsi Riau dan Propinsi Nusa Tenggara Timur NTT.
Diperoleh hasil bahwa dalam pembangunan ekonomi yang dilakukan selama ini telah terjadi ketimpangan pendapatan antar kedua wilayah NTT dan Riau, dan
ketimpangan juga terjadi antar kelompok rumah tangga dikedua wilayah. Masyarakat miskin dengan pendapatan terendah diterima oleh rumahtangga
buruh non-pertanian dan tertinggi pada kelompok rumahtangga bukan buruh di sektor non-pertanian terjadi pada kedua propinsi. Ketimpangan pendapatan ini
ditunjukkan oleh indeks gini kedua propinsi tersebut melebihi 0.5. Sedangkan dengan menggunakan analisis distribusi pendapatan faktorial, menunjukkan
propinsi NTT intensif tenaga kerja sedangkan di propinsi Riau terjadi sebaliknya, yaitu intensif modal. Ini berarti pada kedua propinsi, bila terjadi peningkatan
penggunaan tenaga kerja dan modal memiliki peranan penting dalam meningkatkan nilai tambah broto wilayah.
Antara 1999, yang meneliti dampak pengeluran pemerintah dan wisatawan terhadap kinerja perekonomian Propinsi Bali, menyimpulkan hal-hal
berikut : Proses produksi dalam perekonomian Bali lebih mengarah pada padat modal, hal ini ditunjukkan dengan kontribusi faktor modal lebih besar bila
dibandingkan dengan kontribusi faktor tenaga kerja. Distribusi pendapatan institusional antar golongan rumah tangga, dan distribusi pendapatan antar
regional antar kabupaten di Propinsi Bali berada pada ketimpangan relatif ringan. Ini berarti pembangunan perekonomian Bali yang memprioritaskan tiga
sektor, yaitu : pertanian, pariwisata dan industri kecil telah menunjukkan hasil
39
yang relatif baik. Dikemukakan juga bahwa pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur ekonomi menimbulkan efek pengganda yang trelatif besar terhadap
pendapatan faktor produksi, pendapatan rumahtangga, dan permintaan output sektor produksi. Demikian pula halnya dengan pengeluaran wisatawan memiliki
efek terhadap perekonomian, utamanya terhadap pendapatan faktor produksi, pendapatan rumahtangga, dan permintaan output sektor produksi. Ini
menunjukkan bahwa sektor pariwisata memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor produksi, seperti sektor pertanian, industri, dan jasa.
Penelitian tentang struktur ekonomi Indonesia dan pengaruhnya pada industri kayu mentah dengan menggunakan analisis SAM, dilakukan oleh
Prihawantoro dan Resosudarmo 1999. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa tekanan kuat terhadap peningkatan produksi kayu mentah tidak hanya datang dari
sektor-sektor produksi yang menggunakan bahan utama kayu, tetapi juga dari sektor-sektor produksi lain yang berbasiskan pertanian dan pedesaan. Dari blok
institusi, rumahtangga pedesaan dan pertanian memberikan tekanan yang paling kuat tekanan langsung terhadap kegiatan produksi kayu mentah. Sedangkan dari
blok faktor produksi, faktor produksi yang berhubungan dengan pertanian dan pedesaan juga memberikan tekanan yang paling kuat terhadap industri kayu
mentah. Analisis SAM regional dapat juga digunakan untuk menganalisis
keterkaitan sosial-ekonomi antar propinsi atau antar wilayah dua wilayah atau lebih. Analisis ini dikenal dengan analsis SAM Interregional IRSAM. Analisis
IRSAM untuk Malaysia sudah dilakukan tahun 1970 Pyatt dan Round, 1985, dengan membagi wilayah Malaysia menjadi dua wilayah, yaitu : Malaysia Barat
dan Malaysia Timur. Studi IRSAM di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Hidayat 1991. Hidayat membagi wilayah Indonesia menjadi dua wilayah makro
Jawa dan Luar Jawa dan tujuh wilayah mikro, masing-masing tiga wilayah mikro di Jawa, dan empat wilayah mikro untuk luar Jawa. Studi ini digunakan
untuk menguji struktur dan keterkaitan interdependence antar kedua wilayah
makro dan menunjukkan implikasinya pada perekonomian secara menyeluruh, termasuk didalamnya : distribusi pendapatan, peningkatan produksi dan kinerja
40
ekspor dari sektor-sektor yang berlainan antara wilayah pinggir dengan wilayah pusat.
Studi interregional juga dilakukan dengan menggunakan model Interregional Computable General Equilibrium IRCGE, yang merupakan
peningkatan dari IRSAM, seperti yang dilakukan oleh Tumenggung 1995 dan Wuryanto 1996. Tumenggung membangun model IRCGE dengan menggunakan
menggunakan kerangka IRSAM Indonesia yang dibangun oleh Hidayat sebagai tabel dasar, dengan membagi wilayah Indonesia menjadi dua, Jawa dan Luar
Jawa. Wuryanto 1996, dengan menggunakan model CGE, menganalisis
keterkaitan antara desentralisasi fiskal dengan kinerja ekonomi Indonesia. Wuryanto juga mengelompokkan Indonesia menjadi dua wilayah makro; Jawa
dan Luar Jawa, seperti halnya Hidayat dan Tumenggung. Dari hasil studinya ditemukan bahwa desentralisasi fiskal dapat meningkatkan pendapatan
rumahtangga regional hampir disemua wilayah region, terutama di Jawa. Namun, peningkatan pendapatan rumahtangga di Luar Jawa yang awalnya rendah
cenderung menimbulkan ketimpangan pendapatan.
41
III. KERANGKA TEORI 3.1. Kerangka Teori Pembangunan Ekonomi Regional
Untuk melihat kinerja perekonomian suatu wilayah atau suatu propinsi biasanya digunakan indikator-indikator makroekonomi, seperti peningkatan
pendapatan masyarakat, peningkatan lapangan kerja dan pemerataan pendapatan Tarigan, 2004. Dalam konteks analisis input-output regional dan tampilan
struktur ekonomi daerah dalam tabel input-output regional, maka beberapa pengertian yang dianggap layak untuk dibahas dalam rangka menganalisis kinerja
perekonomian suatu daerah atau propinsi adalah : 1 pertumbuhan ekonomi ekonomi daerah atau regional, 2 pendapatan daerah berupa produk domestik
regional bruto PDRB, dan 3 distribusi pendapatan. 3.1.1. Pertumbuhan Ekonomi Regional
Seperti sudah disinggung dalam bab sebelumnya, pengertian pertumbuhan ekonomi pada dasarnya terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan
jasa dalam suatu perekonomian. Pertumbuhan menyangkut perkembangan berdimensi tunggal dan diukur dengan meningkatnya hasil produksi output dan
pendapatan. Berbeda dengan pembangunan ekonomi, yang mengandung arti lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara
menyeluruh. Pendapatan daerah atau pendapatan regional menunjukkan tingkat
kegiatan ekonomi yang dicapai oleh suatu daerah pada tahun tertentu. Sedangkan pertumbuhan ekonomi daerah menunjukkan perubahan tingkat kegiatan ekonomi
daerah yang terjadi dari tahun ketahun. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui tingkat pertumbuhan ekonomi daerah kita harus membandingkan pendapatan
daerah tersebut dari tahun ke tahun. Dalam
membandingkan besarnya
nilai pendapatan daerah di suatu daerah,
haruslah diketahui bahwa perubahan nilai pendapatan daerah yang terjadi dari tahun ke tahun tersebut, dapat disebabkan oleh dua faktor, yaitu; 1 perubahan
tingkat kegiatan ekonomi, dan 2 perubahan harga-harga. Oleh karena itu, untuk