Undang-Undang Pemerintahan Daerah di Indonesia

104

V. PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

5.1. Undang-Undang Pemerintahan Daerah di Indonesia

Pelaksanaan pembangunan daerah di Indonesia, khususnya pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, dapat dilihat dari perangkat perundang-undangan yang telah digunakan di Indonesia mulai tahun 1945 sampai sekarangtahun 2005. Pelaksanaan pembangunan daerah atau pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, tercermin dalam Undang-Undang UU tentang Pemerintahan Daerah yang telah mengalami perubahan sebanyak delapan kali dalam kurun waktu 60 tahun Marbun, 2005. Kedelapan undang-undang tersebut adalah: 1. Undang-Undang No.1 Tahun 1945, tentang Peratutan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, ditetapkan tanggal 23 Nopember 1945. 2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, ditetapkan tanggal 10 Juli 1948. 3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, ditetapkan tanggal 17 Januari 1957. 4. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959, tentang Pemerintahan Daerah, ditetapkan tanggal 7 September 1959. 5. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang ditetapkan tanggal 1 September 1965. 6. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, ditetapkan tanggal 23 Juli 1974. 7. Undang-Undang No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah, ditetapkan tanggal 7 Mei 1999. 8. Undang-Undang No.32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, ditetapkan tanggal 15 Oktober 2004. Dari semua UU tentang Pemerintah Daerah di atas, ternyata UU Nomor 5 Tahun 1974 yang paling lama digunakan di Indonesia, yaitu selama 24 tahun pada masa pemerintahan orde baru, dari tahun 1974 sampai dengan tahun 1998. 105 Kaloh 2002, mengatakan bahwa otonomi daerah bila dilihat perkembangannya di Indonesia, dapat merupakan isu menarik untuk dicermati. Semenjak pendiri negara menyusun format negara Indonesia, isu menyangkut pemerintahan lokal sudah diakomodir dalam pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya. Pemerintahan Daerah dalam pasal 18 UUD 1945 sebenarnya telah diakui keragaman dan hak asal-usul daerah yang merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Sehingga meskipun Negara RI menganut negara kesatuan, dimana pusat kekuasaan berada pada Pemerintah Pusat, namun dengan menyadari berbagai heterogenitas yang dimiliki bangsa Indonesia baik kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun keragaman tingkat pendidikan masyarakat maka desentralisasi atau distribusi kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah perlu dialirkan kepada daearah otonom. Sejak kemerdekaan sampai dengan saat ini, distribusi kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah selalu bergerak pada titik keseimbangan yang berbeda. Perbedaan itu sangan jelas terlihat dengan menggunakan konsep bandul yang selalu bergerak secara simetris pada dua sisi yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan kata lain, pada suatu waktu bobot kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan pada kesempatan lain bobot kekuasaan ada di tangan pemerintah daerah. Kodisi ini dapat disebabkan karena dua hal, yaitu : 1. Sampai saat ini Indonesia telah memiliki delapan UU tentang Pemerintahan Daerah. Masing-masing UU Pemerintahan Daerah tersebut memiliki ciri dan karakteristik tersendiri termasuk pengaturan tentang seberapa besar pembagian bobot kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jika dicermati secara analitis, ternyata bahwa titik berat bobot kekuasaan berpindah-pindah pada masing-masing kurun waktu berlakunya suatu UU tentang Pemerintahan Daerah. 2. Adanya perbedaan interpretasi dan implementasi terhadap UU tentang Pemerintahan Daerah yang disebabkan karena adanya kepentingan penguasa. UU Nomor 5 Tahun 1974 adalah merupakan UU tentang Pemerintah Daerah yang diimplementasikan pada masa pemerintahan orde baru. UU ini bertujuan 106 untuk membangun dan menjaga integrasi nasional, serta persatuan dan kesatuan nasional yang kuat, sementara itu di sisi lain tetap menjamin munculnya inovasi dan kreativitas daerah yang mengacu pada paradigma otonomi daerah. Hanya saja dalam pelaksanaannya telah terjadi deviasi, karena kekuasaan dan dominasi pemerintah pusat menjadi sangat besar sehingga menyebabkan ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat menjadi semakin besar. Sebagai suatu sistem pemerintahan terutama bagi negara yang berukuran besar penduduk dan wilayahnya ternyata sentralisasi telah gagal bahkan hancur walau dipimpin secara ditaktor. Sadar akan kelemahan tersebut, hampir semua negara besar melaksanakan desentralisasi dengan memberi otonomi kepada daerah-daerahnya. Hal ini dilakukan oleh Indonesia untuk pertama kalinya setelah disahkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut The Liang Gie, alasan dianutnya desentralisasi bagi suatu negara besar, adalah Kaho, 1988 : 1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani. 2. Dalam bidang politik penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi. 3. Untuk mencapai pemerintahan yang efisien. 4. Dari sudut kultural, desentralisasi perlu diadakan supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada kekhususan suatu daerah, seperti goegrafi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan, atau latar belakang sejarahnya. 5. Dari sudut pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut. 107 Rumusan desentralisasi dari The Liang Gie, ternyata sebagian besar tertampung dalam isi Amandemen Pasal 18 UUD 1945 Tahun 2000. Selanjutnya Kaho 1988, juga mengatakan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dengan diberlakukannya sistem desentralisasi, sebagai berikut: 1. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan. 2. Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak membutuhkan tindakan yang cepat, Daerah tidak perlu menunggu instruksi lagi dari pemerintah pusat. 3. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan. 4. Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan diferensiasi dan pengkhususan spesialisasi yang berguna untuk kepentingan tertentu. 5. Dengan adanya desentralisasi teritorial, daerah otonom dapat merupakan laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. 6. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat. 7. Dari segi psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kepuasan bagi daerah-daerah karena sifatnya lebih langsung. Kaho 1988 secara berimbang juga mengatakan bahwa desentralisasi mengandung kelemahan-kelemahan, antara lain : 1. Karena besarnya organ pemerintahan, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks yang mempersulit koordinasi. 2. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan daerah dapat lebih mudah terganggu. 3. Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut daerahisme atau propinsialisme. 4. Keputusan yang diambil memerlukan waktu, lama, karena memerlukan perundingan yang bertele-tele. 5. Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman dan kesederhanaan. 108 Pendapat Kaho di atas, memberikan gambaran bahwa selain ada rasa optimis akan manfaat dari pelaksanaan desentralisasi, juga cukup banyak yang merasa pesimis. Selanjutnya, pada pembahsaan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia hanya terbatas pada dua masa pemerintahan yang dianggap cukup relevan untuk mewakili pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, yaitu: 1 pelaksanaan otonomi daerah dimasa pemerintahan orde baru, dan 2 pelaksanaan otonomi daerah pada pemerintahan pasca orde baru sampai dengan saat ini.

5.2. Pelaksanaan Otonomi Daerah Masa Pemerintahan Orde Baru