Kajian Kepadatan Zooxanthellae pada Tingkat Eutrofikasi yang Berbeda di Perairan Kepulauan Spermonde Kota Makassar Provinsi Sulawesi –Selatan

(1)

EUTROFIKASI YANG BERBEDA DI KEPULAUAN

SPERMONDE KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI

SELATAN

ISMAIL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian kepadatan zooxanthellae pada tingkat eutrofikasi yang berbeda di perairan kepulauan Spermonde kota Makassar provinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2010

Ismail


(3)

ISMAIL.Kajian Kepadatan Zooxanthellae di dalam Jaringan Karang pada Tingkat Eutrofikasi yang Berbeda di Perairan Kepulauan Spermonde Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.

Dibimbing oleh ARIO DAMAR dan JAMALUDDIN JOMPA.

Fluktuasi kepadatan zooxanthellae sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan. Salah satu faktor yang berpengaruh pada kondisi perairan adalah masukan nutrien, terutama nitrat dan fosfat. Masukan nutrien ke dalam perairan akan memicu pertumbuhan alga termasuk meningkatkan kepadatan zooxanthellae.

Di sisi lain zooxanthellae bersama inangnya karang (polip) tumbuh normal di kondisi perairan yang miskin nutrien (oligotrofik), dan justru pada kondisi perairan yang banyak nutrien (eutrofik) menyebabkan karang tidak berkembang baik. Sebagian besar sumber nutrien zooxanthellae disuplai dari inangnya, selebihnya diambil dari lingkungan,

Kajian kepadatan zooxanthellae di dalam jaringan karang pada kedalaman 2-3 meter di 3 lokasi berbeda yaitu pulau Laelae, pulau Barrang Lompo dan pulau Lanyukang bertujuan untuk mengkaji fluktuasi kepadatan zooxanthellae di perairan yang terkena masukan nutrien (eutrofikasi) dari daratan utama, sedangkan manfaat penelitian ini akan menambah informasi bagi pengelolaan terumbu karang di masa yang akan datang khususnya di Kepulauan spermonde.

Dalam penelitian ini, parameter yang dipakai untuk menilai tingkat eutrofikasi perairan adalah berdasarkan konsentrasi nitrat, fosfat dan total padatan tersuspensi (TSS). Adapun metode penelitian yang digunakan dalam menghitung kepadatan zooxanthellae yaitu dengan cara permukaan sampel karang dikerik dengan lempengan tipis yang terbuat dari stainless, dan hasil kerikan ini disimpan dalam formalin 4%, lalu digerus di dalam cawan petri sampai halus, kemudian diambil satu tetes dan dimasukkan perlahan-lahan ke haemocytometer, lalu dihitung di bawah mikroskop, sedangkan bekas kerikan sampel karang dihitung luasnya.

Berdasarkan hasil perhitungan, kisaran kepadatan zooxanthellae terendah di pulau Laelae 1,53 x 105 sel/cm2, tertinggi 2,76 x 105 sel/cm2 , di pulau Barrang Lompo terendah 2,98 x 105 sel/cm2, tertinggi 6,45 x 105 sel/cm2, dan pulau Lanyukang terendah 4,83 x105 sel/cm2, tertinggi 7,89 x 105 sel/cm2

Adanya perbedaan kepadatan zooxhantellae antar pulau pada kedalaman 2-3 meter diduga kuat disebabkan oleh faktor sumber masukan nutrien yang berbeda antar pulau dimana masukan nutrien pulau Laelae di pengaruhi dari

runoff kota Makassar dan pulau Lanyukang dipengaruhi masukan nutrien dari resuspensidan upwelling yang terjadi di Selat Makassar. sedangkan pulau Barrang Lompo relativ tidak dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut, runoff dan upwelling. . Sedangkan dengan statistik ANOVA satu faktor diperoleh Fhitung (9,34) >Ftabel (5,14) atau p<0,05, ini menunjukkan bahwa ada perbedaan kepadatan zooxhantellae antar pulau.

Kata kunci: Kepulauan spermonde, daratan utama, kepadatan zooxanthellae, nutrien,runoff, upwelling.


(4)

YANG BERBEDA DI KEPULAUAN SPERMONDE KOTA

MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

ISMAIL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(5)

yang Berbeda di Perairan Kepulauan Spermonde Kota Makassar Provinsi Sulawesi –Selatan.

Nama Mahasiswa : Ismail

Nomor Pokok : C 252080394

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)

Disetujui Komisi Pembimbing:

Dr. Ir. Ario Damar, M.Si Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc Ketua Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S


(6)

(7)

Puji syukur hanya kepada Allah SWT karena atas segala karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Judul dari tesis ini adalah Kajian Kepadatan Zooxanthella di dalam Jaringan Karang pada Tingkat Eutrofikasi yang Berbeda di Perairan Kepulauan Spermonde Kota Makassar Provinsi Sulawesi –Selatan. Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Ario Damar, M.Si dan Bapak Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam penulisasn tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Mennofatria Boer, DEA sebagai ketua Program Studi beserta staf pengajar dan staf administrasi atas bimbingan dan bantuan selama studi penulis di SPL-IPB

3. Direktur PMO COREMAP II Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan Perikanan beserta seluruh jajarannya atas beasiswa yang diberikan kepada penulis

4. Ayahanda H. Abdullah Umum dan Ibunda Hj. Mantasiah Dg Baji, yang telah membesarkan dan membimbing dari kecil hingga sampai sekarang serta bapak mertua (H. Areif Makkadara) Ibu mertua (Hj.Darmawan) atas dukungan dan doanya

5. Mantan Direktur Akademi Perikanan Sorong (APSOR) yang member izin untuk melanjutkan studi Strata Dua (S2), para pembantu direktur APSOR. 6. Para dosen staf APSOR .

7. Teristimewa untuk istriku Irjayanti A. SE dan anak-anakku tersayang Muh rizky, shafa S.Ginaya, Israini. Terimakasih atas pengertian, kasih sayang dan doa yang kalian berikan.

8. Drs. Dirham Kambe, MM sekeluarga dan bapak Jasman dan Andi Lela beserta keluarga atas dukungan moril dan material selama penulis mengukuti studi program pasca sarjana di IPB.

9. Teman-teman sandwich program 2008 seperti; Imelda, Yudha, Leri Barnabas, Heri, Iceng, Nita dan lainnya, yang tidak sempat disebutkan di sini atas dukungan dan bantuannya serta saran dan kritikannya.

Akhirnya dalam segala keterbatasan, penulis berharap kiranya tulisan ini dapat bermanfaat dan menjadi sumber informasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan.

Bogor, September 2010


(8)

Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 23 Januari 1973 dari Ayah Abdullah Umum dan Ibu Mantasiah Dg. Baji. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus tahun 1998. Semenjak Tahun 2001 Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Akademi Perikanan Sorong, Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDM-KP) Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Pada tahun 2008 penulis diberi kesempatan mengikuti program magister sains (S-2) Sandwich Program kerja sama antara Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB Bogor dan The Tyukyus University, Okinawa, Jepang dengan bantuan beasiswa dari COREMAP II-World Bank.


(9)

xix

Halaman

DAFTAR TABEL……… xxi

DAFTAR GAMBAR ……….. xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ……….. xxv

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ……..……… 1

1.2. Tujuan Penelitian ……… 3

1.3. Manfaat Penelitian ……… 3

1.4. Rumusan Masalah ……… 3

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tingkat Kerusakan Terumbu Karang ……… 5

2.2. Terbentuknya Endosimbiosis …….……… 5

2.3. Hewan Karang 2.4. Zooxanth Sebagai Host (Inang) ……… 6

e 2.5. Sturuktur Karang dan Letak Zooxanthellae ……… 6

llae sebagai Simbion Alga ………. 6

2.6. Zooxanthellae dan Bentuk Simbiosisnya dengan Karang……….. 7

2.7. Peran Zooxanthellae Dalam Polip Karang ………. 8

2.8. Kepadatan Zooxanthellae ……… 10

2.9. Variasi Pola Makan Karang ………. 10

2.10.Faktor lingkungan dan Zooxanthellae ……….. 11

2.10.1.Suhu ……… 11

2.10.2.Salinitas ……… 11

2.10.3.Total Suspended Solid (TSS) ……… 12

2.10.4.Kecerahan dan Cahaya ……… 12

2.11 Fosfat ……… 13

2.12 Nutrien dan Kehidupan Karang ……….. 13

2.13 Eutrofikasi dan Terumbu Karang 14

2.14 Kepadatan zooxanthellae dan Bioindikator ……….. 16

3. METODE PENELITIAN 3.1.Lokasi dan Waktu Penelitian ……… 17

3.2.Alat dan Bahan Penelitian ………. 17

3.3.Metode Pengambilan Data ………. 18


(10)

3.3.2. Data Parameter Fisika, Kimia, Biologi Perairan ………… 18

3.3.3. Data Kepadatan Zooxanthellae ……….. 19

3.4.Analisis Data ……….. 19

3.4.1. Perhitungan Kelimpahan Fitolankton………. 19

3.4.2. Perhitungan Kepadatan Zooxanthellae………. 20

3.4.3. Perhitungan Kecerahan ……… 20

3.4.4. Analisis Kepadatan Zooxanthellae dan Kelimpahan Fitoplankton ………... 21

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Kepulauan Spermonde ………. 23

4.1.1. Pulau Laelae ……….. 24

4.1.2. Pulau Barrang Lompo ……… 25

4.1.3. Pulau Lanyukang ……… 26

4.2. Kondisi Perairan Pulau Laelae, Pulau Barang Lompo dan Pulau Lanyukang ……….. 27

4.2.1. Total Suspended Solid (TSS) ……….. 27

4.2.2. Nitrat ……… 30

4.2.3. Ortofosfat ……….. 31

4.3. Jenis dan Kelimpahan Fitoplankton ……… 32

4.4. Keterkaitan Fitoplankton dengan Kondisi Perairan………. 35

4.5.Kepadatan zooxanthellae Nutrien ……… 37

4.6.Total Suspended Solid (TSS) dan Kepadatan Zooxanthellae …… 41

4.7.Keterkaitan Kepadatan zooxanthellae dan Kelimpahaan Fitoplankton 4.8.Kepadatan Zooxanthellae dan Pengelolaan Terumbu Karang …… 43

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ………. 47

5.2. Saran……… 47

DAFTAR PUSTAKA ………. 49


(11)

xxi

Halaman 1 Klasifikasi Tingkat Pencemaran Berdasarkan Kadar TSS Menter

Lingkungan Nomor 51 Tahun 2004. ………. 12

2 Baku Mutu air laut untuk biota laut Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004……… 14

3 Posisi dan Jarak Kepulauan Spermonde dari Daratan Utama

(Mainland) Kota Makassar …..……… 21

4 Parameter kwalitas perairan Pulau Laelae Survei Tahun 2005……… 25

5 Kondisi Parameter Oseanografi Pulau Barrang Lompo Tahun 2005 …… 26

6 Kondisi Parameter Perairan Pulau Laelae, Barrang Lompo dan

Lanyukang Kota Makassar ……… 27

7 Jenis dan Kepadatan Fitoplankton di perairan Pulau Laelae,

Pulau Barrang Lompo dan Pulau Lanyukang ………. 33

8 Kriteria kesuburan berdasarkan N dan P serta nilai biomas

dan produktifitas primer fitoplankton ……….. 33

9 Kriteria Kesuburan Berdasarkan N dan P serta Nilai Biomas dan

Produktivitas Primer Fitoplankton ……… 35 10 Kriteria Kesuburan Perairan Menurut Joshimura in Liaw 1969 …..…….. 33

11 Kepadatan zooxanthellae pada lokasi penelitian di pulau


(12)

xxiii

Halaman 1 Potongan melintang Anemone dan zooxanthella

dalam jaringan gastrodermis

2 Peta Lokasi Penelitian di kepulauan Spermonde ………. 17

……… 7

3 Foto Pulau Laelae Kota Makassar ……… 24

4 Foto Pulau Barrang Lompo Kota Makassar……… 25

5 Konsentrasi TSS (mg/l) di Pulau Laelae, Pulau Barrang Lompo dan pulau Lanyukang ……… 28

6 Konsentras Nitrat di Pulau Laelae, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Lanyukang………. 30

7 Konsentrasi Ortofosfat di Pulau Laelae, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Lanyukang ………. 32

9 Jenis dan Kepadatan Fitoplankton di Pulau Laelae, Pulau Barrang Lompo, dan Pulau Lanyukang ………. 34

10 Jenis Karang dan Kepadatan zooxanthellae di Pulau Laelae, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Lanyukang ………. 39

11 Kepadatan zooxanthellae dan Kelimpahan Fitoplankton di Pulau Lae-lae Pulau Barrang Lompo dan Pulau Punyukang ………. 42


(13)

xxv

Halaman 1 Data dan perhitungan kepadatan zooxanthellae ……… 50

2 Data dan perhitungan kelimpahan fitoplankton ……… 52

3 Perhitungan analisa sidik ragam kepadatan zooxanthellae .

Acropora appressa antar pulau ………. 53

4 Perhitungan Analisa sidik ragam kepadatan zooxanthellae

pada pulau Laelae ……… 54

5 Perhitungan Analisa sidik ragam kepadatan zooxanthellae

pada pulau Barrang Lompo ………... 55

6 Perhitungan Analisa sidik ragam kepadatan zooxanthellae


(14)

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ekosistem terumbu karang adalah sumberdaya yang mudah terserang oleh berbagai gangguan. Hal ini disebabkan karena hewan karang hermatifik pembangun terumbu bersifat sesil di mana tidak dapat menghindari gangguan atau ancaman dari luar. Secara umum, sumber ancaman terumbu karang berasal dari bencana alam seperti badai, tsunami, gempa dan berasal dari aktivitas manusia seperti penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, polusi, dan pembangunan wilayah pesisir yang tanpa mempertimbangkan daya dukung sumberdaya alam.

Tingginya pembangunan wilayah pesisir di daratan tidak dapat dihindari, memberi dampak bagi ekosistem perairan termasuk ekosistem terumbu karang. Hampir 60% kerusakan karang dunia disebabkan oleh aktifitas manusia (Bryant at al. 1998 in Glick 1999).

Ekosistem terumbu karang adalah suatu habitat di laut yang penting artinya ditinjau dari berbagai hal, salah satunya diantaranya adalah segi biologi bahwa keanekaragaman biota laut yang tinggi di perairan tropis ditemuka n di dalam ekosistem ini. Hal ini dikarenakan terumbu karang dapat berfungsi sebagai tempat hidup dan berlindung, tempat mencari makan dan mencari mangsa, tempat memijah dan berkembangbiak serta sebagai daerah asuhan bagi beragam biota laut. Dengan demikian terumbu karang disebut sebagai gudang asuhan bagi beragam biota dan rumah bagi berbagai jenis kehidupan di laut (Tomascik 1991).

Kegiatan manusia secara langsung dapat menyebabkan kematian di terumbu melalui penggalian dan pencemaran (Nybakken 1988). Berdasarkan analisis Burke et al. (2002) bahwa 25% kerusakan terumbu karang diakibatkan oleh pembangunan pesisir, 7% diakibatkan oleh pencemaran, 21% diakibatkan oleh sedimentasi, 64% akibat penangkapan yang berlebihan, 54% akibat penangkapan ikan dengan melakukan pengrusakan, dan 18% diakibatkan oleh pemutihan terumbu karang. Tingginya ancaman terhadap ekosistem terumbu karang baik secara anthropogenic maupun secara alamiah dikarenakan sifat sessil dari karang di mana mereka tidak mampu menghindar jika ada tekanan buruk dari lingkungan.


(15)

Zooxanthellae adalah salah satu biota yang hidup di dalam ekosistem terumbu karang. Sebagian besar zooxanthellae hidup bersimbiosis dengan karang dan beberapa hewan invertebrata, sebagian lagi hidup secara bebas. Biota ini mempunyai peranan yang sangat penting di dalam ekosistem terumbu karang sebagai salah satu komponen pemasok energi dan nutrisi bagi hewan inangnya (Leletkin 2000b)

Zooxanthellae tergolong dalam alga bersel satu yaitu anggota dinoflagellata, mengandung beberapa pigmen fotosintesis dan hidup di dalam jaringan endodermis polip, dan aktif melakukan fotosintesis memproduksi makanan bagi hewan karang (Nybakken 1988). Selain itu zooxanthellae berperan di dalam proses kalsifikasi dan pembentukan skeleton atau rangka karang (Goreau 1959; Nontji 1992) dengan demikian zooxanthellae berperan dalam pembentukan terumbu.

Bentuk simbiosis antara karang dengan zooxanthellae adalah simbiosis mutualisme di mana zooxanthellae memperoleh perlindungan, karbon dioksida dan beberapa senyawa anorganik dari inangnya, sedangkan karang memperoleh oksigen dan senyawa organik dari hasil fotosintesis zooxanthellae (Benson et al. 1978). Hubungan zooxanthellae dengan karang demikian eratnya sangat mempengaruhi metabolisme, pola warna, pertumbuhan dan sebaran vertikal karang (Goreau 1959).

Dari kajian lain seperti dilakukan oleh Suharsono dan Kiswara (1984) bahwa pada saat karang mengalami tekanan ditemukan adanya indikasi pelepasan zooxanthellae. Pada kondisi dilepaskannya zooxanthellae maka akan dapat ditemukan adanya perbedaan signifikan rasio khlorophyl a : khlorophyl c serta adanya shock protein sebagaimana diinformasikan oleh Nganro (1992) pada biota simbion soft coral. Di samping itu, proses relokasi zooxanthellae dalam jaringan karang akan berbeda pembelahan mitotic indeks pada kondisi alamiah maupun kondisi tertekan (Nganro 1992).

Eutrofikasi merupakan salah satu ancaman ekosistem terumbu karang. Eutrofikasi adalah proses peningkatan laju input bahan organik utamanya nitrogen dan fosfor ke sebuah perairan. Proses ini adalah penyuburan perairan secara berlebih yang disebabkan oleh masukan bahan organik. Salah satu akibat dari


(16)

peningkatan bahan organik ini adalah terjadinya ledakan fitoplankton, yaitu fenomena populasi fitoplankton tumbuh secara cepat dan dalam jumlah yang sangat besar yang disebabkan oleh tersedianya unsur hara dalam jumlah besar.

Walaupun unsur hara (nutrien) sangat penting dalam suatu ekosistem terutama sebagai sumber penyusunan bahan organik oleh produsen primer, tetapi peningkatan unsur hara pada ekosistem terumbu karang justru dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan ekosistem terumbu karang karena ditutupi oleh kelimpahan alga yang menyebabkan kematian pada karang (Jompa & Cook 2002).

Atas dasar pertimbangan tersebut di atas maka kajian kepadatan zooxanthellae pada tingkat eutrofikasi berbeda perlu diteliti sebagai salah satu penilaian kondisi ekosistem terumbu karang guna mendukung pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan,

1.2 Tujuan

Untuk mengkaji kepadatan zooxanthellae pada jaringan polip karang di lokasi perairan yang berbeda tingkat eutrofikasinya di Kepulauan Spermonde. dalam hal ini Pulau Laelae, Pulau Barrang Lompo, dan Pulau Lanyukang.

1.3 Manfaat

• Dapat dipertimbangkan sebagai kriteria tambahan dalam menilai kondisi ekosistem terumbu karang di masa yang akan datang.

• Sebagai informasi penting yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menyusun indeks/tingkatan ancaman kualitas ekosistem karang.

1.4 Rumusan Masalah

Unsur hara (nutrien) sangat penting dalam suatu ekosistem terutama sebagai sumber penyusunan bahan organik oleh produser primer, akan tetapi peningkatan unsur hara pada ekosistem terumbu karang dinilai justru dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan ekosistem ini. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa terumbu karang justru berkembang dengan baik pada daerah yang relatif jauh dari sumber unsur hara dan sebaliknya tidak berkembang pada daerah yang mendapat suplai unsur hara yang tinggi. Adanya siklus nutrien yang efektif dalam


(17)

ekosistem terumbu karang merupakan kunci utama tingginya produktifitas ekosistem ini walaupun jauh dari sumber nutrien.

Pengaruh eutrofikasi tidak hanya berpengaruh terhadap peningkatan kelimpahan alga makro sebagai pesaing utama hewan karang, akan tetapi juga secara langsung berpengaruh negatif terhadap fisiologi dan perkembangan hewan karang tersebut, misalnya terhadap perkembangan embrio dan planula karang (Tomascik & Sander 1987 in Thamrin 2006). Dampak lain yang juga bisa timbul adalah meningkatnya bioerosi akibat perubahan komunitas ekosistem terumbu karang (Hallock 1988, Rose, Risk 1985, Hallock et al. 1988 in Riks, Sammarco, Edinger 1995), sisi lain bahwa meningkatnya unsur hara akan mampu mencegah pemutihan karang dan mempertahankan zooxanthellae di dalam inangnya karena tersedia unsur hara di dalam inang dan di lingkungan luar (Hidaka & Miyagi 1999).

• Apakah ada perbedaan kepadatan zooxanthellae pada polip karang berdasarkan tingkat eutrofikasi suatu perairan?

Dari uraian tersebut di atas maka timbul pertanyaan sebagai berikut;

• Apakah tingkat kepadatan zooxanthellae merupakan indikasi laju perubahan tingkat eutrofikasi suatu perairan?


(18)

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kerusakan Terumbu Karang

Ancaman terumbu karang saat ini diestimasi hampir mencapai 60% dari seluruh terumbu karang dunia adalah disebabkan oleh aktifitas manusia seperti pembangunan di wilayah pesisir, pencemaran dan praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (Bryant et al. 1998). Menurut Nybakken (1988) sumber terbesar penyebab kerusakan terumbu karang adalah badai tropik yang hebat, contohnya topan atau angin puyuh yang kuat ketika melalui suatu wilayah terumbu sering merusak daerah yang luas di terumbu karang. Sumber kedua terbesar yang menyebabkan kematian terumbu karang adalah ledakan Acanthaster plancii (bintang bulu seribu) akibat adanya kegiatan pengerukan dan beberapa bahan kimia (pestisida) membuka ruang baru bagi Acanthaster plancii muda, ledakan populasi juga diakibatkan oleh kegiatan manusia yang memindahkan predator utama bulu seribu yaitu Charonia tritonis untuk diambil cangkangnya (Nybakken 1988). Kegiatan manusia secara langsung dapat menyebabkan bencana kematian di terumbu melalui penggalian dan pencemaran (Nybakken 1988).

Terjadinya degradasi terumbu karang seperti pemutihan karang (bleaching) sudah disugesti sebagai respon fisiologi karang untuk menduga tekanan lingkungan (Brown 1988 in Jones 1997). Karang mendapat keuntungan dari zooxanthellae berupa pewarnaan dari pigmen fotosintesis. Istilah bleaching digunakan untuk menjelaskan perubahan warna karang menjadi putih yang diikuti oleh penurunan zooxanthellae pada jaringan karang (Yonge, Nicholls 1931 in Jones 1997), kemudian berdampak pada penurunan suplai nutrisi dan energi ke polip karang. Selain itu pada pemutihan karang ditemukan juga adanya perbedaan signifikan rasio klorofil dan relokasi zooxanthellae dalam jaringan karang sehingga akan berbeda pembelahan sel pada kondisi alamiah maupun tertekan (Nganro 1992).

2.2 Terbentuknya Endosimbiosis

Proses terbentuknya simbiosis atau yang dikenal dengan endosimbiosis ini mengundang perdebatan sejak awal, yakni apakah terbentuknya endosimbiosis sejak anakan karang (planula) mulai dilepaskan oleh induknya atau melalui


(19)

infeksi dari lepasan planula yang keluar tanpa pembekalan (Veron 1995). Apabila teori pertama yang terjadi maka bagaimanapun juga awal evolusinya akan mengalami proses infeksi yang kemudian secara turun temurun mengalami proses pembekalan sebagaimana teori pertama diterima kebenarannya. Di sini tidak memperdebatkan keduanya, namun lebih ditekankan bahwa pada kenyataannya terdapat endosimbiosis dengan perannya yang besar dalam mekanisme kehidupan fungsional binatang karang.

2.3 Hewan Karang sebagai Host (Inang)

2.4 Zooxanthellae sebagai Simbion Alga

Sebagian besar inang yang bersimbiosis merupakan karnivora dan kegagalan inang untuk mencerna atau melenyapkan infasi simbion-simbion alga adalah tergantung sifat yang dimiliki baik hewan karang maupun alga tersebut (Yonge 1963 in Thamrin 2004). Salah satu inang invertebrata yang bersimbiosis yaitu hewan karang dari Ordo Scleractinia. Hewan karang dari Scleractinia merupakan koloni dari polip-polip yang dihubungkan oleh sistem gastrovaskuler di mana individu hewan karang atau polip menempati mangkuk kecil atau koralit dalam kerangka yang masif. Tiap mangkuk atau koralit mempunyai beberapa seri septa yang tajam dan berbentuk daun yang keluar dari dasar (Thamrin 2004),

Zooxanthellae adalah istilah deskriptif umum untuk semua ganggang berwarna emas yang hidup bersimbiosis pada hewan, termasuk karang, anemon laut, moluska, dan taksa lainnya. Walaupun istilah tidak memiliki arti taksonomi, zooxanthellae digunakan terutama untuk merujuk kepada simbion Dinoflagellata, sekelompok alga yang beragam. Ini adalah label generik yang berguna, mengingat keadaan saat ini ketidakpastian dalam taksonomi simbion karang. Zooxanthellae yang ditemukan di karang biasanya berdiameter 8-12 µM. Sel yang berada di membran vakuola, terikat dalam sel gastrodermal. Densitas mereka umumnya berkisar antara 1 x 106 sel/cm2 sampai 2 x 106 sel/cm2 sel permukaan karang, walaupun ini mungkin sangat bervariasi pada skala temporal dan spasial. Beberapa bukti menunjukkan bahwa perbedaan musiman mempengaruhi kepadatan zooxanthellae di karang (Muller-Parker & D’Elia 1997).

2.5 Struktur karang dan letak zooxanthellae


(20)

Scleractinia. Bentuk tubuh berongga, radial simetris di mana di dalam rongga ini terdapat binatang karang yang disebut polip. Di ujung atas rongga terdapat bukaan yang berfungsi sebagai mulut, ke arah bawah membagi diri menjadi septa atau sekat yang radial simetris. Pada bagian mulut tersusun tentakel yang pada karang batu berjumlah kelipatan enam. Pada karang batu kerangka pendukung tubuh terdapat di luar (exoskeleton). Bagian dalam tubuh tersusun dari jaringan sel, masing-masing dari luar ke dalam ektodermis, mesoglea, dan endodermis yang sering juga disebut gastrodermis. Di dalam lapisan endodermis atau gastrodermis ini terdapat zooxanthellae (Muller-Parker & D’Elia 1997).

2.5 Zooxanthellae dan bentuk simbiosisnya dengan karang

Gambar 1. Potongan melintang anemone laut dan zooxanthellae dalam jaringan gastrodermis.

Hubungan antara zooxanthellae dengan karang saling menguntungkan, jenis zooxanthellae berasal dari kelompok Dinoflagellata tidak memiliki flagella dan dinding sel. Kehadiran zooxanthellae akan memberikan warna karena zooxanthellae memiliki pigmen. Melalui fotosintesis, zooxanthellae mensuplai oksigen bagi karang untuk respirasi dan karbohidrat sebagai nutrient. Sebaliknya zooxanthellae menerima CO2

zooxanthellae juga berperan dalam memindahkan karbondioksida, sehingga untuk fotosintesis. Sementara untuk nitrogen dan fosfor antara zooxanthellae dan karang terjadi dengan proses di mana zooxanthellae menerima nitrogen dalam bentuk ammonia dari karang, dan dikembalikan ke karang dalam bentuk asam amino. Dalam proses fotosintesis

dalam kondisi optimum meningkatkan terbentuknya pengapuran pada karang (Thamrin 2006).


(21)

Terapan fungsional simbiosis pertama-tama dapat ditinjau dari kaitannya dengan transfer nutrisi diantara keduanya. Dalam memenuhi nutrisinya semua karang dapat menggunakan tentakelnya untuk menangkap mangsa (plankton). Proses penangkapannya mempergunakan bantuan nematocyte suatu bentuk protein spesifik yang mampu kemampuan proteksi dan melumpuhkan biomassa tertentu seperti zooplankton. Meskipun mempunyai kemampuan feeding active, akan tetapi kebanyakan proporsi terbesar makanan karang berasal dari simbiosis yang unik, yaitu zooxanthellae.

2.7 Peran zooxanthellae dalam polip karang

Zooxanthellae berperan sebagai pemasok oksigen bagi karang, di samping juga dari oksigen terlarut. Zooplankton merupakan sumber nutrien utama bagi karang. Dalam hubungannya dengan ketersediaan nutrien dalam air laut, Gladfelter (1985) menyatakan bahwa tingginya tingkat ketersediaan nutrien mempengaruhi produktivitas zooxanthellae, dan meningkatkan indeks mitosis. Karang yang telah kehilangan zooxanthellae masih mampu hidup bila tersedia cukup zooplankton di sekitarnya. Kebutuhan nutrien organik pada karang yang memiliki zooxanthellae lebih kecil dari pada karang yang tidak memiliki zooxanthellae (Gledfelter 1985).

Dalam setiap polyp ditemuka n zooxanthellae dalam jumlah besar dan memberikan warna pada polyp (Jones 1997), 90% energi dari fotosintesis di berikan untuk kebutuhan polyp (Leletkin 2000b). Zooxanthellae menerima nutrisi-nutrisi penting dari karang (polyp) dan memberikan sebanyak 95% hasil fotosintesisnya (energi dan nutrisi) kepada polyp (Muscatine 1991). Assosasi yang erat ini sangat efisien, sehingga karang dapat bertahan hidup bahkan di perairan yang sangat miskin hara. Keberhasilan hubungan ini dapat dilihat dari besarnya keragaman dan usia karang yang sangat tua, berevolusi pertama kali lebih dari 200 juta tahun yang lalu (Burke et al 2002).

Berdasarkan transfer nutrisi ini maka dapat dinyatakan bahwa karang dapat menyediakan nutrisinya baik melalui active feeding dan passive feeding. Active feeding dilakukan dengan menembakkan nematocyte ke arah mangsa dan mentransfernya melalui mulut yang terdapat di bagian atas; sedangkan feeding


(22)

passive diperoleh melalui transfer hasil fotosintesis zooxanthellae. Sejauh diketahui hampir semua karang dapat melakukan melalui feeding passive.

Zooxanthellae memberikan pewarnaan pada terumbu karang, dari warna terang sampai gelap kecoklatan, tergantung pada kepadatan selnya (Jones 1997). Bilamana ada pigmen lain dalam jaringan karang, maka warna kecoklatan akan tertutup oleh warna pigmen tadi menjadi warna biru, hijau, kuning atau warna ungu. Bila coral kehilangan zooxanthellae, kerangka karang yang berwarna putih dapat dilihat melalui jaringan hewan itu yang transparan, menyebabkan karang tampak memutih. Yonge, Nicholls 1931 in Jones 1987). Pada jenis karang yang memliki pigmen lain, karang yang putih akan nampak warna flourence, dan tidak tampak lagi warna coklat keemasan dari zooxanthellae (Oliver 1984).

Apabila zooxanthellae keluar dari inangnya, maka zooplankton merupakan sumber nutrient, tetapi ketersediaannya tidak cukup untuk menunjang pertumbuhan karang (Johannes et al 1970) dan kebutuhan nutrien lebih kecil pada karang yang memiliki zooxanthellae (Gladfelter 1985).

Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik) hal ini sebagai syarat hidup dari alga simbion zooxanthellae (Stambler 1999). Ambang batas konsentrasi nutrien yaitu dissolved inorganic nitrogen (DIN) di bawah 1µM dan untuk soluble reactive phosphorus (SRP) 0,1 µM (Lapointe et al 1997 in Cesar et al 2002). Burke et al (2002) sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup di dalam jaringannya. Dalam simbiosis, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen anorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae. Selanjutnya Sumich (1992) menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia sebagai berikut:

Ca (HCO3) CaCO3 + H2CO3 H2O + CO

Fotosintesa oleh algae yang bersimbiosis membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat,


(23)

kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiosis dengan zooxanthellae. Veron (1995) mengemukakan bahwa ekosistem terumbu karang adalah unik karena umumnya hanya terdapat di perairan tropis, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan hidupnya terutama suhu, salinitas, sedimentasi, kualitas perairan alami (pristine). Demikian halnya dengan perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian massal mencapai 90-95%.

2.8 Kepadatan zooxanthellae

Kepadatan zooxanthellae di dalam jaringan karang bervariasi sesuai dengan jenis karangnya. Kepadatan zooxanthellae berkisar antara 1–2,5 juta sel/cm2

2.9 Variasi pola makan karang

(Drew 1972; Muscatine et al. 1985 in Jones & Yelleowlees 1997). Kepadatan zooxanthellae juga berbeda pada masing-masing kedalaman. Drew (1972) mengatakan bahwa kepadatan maksimum zooxanthellae ditemukan pada kedalaman antara 10–12 m. Hal ini tergantung pada tingkat nutrisi dan ruang yang disediakan hewan inang. Zooxanthellae berkembangbiak dengan pembelahan mitosis sampai pada batas tertentu tergantung pada laju metabolisme hewan inang (Taylor 1969 in Nganro 1992). Di samping itu pengurangan kepadatan zooxanthellae yang bersimbiosis dengan karang dapat dijadikan indikator bahwa telah terjadi stres lingkungan terhadap hewan karang. berkurangnya konsentrasi klorofil zooxanthellae pada tubuh hewan karang juga merupakan indikator menurunnya kesehatan hewan karang (Yakin K 2006).

Pola makan karang secara umum dapat dibagi dalam 5 kategori: (1)Sebagian besar makanan (30-90%) berasal dari zooxanthellae hasil fotosintesis. (2)Kegiatan pola makan lainnya adalah predasi, yang menyediakan, rata-rata, 10-40% dari keseluruhan biomassa makanan. Hasil predasi ini, 100% habis digunakan untuk mengganti metabolisme pada siang hari, (3) Memakan partikel atau memfiltrasi sedimen. semua karang scleractinian mampu makan partikel ,caranya memfilter dari air seperti bakteri, fitoplankton, sisa-sisa hewan dan tanaman, detritus, dan bahkan beberapa suspensi netral seperti grafit atau noda, (4) Memakan zat-zat


(24)

organik terlarut dengan cara osmotik, (5) Memakan zooxanthellae. kondisi ini biasa terjadi jika penentrasi cahaya rendah. Jumlah sel yang dimakan sama dengan jumlah sel yang baru membela. Ini merupakan bentuk adaptasi. Proses ini berlangsung di gastrodermis (

2.10 Faktor lingkungan dan kehidupan karang

Titlyanov &Titlyanova 2002).

Zooxanthellae adalah alga bersel satu golongan dinoflagellata. Sebagai alga sumber cahaya sangat merupakan faktor pembatas. Masukan zat padat ke perairan atau meningkatnya fitoplankton di perairan sangat mengurangi penetrasi cahaya yang masuk. Intensitas cahaya juga mempengaruhi suhu, salinitas lingkungan perairan.

2.10.1 Suhu

Bila hewan inang mengalami stres akibat perubahan lingkungan, zooxanthellae akan keluar dari inang dan berenang bebas di air laut, Perubahan suhu mempengaruhi laju fotosintesis dan respirasi, sehingga terjadi ketidakseimbangan metabolisme antara zooxanthellae dengan inangnya (Gladfelter 1985). Kenaikan suhu mempercepat laju respirasi lebih besar dari pada laju fotosintesis. Muscatine (1985) mengatakan bahwa karang tidak dapat memberikan nutrien yang cukup kepada simbionnya pada suhu yang tinggi.

Perubahan suhu air laut secara mendadak atau dalam waktu lama dapat menyebabkan keluarnya zooxanthellae dari inangnya yang lama-kelamaan mengakibatkan kematian inang. Demikian pula suhu dapat mempengaruhi laju respirasi dan fotosintesa seperti dijelaskan di atas. Karang tumbuh dengan baik (optimum) pada suhu antara 25 – 280

2.10.2 Salinitas

C.

Zat terlarut meliputi garam-garam organik, senyawa-senyawa organik yang berasal dari organisme hidup dan gas-gas tertentu. Fraksi terbesar dari bahan terlarut terdiri dari garam-garam anorganik yang berwujud ion-ion. Satu contoh, air laut seberat 1000 gram akan berisi kurang lebih 35 gram senyawa-senyawa terlarut yang secara kolektif disebut garam. Dengan kata lain, 96,5 % air laut berupa air murni dan 3,5 % zat terlarut. Perbandingan ion-ion utama boleh dikatakan tetap (Nybakken 1987) Sama halnya dengan suhu, menurun atau


(25)

naiknya salinitas secara mendadak dapat mengakibatkan kematian karang. Kisaran optimum salinitas untuk pertumbuhan karang ialah antara 25 -40 0/

2.10.3 Total suspended solid (TSS)

00.

Total Padatan Tersuspensi atau sering disebut TSS adalah semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air berupa komponen biotik (fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi,dll), ataupun komponen abiotik (detritus dan partikel-partikel anorganik) Lestari (2009). Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan dan bergantung pada warna dan kekeruhan.

Tabel 1 Klasifikasi tingkat pencemaran berdasarkan kadar TSS Menteri Negara Lingkungan Hidup tahun 2004.

No Total Padatan Tersuspensi (ppm) Kriteria

1 Kurang dari 20 Belum tercemar

2 20-49 Tercemar ringan

3 50-100 Tercemar sedang

4 Di atas 100 Tercemar berat

2.10.4 Kecerahan dan Cahaya.

Kecerahan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya matahari dan partikel tersuspensi. Naiknya konsentrasi partikel tersuspensi di air menyebabkan kontraksi polip, meningkatnya sekresi mucus, menipisnya jaringan karang dan keluarnya zooxanthellae. Bila keadaan ini berlangsung lama akan mengakibatkan kematian karang (Yamazato 1986). Keadaan awan di suatu tempat mempengaruhi pertumbuhan karang (Goreau 1959). Menurut Kanwisher dan Wainwright (1967) titik kompensasi binatang karang terhadap cahaya adalah pada intensitas antara 200 – 700 f.c atau umumnya antara 300 -500 f.c.

2.11 Fosfat

Jumlah fosfor (P) yang diperlukan oleh blue-green algae (makhluk hidup air penyebab algal blooming) untuk tumbuh, ternyata hanya dengan konsentrasi 10 part per billion (ppb/sepersatu miliar bagian) fosfor saja blue-green algae sudah bisa tumbuh. Tidak heran kalau algal blooming terjadi di banyak ekosistem air.


(26)

Dalam tempo 24 jam saja populasi alga bisa berkembang dua kali lipat dengan jumlah ketersediaan fosfor yang berlebihan akibat limbah fosfat di atas.

Keberadaan fosfor di perairan adalah sangat penting terutama berfungsi dalam pembentukan protein dan metabolisme bagi organisme. Fosfor juga berperan dalam transfer energi di dalam sel misalnya adenosine triphosfate (ATP) dan adenosine diphosphate (ADP). Ortofosfat yang merupakan produk ionisasi dari asam ortofosfat yang merupakan bentuk yang paling sederhana di perairan (Boyd, 1982). Fosfor dalam perairan tawar ataupun air limbah pada umumnya bentuk fosfat berupa ortofosfat, yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat terlebih dahulu sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Menurut Perkins (1974) in Erna (2008), kandungan fosfat yang terdapat di perairan umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l, kecuali pada perairan yang menerima limbah dari rumah tangga dan industri tertentu, serta dari daerah pertanian yang mendapat pemupukan fosfat. Sedangkan menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tentang baku mutu air laut tertuang dalam tabel dibawah ini.

Tabel 2 Baku Mutu Air Laut untuk biota laut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Tahun 2004.

Fluktuasi asupan nutrien ke perairan pesisir di pengaruhi oleh musim, dimana pada musim hujan asupan nutrien lebih tinggi dibandingkan pada saat musim kemarau selain itu asupan nutrien bisa juga berasal dari perairan laut disekitarnya (Damar 2003).

2.12 Nutrien dan kehidupan karang

Peningkatan nutrien telah diusulkan sebagai penyebab utama terumbu karang lokal degradasi. Meskipun respon karang untuk nutrien seperti amonium dan atau nitrat terdokumentasi baik dalam studi laboratorium. Dampak jangka

NO Parameter Satuan Baku Mutu

1 Kecerahan meter Coral <5

2 Padatan tersuspensi total mg/liter

Coral;20

• Mangrove;80

• Lamun;20 3 Ortofosfat (PO4-P) mg/liter 0.015


(27)

panjang dari tingginya konsentrasi nitrogen anorganik terus menerus pada fisiologi karang susah diprediksi. Sebuah penelitian untuk melihat dampak jangka panjang tersebut, dicobakan pada koloni karang Stylophora pistillata dan Acropora spp yang terkena 40 µM dari NH4 + dan 30 µM NO3

-2.13 Eutrofikasi dan terumbu karang

. Kedua karang ini dipelihara selama 12 bulan dalam aquarium. Hasilnya menunjukkan respons berbeda terhadap peningkatan nutrien dalam kepadatan zooxanthellae. Walaupun S. pistillata dan Acropora spp. dapat beradaptasi pada tingkat nitrogen anorganik tinggi, tetapi dalam jangka panjang menunjukkan bahwa peningkatan nutrien bukan hanya menyebabkan degradasi terumbu karang, tetapi dapat menghasilkan dampak sinergis ketika karang terkena faktor tekanan lingkungan lainnya (Yuen et al 2008).

Eutrofikasi adalah peningkatan bahan organik ke dalam sebuah ekosistem (Nixon 1995), di mana peningkatan bahan organik ini sangat mendorong peningkatan masukan nutrien yang diikuti oleh meningkatnya produksi primer dan sekunder. Eutrofikasi ini juga dikenal sebagai satu dari ancaman besar terhadap ekosistem pesisir pada skala global (Nixon 1990; Gray 1992; Pearl 1995 in Bonsdorff 1997).

Walaupun unsur hara (nutrien) sangat penting dalam suatu ekosistem terutama sebagai sumber penyusunan bahan organik oleh produsen primer, akan tetapi peningkatan unsur hara pada ekosistem terumbu karang dinilai justru dapat berpengaruh negatif terhadap perkembangan ekosistem ini. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa terumbu karang justru berkembang dengan baik pada daerah yang relatif jauh dari sumber unsur hara (oligotrofik) dan sebaliknya tidak berkembang pada daerah yang mendapat suplai unsur hara yang tinggi.

Peningkatan unsur hara yang berlebihan menyebabkan berbagai dampak. Menurut Wouthuyzen (2006) in Indrawan et al. (1998) salah satu adalah turunnya kecerahan perairan akibat meledaknya populasi fitoplankton, kematian massal ikan, menurunnya konsentrasi oksigen terlarut dan merugikan biota perairan pada lapisan permukaan dan yang paling banyak adalah maraknya fitoplankton beracun yang terdapat pada makanan laut seperti kerang-kerangan. Makanan laut yang telah mengandung racun tersebut sangat membahayakan kesehatan manusia.


(28)

Bahkan makanan tersebut dapat mengakibatkan kematian dan keracunan bagi siapa saja yang mengkonsumsinya. Hal ini karena masing-masing spesies algae memiliki racun berbeda satu dengan yang lain.

Eutrofikasi juga meningkatkan padatan tersuspensi. Total padatan tersuspensi atau lebih dikenal istilah TSS (Total Suspended Solid) merupakan bahan-bahan tersuspensi (diameter >1 μm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 μm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Masuknya padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan menurunnya laju fotosintesis, sehingga produktivitas primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya keseluruhan rantai makanan.

Entrofikasi juga berdampak pada pola rekrutmen karang. Penempelan planula pada perairan yang eutrofik sangat rendah sehingga daerah ini miskin dengan karang. Menurut Tomacik (1991) bahwa pola penempelan karang pada subtrat buatan yang diletakkan sepanjang gradien eutrofikasi di Bardabos India Barat menunjukkan tingkat persentase penempelan yang rendah, tercatat Porites astroides 42%, Agaricia spp 23%, Porites porites 10% bahkan Jenis karang Monstastrea annularis, Siderastrea spp dan Diplona spp hadir di terumbu karang bagian utara, tetapi tidak hadir di daerah yang eutrofik ini. Ciri perairan yang mengalami eutrofikasi adalah perubahan warna (hijau, coklat-kuning atau merah) dengan viskositas tinggi. Salah satu parameter yang dapat dijadikan indikator terjadinya eutrofikasi adalah konsentrasi klorofil-a yang merupakan ukuran dari biomassa alga uniseluler.

2.14 Kepadatan zooxanthellae dan bioindikator

Meningkatnya aktifitas manusia mengakibatkan perubahan yang besar terhadap suhu air laut, kimia air laut. Berbagai dampak yang terjadi seperti hilangnya spesies, berubahnya rantai makanan yang tentunya akan mengubah ekologi terumbu karang baik skala lokal maupun skala dunia. Perubahan dari ekologi terumbu karang meliputi pengurangan laju kalsifikasi, pengurangan kepadatan zooxanthellae, perubahan trofik level dari struktur komunitas terumbu karang dimana spesies pada tropik tinggi berkurang sedangkan disisi lain spesies


(29)

pada tropik rendah meningkat, hal ini mengakibatkan produktivitas sekunder juga berkurang. kesemuanya ini akan mengurangi keanekaragaman hayati dan sebaran terumbu karang, lambat laun fungsi dari terumbu karang sebagai penghalang abrasi akan menurun dan mengakibat perubahan garis pantai. Untuk menghindari dampak negatif ini maka perlu upaya pengelolaan sumberdaya terumbu karang termasuk pengaturan perdagangan sumberdaya, pengurangan laju runoff dan limbah industri yang masuk ke badan perairan (Timothy 2002).


(30)

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kepulauan Spermonde yaitu; Pulau Laelae, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Lanyukang di Kota Makassar yang berlangsung dari bulan April sampai Mei 2010, dan untuk analisa sampel dilakukan di Laboratorium Fisika, Kimia Oceanografi Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Hasanuddin Makassar.

Sumber :Landsat ETM+Satellite Image Aquisition tahun 2002

Gambar 2. Peta lokasi penelitian di Kepulauan Spermonde. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan di lapangan lokasi pengambilan sampel adalah formalin 4%, larutan lugol, sedangkan peralatan yang digunakan yaitu: peralatan snorkeling, alat pemotong karang, kantong plastik, DO-meter, Secchi disc, refraktometer, spectrophotometer, mikroskop, botol sampel air, plankton net ukuran mata jaring 25 µ m, alat penggerus sampel (mortar), haemocytometer,

Pulau Lanyukang

Pulau Laelae Pulau Barrang Lompo

Daratan

Terumbu karang dangkal Pulau Lokasi Penelitian Legenda:


(31)

mistar geser, alat pemotong karang, gelas ukur volume 10 ml, pipet, alat hitung (Tally counter).

3.3 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas kegiatan pengumpulan data di lapangan secara in situ, dan dilanjutkan dengan pengukuran sampel di laboratorium. Data yang dibutuhkan yaitu; data sampel karang, parameter fisika, kimia, biologi perairan (suhu, salinitas, kedalaman, partikel terlarut, nitrat, fosfat, fitoplankton).

3.3.1 Data sampel karang.

Data sampel karang yang diteliti terdiri dari 3 spesies untuk masing masing pulau. Sampel karang ini diambil dari koloni yang berbeda, dengan 3 kali ulangan, dengan kedalaman yang sama yaitu 2-3 meter. Sampel karang diambil mendekati reef slope.

Cara pengambilan sampel karang yaitu untuk karang yang bercabang, memotong karang dengan gunting yang biasa dipakai untuk menggunting tanaman, sedangkan untuk karang yang massif menggunakan pahat dan martil. Ukuran karang yang dijadikan sampel disesuaikan kebutuhan penelitian, kemudian permukaan sampel karang tersebut dikerik dengan sebuah alat yang bentuk lempeng dari alumunium, lalu bekas kerikan tadi diukur luasnya dan dicatat. Selanjutnya hasil kerikan sampel karang tadi dimasukkan ke wadah yang berisi formalin 4 %, diukur dengan menggunakan gelas ukur, selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dihitung kepadatan zooxanthellaenya.

3.3.2 Data Parameter Fisika, Kimia, Biologi Perairan

Untuk parameter fisika yang diukur adalah suhu, salinitas, kedalaman, partikel tersuspensi dan kecerahan. Pengukuran suhu, salinitas menggunakan DO meter. Untuk memastikan sampel berada pada kedalaman 2-3 meter digunakan bambu sebagaialat bantu, sedangkan pengukuran kecerahan diperoleh berdasarkan pengamatan langsung di kedalaman 2-3 meter. Hasil pengamatan menunjukkan kecerahan 100%.

Pengumpulan data parameter kimia seperti; nitrat, fosfat dengan cara mencelupkan botol ke dalam perairan, kemudian di simpan dalam coolbox suhu


(32)

0o

Untuk pengumpulan data kelimpahan fitoplankton menggunakan plankton net dengan ukuran mata jaring 25 µm. Cara menggunakann plankton net yaitu air laut dituang ke dalam jaring plankton net dengan menggunakan timba berukuran 5 liter. Kegiatan menuang air ini dilakukan berulang-ulang. Setelah itu, air yang tertuang tersebut akan tersaring kemudian tertampung pada botol plankton net,, lalu dipindahkan ke botol lain, dan diberikan larutan lugol 5 tetes untuk pengawetan sampel fitoplankton, selanjutnya dimasukkan ke coolbox yang berisi bongkahan es..

C yang berisi es yang sudah dihancurkan dan selanjutnya dibawa ke laboratorium. Pengukuran kedua senyawa ini dimaksudkan untuk menilai tingkat eutrofikasi di lokasi penelitian, kemudian data yang diperoleh selanjutkan akan dikaji keterkaitannya dengan kepadatan zooxanthellae.

3.3.3 Data kepadatan zooxanthellae

Prosedur yang digunakan mengacuh pada metode yang dijelaskan Muscatine et al. (1989) yaitu jaringan karang dikeluarkan dari setiap polip, di mana dalam penelitian ini dilakukan dengan cara karang dikerik permukaannya. Alat pengerik terbuat dari lempeng stainless. Jarigan karang yang sudah dikerik selanjutnya dimasukkan dalam wadah yang telah diisi formalin 4%, lalu wadah tersebut diberi tanda disesuaikan dengan jenis karang dan nama pulau tempat pengambilan sampel karang tersebut. Setelah itu jaringan karang yang sudah dikeluarkan tadi, selanjutnya diaduk sampai terkumpul gumpalan, kemudian digerus sampai halus. Setelah itu satu tetes sampel dimasukkan ke Haemocytometer. Kemudian dihitung dibawa mikroskop, sedangkan permukaan karang yang sudah dikerik tadi dihitung luasnya.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Perhitungan Kelimpahan Fitoplankton

Penentuan kelimpahan fitoplakton dilakukan berdasarkan metode sapuan di atas gelas objek. Kelimpahan fitoplankton dinyatakan secara kuantitatif dalam jumlah sel/liter. Kelimpahan plankton dihitung berdasarkan Wibisono (2005) dengan rumus ;


(33)

Dimana ;

N = Jumlah sel per liter

n = Jumlah sel yang diamati (sel) Vr = Volume air yang tersaring (ml)

Vo = Volume air yang diamati pada Haemocytometer (ml) Vs = Volume air yang disaring (liter)

3.4.2 Perhitungan Kepadatan Zooxanthellae

Kepadatan zooxanthellae dihitung dengan menggunakan rumus American Public Health Asossiation (APHA ) 1992 sebagai berikut :

Di mana :

N = Jumlah zooxanthellae yang terhitung (sel), At = Luas cover glass (mm2

Vt = Volume Total Sampel, )

Ac = Luas Sampel yang dikerik (cm2

Vs = Volume Sampel yang digunakan (ml), ),

As = Luas Haemacytometer (mm2

3.4.3 Perhitungan Kecerahan ).

Alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kecerahan dikenal sebagai Secchi Disk. Bentuk alat ini adalah lingkaran (plat) dengan diameter 20 cm yang dihubungkan dengan tali yang dikaitkan. Dan permukaan plat dibagi empat simetris dan dicat hitam putih .Untuk mendapatkan hasil perhitungan yang teliti maka digunakan rumus seperti di bawah ini ;

A = 0,5 (B + C)

A = Tingkat kecerahan yang dicari (m)

B = Jarak dari permukaan air laut sampai secchi disk mulai hilang dari pandang C = Jarak dari permukaan air laut sampai secchi disk ditarik ke atas lagi sampa


(34)

3.4.4 Analisis Kepadatan Zooxanthellae dan Kelimpahan Fitoplankton

Untuk melihat perbedaan kepadatan zooxanthellae dan kelimpahan fitoplankton antar pulau digunakan analisis varians ANOVA single factor.


(35)

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum Kepulauan Spermonde

Kepulauan Spermonde (Spermonde Shelf) terdapat di bagian Selatan Selat Makassar, tepatnya di pesisir Barat Daya Pulau Sulawesi, terbentang dari Utara ke Selatan sejajar daratan Pulau Sulawesi. Kepulauan Spermonde terdiri atas 121 pulau, mulai dari Kabupaten Takalar di Selatan hingga Kabupaten Mamuju di Sulawesi Barat.

Pembagian wilayah Kepulauan Spermonde menjadi empat zone, di mana kemudian menjadi dasar pembagian zone distribusi terumbu karang dan sering dijadikan dasar dalam penelitian yang berkaitan dengan terumbu karang (de klerk 1983; Moll 1983: Hoeksema dan Moka,1989 in Jompa et al. 2005). Zone pertama atau zone bagian dalam, merupakan zone terdekat dari pantai daratan utama Pulau Sulawesi mempunyai kedalaman laut rata-rata 10 m dan subtrat dasar yang didominasi oleh pasir berlumpur. Zone kedua, berjarak kurang lebih 5 km dari daratan Sulawesi, mempunyai kedalaman laut rata-rata 30 m dan banyak dijumpai pulau karang. Zone ketiga dimulai pada jarak 12.5 km dari pantai Sulawesi dengan kedalaman laut antara 20-50 m. Zone keempat atau zone terluar merupakan zone terumbu penghalang (Barrier Reef Zone) dan berjarak 30 km dari daratan utama Sulawesi. Di sisi timur pulau-pulau karang ini kedalaman lautnya berkisar 40-50 m, sedangkan sisi baratnya mencapai kedalaman lebih dari 100 m. Tabel 3 Posisi dan Jarak Kepulauan Spermonde dari Daratan Utama (Mainland)

Kota Makassar.

No Pulau Posisi Jarak dari

Makassar* (km) Bujur (BT) Lintang (LS)

1 Lanyukang 119o04’45,3” 04o58’40,8” 40,17

2 Langkai 119o05’46,8” 04o1’52,1” 35,80

3 Lumu lumu 119o12’34,92” 04o57’48,6” 27,54

4 Bonetambung 119o16’43,21” 05o08’48,7” 17,87

5 Kodingareng lompo 119o15’53,6” 05o08’48,7” 15,05

6 Kodingareng Keke 119o17’18,0” 05o06’21,3” 13,48

7 Barrang Lompo 119o19’33,6” 05o03’0,35” 12,77

8 Barrang Caddi 119o19’16,34” 05o04’49,6” 11,15

9 Kayangan 119o24’04,9” 05o06’49,5” 2,8

10 Lae lae 119o23’30,0” 05o08’24,0” 2,0


(36)

3.1.1 Pulau Laelae

Secara administratif termasuk ke dalam wilayah di provinsi Sulawesi Selatan Kota Makassar, Kecamatan Ujung Pandang, Kelurahan Laelae. Secara geografis pulau terletak pada posisi 119o 23’33,1” BT dan 05o

Sumber; Foto Google Earth2010

08’16,0” LS. Batas-batas administrasi meliputi; sebelah barat berBatas-batasan dengan Pulau Samalona, sebelah Timur dengan Kota Makassar, sebelah Selatan dengan Tanjung Bunga, dan Sebelah Utara dengan Laelae kecil. Pulau dengan luas 0.04 km² ini, dihuni oleh 400 keluarga atau sekitar 2.000 jiwa. Jarak pulau ini dari Makassar sekitar 2 km.

Gambar 3. Foto Pulau Laelae Kota Makassar.

Di pulau Laelae ada dijumpai terumbu karang. Kondisi terumbu karang di pulau ini termasuk jelek yang kemungkinan besar utamanya disebabkan oleh tingginya tingkat sedimentasi dan eutrofikasi yang berasal dari massa daratan utama atau daerah inshore. Di pulau ini juga ditemukan kelimpahan makro alga yang paling tinggi, didominasi jenis jenis makro alga coklat yakni Sargassum spp, Turbinaria sp, Halimeda sp, Caulerpa sp (Jompa et al. 2006). Kelimpahan makroalga tersebut di atas sesuai dengan hasil pengamatan langsung kondisi perairan pada kedalaman 2-3 meter, di mana dijumpai dominan makroalga, koloni karang sangat sedikit dan ukurannya kecil, bentuk pertumbuhan karang

Pulau Laelae


(37)

pada kedalaman ini adalah tabular dan jarak antar koloni satu dengan lain cukup jauh. Kondisi parameter nitrat dan fosfat saat penelitian ini menunjukkan kondisi perairan yang lebih baik dibandingkan dengan kualitas perairan pulau Laelae tahun 2005. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

Tabel 4 Parameter kualitas perairan pulau Laelae Survei Tahun 2005

.Sumber; Survei lapangan tahun 2005 Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.

3.1.2 Pulau Barrang Lompo

Ikan Karang, ikan hias, karang, spons, lamun, alga merupakan hasil laut yang banyak di Pulau Barrang Lompo.

sSumber; Foto Google Earth 2010.

Gambar 4. Foto Pulau Barrang Lompo kota Makassar

Kondisi masyarakat di Pulau Barrang Lompo ini sangat majemuk, dan mata pencaharian sebagian besar penduduknya adalah pengusaha hasil laut (pedagang pengumpul), disamping itu terdapat pula keanekaragaman nelayan mulai dari penyelam teripang, pemancing ikan serta pemancing cumi (Jompa et al. 2006).

Parameter Utara Timur Selatan Barat

Suhu ( C) 30 31 29 30

Arus (m/dt) 0.03-0,04 0,20-0,28 0,02- 0,04 0,02-0,035

Oksigen (ppt) 5,4-5,7 - 5,1 5,1 – 5,3

pH 8.05 8,08-8,39 8.04 8,13-8,18

Salinitas (o/oo) 36 - 35 36

Nitrat (ppm) 0,49 - 0,74 - 0,84-1,04 0,06-0,74 Fosfat (ppm) 3,36 - 4,13 - 2,90-3,64 3,30-3,70


(38)

Hasil pengamatan langsung kondisi perairan pada kedalaman 2-3 meter masih ditemukan koloni karang yang cukup baik walaupun luasan terumbu karangnya terbatas dan terpisah pisah, ukuran koloni terumbu karangnya juga kecil. .

Tabel 5 Kondisi Parameter Oseanografi pulau Barrang Lompo tahun 2005 Parameter Utara Timur Selatan Barat

Faktor Fisika

Suhu ( C) 30,5 29,5 –

30

30,5 30,5 – 31

Kecerahan (m) 15 11 13 14

Kedalaman (m) 2 – 21 16 2 - 24 2 – 21

Arus (m/dt) 0.2 0.167 0.179 0,200

Keterlindungan Barat Ya Tidak Tidak Tidak

dari musim Timur Tidak Tidak Ya Tidak

Berpasir 100 - - 40

Substrat (%) Berkarang - 50 40 30

Rubble - 10 20 40

Faktor Kimia

Oksigen (ppt) 6,0 5,5 –

5,7

5,4 5,3 – 5,4

pH 7.93 8.06 7.97 7.94

Salinitas o/oo 34 34 35 35

Nitrat (ppm) 2.45 0.32 0.17 0.11

Fosfat (ppm) 0.57 0.65 0.61 0.63

Sumber; Survei Lapangan 2005

3.1.3 Pulau Lanyukang

Terumbu Karang, ikan karang, cumi-cumi, agar-agar, kerang merupakan hasil laut yang sering ditemui di pulau Lanyukang. Mata pencaharian penduduk pulau Lanyukang adalah nelayan pancing dan jaring. Kondisi terumbu karang di pulau ini walaupun jauh dari kota makasar, sudah cukup memprihatinkan. kebanyakan daerah reef flat telah didominasi oleh karang mati, rubble, serta pasir. namun pada daerah yang masih cukup dalam (sekitar 10 meter), kondisi karangnya masih relatif baik 45%, jumlah dan jenis ikan-ikan karang juga masih relatif banyak (Jompa et al. 2006).

Pulau Lanyukang didasarkan pada orientasi bentuknya, memanjang dari Timur Laut ke Barat Daya. Luas areal dataran Pulau Lanyukang seluas ± 4,5 Ha. Ekosistem perairan pada kedalaman 1-5 m ditandai dengan dominan hamparan


(39)

pasir putih mengelilingi pulau, lalu padang lamun dan rataan terumbu. Pada bagian utara Pulau Lanyukang yang terlindung oleh pengaruh musim barat, sebaliknya pada musim timur hanya bagian selatan yang terlindung dari pengaruh yang ditimbulkan oleh angin musim tersebut, namun hasil pengamatan langsung saat penelitian adalah jarang ditemukan karang pada kedalaman 2-3 meter dan pada kedalaman ini didominasi pasir putih.

3.2 Kondisi Perairan Pulau Laelae, Pulau Barang Lompo dan Pulau Lanyukang

Kondisi Perairan saat penelitian masih berada pada musim peralihan dari musim Timur ke Musim Barat yaitu bulan Maret – Mei 2010, namun masih sering terjadi hujan. Lokasi pengambilan sampel hanya dibatasi pada kedalaman 2-3 meter, hal ini dimaksudkan untuk memperoleh pengaruh maksimum dari kegiatan masyarakat pulau tersebut terhadap kualitas perairan.

Adapun kondisi perairan hasil perhitungan laboratorium dapat dilihat dari Tabel 6 dibawah ini.

Tabel 6 Kondisi Perairan Pulau Laelae, Barrang Lompo dan Lanyukang Kota Makassar

No Parameter

Pulau Laelae Barrang

Lompo Lanyukang

1 TSS (mg/l) 7 4 6

2 NO3 (mg/l) 0.022 0.010 0.011

3 PO4 (mg/l) 0.91 0.68 1.05

4 Jarak Dari Kota Makassar (km) 2 12.77 40.17

5 Rata-rata Kepadatan (sel/cm2 Zooxanthellae 2.28 x 10

) 5 x 10

5

6.75 x 10 5

6

5

Rata-rata Kepadatan Fitoplankton

(sel/liter) 187.2 417.6 828

3.2.1 Total Suspended Solid (TSS)

Salah satu sumber terbesar dari pencemaran air adalah padatan tersuspensi. Ketika partikel ini menetap di dasar badan air, mereka menjadi sedimen. Istilah sedimen dan lumpur sering digunakan untuk merujuk pada padatan tersuspensi.


(40)

Padatan sedimen terdiri dari fraksi anorganik (silts, tanah liat, dan lain-lain) dan fraksi organik (ganggang, zooplankton, bakteri, dan detritus) yang terbawa dari runoff dari daratan. Padatan tersuspensi mempengaruhi sepanjang siklus hidup hewan karang mulai dari saat larva seperti mortalitas larva planula, penempelan planula, fekunditas sampai kelangsungan hidup karang. termasuk mempengaruhi pembelahan zooxanthellae yang membutuhkan cahaya matahari untuk proses fotosinesis (Thamrin 2004).

Adapun hasil pengukuran konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) dari masing-masing pulau dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Konsentrasi TSS (mg/l) di Pulau Laelae, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Lanyukang.

Air laut memiliki nilai padatan terlarut yang tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya tinggi pula (Effendi 2003). Padatan tersuspensi menciptakan resiko tinggi terhadap kehidupan dalam air pada aliran air yang menerima tailings di kawasan dataran rendah, ini dapat dilihat bahwa padatan tersuspensi dalam jumlah yang berlebihan (diukur sebagai total suspended solids – TSS) akan memiliki dampak langsung yang berbahaya terhadap kehidupan dan bisa mengakibatkan kerusakan ekologis yang signifikan melalui beberapa mekanisme seperti: 1) Abrasi langsung terhadap insang binatang air atau jaringan tipis dari tumbuhan air; 2) Penyumbatan insang ikan atau selaput pernapasan lainnya; 3) Menghambat tumbuhnya/smothering telur atau kurangnya asupan oksigen karena terlapisi oleh padatan; 4) Gangguan terhadap proses makan, termasuk proses mencari mangsa dan menyeleksi makanan (terutama bagi predation dan filter feeding; 5) Gangguan

0 1 2 3 4 5 6 7 8

Laelae Barrang lompo Lanyukang

K o ns e nt ra si (m g /l ) Pulau


(41)

terhadap proses fotosintesis oleh ganggang atau rumput air karena padatan tersuspensi menghalangi cahaya matahari yang masukke perairan; 6) Terjadi perubahan integritas habitat akibat perubahan ukuran partikel. Apabila konsentrasi TSS yang tinggi di Pulau Laelae 7 mg/l dibiarkan terus maka akan terjadi perubahan struktur komunitas perairan. Tingginya kadar TSS di pulau Laelae runoff dari daratan utama (Kota Makassar), di mana jaraknya dekat dari kota Makassar. Sumber TSS berasal dari Sungai Jeneberang yang bermuara ke laut dekat pulau Laelae. Sedangkan kadar TSS pulau Barrang Lompo 4 mg/liter lebih rendah dari TSS pulau Lanyukang. Tinggi konsentrasi TSS pulau Lanyukang ini karena adanya sumber TSS dari upwelling di selat Makassar dan resuspensi. Sementara rendahnya kadar TSS pulau Barrang Lompo dibandingkan pulau Lanyukang diduga karena rendahnya pengaruh runoff dari daratan utama. .

Terjadinya resuspensi di Pulau Lanyukang akibat aksi gelombang yang cukup besar, hal ini disebakan karena letaknya berada di wilayah laut terbuka (offshore) sehingga tiupan angin juga lebih besar, dibandingkan pulau Barang Lompo yang berada di wilayah inshore. Dampak dari adanya resuspensi sedimen ini adalah mengangkat endapan nutrient dan sedimen di dasar perairan ke permukaan, hal ini sesuai dengan (Cristiansen et al, (1997); Phillips et al, (2005); Dzialowski et al, (2008) in Prasena, Hasena 2009) bahwa resuspensi sedimen merupakan salah satu proses yang berpotensi memberikan kontribusi masukkan nutrien penting seperti nitrat, ammonium dan fosfat dari sedimen ke kolom air sehingga berdampak pada naiknya nilai TSS utamanya di perairan dangkal. Resuspensi terjadi karena gelombang laut yang dibangkitkan oleh angin atau arus pasut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kecepatan angin di atas 4 m/det mampu meningkatkan organik partikel secara nyata dari sedimen ke kolom air yang dapat memasok kehidupan produktivitas sekunder. Arfi et al. (1994) in Prasena, Hasena (2009) menyatakan pada kecepatan angin di atas 3 m/det mampu menimbulkan resuspensi sedimen yang diikuti dengan peningkatan seston mineral dan amoniak.

Hal lain yang menyebabkan tingginya nilai TSS pulau Lanyukang adalah diduga terjadi upwelling diperairan sekitar pulau Lanyukang karena letaknya


(42)

dekat selat Makassar yang membawa massa air yang mengandung partikel anonrganik dan organik.

Berdasarkan klasifikasi derajat pencemaran baku mutu air laut Menteri Negara Lingkungan Hidup (2004) bahwa kualitas perairan ketiga pulau tersebut; pulau Laelae, pulau Barrang Lompo dan pulau Lanyukang masih dikategorikan belum tercemar karena nilai TSS kurang dari 20 ppm (mg/liter).

3.2.2 Nitrat

Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat merupakan salah satu senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menyebabkan terjadinya blooming. Ketersediaan nutrien dapat menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan secara cepat (Alaerst & Sartika 1987). Berdasarkan hasil pengukuran nitrat dari ketiga pulau yaitu; Pulau Laelae, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Lanyukang maka konsentrasi nitrat tertinggi adalah pulau Laelae, hal ini disebabkan karena masukan nutrien dari runoff sungai Jeneberang. Selain itu, letaknya yang dekat dengan kota Makassar (2 km) di mana kita ketahui bahwa sumbangan nitrat umumnya berasal dari kegiatan aktivitas manusia di daratan, hal ini sesuai yang dikatakan Lahude (1998) bahwa peningkatan hara fosfat dan nitrat di daerah pesisir lebih disebabkan pembuangan limbah hasil aktivitas manusia termasuk industri di darat sedangkan di laut lepas bersumber dari hasil pengangkatan massa air (upwelling) dari dasar perairan. Perbedaan konsentrasi nitrat antar pulau lokasi penelitian dapat dilihat jelas dari Gambar 6.

Gambar 6. Konstrasi Nitrat di Pulau Laelae, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Lanyukang. 0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025

Laelae Barrang Lompo Lanyukang

K o ns e nt ra si ( m g /l ) Pulau


(43)

Konsentrasi nitrat ketiga pulau tersebut bila dibandingkan dengan baku mutu air laut maka ketiga pulau tersebut berada diluar ambang batas Baku Mutu Air Laut (BMAL) di mana konentrasi nitrat yang dibutuh untuk kehidupan organism laut adalah 0,008 mg/liter.

3.2.3 OrtoFosfat

Ortofosfat merupakan bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Berdasarkan Baku Mutu Air Laut (KLH 2004) menunjukkan bahwa konsentrasi ortofosfat ketiga pulau ini yaitu; Pulau Laelae 0.91 mg/liter, Pulau Barrang Lompo 0.68 mg/liter dan pulau Lanyukang 1.05 mg/liter berada diluar ambang batas yang ditetapkan, kondisi perairan ini berpotensi terjadinya eutrofikasi, Klasifikasi dikemukakan oleh Vollenweider in Wetzel (1975) in Erna 2008. bahwa kadar ortofosfat perairan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu; perairan oligotrofik yang memiliki kadar ortofosfat 0.003 – 0.01 mg/liter, perairan mesotrofik yang memiliki kadar ortofosfat 0.011 – 0.03 mg/liter, dan perairan eutrofik yang memiliki kadar ortofosfat 0.031 – 0.1 mg/liter.

Tingginya unsur hara di perairan pesisir kebanyakan dipengaruhi oleh runoff dari daratan, sedangkan untuk pulau yang jauh dari daratan (offshore).biasanya tingginya unsur hara diperoleh dari resuspensi dan upwelling. Kasus ini terjadi pada Pulau Lanyukang, merupakan pulau terjauh dari kota Makassar dan berhadapan langsung dengan Selat Makassar.di mana angin bertiup cukup kencang, sehingga mampu mengangkat sedimen dari dasar perairan ke permukaan. Terkait hal tersebut di atas, tingginya konsentrasi ortofosfat di Pulau Lanyukang diduga terjadi resuspensi pada kedalaman 2-3 meter akibat tiupan angin cukup kuat, yang mengangkat nutrien ke permukaan, hal ini sesuai dengan Cristianzen et al, 1979; Phillips et al, 2005; Dzialowsky et al, 2008 in Prartono dan Hasena (2009) bahwa resuspensi sedimen merupakan salah satu proses yang berpotensi memberikan masukan nutrien penting seperti ammonium, nitrat dan fosfat dari sedimen ke kolom perairan dan berdampak pada pertumbuhan alga. Kemudian pernyataan ini diperkuat oleh Odum (1971) bahwa perairan dasar memiliki kandungan nitrat dan fosfat yang lebih besar dibandingkan permukaan.


(44)

Gambar 7. Konsentrasi ortofosfat di pulau Laelae, pulau Barrang Lompo dan pulau Lanyukang.

Selain itu, tingginya unsur hara di pulau Lanyukang juga diduga karena akibat mendapat limpasan upwelling dari selat Makassar, hal ini sesuai dengan berbagai penelitian tentang pengaruh upwelling terhadap kelimpahan fitoplankton di Selat Banda (Setiadi 2004), di laut Arafura, laut Banda (Wyrtki 1961), Selat Bali (Ilahude dan Nontji 1975), Selat Makassar (Ilahude 1971), Selatan Jawa-Sumbawa (Wyrtki 1962), di Laut Flores dan Teluk Bone (Birowo 1975).

3.3 Jenis dan kelimpahan fitoplankton

Jenis dan kelimpahan fitoplankton merupakan salah satu indikator kualitas perairan. Kelimpahan fitoplankton sangat dipengaruhi oleh cahaya dan unsur hara (nitrat dan fosfat), tetapi total padatan terlarut di perairan atau TSS mengabsorbsi cahaya sehingga mengurangi penetrasi cahaya yang sangat dibutuhkan oleh fitoplankton.

Fitoplankton yang ditemukan selama penelitian terdiri dari 9 jenis dari kelas Bacillariophyceae dan kelas Dinophyceae. Dari 9 jenis fitoplankton yang ditemukan saat penelitian, 7 jenis ditemukan di pulau Lanyukang, kemudian 6 jenis di pulau Barranglompo dan 4 jenis ditemukan di pulau Laelae, lebih jelasnya lihat Tabel 7 di bawah ini.

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2

Laelae Barrang Lompo Lanyukang

K

o

ns

e

nt

ra

si

(

m

g

/l

)


(45)

Tabel 7 Jenis dan Kepadatan Fitoplankton di perairan Pulau Laelae, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Lanyukang.

Kedua kelas fitoplankton yang ditemukan merupakan kelas utama dan sering ditemukan pada perairan laut, hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Nybakken (1988) bahwa diatom (Bacillariophyceae) dan dinoflagellata (Dinophyceae) merupakan jenis fitoplankton yang umum terdapat di laut, berukuran besar serta biasa tertangkap oleh jaring plankton dan Diatom berdistribusi sangat luas serta sering dominan diperairan (Basmi J 1999).

Dari tabel 7 ini terlihat bahwa total Jenis dan kelimpahan fitoplankton terbanyak dari ketiga pulau tersebut adalah pulau Lanyukang, hal ini diduga kuat karena letak pulau Lanyukang berada didekat selat Makassar dimana pada musim timur sering terjadi upwelling yang membawa bukan hanya nutrien tapi juga fitoplankton ke permukaan. Dengan adanya proses taikan air (upwelling) akan mempengaruhi kondisi kehidupan fitoplankton, keanekaragaman dan distribusinya, serta pengayakan nutrisi di perairan tersebut (Olivieri PB, Chapman A, Mittchell I in Sediadi 2004). Dugaan ini diperkuat bahwa di perairan pulau Lanyukang telah terjadi upwelling adalah pada saat pengukuran suhu secara in situ diperoleh suhu sekitar 29oC sementara suhu perairan pengukuran secara in situ Pulau Laelae dan Pulau Barrang Lompo sekitar 31o

Jenis Fitoplankton

C. Adapun tingginya kelimpahan genus Chaetoceros sp di perairan Pulau Lanyukang, hal ini juga diduga ada kaitannya dengan upwelling yang terjadi pada musim timur, hal ini sesuai dinyatakan bahwa pada musim timur kelimpahan fitoplaknton lebih besar dari musim peralihan dan juga pada musim timur jenis fitoplankton yang

Kepadatan Fitoplankton (Individu/liter) Laelae Barrang lompo Lanyukang

Coscinodiscus sp 57.6 72 54

Nitzschia sp 79.2 64.8 234

Diatoma sp 21.6 - -

Rhizosolenia sp 28.8 108 108

Chaetoceros sp - 108 270

Ceratium sp - 14.4 36

Thalassiothrix sp - 50.4 0

Gymnodinium sp - - 72

Peridinium sp - - 54


(46)

mendominasi adalah genus Chaetoceros sp dari kelompok Diatom, begitupula perairan di Kawasan Timur Indonesia (Sediadi A 2004). Fenomena ini juga dikuatkan oleh Damar (2003) bahwa pada musim penghujan genera utama fitoplankton diteluk Jakarta adalah Chaetoceros sp dan Basmi (1999) bahwa Diatoma dan Ceratoneis lebih senang hidup pada daerah temperate yang lebih dingin, sehingga mereka berkembangbiak sangat baik pada musim dingin itu.

Untuk melihat jenis dan kelimpahan fitoplankton tersebut lebih jelasnya dapat dilihat dari Gambar 8 dibawah ini.

Gambar 8. Jenis dan Kepadatan Fitoplankton di Pulau Laelae, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Lanyukang.

. Jenis fitoplankton yang tertinggi saat penelitian adalah Chaetoceros sp yaitu 270 individu/liter, yang ditemukan di pulau Lanyukang, namun jenis fitplankton ini tidak ditemukan di pulau Laelae, selain itu tidak semua jenis fitoplakton sama ditemukan berada di setiap lokasi penelitian. Total kelimpahan fitoplakton tertinggi adalah di pulau Lanyukang 828 individu/liter, kemudian pulau Barranglompo 417.6 individu/liter dan pulau Laelae 187.2 individu/liter. Tingginya kelimpahan fitoplankton di pulau Lanyukang selain disebabkan oleh upwelling. Selain itu, dalam penelitian juga ditemukan adanya perbedaan jenis dan kelimpahan fitoplankton antar pulau, hal ini didasari dari perhitungan analisis varians (anova) diperoleh hasil F-hitung (4.301) > F-tabel (3.633). Hal lain yang diperoleh dari penelitian ini bahwa di pulau Laelae sedikit ditemuka n jenis fitoplankton yaitu; Coscinodiscus sp, Nitzschia sp, Thalassionema sp, Rhizosolenia sp. Rendahnya jenis fitoplankton di pulau Laelae dibandingkan dengan Pulau Barrang Lompo dan Pulau Lanyukang diduga karena tingginya

0 100 200 300 400 500 600 700 800

Laelae Barrang lompo Lanyukang

K e li m pa ha n ( Ind/ li te r) Coscinodiscus sp Nitzschia sp Diatoma sp Rhizosolenia sp Chaetoceros sp Ceratium sp Thalassiothrix sp Gymnodinium sp Peridinium sp


(47)

konsentrasi konsentrasi TSS yang mengurangi penetrasi cahaya. Faktor lain yang menyebabkan tinggi rendahnya jenis dan kelimpahan fitoplankton adalah ratio N/ P dan P di suatu perairan. Rasio N : P disuatu badan air dapat digunakan untuk menduga jenis alga yang mungkin terdapat pada konsentrasi nutrien berbeda (Warsa et al. 2006 ).

4.4 Keterkaitan Fitoplankton dengan Kondisi Perairan

Jenis dan kelimpahan fitoplankton terkait erat dengan kondisi perairan seperti tingkat kesuburan dan tingkat pencemaran perairan dimana bila unsur N dan P melimpah akan menimbulkan blooming fitoplakton, hal ini sesuai dengan Tabel 8 di bawah ini.

Tabel 8 Kriteria kesuburan berdasarkan N dan P serta nilai biomas dan produktivitas primer fitoplankton.

Parameter Tingkat kesuburan Perairan

Oligotrofik Mesotrofik Eutrofik

N anorganik (pbb) 0-200 200-400 400-650

P-Total (pbb) 0-5 5.-10 .10-30

Biomassa (mg berat kering/m3 20-200 200-600 600-10.000

Produktivitas primer(gr berat kering/m2

/thn) 15-50 50-150 150-500

Dalam kaitannya dengan pertumbuhan fitoplankton, maka konsentrasi ortofosfat dan nitrat dari ketiga pulau tersebut berada dalam kisaran pertumbuhan optimal bagi kehidupan fitoplankton. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Wardoyo (1975) in Erna bahwa untuk pertumbuhan optimal fitoplankton memerlukan kandungan ortofosfat pada kisaran 0.09-1.80 mg/l, dan sesuai juga dengan kriteria fosfat menurut Joshimura in Liaw (1969) in Simanjuntak M (2003), lihat Tabel 9 di bawah ini.

Tabel 9 Kriteria kesuburan perairan menurut Joshimura in Liaw 1969. Kandungan fosfat (mg/liter) Kesuburan Perairan

0.000-0.020 Rendah

0.021-0.050 Cukup

0.051-0.100 Baik


(48)

Sedangkan menurut Perkins (1974) in Erna (2008), kandungan ortofosfat yang terdapat diperairan umumnya tidak lebih dari 0,1 mg/l, kecuali pada perairan yang menerima limbah dari rumah tangga dan industri tertentu, serta dari daerah pertanian yang mendapat pemupukan fosfat. Oleh karena itu, ketiga perairan pulau tersebut di atas yang mengandung mengandung unsur N dan P yang cukup tinggi melebihi kebutuhan normal organisme akuatik sehingga berpeluang menyebabkan terjadinya blooming fitoplankton tertentu.

Selain kondisi lingkungan yang eutrofik dari ketiga pulau tersebut, juga diduga tercemar, hal ini dibuktikan dengan kehadiran diatom Nitzschia sp di perairan ketiga pulau tersebut, hal ini sesuai dengan Basmi (1999) bahwa sistem saprobik yang dipakai sebagai indikator tingkat pencemaran kondisi perairan berdasarkan organisme fitoplankton termasuk Diatom antara lain Nitzschia sp, Hantzcschia amphioxys, Stephanodiscu hantzschii, merupakan penghuni perairan α-mesosaprobik yang merupakan indikator biologi bahwa perairan yang dihuninya tercemar berat.

Jenis dan kelimpahan fitoplankton di pulau Laelae ditemukan hanya 4 jenis fitoplankton (lihat tabel 6), hal ini diduga kuat karena terjadi pencemaran perairan di pulau Laelae sehingga mengakibatkan fitoplankton tertentu saja yang mampu beradaptasi, hal ini sesuai dengan Ravera (1979) in Basmi (1999) bahwa keberadaan Diatom di perairan yang terpolusi dan tidak terpolusi akan mem-

perlihatkan perbedaan baik dalam jumlah spesies maupun jumlah individu per spesies.

4.5. Kepadatan zooxanthellae dan nutrien

Simbiosis antara karang dan zooxanthellae sangat sensitif dengan gangguan lingkungan, ketika karang terkena gangguan maka karang akan nampak memutih akibat kehilangan zooxanthellae. peristiwa ini disebut bleaching (Brown and Ogden 1993 in Hidaka & Miyagi 1999). Keluarnya zooxanthellae dari inangnya dapat disebabkan oleh kenaikan suhu, salinitas, dan runoff yang meningkatkan nutrien perairan.

Anorganik itu merupakan sisa metabolisme karang dan hanya sebagian kecil anorganik diambil dari perairan. Begitupula sebaliknya kehidupan karang hermatipik sangat tergantung oleh keberadaan zooxanthellae. Tanpa zooxanthellae


(49)

karang akan mengalami kematian. Dari hasil penelitian ini, diperoleh bahwa nilai rata-rata kepadatan zooxanthellae antar pulau (Pulau Laelae, Pulau Barrang Lompo dan Pulau Lanyukang adalah berbeda.

Tingginya kepadatan zooxanthellae di Pulau Lanyukang dibandingkan dua pulau lain karena polip karang yang berada di Pulau Lanyukang ini mendapat sumber makanan yang melimpah berupa partikel terlarut dan zooplankton yang berasal dari resuspensi dan upwelling. Kesemuanya ini merupakan sumber makanan, hal ini sangat menguntungkan bagi polip karang karena sifat karang yang heterotrofik di mana karang merupakan predator rakus bagi zooplankton (Titlyanov et al. 2000; Grottoli 2002; Ferrier P et al. 2003; Fabricus dan Metzner 2004; Palardy et al 2005 in Haulbreque F dan Ferrier 2008).

Perubahan pola makan karang dari autotrofik ke heterotrofik merupakan adaptasi karang yang umumnya hidup di perairan oligotrofik, namun tekanan lingkungan dalam hal ini upwelling dan resuspensi yang terjadi di Pulau Lanyukang di mana kedua faktor ini meningkatkan nutrien dan partikel terlarut yang melimpah di sekitar perairan sehingga karang memakan partikel terlarut (

Akibat tersedianya nutrien, partikel terlarut, zooplankton dan fitoplankton yang melimpah, menjadikan polip karang active feeding, dengan demikian polip akan tumbuh membesar karena banyaknya sumber makanan yang tersedia dan memberi ruang bagi zooxanthellae untuk berkembangbiak, di sisi lain hasil buangan dari polip karang akan dimanfaatkan oleh zooxanthellae untuk membelah diri. Sifat heterotrofik dari polip karang inilah sehingga polip memiliki kemampuan survive tinggi selain sifat autotrofik yang dimilikinya, dan sifat hererotrofik ini menunjukkan bahwa polip karang tidak mutlak tergantung pada produksi zooxanthellae. Sifat heterotrofik ini di gunakan karang bila perairan melimpah partikel terlarut seperti di Pulau Lanyukang. Berbeda halnya dengan di Pulau Laelae, kepadatan zooxanthellae terendah karena ada pengaruh sedimentasi

Anthony& Fabricius 2000).

yang terbawa runoff dari daratan utama. Hal ini dapat dilihat dari tingginya konsentrasi TSS, dan hasil pengamatan langsung kondisi perairan Laelae yang menunjukkan perairan warna hijau akibat pertumbuhan makroalga. Perbedaan kepadatan zooxanthellae tersebut dapat dilihat dari Tabel 10 di bawah ini.


(1)

Lampiran 4. Perhitungan Analisa sidik ragam kepadatan zooxanthellae pada pulau Laelae.

Anova: Single Factor SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

A.appressa 3 763333.3333 254444.444 1.19E+10 P. lobata 3 828650.7548 276216.918 1.03E+09 Acropora

sp 3 458508.2858 152836.095 2.21E+09

ANOVA Source of

Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 2.602E+10 2 1.3011E+10 2.575411 0.155788 5.143253 Within Groups 3.031E+10 6 5051839086

Total 5.633E+10 8

Pulau Lae-lae

A.appressa P. lobata Acropora sp 1.32E+05 2.42E+05 1.08E+05 2.89E+05 3.06E+05 2.02E+05 3.42E+05 2.80E+05 1.48E+05


(2)

Lampiran 3. Perhitungan analisa sidik ragam kepadatan zooxanthellae Acropora appressa antar pulau.

Anova: Single Factor SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance Laelae 3 763333.3 254444.4 1.19E+10 Barrang

Lompo 3 1817189 605729.7 1.8E+09

Lanyukang 3 2367104 789034.6 5.74E+10 ANOVA

Source of

Variation SS df MS F P-value F crit

Between

Groups 4.43E+11 2 2.21E+11 9.344824 0.014352 5.143253 Within

Groups 1.42E+11 6 2.37E+10

Total 5.85E+11 8

Data kepadatan zooxanthellae Acropora appressa

PulauLaelae Pulau Barrang Lompo Pulau Lanyukang

1.32E+05 6.02E+05 5.27E+05

2.89E+05 6.50E+05 8.42E+05


(3)

Lampiran 5. Perhitungan Analisa sidik ragam kepadatan zooxanthellae pada pulau Barrang Lompo.

Anova: Single Factor SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

P. mayeri 3 1500333.33 500111.1111 1.7E+11 P. Lobata 3 894737.251 298245.7505 2.54E+10 A. appressa 3 1817189.18 605729.7267 1.8E+09

ANOVA Source of

Variation SS df MS F

P-value F crit Between Groups 1.46451E+11 2 7322565573 1.11675 0.38699 5.143253 Within Groups 3.93421E+11 6 6557022810

Total 5.39873E+11 8

Barrang Lompo

P. mayeri P. Lobata A. appressa 3.69E+05 2.38E+05 6.02E+05 1.70E+05 4.79E+05 6.50E+05 9.61E+05 1.78E+05 5.65E+05


(4)

Lampiran 6. Perhitungan Analisa sidik ragam kepadatan zooxanthellae pada pulau Lanyukang.

Anova: Single Factor

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

Acropora appressa 3 2367103.78 789034.5947 5.74E+10 Acropora formosa 3 685409.632 228469.8772 3.65E+10 Montipora sp 3 2261111.11 753703.7037 2.07E+11

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 5.91352E+11 2 2.95676E+11 2.94790 0.12830 5.143253 Within Groups 6.01785E+11 6 1.00297E+11

Total 1.19314E+12 8

Lanjukang

A. appressa A. formosa Montipora sp 5.27E+05 1.58E+05 3.12E+05 8.42E+05 8.30E+04 7.28E+05 9.97E+05 4.45E+05 1.22E+06


(5)

Acropora appressa Porites lobata Porites mayeri

Acropora sp

Porites lobata Acropora sp

Kondisi perairan pulau Barrang Lompo Kondisi Perairan Pulau Laelae


(6)

RINGKASAN

ISMAIL.Kajian Kepadatan Zooxanthellae di dalam Jaringan Karang pada Tingkat Eutrofikasi yang Berbeda di Perairan Kepulauan Spermonde Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan.

Dibimbing oleh ARIO DAMAR dan JAMALUDDIN JOMPA.

Fluktuasi kepadatan zooxanthellae sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan. Salah satu faktor yang berpengaruh pada kondisi perairan adalah masukan nutrien, terutama nitrat dan fosfat. Masukan nutrien ke dalam perairan akan memicu pertumbuhan alga termasuk meningkatkan kepadatan zooxanthellae.

Di sisi lain zooxanthellae bersama inangnya karang (polip) tumbuh normal di kondisi perairan yang miskin nutrien (oligotrofik), dan justru pada kondisi perairan yang banyak nutrien (eutrofik) menyebabkan karang tidak berkembang baik. Sebagian besar sumber nutrien zooxanthellae disuplai dari inangnya, selebihnya diambil dari lingkungan,

Kajian kepadatan zooxanthellae di dalam jaringan karang pada kedalaman 2-3 meter di 3 lokasi berbeda yaitu pulau Laelae, pulau Barrang Lompo dan pulau Lanyukang bertujuan untuk mengkaji fluktuasi kepadatan zooxanthellae di perairan yang terkena masukan nutrien (eutrofikasi) dari daratan utama, sedangkan manfaat penelitian ini akan menambah informasi bagi pengelolaan terumbu karang di masa yang akan datang khususnya di Kepulauan spermonde.

Dalam penelitian ini, parameter yang dipakai untuk menilai tingkat eutrofikasi perairan adalah berdasarkan konsentrasi nitrat, fosfat dan total padatan tersuspensi (TSS). Adapun metode penelitian yang digunakan dalam menghitung kepadatan zooxanthellae yaitu dengan cara permukaan sampel karang dikerik dengan lempengan tipis yang terbuat dari stainless, dan hasil kerikan ini disimpan dalam formalin 4%, lalu digerus di dalam cawan petri sampai halus, kemudian diambil satu tetes dan dimasukkan perlahan-lahan ke haemocytometer, lalu dihitung di bawah mikroskop, sedangkan bekas kerikan sampel karang dihitung luasnya.

Berdasarkan hasil perhitungan, kisaran kepadatan zooxanthellae terendah di pulau Laelae 1,53 x 105 sel/cm2, tertinggi 2,76 x 105 sel/cm2 , di pulau Barrang Lompo terendah 2,98 x 105 sel/cm2, tertinggi 6,45 x 105 sel/cm2, dan pulau Lanyukang terendah 4,83 x105 sel/cm2, tertinggi 7,89 x 105 sel/cm2

Adanya perbedaan kepadatan zooxhantellae antar pulau pada kedalaman 2-3 meter diduga kuat disebabkan oleh faktor sumber masukan nutrien yang berbeda antar pulau dimana masukan nutrien pulau Laelae di pengaruhi dari

runoff kota Makassar dan pulau Lanyukang dipengaruhi masukan nutrien dari resuspensidan upwelling yang terjadi di Selat Makassar. sedangkan pulau Barrang Lompo relativ tidak dipengaruhi oleh kedua faktor tersebut, runoff dan upwelling. . Sedangkan dengan statistik ANOVA satu faktor diperoleh Fhitung (9,34) >Ftabel (5,14) atau p<0,05, ini menunjukkan bahwa ada perbedaan kepadatan zooxhantellae antar pulau.

Kata kunci: Kepulauan spermonde, daratan utama, kepadatan zooxanthellae, nutrien,runoff, upwelling.