SERAT PANGAN TINJAUAN PUSTAKA
9 pun dapat mempengaruhi kadar RS. Komponen-komponen tersebut diantaranya adalah protein,
serat, inhibitor enzim, ion, gula, lemak dan emulsifier. Interaksi protein dengan pati dapat menurunkan kadar RS seperti yang terjadi pada pati
kentang yang ditambah dengan albumin ketika diotoklaf dan didinginkan pada suhu -20°C. Serat pangan tidak larut seperti selulosa dan lignin memberikan pengaruh yang kecil dibandingkan
dengan ion kalium dan kalsium terhadap kadar RS. Ion kalium dan kalsium dapat menurunkan kadar pati resisten karena ion-ion ini dapat menghambat pembentukan ikatan hidrogen antar
rantai amilosa dan amilopektin Escarpa et al. 1997. Penambahan gula seperti glukosa, maltosa, sukrosa, dan ribosa diketahui dapat menurunkan tingkat kristalisasi dan menurunkan kadar RS.
Hal ini terjadi karena mekanisme retrogradasi dapat dihambat oleh interaksi antara molekul gula sederhana dan rantai molekul pati yang dapat mengubah matriks dari pati yang tergelatinisasi
Kohyama dan Nishinari 1991. Lemak dapat berinteraksi dengan rantai amilosa membentuk kompleks yang mudah dihidrolisis oleh enzim pencernaan. Pembentukan kompleks amilosa dan
lemak ini dapat menurunkan pembentukan RS Czuchajowska et al. 1991.
Kadar pati resisten pisang alami yaitu RS II masih sangat rendah yaitu 1.51 g100 g bk Saguilan et al. 2005. Menurut Sajilata et al. 2006 untuk mengembangkan pati resisten
komersil, sebaiknya digunakan pati yang secara alami mengandung kadar amilosa tinggi. Pisang adalah sumber karbohidrat tinggi dimana komponen utamanya adalah pati. Eggleston et al.
1992 melaporkan bahwa kandungan amilosa plantain berkisar antara 10-11. Kandungan amilosa pisang yang tinggi ini dapat membantu dalam peningkatan kadar pati resisten di dalam
tepung pisang modifikasi yang dihasilkan. Sajilata et al. 2006 menyatakan bahwa amilosa akan membentuk pati resisten tipe III yang stabil terhadap panas, sangat kompleks, dan tahan enzim
amilase. Saguilan et al. 2005 menyatakan bahwa RS yang terkandung pada pati alami pisang adalah 1.51 dan mengalami peningkatan 10 kali setelah diberi perlakuan pemanasan bertekanan
pada suhu 121
o
C selama 1 jam autoclaved starch. RS memiliki sifat resisten terhadap enzim pencernaan manusia dan dapat diklasifikasikan
sebagai serat pangan oleh AACC 2000. Meskipun terdapat kemungkinan bahwa RS terdiri dari molekul dextrin dengan berat molekul yang rendah, namun RS mengandung molekul-molekul
amilosa teretrogradasi sebagai fraksi utama dalam RS Ranhotra et al. 1991. Haralampu 2000 menyatakan bahwa dalam analisis, RS akan teruji sebagai IDF tetapi memiliki fungsi fisiologis
seperti SDF.
RS telah direkomendasikan untuk digunakan sebagai prebiotik untuk meningkatkan pertumbuhan bakteri menguntungkan seperti Bifidobacterium Brown et al. 1996. Setelah
mencapai kolon RS akan difermentasi oleh mikroflora usus dan menghasilkan asam lemak rantai pendek atau short-chain fatty acid SCFA Sajilata 2006. SCFA yang dihasilkan dari fermentasi
RS mengandung asatat dalam jumlah yang rendah dan butirat dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan SCFA yang dihasilkan dari fermentasi serat pangan biasa. SCFA
merupakan sumber energi untuk sel-sel kolon butirat dan untuk sel-sel tubuh lainnya asetat dan propionat.
Respon insulin setelah mengonsumsi makanan yang mengandung sejumlah RS akan lebih rendah jika dibandingkan dengan setelah mengonsumsi pati yang dapat dicerna Cherbuy et al.
2004. RS dalam usus halus menurunkan respon glikemik dan insulemik pada manusia penderita diabetes, hiperinsulemik, dan disiplidemia Okoniewska dan Witwer 2007. Suplemen serat
pangan dan RS berpotensi memperbaiki sensitivitas hormon insulin Robertson et al. 2005. Menurut Lehmann 2002, dibandingkan FOS Fruktooligosakarida, RS memiliki beberapa
kelebihan diantaranya tidak menyebabkan sembelit, dapat menurunkan kolesterol, dan indeks glikemik, dengan sumber yang beragam.