IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil 4.1.1 Penelitian Tahap I
Penelitian tahap satu ini dilaksanakan dengan tiga perlakuan dan dua ulangan yaitu kepadatan udang vaname sebanyak 5, 10, dan 15 ekor100 liter air
tiap akuarium. Pada penelitian ini dilakukan pengamatan kelangsungan hidup SR, bobot dan average daily gain ADG udang agar diketahui jumlah padat
tebar yang baik untuk penelitian tahap kedua sehingga pada penelitian tahap kedua udang yang mati bukan karena terlalu padat tetapi memang dipengaruhi
oleh perlakuan. Nilai pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang selama masa penelitian ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Pertumbuhan udang vaname Litopenaeus vannamei selama penelitian tahap I
Perlakuan ekor
udang 100 liter
Bobot Awal g Bobot Akhir g
Average Daily Gain
ADG ghari
Kelangsungan Hidup
Total Rata-
rata Total
Rata- rata
5 34,074
6,815 41,111
8,222 0,201
100,0 10
75,177 7,518
68,639 8,580
0,152 80,0
15 107,066 7,138
103,021 7,899 0,109
86,7 Dari Tabel 1 terlihat bahwa nilai kelangsungan hidup dan pertambahan berat
harian dalam satu periode pemeliharaan udang vaname pada tahap I diperoleh hasil yang paling tinggi pada perlakuan padat tebar 5 ekor100 liter. Nilai
kelangsungan hidup dan ADG udang vaname yang dipelihara secara sederhana dengan padat tebar 7 ekorm
2
di tambak BBPBAP Jepara sebesar 93 dan 2,24
gram per hari pada masa pemeliharaan 60 hari dengan berat rata-rata udang sebesar 8,97 gram Arifin et al. 2005. Dari data penelitian Budiardi 2008
diperoleh nilai kelangsungan hidup dan ADG udang vaname dengan padat tebar 85 ekorm
2
sebesar 88 dan 0, 199 gram per hari dengan pemeliharaan udang secara intensif di tambak pada masa pemeliharaan 60 hari dengan bobot rata-rata
0.0 0.5
1.0 1.5
2.0 2.5
1 2
3 4
Minggu ke- P
e rt
u m
b u
h a
n H
ar ia
n A
B C
D
8,3 gram. Apabila dibandingkan nilai kelangsungan hidup dan ADG udang vaname pada penelitian tahap satu ini dengan hasil penelitian secara sederhana
dan intensif diatas maka dapat disimpulkan perlakuan padat tebar 5 ekor per 100 liter yang paling baik karena berada pada kisaran yang normal. Dari hasil tersebut
dipilih perlakuan 5 ekor100 liter untuk digunakan pada penelitian tahap kedua. Pengamatan selama 5 jam menunjukkan bahwa konsentrasi amoniak dalam
air sampai jam ke-4 terus meningkat dan mulai menurun pada jam ke-5. Nilai ekskresi amoniak tertinggi pada jam ke-4. Nilai rata-rata ekskresi amoniak per
jam sebesar 0,004 mgg tubuhjam. Konsentrasi amoniak di dalam air dan nilai ekskresi amoniak dapat dilihat pada Table 2.
Tabel 2 Konsentrasi amoniak mgl dalam air selama 5 jam dan ekskresi amoniak rata-rata per jam mgg tubuhjam
Perlakuan Waktu Pengamatan jam ke-
Bobot Rata-rata
Ekskresi Amoniak
1 2
3 4
5 Udang
g mgg
tubuhjam
U1 0,356
0,438 0,535
0,603 0,671
0,620 7,890
0,005 U2
0,544 0,586
0,540 0,580
0,660 0,643
8,214 0,003
Rata-rata 0,450
0,512 0,537
0,591 0,665
0,631 8,052
0,004
4.1.2 Penelitian Tahap II 4.1.2.1 Pertumbuhan Udang Vaname
Gambar 1 Laju pertumbuhan harian udang dengan perlakuan perbedaan padat tebar rumput laut A tanpa rumput laut, B 3,125 gl, C 6,250 gl
dan D 9,375 gl pada media pemeliharaan udang vaname Litopenaeus vannamei dan rumput laut Gracilaria verrucosa
20 40
60 80
100 120
1 2
3 4
Minggu ke- K
e la
n g
su n
g a
n H
id u
p A
B C
D
Bobot udang vaname pada minggu ke-2, 3 dan 4 berbeda nyata antar perlakuan P0,05 Lampiran 11.
Bobot udang paling rendah pada perlakuan A tanpa rumput laut daripada perlakuan dengan rumput laut Lampiran 7 dan 11.
Laju pertumbuhan harian udang setiap perlakuan terus menurun sampai akhir penelitian. Laju pertumbuhan harian udang tidak berbeda nyata P0,05 antar
perlakuan tanpa rumput laut A dan perlakuan padat tebar rumput laut 3,123; 6,250 dan 9,375 gl di setiap minggu hingga akhir penelitian.
4.1.2.2 Kelangsungan Hidup
Nilai kelangsungan hidup udang vaname SR pada penelitian tahap II, pada minggu pertama sampai akhir penelitian tiap minggunya menunjukkan adanya
perbedaan P0,05 antar perlakuan dengan rumput laut dan tanpa rumput laut Lampiran 13. SR udang pada perlakuan dengan rumput laut B, C dan D lebih
tinggi daripada perlakuan tanpa rumput laut A. Pada Gambar 2 terlihat bahwa nilai kelangsungan hidup menunjukkan trend yang sama yaitu SR perlakuan A
tanpa rumput laut selalu berada dibawah perlakuan dengan rumput laut. Nilai kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan padat tebar rumput laut 3,125 gl B
yaitu 82,67. Nilai kelangsungan hidup udang vaname dari awal sampai akhir penelitian dapat dilihat pada Lampiran 8.
Gambar 2 Nilai kelangsungan hidup udang dengan perlakuan perbedaan padat tebar rumput laut A tanpa rumput laut, B 3,125 gl, C 6,250 gl
dan D 9,375 gl pada media pemeliharaan udang vaname Litopenaeus vannamei dan rumput laut Gracilaria verrucosa
4.1.2.3 Pertumbuhan Rumput Laut
Pada Tabel 3 ditunjukkan kondisi biomassa rumput laut selama empat minggu pemeliharaan. Pertumbuhan tanaman berbeda antar padat tebar 3,125 gl
dengan 6,250 gl dan 9,375 gl P0,05. Hal ini dapat dilihat dengan adanya pertambahan bobot basah tanaman dari waktu ke waktu yang diamati setiap
minggu. Pertumbuhan tanaman dari setiap periode pengamatan menunjukkan adanya peningkatan pada tahap awal masa pemeliharaan dan mengalami
penurunan setelah minggu ketiga. Tabel 3 Bobot kg rumput laut Gracilaria verrucosa yang dipelihara bersama
udang vaname dengan perlakuan perbedaan padat tebar rumput laut B 3,125 gl, C 6,250 gl dan D 9,375 gl
Perlakuan
Minggu ke- 1
2 3
4 B
1,562
a
1,888
a
2,284
a
2,786
a
3,255
a
C 3,125
b
3,777
b
4,564
b
5,307
b
5,963
b
D 4,688
c
5,396
c
5,927
c
6,283
c
6,563
c
Angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata antar perlakuan pada tiap tahap waktu pada taraf uji 5
Pada Lampiran 15 dijelaskan, bahwa peningkatan laju pertumbuhan harian rumput laut di minggu ke-1 dan ke-2 berbeda nyata antar perlakuan padat tebar
9,375 gl dengan padat tebar 3,125 gl dan 6,250 gl. Sedangkan pada minggu ke-3 dan 4 peningkatan laju pertumbuhan harian rumput laut berbeda antar petak
P0,05. Peningkatan laju pertumbuhan harian rumput laut terdiri dari tiga kelompok, padat tebar 3,125 gl paling tinggi yaitu 2,62, sedang pada padat
tebar 6,250 gl yaitu 2,31 serta kelompok dengan laju pertumbuhan harian paling rendah yaitu padat tebar 9,375 gl 1,20. Berdasarkan dari data laju
pertumbuhan harian yang disajikan pada Gambar 3, bahwa dari pengamatan minggu ketiga pada perlakuan 3,125 gl mencapai maksimum dan menurut pada
minggu ke-4. Nilai laju pertumbuhan yang berbeda pada perlakuan C dan D dibandingkan perlakuan B disebabkan adanya perbedaan padat tebar.
Pemeliharaan dengan padat tebar yang tinggi mengakibatkan ketidakseimbangan
nutrien yang tersedia di dalam air dengan kebutuhan untuk pertumbuhan rumput laut yang ada di dalam wadah sehingga nilai laju pertumbuhan hariannya lebih
rendah.
Gambar
3 Laju pertumbuhan harian rumput laut dengan perlakuan perbedaan padat tebar rumput laut B 3,125 gl, C 6,250 gl dan D 9,375 gl
pada media pemeliharaan udang vaname Litopenaeus vannamei dan rumput laut Gracilaria verrucosa
4.1.2.4 Rasio Konversi Pakan FCR dan Retensi Nitrogen
Pada Tabel 4 diperlihatkan bahwa FCR pakan pada penelitian ini tidak berbeda nyata P0,05. Nilai FCR terkecil pada perlakuan padat tebar rumput
laut 3,125 gl 1,99 dan terbesar pada perlakuan tanpa rumput laut dengan nilai 2,69.
Tabel 4 Nilai konversi pakan FCR, retensi nitrogen udang dan rumput laut pada perlakuan perbedaan padat tebar rumput laut B 3,125 gl, C 6,250 gl
dan D 9,375 gl dan tanpa rumput laut A
Perlakuan FCR
Retensi N gr Udang
Rumput Laut A
2,69
a
0,59
b
- B
1,99
a
2,73
a
14,62
a
C 2,02
a
1,60
ab
8,54
c
D 2,24
a
1,78
ab
12,46
b
Angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata antar perlakuan pada tiap tahap waktu pada taraf uji 5
0.0 0.5
1.0 1.5
2.0 2.5
3.0
1 2
3 4
M inggu ke- L
aj u
P er
tu m
b u
h an
H ar
ia n
B C
D
0 .0 0 .2
0 .4 0 .6
0 .8 1.0
1.2 1.4
1.6
1 2
3 4
M ing g u ke- A
B C
D
Nilai retensi nitrogen udang berbeda nyata pada setiap perlakuan P0,05 sehingga terjadi pengelompokan, yaitu perlakuan dengan retensi nitrogen udang
tinggi pada perlakuan padat tebar rumput laut 3,125 gl, sedang 6,250 gl dan 9,375 gl serta rendah pada perlakuan A tanpa rumput laut. Dari Tabel 4
ditunjukkan bahwa nilai retensi nitrogen rumput laut Gracilaria verrucosa berbeda nyata antar perlakuan P0,05 dengan retensi pada perlakuan 3,125 gl
lebih tinggi daripada padat tebar rumput laut 6,250 gl dan 9,375 gl.
4.1.2.5 Kualitas Air
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi total amoniak TAN pada semua perlakuan pada minggu pertama meningkat terutama pada perlakuan
kontrol A. Puncak konsentrasi TAN pada perlakuan tanpa rumput laut A dan B 3,125 gl rumput laut terjadi pada minggu ini Gambar 4. Pada minggu ke- 2
konsentrasi TAN menurun pada setiap perlakuan, sedangkan pada minggu ke- 3 konsentrasi TAN pada perlakuan B 3,125 gl rumput laut masih terus menurun
sebaliknya pada perlakuan tanpa rumput laut, C 6,250 gl dan D 9,375 gl mulai naik kembali sampai akhir penelitian. Peningkatan tertinggi terjadi pada
perlakuan D padat tebar rumput laut tertinggi yaitu 9,375 gl, yang berbeda nyata nyata dengan perlakuan lainnya Lampiran 19.
Gambar 4 Perubahan konsentrasi total amoniak nitrogen TAN dengan perlakuan perbedaan padat tebar rumput laut A tanpa rumput laut, B 3,125 gl,
C 6,250 gl dan D 9,375 gl pada media pemeliharaan udang vaname Litopenaeus vannamei dan rumput laut Gracilaria
verrucosa
0 .0 0 .5
1.0 1.5
2 .0 2 .5
3 .0
1 2
3 4
M ing g u ke- A
B C
D 0 .0
0 .2 0 .4
0 .6 0 .8
1.0 1.2
1.4
1 2
3 4
M ing g u ke- A
B C
D
Gambar 5 Perubahan konsentrasi nitrit dengan perlakuan perbedaan padat tebar rumput laut A tanpa rumput laut, B 3,125 gl, C 6,250 gl dan D
9,375 gl pada media pemeliharaan udang vaname Litopenaeus vannamei
dan rumput laut Gracilaria verrucosa
Gambar 6 Perubahan konsentrasi nitrat dengan perlakuan perbedaan padat tebar rumput laut A tanpa rumput laut, B 3,125 gl, C 6,250 gl dan D
9,375 gl pada media pemeliharaan udang vaname Litopenaeus vannamei
dan rumput laut Gracilaria verrucosa Konsentrasi nitrit pada minggu pertama dari semua perlakuan meningkat
pada perlakuan A dan C terus meningkat hingga minggu ke-2 dan baru turun pada
minggu ke-3 hingga akhir penelitian, sedangkan pada perlakuan B dan D pada minggu ke-2 konsentrasi nitrit mulai turun dan terus menurun hingga akhir
penelitian Gambar 5. Dari hasil analisis statistik, pada minggu ke empat nilai kandungan nitrit berbeda nyata P0,05 dengan perlakuan yang lainnya yaitu
perlakuan tanpa rumput laut A lebih tinggi daripada padat tebar rumput laut 3,125 gl; 6,250 gl dan 9,375 gl.
Konsentrasi nitrat meningkat di minggu ke-1, dan terjadi penurunan di minggu ke-3 sampai akhir penelitian Gambar 6. Kandungan nitrat pada minggu
ke-1 berbeda antar perlakuan. Kandungan nitrat tertinggi pada perlakuan padat tebar tanpa rumput laut 9,375 gl yaitu 0,945 mgl. Hasil analisis statistik pada
minggu ke-2, 3 dan 4 tidak berbeda P0,05 antar perlakuan. Pengamatan kualitas air pemeliharaan meliputi oksigen terlarut DO, suhu,
salinitas dan pH. Salinitas dan oksigen terlarut pada media dengan rumput laut fluktuasinya lebih kecil dari pada media tanpa rumput laut. Sedangkan untuk suhu
dan pH pada setiap perlakuan tidak ada perbedaan, suhu dan pH pada perlakuan dengan rumput laut dan tanpa rumput laut hampir sama sampai akhir penelitian
Lampiran 10. Nilai dari keempat parameter kualitas air media pemeliharaan masih di dalam kisaran normal untuk hidup udang dan rumput laut Gracilaria
verrucosa .
4.2. Pembahasan
Pemanfaatan nitrogen terlarut oleh rumput laut di perairan bertujuan untuk mengurangi beban dalam media budidaya. Pada minggu awal penelitian terlihat
jelas Gambar 4 kandungan total amoniak nitrogen TAN pada perlakuan tanpa rumput laut A meningkat tiga kali lebih tinggi dari perlakuan dengan rumput
laut B, C dan D. Kandungan TAN pada perlakuan dengan rumput laut bertambah tetapi tidak terlalu tinggi, dikarenakan rumput laut dapat
memanfaatkan senyawa nitrogen Lampiran 9. Rumput laut dapat memanfaatkan N terlarut dalam perairan melalui proses difusi dengan seluruh bagian tubuhnya.
Semakin tinggi kemampuan rumput laut mampu menyerap N terlarut di media budidaya, maka semakin besar nilai pertumbuhannya dalam artian akan semakin
meningkat juga kandungan N dalam tubuh rumput laut. Hal ini dapat dilihat dari
kandungan N rumput laut yang meningkat. Kandungan N dalam berat kering tertinggi pada perlakuan padat tebar rumput laut B 3,125 gl yaitu 3,93
kemudian perlakuan C 9,375 gl sebesar 2,92 dan terendah pada perlakuan C 6,250 gl yaitu 2,33. Bukti penyerapan total amoniak nitrogen TAN dapat
dilihat secara statistik Lampiran 15 adanya perbedaan antar perlakuan laju pertumbuhan harian rumput laut pada padat tebar 9,375 gl lebih rendah daripada
perlakuan lainnya. Nitrogen sangat penting bagi rumput laut dalam pengaturan metabolisme
dan reproduksi. Pertumbuhan dan biomas dapat tercapai dengan baik bila tanaman laut ini tercukupi nitrogen. Pengambilan nitrogen oleh tanaman laut bukan hanya
fungsi dari konsentrasi N eksternal tetapi juga konsentrasi N internal di dalam jaringan tanaman. Pengambilan dan penyimpanan N oleh rumput laut dapat
dipengaruhi oleh konsentrasi N anorganik terlarut di dalam air dan juga dipengaruhi oleh fluktuasi ekologis N dalam jaringan tumbuhan dan kecepatan
pertumbuhan. Konsentrasi N yang rendah di lingkungan tidak dapat mencukupi kebutuhan tanaman akan N untuk penggunaan selanjutnya. Tetapi rumput laut
mempunyai kemampuan untuk mengasimilasi dan menyimpan nutrien dari lingkungannya khususnya pada saat konsentrasi rendah. Kandungan N dalam
berat kering pada perlakuan C dan D lebih kecil dari B diduga walaupun jumlah N di air tinggi tetapi dalam bentuk nitrat dan nitrit, Gracilaria kurang mampu
memanfaatkannya. Hal ini sesuai yang dikemukan oleh Patadjai 1993 dan Sukmarumaeti 2002, bahwa nitrogen dalam bentuk amoniak yang paling utama
diserap oleh rumput laut. Oleh karena itu, untuk mencukupi kebutuhannya, N cadangan yang tersimpan di dalam jaringan dipergunakan terlebih dahulu untuk
pertumbuhan Risjani 1999. Kemampuan penyerapan N dari limbah budidaya udang tiap perlakuan
perbedaan padat tebar rumput laut tertinggi pada perlakuan B 3,125 gl yaitu 14,62 g kemudian 9,375 gl sebesar 12,46 g dan terkecil pada perlakuan C
6,250 gl sebesar 8,54 g Lampiran 9. Pada perlakuan B selama empat minggu pemeliharaan, rumput laut mampu memanfaatkan 14,62 g N terlarut dari limbah
budidaya udang sehingga bobot rumput laut bertambah menjadi dua kalinya. Jika dihitung dalam per jam, rumput laut mampu menyerap N terlarut sebesar 0,013 g
Nkg tubuhjam. Walaupun pemanfaatan N oleh rumput laut pada penelitian ini
lebih kecil dari hasil pengukuran Harris et al. 2008 yaitu rumput laut Gracilaria
sp. mampu memanfaatkan N di media budidaya multi-tropik dari 0,6 ppm pada pengukuran jam 06.00 menjadi 0-0,125 ppm pada jam 16.45, tetapi kemampuan
penyerapan ini sudah 3 kali lebih besar dari nilai produksi N eksresi udang per kilogram tubuh per jam pada penelitian tahap satu. Artinya N terlarut dari hasil
ekskresi udang mampu dimanfaatkan secara maksimal oleh rumput laut. Pemanfaatan amoniak perlakuan perbedaan padat tebar rumput laut C
6,250 gl dan D 9,375 gl lebih besar dari pada pelakuan B 3,125 gl hanya di awal penelitian saja. Keadaan tersebut tidak bertahan lama karena jumlah
amonium sudah berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan nutriennya rumput laut memanfaatkan nitrat dan nitrit. Ini dapat dilihat dari semakin menurunnya
kandungan nitrat dan nitrit di media budidaya Gambar 5 dan 6. Alga umumnya menyerap nitrogen secara bertahap, yaitu: Amonium nitrat nitrit. Pemanfaatan
nitrat dan nitrit oleh rumput laut kurang efisien karena nitrat dan nitrit harus terlebih dahulu direduksi sebelum digunakan oleh sel-sel rumput laut. Nitrat
dimanfaatkan oleh rumput laut untuk metabolisme dengan bantuan enzim nitrat reduktase yang dihasilkannya Patadjai 1993. Penyerapan nitrat dan nitrit oleh
rumput laut dipengaruhi oleh konsentarsi amonium dalam media. Karena yang dimanfaatkan rumput laut pada perlakuan C dan D nitrat dan nitrit,
pertumbuhannya tidak secepat pada awal penelitian yang lebih banyak memanfaatkan amonium. Pertumbuhan rumput laut di dua minggu pertama cepat
kemudian menurun hingga akhir penelitian. Hal yang sama dengan penelitian
Soriano 2002, pemeliharaan rumput laut Gracilaria sp. di saluran pembuangan tambak udang vaname 15 hari pertama mencapai 8,8 kemudian trus menurun.
Hal ini juga dipengaruhi keadaan cuaca yang tidak mendukung, pada minggu ketiga hingga akhir penelitian terjadi hujan dan banjir. Rumput laut
memerlukan proses fotosintesi untuk pertumbuhannya. Proses fotosintensi dapat berjalan lancar bukan karena adanya nutrien saja tetapi membutuhkan sinar
matahari. Rendahnya pertumbuhan juga dikarenakan kepadatan rumput laut dalam satu rumpun yang terlalu tinggi. Rumput laut yang diikat dan padat tebarnya
tinggi bila rumpunnya sudah makin besar mengurangi ruang gerak dari rumput
laut itu sendiri, hal ini merupakan gejala yang normal. Padat tebar yang tinggi, ruang gerak menjadi sempit sehingga susah untuk berkembang dan kebutuhan
akan nutrien terus meningkat Sidik et al. 2002. Pada perlakuan B dengan padat tebar rumput laut paling rendah 3,125 gl
pertumbuhan maksimal dicapai pada minggu ketiga. Dari minggu ke minggu pengurangan TAN pada perlakuan B terus meningkat hingga mencapai minimum.
Penyerapan amoniak yang bertahap dapat meningkatkan pertumbuhan yang baik sehingga diperoleh nilai laju pertumbuhan harian terbesar. Perlakuan B 3,125 gl
rumput laut karena dapat memanfaatkan amoniak dalam waktu yang lama sehingga pertumbuhannya bisa lebih baik dan cepat dari pada perlakuan C dan D
yang harus memproses nitrat dan nitrit untuk memenuhi kekurangan kebutuhan akan nutrien. Hal ini dapat dilihat dari jumlah N di rumput laut akhir penelitian
yang meningkat dari 3,04 menjadi 3,93. Budidaya rumput laut Gracilaria parvispora
dengan mengunakan air buangan dari tambak udang dapat meningkatkan kandungan nitrogen di tallus dari 1 menjadi 3,5 dengan laju
pertumbuhan 8-9 per hari lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan rumput laut yang diberi pupuk kimia hanya 4-5 per hari Glenn et al. 2002.
Pada penelitian ini nilai laju pertumbuhan harian rata-rata rumput laut tertinggi pada perlakuan B yaitu 2,62, kemudian C 2,31 dan terendah pada
perlakuan D 1,20. Walaupun nilai laju pertumbuhan ini lebih kecil dari penelitian Sukmarumaeti 2002; Soriano 2002 tetapi masih dalam kisaran normal
yang lebih besar dari hasil penelitian yang dilakukan Hendrajat dan Mangampa 2007 dengan laju pertumbuhan 1,08-2,09. Perbedaan produksi biomassa yang
diperoleh terutama dikarenakan sistem budidaya dan spesies rumput laut yang digunakan.
Pada minggu kedua perlakuan tanpa rumput laut A kandungan total amoniak nitrogen TAN turun drastis. Hal ini dikarena adanya oksidasi amoniak
menjadi nitrit dan oksidasi nitrit menjadi nitrat. Terlihat pada Gambar 5 dan 6 nilai kandungan nitrat dan nitrit terus meningkat hingga mencapai puncak. Ini
sangat mungkin terjadi dikarenakan pada media budidaya diberi aerasi sehingga kebutuhan oksigen untuk proses oksidasi terpenuhi. Bukti yang mendukung
terjadinya proses oksidasi dapat dilihat dari kandungan oksigen terlarut pada
perlakuan A dari minggu ke minggu hingga akhir penelitian terus berkurang. Boyd 1981 menyatakan bahwa untuk proses oksidasi amoniak sebagai sumber
energi, CO
2
sebagai sumber karbon dan O
2
untuk proses oksidasinya. Pada perlakuan dengan rumput laut oksidasi terjadi juga tetapi karena amoniak banyak
yang dimanfaatkan oleh rumput laut maka yang dioksidasi menjadi nitrit lebih sedikit ini dapat dilihat dari Gambar 5. Proses oksidasi amoniak sedikit,
pengurangan oksigen terlarut di media budidaya juga sedikit. Dilain pihak rumput laut juga menyumbang oksigen dari hasil fotosintesis. Izzati 2005 menyatakan
rumput laut Gracilaria sp. dapat meningkatkan kadar oksigen terlarut 14,5 di perairan tambak. Walaupun terjadi
proses respirasi tetapi konsentrasi oksigen terlarut dari proses fotosintesis oleh rumput laut lebih tinggi. Rumput laut
Gracilaria sp. mampu menyuplai oksigen terlarut sekitar 2,86 mgL selama 24
jam ke media pemeliharaan ikan bandeng, udang vaname dan rumput laut Harris et al
. 2008; Neori et al. 2004. Pada minggu keempat penelitian, nilai kandungan total amoniak nitrogen
TAN kembali meningkat pada semua perlakuan. Nilai tertinggi pada perlakuan D 9,375 gl rumput laut. Hal ini dikarenakan adanya pemberian pakan serta
makin banyaknya sisa ekskresi dan feses yang dikeluarkan udang dan adanya rumput laut yang mati. Selain itu pertumbuhan maksimal rumput laut telah dicapai
pada minggu ketiga. Bila pertumbuhan maksimal sudah tercapai, kemampuan menyerap N akan menurun oleh sebab itu rumput laut lebih baik di panen pada
minggu ketiga. Pertumbuhan dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan, umur dan
kualitas air Hamsiah 2000. Peningkatan biomassa merupakan tingkat pemberian pakan yang ditransformasikan menjadi biomas udang. Tingkat pemanfaatan pakan
dapat terindikasi dari peningkatan biomassa total dan peningkatan jumlah pakan yang diberikan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pertambahan
bobot rata-rata individu udang pada setiap perlakuan sampai akhir penelitian. Udang pada perlakuan dengan rumput laut bobot rata-rata individunya lebih tinggi
dari pada perlakuan tanpa rumput laut. Namun karena adanya perbedaan kualitas air lingkungan budidaya
pertumbuhan dari tiap perlakuan pun berbeda. Kualitas air yang baik mampu
mendukung kehidupan udang, sehingga mampu meningkatkan nafsu makan udang. Hal ini dapat dilihat dari nilai FCR dan retensi tiap perlakuan. Nilai FCR
mengindikasikan tingkat efisiensi pemanfaatan pakan oleh udang sekaligus mempengaruhi beban limbah nutrien yang terbuang ke lingkungan perairan.
Kontribusi N yang berasal dari pakan terhadap beban limbah akan dipengaruhi oleh nilai FCR dan retensi nutrien dalam biomassa udang. Perbedaan jumlah N
yang terdapat di dalam pakan dan udang yang diproduksi merupakan jumlah beban N yang masuk ke dalam media budidaya. Pada perlakuan B 3,125 gl
rumput laut dengan nilai FCR terkecil 1,99 memberikan biomassa 350,16 g dan nilai kelangsungan hidup tertinggi 82,67. Pada perlakuan B ini pakan yang
diberikan banyak dimanfaatkan oleh udang. Pakan yang diberikan dimakan, dicerna dan diretensi oleh tubuh sebagai pertumbuhan, hal ini dapat dilihat dari
nilai retensi nitrogen udang pada perlakuan B paling besar 2,73 g sehingga dapat meningkatkan biomassa udang.
Pakan yang tidak dapat dicerna dan yang dikeluarkan melalui ekskresi serta sisa pakan yang tidak termakan jumlahnya lebih sedikit dari pada perlakuan A, C
dan D, ini dapat dilihat dari kandungan N di air. Pada perlakuan B nilai total amoniak nitrogen TAN dan nitrit lebih rendah daripada perlakuan yang lainnya.
Untuk menumbuhkan udang dari 265,95 g menjadi 350,20 g ternyata dikeluarkan limbah N sebanyak 15,36 g Lampiran 9. Sebahagian besar dari limbah tersebut
14,62 g mampu diretensi oleh pertumbuhan rumput laut sebanyak 1,69 kg dan sisa limbahnya sebanyak 0,74 g N masih tersisa di dalam air Lampiran 9.
N yang tersisa di bak pemeliharaan semakin kecil mendekati 0 menunjukkan keefektifan tingkat pemanfaatan N terlarut oleh rumput laut. Pada
perlakuan B sisa N di bak pemeliharaan paling rendah. Kemampuan rumput laut
dalam memanfaatkan nitrogen terlarut di perairan dapat membuat lingkungan budidaya lebih baik dan dapat mendukung kehidupan udang yang dipelihara
bersamanya. Ini terlihat dari nilai kelangsungan hidup udang selama pelaksanaan penelitian. Dari hasil analisis statistik Lampiran 13 bahwa perbedaan padat tebar
rumput laut berpengaruh nyata P0,05 terhadap nilai kelangsungan hidup udang. Nilai kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan B 3,125 gl yang mencapai
82,67. Pada perlakuan dengan rumput laut selain mampu meyerap N di perairan,
pada media ini N yang tersisa di perairan lebih banyak dalam bentuk nitrat. Sedangkan pada perlakuan tanpa rumput laut N di media perlakuan banyak dalam
bentuk amoniak dan nitrit, bentuk ini berbahaya terhadap udang. Hal ini dapat menyebabkan udang mati karena keracunan dan kekurangan oksigen.
Dikarenakan adanya penambahan aerasi di setiap perlakuan, sehingga kebutuhan oksigen untuk respirasi dan perombakan oleh bakteri masih terpenuhi. Pada
penelitian ini kandungan amoniak dalam air masih berada dalam kisaran yang aman bagi pemeliharaan udang 0,05-0,10 mgl tetapi kandungan nitrit yang sudah
diluar ambang batas yang baik yaitu 0,01-0,05 mgl Fatimah 2004. Namun karena konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan 5 mgl maka udang masih
dapat hidup normal. Secara umum kualitas air salinitas, suhu dan pH berada dalam kisaran yang aman untuk hidup dan tumbuhnya udang dan rumput laut.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dengan perbedaan padat tebar rumput laut Gracilaria verrucosa yang dipelihara dalam skala laboratorium, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut : 1.
Penambahan rumput laut Gracilaria verrucosa dengan biomassa 3,125 gramliter pada budidaya udang vaname Litopenaeus vannamei dapat
meningkatkan derajat kelangsungan hidup udang dari 62,67 tanpa rumput laut menjadi 82,67 dan bobot akhir rata-rata udang dari 15,58 gram tanpa
rumput laut menjadi 16,99 gram. 2.
Pertumbuhan udang vaname sebesar 84,25 gram mengeluarkan limbah N sebanyak 15,36 gram dan 14,62 gram 95,18 dari jumlah tersebut mampu
dimanfaatkan oleh rumput laut Gracilaria verrucosa untuk membentuk biomassa sebanyak 16,9 kg.
5.2 Saran
Dari penelitian ini disarankan untuk melakukan budidaya polikultur udang vaname dan rumput laut Gracilaria verrucosa dengan keseimbangan 5 ekor
udang dan 312,5 gram rumput laut per 100 liter media pemeliharaan. Penelitian lanjutan yang disarankan adalah memperpanjang masa pemeliharaan sehingga
didapatkan model sistem budidaya polikultur untuk pendederan 30 hari dan pembesaran 60 hari.
DAFTAR PUSTAKA
Angkasa WI, Wisnu S, Achmad Z, Anggadiredja J. 2000. Budidaya rumput laut Eucheuma
sp di perairan pantai dan Gracilaria sp di tambak. Workshop Aplikasi IPTEK
. Mataram 7-9 Desember 2000. hlm 14-28. [APHA] America Public Health Association. 1975. Standar Method for The
Examination of Water and Wastewater. American Water Works Assosiation and Water Pollution Control Federation. 14th. Ed., Washington, D.C. 1193
hlm. Arifin Z, Andrat K, Subiyanto. 2005. Teknik produksi udang vaname
Litopenaeus vannamei secara sederhanan. 9 hlm. [terhubung berkala]. http:benih.perikananbudidaya.go.idteknologivanmei20sdhn20FIB2
02005.doc. [30 Juli 2007]. Balai Budidaya Air Payau, 2007. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut
Gracilaria di Tambak. Situbondo.
Boyd CE. 1981. Water Quality Management for Pond Fish Culture. Elsevier Books Co. Ltd., Amsterdam. 318 hlm.
Budiardi T. 2008. Keterkaitan produksi dengan beban masukkan bahan organik pada sistem budidaya intensif udang vaname Litopenaeus vannamei Boone
1931. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 103 hlm.
Chien YH. 1992. Water quality requirement and management for marine shrimp culture. Di dalam: Wyban J, editor. Proceeding of the Special Session on
Shrimp Farming . USA: World Aquaculture Society. hlm. 144-156.
Crear BJ, Forteath GNR. 2002. Feeding has the largest effect on the ammonia excretion rate of the southern rock lobster Jasus edwardsii , and the western
rock lobster Panulirus cygnus. Aquacultural Engineering 26: 239-250. Damar A. 1992. Studi Kemungkinan Budidaya Algae Laut Gracilaria lichenoides
di Tambak di Perairan Pantai Selatan Kabupaten Pandeglang Jawa Barat. Fakultas Perikanan, IPB. 39 hlm.
Dosdat A, Servais F, Mentailer R, Huelvan C, Desbruyeres E. 1996. Comparison of nitrogeneous losses in five teleost fish spesies. Aquaculture 141: 107-127.
Doty MS. 1971. Measurement of water movement in references to benthic algae growth. Bot. Mar. XIV: 32-35.
Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta. Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hlm.
Fatimah. 2004. Pembesaran udang vanamei di tambak. Jawa Timur: Balai Budidaya Air Payau Situbondo.
Glenn EP et al. 2002. A community-based polyculture system in Hawaii that incorporates all the life stage of Gracilaria parvispora Rhodophyta.
Proceeding of the Symposium at the XVII International Seaweed. Seaweed
Industry Asosociation of the Philippines. hlm 65-73. Guanzon NG Jr, De Castro TR, Lorque FM. 2004. Polyculture of milkfish
Chanos-chanos Forsskal and the red seaweed Gracilariopsis bailinae
Zhang et Xia in brackish water earthen ponds. Journal of Aquaculture Research
35: 423-431. Haglund K, Pedersen M. 1988. Spray cultivation of seaweed in recirculating
brackish water. Aquaculture vol. 72:181-189. Hamsiah. 2000. Peranan keong bakau Telescopium telescopium L. sebagai
biofilter dalam pengelolaan limbah budidaya tambak udang intensif [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 77 hlm.
Harris E, et al. 2008. Peran rumput laut Gracilaria sp dalam produksi oksigen pada budidaya udang system multi-tropik. Makalah disajikan pada
Simposium Nasional Bioteknologi Akuakultur II, Bogor 14-8-2008.
Harowitz A, Harowitz S. 2000. Microorganisms and feed management in aquaculture. Advocate. 33-36 hlm.
Hendrajat EA, Mangampa M. 2007. Pengaruh Kepadatan Rumput Laut Gracilaria verrucosa
terhadap Pertumbuhan dan Sintasan Udang Vannamei Litopenaeus vannamei. Laporan hasil penelitian . Balai Riset Perikanan
Budidaya Air Payau Maros. hlm 69-72. Huisman EA. 1976. Food conversion efficiencies at maintenance and production
level for carp,Cyprinus carpio L. and rainbow trout, Salmon gairdneri R. Aquaculture
93: 259-273. Izzati
M. 2005. Ganggang merah dewa penyelamat udang windu. Trubus: 42370- 71.
Jones AB. 1993. Macroalgal nutrient relationships. [A literature Review Submittet The Bachelor of Science]. Department of Botany University of Queensland.
52 hlm. Kadi A, Atmadja WS. 1988. Rumput Laut Algae Jenis, Reproduksi, Produksi,
Budidaya dan Pasca Panen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta. 71 hlm.
Kim DH. 1970. Economically important seaweed in Chile Gracilaria. Bot. Mar. 13: 140-162.
Martinez CL, Campana AT, Porhas MAC. 2003. Dietary protein level and natural food management in the culture of blue Litopenaeus stylirostris and white
shrimp Litopenaeus vannamei in microcosms. Aquaculture Nutrition 9: 155-160 hlm.
Ming, FW. 1985. Ammonia excretion rate as an index for comparing efficiency of dietary protein utilization among rainbow trout Salmon gairdneri different
strains. Aquaculture 46: 27-35. Mustafa A, Ratnawati E. 2005. Faktor pengelolaan yang berpengaruh terhadap
produksi rumput laut Gracilaria verrucosa di tambak tanah sulfat masam Studi kasus di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Jur. Penelitian
Perikanan Indonesia. Vol. 11 No. 7: 67-74.
Neori A, et al. 2004. Integrated aquaculture: rationale, evolution and state of the art emphasizing seaweed biofiltration in modern mariculture. Aquaculture
231: 361-391. Patadjai RS. 1993. Pengaruh pupuk TSP terhadap pertumbuhan dan kualitas
rumput laut Gracilaria gigas Harv. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 83 hlm.
Regnault M. 1987. Nitrogen excretion in marine and fresh-water Crustacea. Biol. Rev.
62, 1-24. Risjani Y. 1999. Physiology of nitrogen nutrition in Indonesia marine plant : part
one. Variation in growth and tissue nitrogen of Eucheuma cottonii in relation to environmental nitrogen. J. Penelitian Ilmu-ilmu Hayati Life
Sciences 11 1: 42-56.
Ritawati. 1990. Laju pertumbuhan rumput laut Gracilaria lichenoides L Gmel. berdasarkan kedalaman dan jarak tanam. [Karya Ilmiah]. Fakultas Perikanan
IPB. Bogor. 80 hlm. Sidik, AS, Sarwono, Agustina. 2002. Pengaruh padat penebaran terhadap laju
nitrifikasi dalam budidaya ikan system resirkulasi tertutup. Jurnal Akuakultur Indonesia
, 12: 47-51. Soriano EM, Morales C, Moreira WSC. 2002. Cultivation of Gracilaria
Rhodophyta in shrimp pond effluents in Brazil. Aquaculture Research 33 : 1081-1086.
Steel RGD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika : Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi kedua. PT. Gramedia. Jakarta. 772 hlm.