Karakteristik Informan Utama PEMBAHASAN

karena peran ibu sangat banyak pada pembentukan kebiasaan makan anak, karena ibulah yang mempersiapkan makanan. Dimulai dari mengatur menu, berbelanja, memasak, menyiapakan, dan mendistribusikan makanan. Penelitian Rosha dkk 2012, menunjukkan bahwa ibu yang memilki pendidikan SMP kebawah cenderung kurang dalam pola asuh anak dan kurang baik dalam pemilihan jenis makanan untuk anak. Hal ini karena, ibu dengan pendidikan SMP kebawah memeilki peluang lebih kecil dalam mengakses informasi menganai status gizi dan kesehatan anak sehingga pengetahuannya pun berkurang. Jika tidak memilki pengetahuan maka tidak dapat dipraktikkan dalam proses pola asuh anak yang akan berakibat pada satatus gizi anak yang kurang baik. Hasil diatas dapat menjelaskan penelitian ini, bahwa anak yang stunting mungkin saja disebabkan karena faktor pendidikan ibu yang rendah. Penyebab rendahnya pendidikan ibu mungkin disebabkan karena kemiskinan yang ada dalam keluarga. Berdasarkan data yang yang diambil dari Litbang Kota Tangerang tahun 2011 diketahui bahwa tingkat kemiskinan di Kecamatan Neglasari mencapai 20.03, jauh lebih tinggi dibandingkan kecamatan lainnya di Kota Tangerang. Tingginya angka kemiskinan di Kecamatan Neglasari diikuti dengan tingginya perempun buta huruf di wilayah itu yang mencapai 7.64. angka itu merupakan angka tertinggi dibandingkan dengan kecamatan lainnya. c. Pekerjaan Ibu Sebagian besar informan utama dalam penelitian ini memilki tugas sebagai ibu rumah tangga. Penelitian Rosha dkk 2012, dimana 68.7 ibu yang tidak bekerja memiliki anak stunting. Tiga dari dari 4 informan utama dalam penelitian ini sebagai ibu rumah tangga diduga karena frekuensi IRT di wilayah penelitian cukup banyak. Hal ini didukung oleh data kunjungan ke puskesmas pada tahun 2014 yang menujukkan sebesar 22.8 pasien adalah ibu rumah tangga. d. Pekerjaan Suami Dalam penelitian ini, separuh informan memiliki suami yang bekerja sebagai buruh bangunan, 1 sebagai pegawai swasta, dan 1 lainnya sebagai petugas kebersihan. Dari 4 informan, hanya 1 yang memiliki suami dengan penghasilan tetap yang ditetapkan berdasarkan UMR Kota Tangerang, sedangkan 3 informan lainnya memilki suami dengan penghasilan yang tidak tetap. Status pekerjaan suami yang tidak tetap dimungkinkan dapat menyebabkan kondisi ekonomi yang kurang stabil, akibatnya daya beli untuk kebutuhan makan dan kesehatan anak akan berkurang, sehingga anak dapat mengalami gangguan gizi sperti stunting. Jenis pekerjaan suami dalam penelitian ini mungkin disebabkan karena rendahnya pendidikan. Berdasarkan wawancara diketahui sebagian besar ayah balita hanya mengenyam sampai SMP. Hal ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa pendidikan seseorang sangat berpengaruh dengan jenis pekerjaannya, jika pendidikannya lebih tinggi maka jenis pekerjaannya pun akan lebih tinggi Putri dan Setiawina, 2013. e. Pendapatan Menurut BPS, pendapatan rumah tangga adalah pendapatan yang diterima oleh rumah tangga berdsangkutan baik yang berasal dari pendapatan kepala rumah tangga maupun pendapatan anggota keluarga lainnya Sirusa. Bps.go.id. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Banten mengenai penetapan upah minimum kabupatenkota, besaran upah minumum Kota Tangerang sebesar Rp. 2.710.000. Dalam penelitian ini terdapat 2 keluarga yang mempunyai pendapatan sekitar Rp. 1.200.000 perbulan. Sedangkan 2 informan lainnya memilki pendapatan diatas Rp. 2.000.0000 dan Rp. 2.700.000 karena sudah ditetapkan sesuai UMR. Jika dibandingkan dengan kategori pendapatan berdasarkan besaran UMR, terdapat 3 keluarga yang masih memilki pendapatan kurang. Pendapatan yang rendah ini mungkin disebabkan karena jenis pekerjaan yang dimilki oleh keluarga terutama suami. Pendidikan seseorang sangat berpengaruh terhadap jenis pekerjaannya, jika pendidikannya lebih tinggi maka jenis pekerjaannya pun akan lebih tinggi dan hal tersebut akan berpengaruh terhadap pendapatan yang diperoleh seseorang Putri dan setiawina, 2013. Penelitian lain mengungkapkan, bahwa pendapatan merupakan faktor determinan terhadap satus gizi anak melalui karekteristik ibu, pola asuh kesehatan, dan status kesehatan. Asumsi yang dikemukakan adalah, semakin tinggi pendapatan maka akan meningkatkan pola asuh kesehatan dan status gizi masyarakat. Pendapatan memiliki peran utama ketika variabel lain seperti karekteristik ibu, pola asuh kesehatan dan status kesehatan kondisinya sudah lebih baik Sab‟atmaja dkk, 2010. f. Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang hidup bersama dalam satu rumah, satu penghasilan dan makan berasal dari satu dapur Nasikhah dan Margawati, 2012. Jumlah anggota keluarga dikelompokkan menjadi 3, kecil jika kurang dari 5 orang, sedang 5-7, dan besar jika memeilki anggota keluarga diatas 7 Fema IPB dan Plan Indonesia, 2008. Babatunde dalam Adi dan Andrias 2011 menyatakan, semakin besar keluarga atau anggota keluarga maka kemungkinan tahan pangan semakin menurun. Dengan kata lain, ruamah tangga dengan keluarga besar cenderung mengalami rawan pangan dibanding keluarga kecil, terlebih ditambah dengan keadaan status ekonomi miskin. Sumber pangan keluarga pada rumah tangga miskin atau sangat miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makannya jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit dan sebaliknya.

6.3. Pola Asuh

6.3.1. Pemberian ASI Eksklusif

Sebagian besar informan tidak memberikan ASI eksklusif kepada anaknya. Satu anak ketika lahir sudah diberikan makanan cair seperti air tajin dan susu formula. Anak sudah diberikan air tajin dan susu formula karena ketika melahirkan ibu dirawat selama beberapa hari. Satu anak diberikan susu formula ketika berumur 3 hari. Anak diberikan susu formula karena ibu bekerja. Sedangkan satu anak awalnya diberikan ASI saja, namun karena berat badan anak kurang dan air susu ibu sedikit bidan atau kader menyarankan untuk memberikan susu formula dan makanan lain seperti tepung beras yang dicampur susu. Rendahnya pemberian ASI eksklusif di wilayah penelitian ini sejalan dengan yang dikatakan TPG Puskesmas Neglasari kalau pemberian ASI eksklusif di wilayah tersebut masih rendah. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Veriyal 2010 yang mengatakan bahwa hanya terdapat 1 informan dari balita yang tidak mengalami peningkatan status gizi diberikan ASI eksklusif alasan ibu tidak memberikan ASI eksklusif karena ASI tidak keluar. Satu anak yang diberikan ASI eksklusif tetapi tetap mengalami stunting dapat disebabkan karena asupan makan yang kurang dan penyakit yang dialami anak. Berdasarkan hasil penelitian diketahui anak memang terbilang sulit makan dan memiliki penyakit pernapasan. Menurut Adair dan Guilkey dalam Rahayu, 2011, pada usia 2 tahun pertama, diare dan penyakit pernapasan merupakan penyebab utama yang dapat meningkatkan kejadian stunting. Rendahnya perilaku pemberian ASI eksklusif dalam penelitian ini mungkin disebabkan kurangnya pengetahuan tentang ASI eksklusif oleh orang tua. Selain itu alasan yang menyebabkan anak tidak diberikan ASI eksklusif karena ibu anak lebih megikuti kemauan orang tua atau mertuanya agar anak diberikan makanan lain sebelum usia 6 bulan. Informasi ini didapatkan dari kader posyandu yang mengatakan bahwa masih banyak ibu yang tinggal dengan orang tuanya. Sehingga terkadang perilaku ibu dalam merawat anak ditentukan oleh orang tua atau mertuanya. Selain itu, alasan tidak diberikannya anak ASI eksklusif dalam penelitian ini dimungkinkan karena ketika lahir sebagian besar anak mempunyai berat badan lahir rendah. Bayi yang lahir rendah memerlukan tata laksana nutrisi khusus, salah satu sebabnya adalah karena terbatasnya cadangan nutrisi tubuh. Saat ini penatalaksanaan BBLR selalu merupakan tantangan bagi tenaga kesehatan Perkumpulan Perinatologi Indonesia, 2013. Ungkapan diatas sesuai dengan apa yang dialami oleh 1 informan dimana

Dokumen yang terkait

DETERMINAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK BALITA USIA 12-36 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RANDUAGUNG KABUPATEN LUMAJANG

4 21 22

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH GIZI DAN KONSUMSI MAKANAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK BALITA USIA 6-24 BULAN (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Randuagung Kabupaten Lumajang Tahun 2014)

7 30 193

Gambaran Pola Asuh Makan Pada Baduta Gizi Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Sukamulya Tahun 2012

17 271 140

Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Status gizi pada Balita Usia 4–12 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora tahun 2006

2 7 86

Hubungan Pola asuh makan dan Status gizi dengan Perkembangan anak usia 6-24 bulan di Wilayah kerja Puskesmas Plus, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima.

0 0 4

DETERMINAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 12-59 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUUWATU KOTA KENDARI TAHUN 2016

0 0 12

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018

1 5 10

HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 24-59 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WONOSARI I SKRIPSI

0 0 13

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DENGAN STATUS GIZI BALITA USIA 6-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PATTINGALLOANG KECAMATAN UJUNG TANAH KOTA MAKASSAR TAHUN 2010

0 0 102

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DENGAN KEJADIAN STUNTING ANAK USIA 24-59 BULAN DI POSYANDU ASOKA II WILAYAH PESISIR KELURAHAN BAROMBONG KECAMATAN TAMALATE KOTA MAKASSAR TAHUN 2014

0 0 113