Pemberian ASI Eksklusif Pemberian MP ASI

menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif merupakan faktor paling dominan terhadap kejadian stunting pada balita dimana 76 balita yang mengalami stunting tidak diberikan ASI eksklusif. Hasil analisis penelitian tersebut menunjukkan bahwa balita dengan ASI tidak eksklusif mempunyai risiko 3.7 kali lebih besar terkena stunting dibandingkan balita dengan ASI eksklusif Arifin dkk, 2012 Penelitian Rahayu 2011 menunjukkan, kurangnya ASI dan pemberian MP-ASI yang terlalu cepat dapat meningkatkan risiko stunting pada periode pasca kelahiran awal. Dimana, anak yang awalnya stunting dan tidak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan memiliki risiko 3.7 kali lebih besar untuk tetap stunting. Hal ini diduga karena pengaruh ASI eksklusif terhadap perubahan stunting kemungkinan disebabkan karena fungsi ASI sebagai anti infeksi Rahayu, 2011. Pengambilan data terkait pemberian ASI dilakukan dengan cara wawancara mendalam menggunakan instrumen pedoman wawancara mendalam.

2.2.2. Pemberian MP ASI

Setelah berumur 6 bulan keatas, kebutuhan gizi bayi semakin tinggi dan bervariasi. Pemberian ASI saja hanya dapat memenuhi 60-70 kebutuhan gizinya. Oleh karena itu, selain pemberian ASI dubutuhkan pula makanan lain sebagai pendamping untuk menunjang asupan gizi bayi. Jika makanan pendamping ASI tidak cepat diberikan, maka masa kritis untuk mengenalkan makanan padat yang memerlukan keterampilan mengunyah yang mulai dilakukan pada usia 6-7 bulan dikhawatirkan akan terlewati. Akibat yang akan dialami bayi dalam keadaan seperti ini adalah kesulitan untuk menelan atau menolak saat diberikan makanan padat Khomsan dan Ridhayani, 2008. Secara alamiah, bayi dilahirkan dengan kemampuan refleks terhadap makanan, seperti menghisap, menelan dan mengunyah. Pemberian MP-ASI harus disesuaikan dengan kemampuan organ pencernaan bayi. Pertama-tama makanan yang diberikan bertekstur cair, kental, semi padat dan terakhir makanan padat Khomsan dan Ridhayani, 2008. Menurut Khomsan dan Ridhayani 2008, hal- hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian MP-ASI adalah : a. Makanan pendamping ASI dibuat dengan makanan yang berkualitas, sehingga kualitas gizinya terjamin. b. Pemberian MP-ASI harus diberikan bertahap. Pada awalnya bayi diberikan makanan cair seperti sari buah atau bubur susu. Setelah itu, dilanjutkan dengan makanan kental seperti bubur tepung. Kemudian dilanjutkan dengan makanan semi padat seperti nasi tim saring dan akhirnya diberi makanan padat seperti nasi tim. c. Pada tahap permulaan, bayi hendaknya diperkenalkan satu persatu jenis makanan sampai ia dapat mengenalnya dengan baik dan setelah itu baru diberikan makanan lain. Hal ini dimaksudkan agar bayi benar-benar dapat mengenal dan menerima jenis makanan baru. d. Orang tua perlu mengetahui ada atau tidaknya alergi terhadap suatu jenis makanan dengan memperhatikan respon bayi setelah makan makanan tersebut. e. Selama masa perkenalan makanan, jangan memaksakan bayi untuk menghabiskan makanannya, hal ini karena bayi membutuhkan proses adaptasi. Dengan meningkatnya usia bayi akan mendapatkan porsi yang lebih besar. f. Waktu pemberian makan harus disesuaikan dengan kondisi bayi. Hal ini karena pada saat lapar saluran pencernaan bayi lebih siap untuk menerima dan mencerna makanan. g. Lakukan jarak pengaturan antara pemberian susu, jangan memberikan makanan pendamping setelah bayi minum susu atau sebaliknya. Hal ini karena bayi akan merasa kenyang dan tidak mau menerima makanan atau susu yang diberikan. Banyak penelitian yang mengatakan bahwa pemberian MP- ASI mempunyai peran penting dalam perbaikan status gizi anak, terutama sejak usia bayi. Pemberian MP-ASI selama 90 hari menunjukkan kontribusi yang cukup signifikan terhadap energi dan zat gizi balita. Penelitian Krisnatuti dkk 2006 tentang analisis status gizi anak dibawah dua tahun menunjukkan bahwa pemberian MP-ASI dapat meningkatkan status gizi baduta. Pada baduta dari jaring pengaman sosial bidang kesehatan berpeluang 4.461 kali berstatus gizi normal berdasarkan indikator BBTB didandingkan dengan baduta yang tidak mendapatkan MP-ASI Krisnatuti dkk, 2006. Orang tua berperan dalam perilaku makan anak, secara sadar ataupun tidak, orang tua telah membentuk kesukaan dan gaya makan anak. Interaksi orang tua dengan anak berpengaruh terhadap pilihan makanan dan pengembangan pola makan anak Soetardjo, 2011. Pemberian makanan tambahan diperlukan untuk memenuhi kebutuhan agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Selain itu, pemberian makanan diperlukan untuk menumbuhkan sikap positif terhadap makanan sejak usia dini Hermina, 1992. Gizi seimbang adalah susunan makan sehari-hari yang mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebtuhan tubuh dengan memperhatikan keanekaragaman atau variasi makanan, aktivitas fisik, kebersihan, dan berat badan ideal. Dalam memberikan makanan kepada anak variasi sangat diperlukan. Hal ini dilakukan agar anak tidak bosan sehingga dapat menghindarkan anak dari kesulitan makan pada usia berikutnya. Makanan yang diberkan meliputi bahan pokok, lauk-pauk, sayur, dan buah-buahan. Protein yang diberikan kepada anak diusahakan secara bergantian sehingga semua zat gizi dapat terpenuhi Auliana, 2011. Variasi makanan sangat diperlukan dalam memberikan makan kepada anak karena tidak ada satu jenis makanan pun yang mengandung semua zat gizi yang diperlukan tubuh Muharyani, 2012. Dalam pemberian makanan, selain memperhatikan variasi makanan untuk anak, orang tua perlu memperhatikan porsi yang diberikan kepada anak. Hal ini karena anak-anak seringkali memerlukan waktu makan yang lebih lama daripada orang dewasa. Untuk itu anak perlu dibujuk agar dapat mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang cukup, sesendok demi sesendok CORE, 2003. Menurut CORE, 2003, menu yang diberikan harus : a. Terdiri dari makanan yang bergizi dan tidak langsung mengenyangkan anak. b. Ikut sertakan buah, sayur, udang, minyak atau kacang- kacangan. c. Penyiapan makanan yang beragam kepada anak. d. Menggunakan bahan lokal yang tersedia, sesuai musim dan terjangkau. e. Menggunakan bahan yang kaya akan vitamin A, besi, dan mikronutrien lain. f. Menggunakan produk hewani g. Memastikan bahwa semua kelompok makanan ada dalam tiap hidangan makanan, sehingga anak mendapatkan makanan yang seimbang. Selain itu, orang tua juga perlu memperhatikan frekuensi pemberian makan yang sedikit tetapi sering. Hal ini karena, Sebagian besar balita khususnya umur 3-5 tahun makan lebih dari tiga kali sehari. Memberikan makanan 5-6 kali perhari lebih baik karena balita memiliki perut yang kecil. Anak yang makan kurang dari 4 kali sehari, asupan energi dan zat gizi lainnya lebih sedikit dibandingkan dengan rata-rata anak lain yang makan 4 kali sehari atau lebih Soetardjo, 2011. Jenis suatu makanan sangat menentukan status gizi balita. Makanan yang berkualitas adalah makanan yang memberikan komposisi yang beragam, bergizi dan seimbang. Menu yang memadai baik secara kualitas ataupun kuantitas sangat menunjang tumbuh kembang anak. Hal ini karena balita merupakan kelompok rawan gizi sehingga makanan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan anak dan kemampuan alat pencernaannya Welasasih dan Wirjatmadi, 2012. Pengambilan data terkait pemberian makan anak dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi menggunakan instrumen pedoman wawancara mendalam dan pedoman observasi.

2.2.3. Peyiapan dan Penyajian Makan

Susah makan pada anak merupakan masalah yang dihadapi oleh hampir semua ibu. Terkadang anak menolak makan yang diberikan tanpa tahu apa penyebabnya. Susah makan dapat juga terjadi karena pemberian makan kepada anak yang sudah salah sejak awal. Contohnya seperti pengenalan MP-ASI yang terlambat, tidak diberikan ragam makanan, atau karena anak banyak diberikan jajan. Mengatasai anak susah makan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah memberikan suasana makan yang menyenangkan, kemudian biarkan anak makan sendiri dengan alat makannya Auliana, 2011. Proses penyiapan makanan mempunyai peran penting terhadap gizi anak. Di Mali, ditemukan bahwa anak yang makan dari piring atau mangkuk sendiri lebih baik daripada anak yang makan bersama dari piring anggota keluarga yang lainnya CORE, 2003. Anak yang sudah belajar makan sendiri perlu mendapat dukungan dari orang tua. Pada tahap ini biasanya anak akan menghambur-hamburkan dan memainkan makanan. Bentuk dukungan orang tua dalam membantu anak melewati tahap perkembangan perilaku makan adalah dengan menyiapkan alat makan khusus dengan warna dan bentuk yang menarik. Selain itu orang tua dapat memberikan kesempatan pada anak untuk makan sendiri dengan pendampingan. Hal ini perlu dilakukan karena hal tersebut merupakan proses belajar bagi anak Muharyani, 2012. Dua hal yang perlu diperhatikan dalam mengolah makanan untuk anak adalah keamanan pangan dan keutuhan zat-zat gizi Almatsier, 2011. Menurut Almatsier 2011 beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu : 1. Makanan hendaknya digunakan dari bahan yang bermutu dan seimbang. 2. Alat pengolahan dan alat-alat lain yang digunakan hendaknya dalam keadaan bersih. 3. Sayur dan buah dicuci, sesudah itu dimasak dengan air secukupnya sampai lunak. 4. Bila makanan tidak segera dimakan, makanan dibungkus dan disimpan dalam lemari pendingin atau lemari pembeku. 5. Makanan yang dibekukan, bila hendak dimakan maka dicairkan terlebih dahulu ke lemari pendingin. Salah satu sumber penularan penyakit dan penyebab terjadinya keracunan adalah makanan atu minuman yang tidak memenuhi syarat higiene. Higienenya makanan atau minuman dapat dipenagruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah higiene alat masak dan makan yang digunakan dalam proses penyediaan makan atau minuman tersebut. Alat makan menjadi salah satu faktor dalam hal penularan penyakit, hal ini disebabkan

Dokumen yang terkait

DETERMINAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK BALITA USIA 12-36 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RANDUAGUNG KABUPATEN LUMAJANG

4 21 22

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH GIZI DAN KONSUMSI MAKANAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK BALITA USIA 6-24 BULAN (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Randuagung Kabupaten Lumajang Tahun 2014)

7 30 193

Gambaran Pola Asuh Makan Pada Baduta Gizi Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Sukamulya Tahun 2012

17 271 140

Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Status gizi pada Balita Usia 4–12 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora tahun 2006

2 7 86

Hubungan Pola asuh makan dan Status gizi dengan Perkembangan anak usia 6-24 bulan di Wilayah kerja Puskesmas Plus, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima.

0 0 4

DETERMINAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 12-59 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUUWATU KOTA KENDARI TAHUN 2016

0 0 12

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018

1 5 10

HUBUNGAN KARAKTERISTIK IBU DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 24-59 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WONOSARI I SKRIPSI

0 0 13

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DENGAN STATUS GIZI BALITA USIA 6-24 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PATTINGALLOANG KECAMATAN UJUNG TANAH KOTA MAKASSAR TAHUN 2010

0 0 102

HUBUNGAN POLA ASUH IBU DENGAN KEJADIAN STUNTING ANAK USIA 24-59 BULAN DI POSYANDU ASOKA II WILAYAH PESISIR KELURAHAN BAROMBONG KECAMATAN TAMALATE KOTA MAKASSAR TAHUN 2014

0 0 113