C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Pemberian ASI Eksklusif
1. Karakteristik individu a. Umur Ibu
Umur adalah faktor yang menentukan dalam pemberian ASI. Menurut Huclock 1998 dalam Nursalam 2001:134 dalam
Handayani, dkk 2009 mengatakan semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir
dan bekerja. Seseorang yang lebih dewasa akan lebih dipercaya dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya.
Dari segi produksi ASI, ibu yang berusia 19-23 tahun pada umumnya dapat menghasilkan ASI yang cukup dibandingkan ibu yang
berusia lebih tua. Ibu yang berusia lebih dari 35 tahun biasanya tidak akan dapat menyusi bayinya dengan ASI yang cukup. Pudjiadi, 2005.
Lestari 2009. Penelitian yang dilakukan Kusnadi 2007, menyatakan bahwa proporsi pemberian ASI eksklusif pada umur kurang dari 35
tahun lebih besar 18,9 dibandingkan umur lebih dari atau sama dengan 35 tahun 16,8.
Sedangkan penelitian yang dilakukan Juliani 2009, menunjukkan bahwa ada hubungan secara bermakna antara umur ibu
terhadap pemberian ASI eksklusif. Pada ibu yang berumur 20-35 tahun 40,3 memberikan ASI eksklusif dan 59,7 tidak memberikan
ASI eksklusif. Sedangkan pada ibu yang berumur 35 tahun 100 ibu tidak memberikan ASI eksklusif.
Berbeda halnya dengan hasil penelitian Fikawati dan Syafiq 2009 yang menyatakan bahwa umumnya informan ASI eksklusif
enam bulan lebih tua daripada informan yang tidak ASI eksklusif dengan perbedaan rata-rata umur empat tahun. Rata-rata informan ASI
eksklusif berusia 30 tahun dan rata-rata informan ASI tidak eksklusif berusia 26 tahun.
b. Pendidikan Ibu Soerjono Soekanto dalam Kasnodihardjo, dkk 1996
mengemukakan bahwa pendidikan akan memberikan kesempatan kepada orang untuk membuka jalan fikiran dalam menerima ide-ide
atau nilai-nilai baru. Menurut Kusmiati pendidikan mempengaruhi proses belajar,
makin tinggi pendidikan makin mudah seseorang menerima dan mendapatkan informasi melalui berbagai media. Pada ibu yang
berpendidikan tinggi ia lebih sadar akan keunggulan ASI dan dampak dari pemberian MP-ASI secara dini dan menimbulkan motivasi yang
kuat pada diri ibu Suradi, 2004. Pada penlitian Alam 2003 menyatakan bahwa ibu yang
berpendidikan tinggi biasanya banyak kesibukan di luar rumah, sehingga cenderung sering meninggalkan bayinya. Sedangkan ibu
yang berpendidikan rendah lebih banyak di rumah dan cenderung lebih mempunyai kesempatan untuk menyusui bayinya.
Sedangkan pada penelitian Marzuki 2004, menunjukan hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan ibu dan pemberian
ASI Eksklusif. begitupun penelitian Nurjanah 2007 menunjukan proporsi pemberian ASI eksklusif pada ibu yang berpendidikan rendah
lebih besar 7,9 dibanding ibu berpendidikan lebih tinggi 4,6. Berbeda dengan penelitian Fikawati dan Syafiq 2009
menyatakan bahwa pendidikan informan yang melakukan ASI eksklusif enam bulan hampir tidak berbeda dengan yang ASI tidak
eksklusif. Masing-masing kelompok adalah lulusan SMP dan lulusan SMA. Hanya satu orang dari kelompok informan ASI eksklusif yang
berpendidikan Akademi D3. c. Status Pekerjaan Ibu
Kenyataan saat ini bahwa dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai oleh kaum perempuan dan seiring dengan kemajuan
zaman, dewasa ini banyak perempuan terlibat di sektor publik. Perempuan yang tadinya hanya sebagai ibu rumah tangga, kini
berubah peran akibat bertambahnya jumlah kesempatan kerja, meningkatnya pendidikan, dan perubahan sosial ekonomi Depkes,
2008. Sama halnya yang disampaikan oleh siregar 2004 meningkat jumlah partisipasi wanita dalam ikatan kerja dan adanya emansipasi
dalam segala bidang kerja dan kebutuhan masyarakat menyebabkan turunya kesedian menyusui dan lamanya menyusui.
Tenaga kerja perempuan yang memiliki bayi mengalami kesulitan untuk memberikan ASI karena tidak ada sarana dan
kesempatan yang diperlukan untuk memberikan ASI kepada bayinya di lingkungan kerja, selain faktor dari ibunya sendiri yang tidak atau
kurang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai manajemen laktasi. Depkes, 2008.
Pawenrusi 2011 dalam penelitiannya menemukan bahwa keseluruhan ibu yang bekerja tidak memberikan ASI eksklusif dan
memilih susu formula kepada bayinya dengan alasan mempunyai kesibukan bekerja di luar rumah, ibu yang bekerja di luar rumah
bekerja sebagai buruh harian tukang cuci, wiraswasta pedagang, PNS, dan kerja toko. Hal ini memungkinkan ibu susah untuk
memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya karena kesibukan ibu bekerja diluar rumah. Ibu yang bekerja memilihsusu formula
dikarenakan lebih cepat dan praktis serta anak mudah dibawa kemana-mana dengan susu botol dan anak bisa ditinggal kapan saja.
Sementara sewaktu bekerja sebagian besar responden menitipkan anaknya kepada orang tuanya nenek si bayi.
Pada ibu yang bekerja sebagai PNS rata-rata mendapat cuti bersalin namun rata-rata ibu yang memperoleh cuti bersalin hanya
memberikan ASI selama dua bulan dan selanjutnya dialihkan ke susu formula dikarenakan ibu harus kembali bekerja dan pada umumnya
responden tidak memiliki tempat penitipan anak dan fasilitas tempat
penyimpanan ASI ditempat kerja, rendahnya pemberian ASI eksklusif pada ibu yang bekerja sangat erat kaitannya dengan kebijakan-
kebijakan yang ada ditempat kerja Pawenrusi, 2011. Ibu Rumah Tangga IRT memiliki waktu yang cukuplebih
banyak untuk mendapatkan informasi tentang pentingnya pemberian ASI dan bahaya yang akan terjadi bila bayi diberikan makanan
pendamping ASI sebelum waktunya dibandingkan mereka yang bekerja di luar rumah. ibu rumah tangga akan mempunyai motivasi
yang kuat karena waktunya lebih banyak dirumah untuk memberikan ASI dibandingkan ibu bekerja yang waktu di rumah lebih sedikit untuk
memberikan ASI Handayani, dkk. 2009. Hasil penelitian Anggrita 2009 menyatakan bahwa tidak ada
hubungan antara pekerjaan ibu dengan pemberian ASI eksklusif. Namun, berbeda dengan penelitian Rohani 2007 yang menyatakan
bahwa faktor pekerjaan mempunyai pengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif p = 0,012 ; B = -1,477, hal ini menunjukkan bahwa akan
terjadi penurunan pemberian ASI eksklusif jika disertai dengan peningkatan pekerjaan.
Hasil penelitian yang sama oleh Juliani 2009, menyatakan bahwa ada hubungan secara bermakna antara pekerjaan ibu terhadap
pemberian ASI eksklusif dengan p Value = 0,000 = 0,05. Namun hasil penelitian di atas berbeda dengan penelitian Anggrita 2010
yang menyatakan bahwa tidak adahubungan antara pekerjaan ibu dengan pemberian ASI eksklusif dengan p 0,05 p= 0,955.
d. Paritas Paritas berasal dari kata para yang artinya jumlah kehamilan
yang menghasilkan janin yang mampu hidup di luar rahim 28 minggu atau lebih. Pengelompokkan paritas menurut jumlahnya kelahirannya
terdapat 3 kelompok yaitu nullipara, primipara dan multipara. Yang dimaksud dengan nullipara adalah seorang wanita yang belum pernah
melahirkan dengan usia kehamilan lebih dari 28 minggu. Dalam hal ini seorang dikatakan nullipara apabila wanita
tersebut belum pernah melahirkan janin yang mampu hidup di luar rahim. Sedangkan yang dimaksud dengan primipara adalah seorang
wanita yang baru pertama kali melahirkan dengan janin mencapai umur kehamilan 28 minggu atau lebih., multipara adalah seorang
wanita yang sudah mengalami hamil dengan usia kehamilan minimal 28 minggu dan telah melahirkan buah kehamilannya dua kali atau
lebih. Resmaniasih, 2007 Suradi 2007 dalam Handayani, dkk 2009, bahwa salah satu
faktor yang mempengaruhi pemberian ASI meliputi karakteristik ibu yaitu pengalaman ibu menyusui. Perbedaan jumlah anak akan
berpengaruh terhadap pengalaman ibu dalam hal menyusui. Seorang ibu yang telah sukses menyusui pada kelahiran sebelumnya akan lebih
mudah serta yakin akan dapat menyusui pada kelahiran berikutnya.
Seorang ibu muda dengan anak pertama akan merasa sulit untuk dapat menyusui Solihah, dkk. 2010.
Berdasarkan penelitian Juliani 2009 menunjukkan bahwa ibu yang lebih tua dan memiliki paritas lebih tinggi tampak lebih banyak
yang melakukan ASI eksklusif enam bulan. Dari hasil uji statistik diketahui bahwa ada hubungan secara bermakna antara paritas
terhadap pemberian ASI eksklusif dengan pValue = 0,001 = 0,05. Penelitian Fikawati dan Syafiq 2009 menyatakan bahwa
informan ASI eksklusif mempunyai paritas rata-rata lebih tinggi 3 anak
daripada informan
ASI tidak
eksklusif 2
anak. Perbedaanjumlah anak akan mempengaruhi terhadap pengalaman ibu
dalam hal menyusui. 2. Pengetahuan
Hambatan utama tercapainya ASI eksklusif yang benar adalah karena kurang sampainya pengetahuan yang benar tentang ASI eksklusif pada
para ibu. Seorang ibu harus mempunyai pengetahuan yang baik dalam menyusui Roesli, 2000.
Pengetahuan diperoleh manusia melalui panca indra, mata melihat, telinga mendengar, hidung membaui, lidah mengecap serta kulit
merasakan halus kasarnya sesuatu. Pengetahuan tersebut dikatakan bersumber dari panca indra. Disamping itu ada pula pengetahuan yang
bersumber dari perasaan, yang sering ada dan kelihatan nyata jika manusia berprasangka terhadap sesuatu. Prasangka ini umumnya berasal dari
sumber perasaan seseorang yang mengemukakan suatu pernyataan Notoatmodjo, 2003.
Seorang wanita dengan bayi pertamanya mungkin tidak tahu cara menaruh bayi pada payudaranya. Dan bayi, walaupun dapat menghisap,
mungkin tidak tahu cara membawa puting susu ke mulutnya. Meletakkan bayi ke payudara sangat sederhana bila tahu caranya. Karena itu, cara ini
harus diketahui. Bila bayi tidak mengambil puting susu dengan benar, akan menimbulkan banyak persoalan Soetjiningsih, 1997.
Wanita juga butuh nasihat menangani berapa kali sehari mereka harus menyusui, pemberian minuman dan makanan lainnya untuk bayi, masalah
umum mengenai puting susu yang nyeri, payudara yang nyeri, ASI yang tidak mencukupi, ASI yang terlalu banyak dan sebagainya. Ibu-ibu baru
membutuhkan seseorang yang mengetahui tentang apa yang harus dilakukan Soetjiningsih, 1997.
Penelitian Ludin 2008 menyatakan bahwa variabel pengetahuan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap tindakan
pemberian ASI eksklusif p = 0,000 0,05 dan nilai koefisien sebesar 0,241. Hasil penelitian yang sama juga dinyatakan oleh Juliani
2009 yang menunjukkan bahwa ada hubungan secara bermakna antara pengetahuan ibu terhadap pemberian ASI eksklusif dengan pValue =
0,004 = 0,05. Penelitian Fikawati dan Syafiq 2009 menyatakan bahwa lima dari
tujuh informan yang memberikan ASI eksklusif mengetahui dengan tepat
bahwa ASI harus diberikan selama enam bulan tanpa boleh diberikan makanan-minuman apapun. Namun,
dua informan lainnya yang berpendidikan rendah tidak satupun memahami isitilah ASI eksklusif.
Sedangkan satu informan sebenarnya tidak tahu sama sekali tentang ASI eksklusif. Iinforman ini memberikan ASI eksklusif karena bayinya tidak
mau diberikan susu botol. Sedangkan informan yang tidak ASI eksklusif tidak ada yang satupun yang mengetahui definisi ASI eksklusif dengan
benar. Namun berbeda dengan penelitian Candriasih 2010 di Kabupaten
Donggala yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pemberian ASI eksklusif. Penelitian ini menemukan
ada ibu dengan pengetahuan baik namun tidak memberikan ASI eksklusif. Ibu mengatakan ASInya tidak lancar sehingga bayi tidak puas
cukup mendapat ASI, sehingga ibu memberikan makanan tambahan selain ASI sebelum berumur enam tahun. Selain itu juga karena faktor
lingkungan yaitu melihat anaknya tetangga atau kerabatnya yang tidak memberikan ASI eksklusif juga
3. Budaya Kepercayaan Mitos Menurut Khasanah 2011 Salah satu kendala ibu menyusui adalah
kepercayaan pada mitos, padahal mitos tidak dapat dipercaya kebenarannya. Contoh diantaranya antara lain:
1 ASI hari pertama harus dibuang, 2 ASI belum banyak pada hari pertama sehingga perlu ditambah cairan
atau makanan lain, 3 Setiap kali hendak menyusui saat pagi setelah bangun tidur,
semburan pertama ASI harus dibuang karena dianggap basi, 4 ASI membuat bayi obesitas,
5 ASI bisa merusak kulit bayi. Aspek keyakinan atau kepercayaan dalam kehidupan manusia
mengarahkan budaya hidup, perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber daya di dalam suatu masyarakat akan menghasilkan
pola hidup yang disebut kebudayaan dan selanjutnya kebudayaan mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku Ludin, 2008.
Prasetyono 2009 mengatakan turunnya angka menyusui secara eksklusif
adalah pengaruh
sosial budaya
dimasyarakat, yang
menganjurkan supaya bayi diberi makanan tambahan sebelum berusia 6 bulan. Oleh karena itu, faktor sosial budaya ditengarai menjadi faktor
utama pada pemberian ASI eksklusif Swasono, 2005 Kolostrum terdapat pada ASI dengan jumlah yang tidak banyak tetapi
kaya akan zat-zat yang bergizi dan sangat baik untukikonsumsi bayi. Tetapi karena faktor kepercayaan yang salah, banyak ibu yang baru
melahirkan tidak memberikan kolostrum pada bayinya. Mereka berpendapat dan percaya bahwa kolostrum akan berpengaruh buruk
terhadap kesehatan anak Winarmo, 1992 dalam Rahayuningsih, 2005
dalam Pawenrusi, 2011. Kepercayaan dari orang tua serta lingkungannya
bahwa ASI yang pertama keluar hendaknya dibuang setelah bersih lalu menyusui bayi, mereka beranggapan bahwa kolostrum adalah basi dan
tidak baik untuk bayi, para orang tua ada yang memberikan madu sebelum usia bayi enam bulan mereka beranggapan bahwa anak yang
diberi madu akan baik bagi kesehatannya Pawenrusi, 2011. Kepercayaan sangat dipengaruhi oleh tradisi dalam lingkungan
maupun keluarga. Pemberian madu menurut penelitian Wulandari 2011 terhadap makanan prelakteal menjelaskan bahwa pemberian madu
merupakan kebiasaan yang dilakukan kepada bayi baru lahir sejak dulu dan dilakukan secara turun temurun oleh keluarga.
Alasan pemilihan madu sebagai makanan prelakteal berdasarkan kepercayaan tertentu, diantaranya dapat mengobati demam, panas, dan
dapat meningkatkan kekebalan tubuh bayi sehingga bayi tidak mudah terkena influenza jika memakanmakanan yang manis karena sejak kecil
sudah terbiasa memakan yang manis seperti madu, selain itu pemberian madu dapat memerahkan bibir bayi jika pemberiannya dioleskan pada
bibir bayi. Dari hasil penelitian Ludin 2008 menunjukkan variabel keyakinan
kepercayaan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap tindakan pemberian ASI eksklusif p = 0,028 0,05 dan nilai koefisien
sebesar 0,241. Penelitian Fika dan Syafiq 2009 menyatakan sebagian
besar ibu mempercayai bahwa memberikan hanya ASI saja bisa mencukupi kebutuhan bayi sampai usia enam bulan.
4. Sikap Mucchielli mendeskripsikan sikap sebagai kecenderungan pikiran atau
perasaan yang relatif konstan terhadap kategori tertentu benda, orang, atau situasi. Sedangkan, Kirscht menunjukkan bahwa sikap merupakan
kumpulan keyakinan yang selalu mencakup aspek evaluatif, yaitu, sikap selalu dapat dinilai dari segi baik dan buruk atau positif yang negatif.
Green, 2005. Sedangkan menurut Notoatmodjo 2007 Sikap merupakan reaksi atau
respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat
ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.
Sikap yang baik dipengaruhi oleh pengetahuan. Hal ini sesuai dengan pendapat teori
yang mengemukakan bahwa sikap adalah pandangan atau perasaan yang disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap dari
objek Candriasih, 2010. Pemberian ASI jarang membawa hasil yang memuaskan jika ibu
bersikap antagonis terhadap gagasan ini. Sebagian ibu mempunyai sikap defensif karena mereka telah ceramahi dan bukan didorong serta dibiarkan
untuk menggali perasaan mereka mengenai pemberian ASI kepada bayi mereka Farrer, 1999.
Penelitian Fikawati dan Syafiq 2009 menyatakan bahwa hampir seluruh ibu bersikap setuju terhadap pemberian ASI eksklusif enam bulan.
Bahkan informan yang tidak ASI eksklusif juga setuju terhadap pemberian ASI eksklusif.
Berbeda dengan penelitian Candriasih 2010 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sikap dengan pemberian ASI eksklusif.
Penelitian ini menemukan ibu yang mempunyai sikap baik pada pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan lebih banyak
dibandingkan yang tidak baik. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan pemberian ASI
eksklusif.Hal ini disebabkan karena masih ada ibu dan keluarganya yang percaya bahwa pemberian makanan tambahan selain ASI dapat diberikan
sedini mungkin sehingga bayi cepat besar tanpa mengetahui efek dari pemberian makanan selain ASI pada bayi usia di bawah enam bulan.
5. Tempat Persalinan Hubungan antara kesuksesan menyusui dengan tempat persalinan
ditemukan erat karena tidak jarang rumah sakit memberikan susu formula kepada ibu yang baru melahirkan. Untuk itu, pemerintah sejak tahun 1985
telah mengembangkan rumah sakit sayang bayi serta ada kesepakatan produsen dan importer makanan produk makanan bayi untuk memasarkan
produknya secara langsung maupun tidak langsung ke pelayanan kesehatan soetjiningsih, 1997.
Irianto 1998 mengemukakan bahwa tempat persalinan merupakan lingkungan yang paling dekat dengan Ibu ketika melangsungkan
persalinan. Kebijakan yang diambil di tempat persalinan mempunyai dorongan kuat terhadap pelaksanaan menyusui selanjutnya Marzuki,
2004. Berdasarkan penelitian Kusnadi 2007 diketahui bahwa proporsi
pemberian ASI eksklusif pada persalinan yang menggunakan fasilitas kesehatan 20,3 lebih besar bila dibandingkan ibu yang tidak
menggunakan fasilitas kesehatan 5,7 dan menunjukan tidak ada hubungan bermakna antra tempat persalinan dengan prilaku pemberian
ASI eksklusif. berbeda dengan penelitian Nurjanah 2007 yang memperlihatkan ada hubungan bermakna antara tempat persalinan dengan
nilai OR 1,57 yang berarti ibu yang melahirkan bukan pada fasilitas kesehatan memiliki peluang 1,57 kali untuk memberikan ASI eksklusif
dibandingkan ibu yang bersalin di fasilitas kesehatan. 6. Fasilitas Rawat Gabung
Rawat gabung adalah suatu cara perawatan dimana ibu dan bayi yang baru dilahirkan tidak dipisahkan, melainkan di tempatkan dalam sebuah
ruangan kamar atau tempat bersama-sama selama 24 jam penuh dalam seharinya Maryuni, 2009; Rukiyah, 2010.
Tujuan rawat gabung adalah agar ibu dapat menyusui bayinya sedini mungkin kapan saja dibutuhkan, ibu dapat melihat dan memahami cara
perawatan bayi yang benar seperti yang dilakukan oleh petugas, ibu
mempunyai pengalaman dalam merawat bayinya sendiri selagi ibu masih di rumah sakit dan ibu memperoleh bekal keterampilan merawat bayi serta
menjalankannya setelah pulang dari rumah sakit. Rawat gabung juga memungkinkan suami dan keluarga dapat terlibat secara aktif untuk
mendukung dan membantu ibu dalam menyusui dan merawat bayinya secara baik dan benar, selain itu ibu mendapatkan kehangatan emosional
karena ibu dapat selalu kontak dengan buah hati yang sangat dicintainya, demikian pula sebaliknya bayi dengan ibunya Maas, 2004; Mappiwali,
2008. Penelitian Soetjiningsih di RS.Sanglah Denpasar, menyimpulkan
bahwa dengan adanya rawat gabung sangat menguntungkan. Karena terdapat penurunan angka morbiditas dan mortalitas bayi, serta
penghematan bagi keluarga dan rumah sakit akibat berkurangnya lama
perawatan bayi baru lahir, pembelian susu formula dan pembelian cairan infus Soetjiningsih, 1997.
Meskipun rawat gabung dan pemberian ASI Eksklusif merupakan alat untuk menjalin kasih sayang antara ibu dan bayi tapi pada
kenyataannya banyak rumah sakit, puskesmas klinik dan rumah bersalin yang belum melaksanakan rawat gabung sehingga dapat mempengaruhi
perilaku ibu dalam memberikan ASI Arasta, 2010.
7. Tenaga yang Melayani Inisiasi Menyusui Dini IMD IMD adalah proses membiarkan bayi dengan nalurinya sendiri
menyusu dalam 1 jam pertama setelah lahir, bersamaan dengan kontak kulit skin to skin contact antara kulit ibu dengan kulit bayinya Nurtjahjo
dan Paramitia, 2008 dalam Sunansari, 2008. Menurut Roesli 2008 ada beberapa manfaat yang bisa didapat
dengan melakukan IMD adalah : 1 Menurunkan resiko kedinginan hypothermia.
Bayi yang diletakkan segera di dada ibunya setelah melahirkan akan mendapatkan kehangatan sehingga dapat menurunkan resiko
hypothermia sehingga angka kematian karena hypothermia dapat ditekan.
2 Membuat pernapasan dan detak jantung bayi lebih stabil. Ketika berada di dada ibunya bayi merasa dilindungi dan kuat
secara psikis sehingga akan lebih tenang dan mengurangi stres sehingga pernafasan dan detak jantungnya akan lebih stabil .
3 Bayi akan memiliki kemampuan melawan bakteri. IMD memungkinkan bayi akan kontak lebih dahulu dengan
bakteri ibu yang tidak berbahaya atau ada antinya di ASI ibu, sehingga bakteri tersebut membuat koloni di usus dan kulit bayi
yang akan dapat menyaingi bakteri yang lebih ganas di lingkungan luar.
4 Bayi mendapat kolostrum dengan konsentrasi protein dan immunoglobulin paling tinggi.
IMD akan merangsang pengeluaran oksitosin sehingga pengeluaran ASI dapat terjadi pada hari pertama kelahiran. ASI
yang keluar pada hari pertama kelahiran mengandung kolostrum yang memiliki protein dan immunoglobulin dengan konsentrasi
paling tinggi. Kolostrum sangat bermanfaat bagi bayi karena kaya akan antibodi dan zat penting untuk pertumbuhan usus dan
ketahanan terhadap infeksi yang sangat dibutuhkan bayi demi kelangsungan hidupnya .
5 Mendukung keberhasilan ASI Eksklusif Bayi yang diberikan kesempatan menyusui dini akan
mempunyai kesempatan lebih berhasil menyusui Eksklusif dan mempertahankan menyusu dari pada yang menunda menyusu dini.
6 Membantu pengeluaran plasenta dan mencegah pendarahan Sentuhan, dan jilatan bayi pada puting susu ibu akan
merangsang sekresi hormon oksitosin yang penting untuk menyebabkan rahim kontraksi yang membantu pengeluaran
plasenta dan mengurangi pendarahan sehingga mencegah anemia, merangsang hormon lain yang membuat ibu menjadi tenang, rileks
dan mencintai bayinya serta merangsang pengaliran ASI dari payudara.
7 Membantu bayi agar memiliki keahlian makan di waktu selanjutnya
8 Ibu dan ayah akan sangat bahagia bertemu dengan bayinya pertama kali di dada ibunya
Menyusui segera IMD dalam waktu 30 menit setelah persalinan merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mencegah
diberikannya makanan minuman prelakteal. Pemberian makanan minuman prelakteal adalah pemberian makanan atau minuman kepada
bayi baru lahir sebelum ASI keluar mendahului pemberian ASI. Namun masih banyak ibu yang belum mengetahui tentang hal tersebut Fikawati
dan Syafiq, 2003. Dalam penelitian Fikawati dan Syafiq 2003 menemukan masih ada
ibu yang memberikan makanan prelakteal dengan alasan ASInya belum keluar, bayinya menangis, dan persepsi ibu bahwa hanya ASI saja tidak
mencukupi kebutuhan bayi. Penelitian Fikawati dan Syafiq 2003 di Provinsi Jawa Barat dan
Jawa Timur, menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ASI segera IMD dengan pemberian ASI eksklusif. Nilai Odds
Ratio OR berkisar antara 2,1- 8,1, artinya ibu yang memberikan ASI di bawah atau sama dengan 30 menit setelah kelahiran kemungkinannya 2,1
sampai 8,1 lebih besar untuk memberikan ASI eksklusif selama 4 bulan kepada bayinya dibanding ibu yang tidak memberikan ASI segera.
8. Kebijakan Tempat Kerja Menurut penelitian Dodik Briawan 2004 pada saat ini banyak ibu-
ibu yang memperoleh nafkah dengan bekerja di luar rumah. Wanita di perkotaan kebanyakan bekerja baik di sektor formal maupun informal.
Pada kondisi tersebut, bagi ibu yang sedang menyusui sulit untuk tetap dapat menyusui anaknya, apalagi kalau tempat tinggal berjauhan dengan
tempat bekerja. Demikian pula jika perusahaaan tempat bekerja menetapkan aturan yang ketat terhadap jam kerja karyawannya.
Pada Penelitian Pawenrusi 2011 ditemukan bahwa keseluruhan ibu yang bekerja tidak memberikan ASI Eksklusif ini dikarenakan ibu yang
bekerja memilih susu formula kepada bayinya karena mempunyai
kesibukan bekerja diluar rumah. Pada ibu yang bekerja sebagai PNS rata- rata mendapat cuti bersalin namun rata-rata ibu yang memperoleh cuti
bersalin hanya memberikan ASI selama 2 bulan dan selanjutnya dialihkan ke susu formula dikarenakan ibu harus kembali bekerja dan pada
umumnya responden tidak memiliki tempat penitipan anak dan fasilitas tempat penyimpanan ASI ditempat kerja, rendahnya pemberian ASI
eksklusif pada ibu yang bekerja sangat erat kaitannya dengan dengan kebijakan-kebijakan yang ada ditempat kerja.
Ada tidaknya kelonggaran ditempat kerja, disediakannya tempat penitipan anak, serta disediakannya tempat penyimpanan ASI ditempat
kerja. Ibu
yang bekerja
ternyata sudah
mengetahui tentang
mempertahankan produksi ASI yaitu dengan memompa pada saat bekerja
namun pada kenyataanya ibu mengatakan lebih repot dan ibu hanya menyusui pada malam hari saja Pawenrusi, 2011.
9. Penolong Persalinan Kunci keberhasilan menyusui terletak pada penolong persalinan
karena 30 menit pertama setelah bayi lahir umumnya peran penolong persalinan masih sangat dominan. Bila ibu difasilitasi oleh penolong
persalinan untuk segaera memeluk bayinya diharapkan interaksi ibu dan bayi akan segera terjadi. Dengan pemberian ASI segera, ibu semakin
percaya diri untuk tetap memberikan ASI, sehingga tidak merasa perlu untuk memberikan makanan atau minuman apapun kepada bayi karena
bayi dapat nyaman menempel pada payudara ibu atau tenang dalam pelukan ibu segera setelah lahir Fikawati, 2003 dalam Lestari, 2009.
Penelitian yang dilakukan Nurjanah 2007 memperlihatkan bahwa proporsi pemberian ASI eksklusif pada ibu yang ditolong oleh tenaga
kesehatan dalam proses persalinan 8,6 lebih besar dibandingkan ibu yang tidak ditolong oleh tenaga kesehatan 6,1 dan menunjukan bahwa
tidak ada hubungan bermakna antara penolong persalinan dan pemberian ASI eksklusif.
10. Dukungan Keluarga dan Suami Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga
terhadap penderita yang sakit. Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan
bantuan jika diperlukan. Dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu yang dapat
diaksesdiadakan untuk keluarga dukungan sosial bisa atau tidak digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat
mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan social
kelurga internal, seperti dukungan dari suamiistri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan sosial keluarga eksternal.
Dorongan keluarga untuk melakukan ASI eksklusif umumnya adalah suami dan orang tua. Suami dan orang tua adalah orang terdekat yang
dapat mempengaruhi seorang ibu untuk tetap menyusui secara eksklusif atau malah memberikan makanan minuman tambahan kepada bayi
Fikawati dan Syafiq, 2009 Adiningsih 2004 menjelaskan bahwa pada saat reflex oksitosin inilah
peran ayah sungguh besar dalam mempengaruhi keadaan emosi dan perasaan ibu. Pengaruh emosional dapat mencapai 75 dalam
menghambat pengeluaran ASI. Peran ayah di sini dapat berupa memberikan rasa aman, meyakinkan ibu bahwa ia mampu menyusui dan
pentingnya memberikan ASI. Oleh karenanya Swasono 2005
menyatakan bahwa dukungan suami terhadap pemberian ASI eksklusif menjadi factor kunci kesadaran ibu untuk memberikan gizi terbaik bagi
bayinya. Hasil penelitian kualitatif Fikawati dan Syafiq 2009 menyatakan
bahwa sebagian besar ibu yang memberikan ASI eksklusif kepada bayinya mendapatkan dukungan dari suaminya. Sedangkan pada orang tua
perannya kurang terlihat. Namun, pada ibu yang tidak memberikan ASI eksklusif sangat terlihat bagaimana peran orang tua untuk mempengaruhi
pemberian makanan tambahan. Penelitian Lestari 2010 di Tangerang menyatakan bahwa dari 62
responden yang memperoleh dukungan keluarga, responden sebanyak 44 orang 71 memberikan ASI eksklusif sedangkan dari 201 responden
yang tidak mendapat dukungan keluarga, responden sebanyak 124 orang 61,7 tidak memberikan ASI eksklusif. Hasil uji statistik didapatkan
nilai p= 0,000, sehingga disimpulkan bahwa ada hubungan antara dukungan keluarga dengan pemberian ASI eksklusif.
11. Dorongan Kader dan Tenaga Kesehatan Peranan tenaga kesehatan dimana ibu melahirkan sangat menentukan
tentang cara memberi ASI yang baik. Penerangan mengenai pemberian ASI yang pertama keluar kolostrum sangat diperlukan oleh ibu, karena
pengalaman selama ini kolostrum biasanya dibuang. Sejumlah peneliti memperlihatkan bahwa para petugas kesehatan
dapat sangat mempengaruhi cara-cara pemberian makan bayi, khususnya
dapat memberikan pengaruh yang negatif terhadap menyusui. Pengaruh
negatif ini dapat melalui cara pasif, yaitu dengan bersikap acuh atau netral. Pengaruh ini dapat juga secara aktif, seperti yang timbul pada saat adanya
kesukaran, misalnya ASI keluar terlambat atau jumlahnya tidak mencukupi PERDHAKI, 1981.
Kader kesehatan merupakan salah satu tenaga yang turut mensukseskan kegiatan-kegiatan kesehatan dan yang paling dekat dengan
masyarakat yang ada wilayahnya. Peran dari kader kesehatan sangat diperlukan untuk memberikan dorongan kepada para ibu untuk
memberikan ASI eksklusif. Penelitian yang dilakukan oleh Mudjianto 1987 menunjukkan bahwa
sebagian besar bayi yang lahir di rumah sakit rumah bersalin mendapat makanan pertama berupa susu botol, yaitu sebanyak 254 bayi 53,5.
Pemberian susu botol sebagai makanan pertama bayi biasanya dilakukan oleh perawat dan tanpa sepengetahuan dan ijin dari ibu.
Penelitian Fikawati dan Syafiq 2009 menyatakan bahwa dari seluruh 14 informan, hanya enam informan yang mendapat nasihat dan informasi
mengenai ASI eksklusif atau persiapan menyusui dari tenaga kesehatan. Penjelasan berupa cara membersihkan payudara, cara menyusui yang baik
dan ASI eksklusif. Sedangkan sembilan informan lainnya tidak pernah mendapat informasi atau penjelasan tentang pentingnya ASI eksklusif.
Tenaga kesehatan umumnya hanya menasehati informan untuk merawat kehamilannya dengan baik seperti makan makanan bergizi,
banyak minum air putih, olahraga ringan, dan mengurangi aktifitas berat Fikawati dan Syafiq, 2009
12. PromosiIklan Susu Formula Beberapa penelitian yang telah dilakukan didaerah pekotaan dan
perdesaan di Indonesia dan negara berkembang lainnya, menunjukkan bahwa faktor sistem dukungan, pengetahuan ibu terhadap ASI, promosi
susu formula dan makanan tambahan mempunyai pengaruh terhadap praktek pemberian ASI. Santosa, 2004.
D. Teori Perilaku Kesehatan