2.2.2 Cara panas
a. Refluks
Refluks merupakan suatu cara ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif
konstan dengan adanya pendingin balik. b.
Sokletasi Sokletasi merupakan suatu cara ekstraksi kontinu dengan menggunakan
alat soklet, di mana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel dan mengisi bagian tengah alat soklet. Tabung
sifon juga terisi dengan larutan ekstraksi dan ketika mencapai bagian atas tabung sifon, larutan tersebut akan kembali ke dalam labu.
c. Digesti
Digesti merupakan maserasi kinetik dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur kamar, umumnya dilakukan pada
suhu 40-50
o
C. d.
Infundasi Infundasi merupakan suatu cara ekstraksi dengan menggunakan pelarut air
pada temperatur 90
o
C selama 15 menit. e.
Dekoktasi Dekoktasi merupakan suatu cara ekstraksi pada suhu 90
o
C dengan menggunakan pelarut air selama 30 menit.
2.3 Tekanan Darah
Tekanan darah adalah kekuatan yang dihasilkan aliran darah terhadap setiap satuan luas dari dinding pembuluh darah. Tekanan darah hampir selalu
Universitas Sumatera Utara
dinyatakan dalam milimeter air raksa mmHg. Secara umum tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer total Guyton, 1993.
tekanan darah = curah jantung x tahanan perifer total Berdasarkan rumus di atas dapat dilihat bahwa setiap keadaan yang
meningkatkan baik curah jantung maupun tahanan perifer total akan meningkatkan tekanan darah. Namun, pada dasarnya tekanan darah tidak hanya
diatur oleh satu sistem pengatur tekanan darah melainkan oleh beberapa sistem yang saling berkaitan satu sama lain Guyton, 1993.
2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tekanan Darah 2.4.1 Tekanan darah sistol dan diastol
Tekanan darah sistol adalah tekanan yang terjadi ketika ventrikel kiri jantung berkontraksi untuk mengalirkan darah ke aorta sedangkan tekanan darah
diastol terjadi ketika ventrikel kiri jantung relaksasi. Tekanan darah sistol normal berkisar antara 120 ± 10 mmHg dan tekanan darah diastol normal berkisar antara
80 ± 10 mmHg Gunstream, 2000.
2.4.2 Tekanan arteri rata-rata
Tekanan darah arteri rata-rata adalah tekanan rata-rata selama satu siklus denyut jantung. Besarnya tekanan arteri biasanya sedikit lebih rendah daripada
rata-rata tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Pada orang dewasa muda yang normal tekanan arteri rata-rata kira-kira 96 mmHg, sedikit lebih kecil dari rata-
rata tekanan sistolik dan tekanan diastolik, yaitu 120 dan 80 mmHg Guyton, 1993.
Tekanan darah arteri rata-rata adalah gaya utama yang mendorong darah jaringan sistemik. Jika tekanan darah arteri rata-rata rendah, otak dan jaringan
Universitas Sumatera Utara
tidak akan menerima aliran darah dari jantung. Sebaliknya, jika terlalu tinggi menyebabkan beban kerja tambahan bagi jantung dan meningkatkan risiko
kerusakan pembuluh serta perdarahan pada arteri-arteri kecil Sherwood, 2001.
2.4.3 Curah jantung Cardiac Output
Selama periode waktu tertentu, jumlah darah yang dipompa oleh ventrikel kiri dan ventrikel kanan sama besarnya. Jika tidak, akan terjadi penimbunan darah
di tempat tertentu di jantung atau paru-paru. Volume darah yang dipompa oleh tiap-tiap ventrikel per menit disebut curah jantung. Peningkatan atau penurunan
curah jantung berbanding lurus dengan perubahan tekanan darah. Curah jantung dipengaruhi oleh volume sekuncup dan denyut jantung Sherwood, 2001.
curah jantung = volume sekuncup x denyut Jantung Besar curah jantung seseorang tidak selalu sama, bergantung pada
keaktifkan tubuhnya. Curah jantung orang dewasa pada keadaan istirahat kurang lebih 5 liter. Dengan kata lain, setiap menit ventrikel kanan memompa 5 liter
darah ke paru-paru dan ventrikel kiri memompa 5 liter darah ke sirkulasi sistemik. Curah jantung akan meningkat saat bekerja berat, stres, dan olahraga lalu menurun
saat tidur Sherwood, 2001.
2.4.4. Volume sekuncup Stroke Volume
Volume sekuncup SV adalah jumlah darah yang dipompa ke luar dari ventrikel setiap berkontraksi. Volume sekuncup dipengaruhi oleh selisih antara
volume diastolik akhir atau end diastolic volume EDV dengan volume sistolik akhir, end systolic volume ESV.
SV = EDV – ESV
Universitas Sumatera Utara
Volume diastolik akhir adalah jumlah darah di ventrikel sebelum berkontraksi sedangkan volume sistolik akhir adalah jumlah darah di ventrikel
setelah berkontraksi. Dengan kata lain, semakin besar selisih antara volume diastolik akhir dan volume sistolik akhir semakin besar juga jumlah darah yang
dialirkan ke sirkulasi sistemik saat ventrikel berkontraksi Sherwood, 2001. Berdasarkan hukum Frank Starling menyatakan:
a. Semakin besar darah di jantung saat diastol maka semakin besar jumlah darah
yang dipompakan ke aorta. b.
Dalam batas fisiologis, jantung memompakan darah kembali ke jantung tanpa menyebabkan penumpukan darah di vena.
c. Jumlah darah yang dipompa oleh jantung bergantung pada jumlah darah yang
mengalir kembali ke vena. Hubungan langsung antara volume diastolik akhir dan volume sekuncup
bergantung pada panjang tegangan otot jantung disebut kontrol intrinsik. Pada keadaan istirahat, panjang serat otot jantung lebih kecil daripada panjang
optimum. Peningkatan volume diastolik akan meningkatkan panjang serat otot awal sebelum kontraksi preload dan menyebabkan volume sekuncup lebih
besar. Preload dinyatakan sebagai beban kerja yang diberikan jantung sebelum kontraksi dimulai. Ketika berkontraksi, ventrikel harus menghasilkan cukup
tekanan untuk mengatasi tekanan darah di arteri-arteri besar agar katup-katup semilunaris dapat terbuka. Tekanan ini disebut dengan afterload. afterload adalah
tekanan yang harus dilawan oleh jantung selama kontraksi untuk mempertahankan volume sekuncup normal. Volume sekuncup juga diatur oleh kontrol ekstrinsik
melalui aktivitas sistem saraf simpatis dengan memperkuat kontraktilitas jantung
Universitas Sumatera Utara
dan meningkatkan aliran balik vena. Stimulasi simpatis menyebabkan konstriksi vena yang memeras lebih banyak darah dari vena ke jantung sehingga terjadi
peningkatan volume diastolik akhir dan secara langsung akan meningkatkan volume sekuncup Sherwood, 2001.
2.4.5 Aliran balik vena
Darah meninggalkan jaringan sistemik menuju pembuluh darah vena untuk dibawa kembali ke jantung. Selain berfungsi sebagai aliran bagi darah
kembali ke jantung, vena juga berfungsi sebagai reservoir darah; yaitu, apabila kebutuhan akan darah rendah, vena-vena dapat menyimpan darah ekstra sebagai
cadangan karena sifat mereka yang mudah diregangkan. Dalam keadaan istirahat, pembuluh darah vena mengandung 60 volume darah total. Apabila, simpadan
darah dibutuhkan, faktor-faktor ekstrinsik melalui aktivitas saraf simpatis akan mendorong darah dari vena ke jantung. Darah yang tersimpan di vena terlalu
banyak akan menyebabkan penurunan volume sekuncup dan curah jantung Sherwood, 2001.
Aliran balik vena adalah jumlah darah yang kembali ke jantung melalui vena cava superior Scanlon, 2007. Aliran balik vena dipengaruhi oleh berbagai
faktor yaitu aktivitas saraf simpatis, aktivitas otot rangka, efek katup vena, aktivitas pernafasan dan efek penghisapan oleh jantung cardiac suction effect.
a. Aktivitas saraf simpatis, otot polos vena dipersarafi oleh banyak saraf
simpatis. Stimulasi saraf simpatis menimbulkan vasokontriksi vena yang cukup meningkatkan tekanan vena; hal ini kemudian meningkatkan gradien
tekanan untuk mendorong lebih banyak darah dari vena ke dalam atrium kanan.
Universitas Sumatera Utara
b. Aktivitas otot rangka, vena-vena besar banyak terletak diantara otot-otot
rangka sehingga pada saat otot-otot ini berkontraksi, vena-vena tersebut tertekan. Penekanan ini akan menurunkan kapasitas vena dan meningkatkan
tekanan vena, sehingga darah mengalir ke jantung. c.
Efek katup vena, katup vena berbeda dengan katup atrioventrikular trikuspidalis dan bikuspidalis dan katup semilunaris aorta dan pulmonalis
pada jantung. Katup vena bersifat satu arah yang berfungsi mendorong darah ke jantung tetapi mencegah darah kembali ke jaringan. Katup-katup vena ini
juga berperan melawan efek gravitasi yang ditimbulkan oleh posisi berdiri dengan memperkecil aliran balik darah yang cenderung terjadi ketika
seseorang dalam posisi berdiri. d.
Aktivitas pernafasan, Tekanan di dalam rongga dada rata-rata 5 mmHg di bawah tekanan atmosfer. Pada saat mengalir melalui rongga dada, sistem
vena yang mengembalikan darah ke jantung dari bagian bawah tubuh terpapar ke tekanan subatmosfer tersebut. Karena sistem vena di tungkai dan abdomen
mendapat tekanan normal, terjadi gradien tekanan eksternal antara vena-vena bawah tekanan atmosfer dan vena-vena dada 5 mmHg lebih kecil dari
tekanan atmosfer. Perbedaan tekanan ini akan mendorong darah dari vena- vena bagian bawah menuju vena dada sehingga aliran balik vena meningkat.
Mekanisme fasilitasi aliran balik vena ini dikenal sebagai pompa respirasi karena terjadi akibat aktivitas pernafasan. Peningkatan aktivitas respirasi akan
meningkatkan aliran balik vena. e.
Efek penghisapan oleh jantung, Jantung memiliki peran pengisian darah sendiri. Selama kontraksi ventrikel, katup-katup atrioventrkular AV tertarik
Universitas Sumatera Utara
ke bawah, sehingga rongga atrium membesar. Akibatnya, tekanan atrium sementara turun dibawah 0 mmHg. Sehingga gradien tekanan vena ke atrium
meningkat dan aliran balik vena juga meningkat. Tekanan ventrikel akan lebih negatif dari pada tekanan vena dan atrium. Hal ini akan meningkatkan
gradien tekanan vena ke atrium lalu ke ventrikel. Dengan demikian, jantung berfungsi sebagai “pompa penghisap” untuk mempermudah pengisian jantung
Sherwood, 2001.
2.4.6 Tahanan perifer total
Tahanan perifer total adalah gesekan antara darah melawan dinding pembuluh darah. Arteriol berperan penting dalam pengaturan tekanan darah
berdasarkan perubahan diameternya, mengubah tahanan perifer total. Ketika arteriol berkontraksi, tahanan perifer dan tekanan darah meningkat. Namun
sebaliknya, ketika arteriol dilatasi tahanan perifer total dan tekanan darah menurun Gunstream, 2000.
2.4.7 Denyut jantung
Denyut jantung adalah denyut yang terjadi pada saat depolarisasai sinus atrial node berkisar antara 60-80 kali permenit. Perlambatan denyut jantung di
bawah normal disebut bradikardia dan percepatan denyut jantung disebut takikardia. Denyut jantung sangat mempengaruhi curah jantung. Secara tidak
langsung jika denyut jantung meningkat maka tekanan darah akan meningkat melalui peningkatan curah jantung Sherwood, 2001.
2.4.8 Elastisitas pembuluh arteri
Ketika ventrikel kiri berkontraksi, darah masuk ke aorta dan meregangkan dinding pembuluh arteri. Dinding arteri bersifat elastis dan dapat menahan
Universitas Sumatera Utara
berbagai tekanan. Ketika ventrikel kiri relaksasi, pembuluh arteri kembali menjadi normal. Elastisitas normal arteri mengatur tekanan darah sistol maupun diastol
Scanlon, 2007.
2.4.9 Viskositas darah
Viskositas darah normal bergantung pada jumlah sel-sel darah merah dan protein plasma, terutama albumin. Penurunan jumlah sel darah merah seperti pada
penderita anemia, atau menurunnya albumin, penyakit hati dan ginjal kronik dapat menurunkan viskositas darah dan tekanan darah. Pada kondisi ini, mekanisme lain
seperti vasokontriksi akan mengatur tekanan darah menjadi normal Scanlon, 2007.
2.5 Pengaturan Tekanan Darah
Mekanisme pengaturan tekanan darah dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu pengaturan tekanan darah jangka pendek dan pengaturan tekanan darah jangka
pendek. Pengaturan tekanan darah jangka panjang diperantarai oleh mekanisme ginjal cairan tubuh dan sistem renin angiotensin aldosteron. Pengaturan tekanan
darah jangka pendek bekerja melalui saraf dengan pengaturan baroreseptor dan kemoreseptor pembuluh darah arteri Guyton, 1993.
2.5.1. Pengaturan tekanan darah jangka pendek
Pengaturan tekanan darah jangka pendek melibatkan refleks neuronal susunan saraf pusat dan regulasi curah jantung. Mekanisme pengaturan tekanan
darah ini berlangsung beberapa detik hingga beberapa menit. Sistem refleks neuronal yang mengatur tekanan darah bekerja melalui baroreseptor, yaitu suatu
reseptor regang yang mampu mendeteksi peregangan dinding pembuluh darah oleh peningkatan tekanan darah, dan kemoreseptor, yaitu sensor yang mendeteksi
Universitas Sumatera Utara
perubahan PO
2
, PCO
2
dan pH darah. Baroreseptor dapat dijumpai di hampir semua arteri besar yang terletak di daerah toraks dan leher. Tetapi dijumpai
terutama dalam: dinding arteri karotis interna yang terletak di atas sinus karotikus dan dinding arkus aorta. Sinus karotikus adalah bagian pembuluh darah yang
paling mudah teregang. Sinyal yang dijalarkan dari setiap sinus karotikus akan melewati saraf hering yang sangat kecil ke saraf kranial ke-9 glosofaringeal dan
kemudian ke nukleus traktus solitarius NTS di daerah medula oblongata. Arkus aorta adalah bagian yang paling teregang setiap kali terjadi ejeksi ventrikel kiri.
Sinyal dari arkus aorta dijalarkan melalui saraf kranial ke-10 vagus ke dalam area yang sama di medula oblongata. Perangsangan vagus pada jantung akan
mengatur denyut, frekuensi dan kontraksi jantung. Pada keadaan normal sinus karotikus lebih berperan dalam mengendalikan tekanan darah dibanding arkus
aorta, dimana arkus aorta memiliki ambang rangsang yang lebih tinggi dibanding sinus karotikus. Baroresepor lebih banyak berespon terhadap tekanan yang
berubah cepat daripada tekanan yang menetap. Banyaknya jalur neuronal yang saling berinteraksi untuk mengatur impuls saraf otonom dipengaruhu oleh
berbagai stimulus yang mempengaruhi tekanan darah seperti: emosi takut, marah dan cemas dan stres fisik Sherwood, 2001.
Kendali kemoreseptor pada sistem kardiovaskuler mencakup kemoreseptor sentral dan perifer. Kemoreseptor sentral di medulla oblongata sensitif terhadap
PCO
2
arteri yang tinggi. Peningkatan PCO
2
arteri menstimulasi kemoreseptor sentral untuk menghambat area vasomotor yang menyebabkan aktivasi saraf
simpatis kemudia vasokontriksi pembuluh darah. Kemoreseptor perifer berperan mengendalikan ventilasi paru dan terletak dekat baroreseptor, yaitu badan karotis
Universitas Sumatera Utara
dan arkus aorta. Penurunan PO
2
arteri menstimulasi kemoreseptor untuk menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah Sherwood, 2001.
2.5.2 Pengaturan tekanan darah jangka panjang
Pengaturan tekanan darah jangka panjang berfungsi mengatur homeostatis sirkulasi melalui sistem humoral endokrin yang melibatkan ginjal sebagai organ
pengatur utama distribusi cairan ekstraseluler. Mekanisme pengaturan tekanan darah jangka panjang diperantarai oleh sistem sistem renin angiotensin aldosteron
RAAS merupakan sistem endogen kompleks yang dipengaruhi oleh ginjal dan hati. Sistem ini berperan dalam pengaturan keseimbangan elektrolit baik secara
intraselular maupun ekstraselular, seperti ion Na
+
, K
+
dan Cl
-
melalui pengaktifan atau penghambatan hormon seperti terlihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Sistem renin angiotensin aldosteron Scanlon, 2007
a. Renin, enzim yang terdapat di sel-sel juxtaglomerular pada arteriol aferen
ginjal dan dilepaskan ke pembuluh darah sebagai respon terhadap sirkulasi tekanan darah sistemik. Enzim ini berfungsi mengkatalisis pelepasan
Universitas Sumatera Utara
hidrolitik dekapeptida angiotensin I dari ujung amino terminal angiotensinogen Guyton, 1993.
b. Angiotensinogen, disebut juga sebagai substrat renin, di sirkulasi dijumpai
dalam fraksi α2 globulin plasma. Angiotensinogen disintesa di dalam hati, mengandung sekitar 13 karbohidrat dan dibentuk dari 453 residu asam
amino. Angiotensinogen akan memicu pelepasan angiotensin I ke pembuluh darah Guyton, 1993.
c. Angiotensin I, peptida asam amino-10 yang merupakan vasokonstriktor yang
ringan tetapi tidak cukup kuat untuk menyebabkan perubahan fungsional yang bermakna dalam fungsi sirkulasi. Selama beberapa waktu, angiotensin I
akan berubah menjadi angiotensin II melalui bantuan enzim pengubah angiotensin ACE Guyton, 1993.
d. ACE atau Angiotensin Converting Enzyme, terdapat di endotelium pembuluh
paru-paru dan epitel pembuluh darah yang berfungsi mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II Scanlon, 2007.
e. Angiotensin II, vasokonstriktor yang sangat kuat terhadap sistem sirkulasi.
Angiotensin II berada dalam darah hanya selama 1 atau 2 menit, karena angiotensin II secara cepat akan diinaktivasi oleh berbagai enzim darah yang
secara bersama-sama disebut angiotensinase. Angiotensin II akan berikatan dengan reseptornya yaitu AT1, AT2 dan AT3. AT1 adalah reseptor
angiotensin II yang menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah melalui peningkatan efek saraf simpatis dan merangsang korteks adrenal untuk
melepaskan aldosteron. AT2 juga mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan pembuluh darah dan kontrol aliran darah Guyton, 1993.
Universitas Sumatera Utara
f. Aldosteron, yaitu hormon steroid yang bekerja pada tubulus ginjal untuk
mempertahankan ion natrium dan klorida dan mengekskresikan kalium, Jika natrium direabsorpsi maka akan diikuti masuknya air ke dalam pembuluh
darah, yang menyebabkan volume darah meningkat sehingga tekanan darah meningkat Guyton, 1993.
Sistem RAAS merupakan sistem umpan balik kompleks yang berfungsi dalam homeostasis sistemik. Penurunan atau peningkatan tekanan darah akan
memicu perubahan hormon-hormon dalam sistem renin angiotensin aldosteron Sherwood, 2001.
2.6 Hipertensi
Hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di atas batas normal 12080 mmHg. Para ahli medis menetapkan bahwa 120 - 13980 - 89 dikatakan
sebagai prehipertensi Scanlon, 2007. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC Joint National Commitee VII 2003 dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi tekanan darah berdasarkan JNC VII Dipiro, et al., 2008.
Klasifikasi Tekanan Sistolik mmHg
Tekanan Diastolik mmHg Normal
120 80
Pre Hipertensi 120-139
80-89 Stadium I
140-159 90-99
Stadium II ≥160
≥100 Klasifikasi tekanan darah yang telah dirilis oleh JNC VIII pada tahun 2013
masih merujuk klasifikasi tekanan darah JNC VII. Tetapi, manajemen terapi hipertensi dalam JNC VIII lebih berdasarkan Evidence Based Medicine EBM,
komplikasi penyakit, ras dan riwayat penderita. Target tekanan darah pada managemen terapi hipertensi dalam JNC VIII bergantung pada komplikasi
penyakit penderita. Hipertensi yang disertai komplikasi penyakit lain memiliki
Universitas Sumatera Utara
target terapi tekanan darah yang berbeda-beda yang akan dibahas pada sub bab 2.8 James, et al., 2014.
Berdasarkan etiologi patofisiologinya hipertensi dapat dibedakan menjadi hipertensi primer e sensial yang tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi
sekunder non esensial yang diketahui penyebabnya Depkes RI, 2006.
2.6.1 Hipertensi primer esensial
Lebih dari 90 pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial hipertensi primer. Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan
95 dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya
hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun
temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut
data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak
karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah
pelepasan nitrit oksida, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen Depkes RI, 2006.
2.6.2 Hipertensi sekunder non esensial
Kurang dari 10 penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada
kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit
Universitas Sumatera Utara
renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau
memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan
atau mengobatimengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder Depkes RI,
2006.
2.7 Patofisiologi Hipertensi
Banyak faktor patofisiologi yang telah dihubungkan dalam penyebab hipertensi seperti meningkatnya aktivititas sistem saraf simpatis yang mungkin
berhubungan dengan pertambahan umur dan kondisi stres, berlebihnya kadar natrium dan vasokonstriktor dalam tubuh, asupan garam tinggi, gangguan pada
sistem renin-angiotensin sehingga meningkatkan produksi aldosteron,
menurunnya kadar nitrit oksida NO, dan meningkatnya viskositas darah Oparil, et al., 2003.
Gambar 2.3 Patogenesis hipertensi Dipiro, et al., 2008
Universitas Sumatera Utara
Korteks adrenal adalah bagian ginjal yang memproduksi hormon mineral kortikoid dan glukokortikoid, yaitu aldosteron dan kortisol. Kelebihan aldosteron
akan meningkatkan reabsorpsi air dan natrium, sedangkan kelebihan kortisol meningkatkan sintesa epinefrin dan norepinefrin yang bertindak sebagai
vasokonstriktor pembuluh darah. Secara tidak langsung, ini akan mempengaruhi peningkatan volume darah, curah jantung dan menyebabkan peningkatan tahanan
perifer total Dipiro, et al., 2008.
2.8 Farmakoterapi Hipertensi
Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan kerusakan organ target seperti gagal
jantung, penyakit jantung koroner atau penyakit ginjal kronik. Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII adalah 14090 mmHg untuk
pasien dengan tanpa komplikasi, 13080 mmHg untuk pasien dengan diabetes dan penyakit ginjal kronis Dipiro, et al., 2008. Menurut JNC VIII 2013, target
penurunan tekanan darah berbeda-beda pada pasien hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit dan ras penderita hipertensi seperti terlihat pada Gambar 2.4.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4
Algoritma dan target tekanan darah pengobatan hipertensi James, et al., 2014
Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan
obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pengunaan obat tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah
melebihi 2010 mm Hg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus diperhatikan adalah risiko untuk hipotensi ortostatik,
terutama pada pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia Depkes RI, 2006.
Komplikasi penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh hipertensi seperti gagal jantung, penyakit jantung koroner, infark miokard dan stroke memiliki
algoritma terapi yang berbeda seperti terlihat pada Gambar 2.5.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5 Algoritma terapi hipertensi berdasarkan komplikasi penyakit
Dipiro, et al., 2008.
2.9 Obat Antihipertensi 2.9.1 Diuretik