Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

4.4 Distribusi Sampel Berdasarkan Kepatuhan Terhadap Terapi Diet

Tabel 4. 4 Distribusi sampel berdasarkan kepatuhan terhadap terapi diet Jumlah Persentase Kurang Sedang Baik 7 25 21,9 78,1 Total 32 100 Berdasarkan tabel 4.4 diketahui bahwa 7 responden 21,9 mempunyai tingkat kepatuhan rendah dan 25 responden 78,1 mempunyai tingkat kepatuhan sedang, dan tidak ada yang tingkat kepatuhannya tinggi. Bila dibandingkan dengan laporan penelitian oleh Haryono, Eko pada tahun 2009, hasilnya berbeda yaitu kategori baik yaitu sebanyak 22 orang 62,9, kepatuhan pasien dalam kategori sedang sebanyak 12 orang 34,3, dan kepatuhan pasien dalam kategori kurang sebanyak 1 orang 2,9. Kepatuhan terhadap terapi diet sangat penting karena terapi diet merupakan salah satu pilar dari penatalaksanaan diabetes melitus. Menurut Joslin, et al, mengontrol kepatuhan pada pasien diabetes memang merupakan tantangan yang sulit. Kepatuhan bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya masalah kejiwaan seperti gangguan makan dan gangguan afektif, konflik di keluarga, stress, defisit kognitif, dan coping ability. Edukasi kepada keluarga juga merupakan faktor yang penting dalam menjaga kepatuhan pasien. 17 4.5 Gambaran Proporsi Kadar Gula Darah Puasa Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 yang Mendapat Terapi Diet Tabel 4.5 Proporsi Kadar Gula Darah Puasa Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 yang Mendapat Terapi Diet Kadar Gula Darah Puasa N Normal Tidak Normal N N Kepatuhan Diet Kurang 1 6 7 Sedang 2 23 25 Total 3 29 32 Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa dari 29 pasien yang mempunyai kadar gula darah puasa tidak normal, terdapat 6 pasien dengan tingkat kepatuhan kurang dan 23 pasien dengan tingkat kepatuhan sedang. Sedangkan dari 3 pasien yang kadar gula darah puasanya normal , didapatkan hasil bahwa sebanyak 1 pasien dengan tingkat kepatuhan kurang dan 2 pasien dengan tingkat kepatuhan sedang. Menurut teori, kadar gula darah puasa merupakan salah satu pengendalian diabetes melitus tipe 2. Hasil proporsi yang tidak sesuai teori pada penelitian ini mungkin disebabkan karena secara patofisiologi, kadar gula darah puasa yang tinggi menggambarkan peningkatan produksi glukosa hepatik akibat gagalnya proses penekanan glukoneogenesis saat puasa oleh insulin akibat resistensi insulin, sehingga tingginya kadar gula darah puasa tidak secara langsung dipengaruhi oleh pola diet.