Analisis Penilaian Rumah Sehat dan Riwayat Penyakit Berbasis Lingkungan Pada Balita di Desa Sihonongan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2016

(1)

LAMPIRAN 1

LEMBAR PERTANYAAN

ANALISIS PENILAIAN RUMAH SEHAT DAN RIWAYAT PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN PADA BALITA DI DESA SIHONONGAN

KECAMATAN PARANGINAN KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

TAHUN 2016 I. Identitas Balita

1. Nama :

2. Umur : tahun

3. Jenis Kelamin : II. Identitas Responden

1. Nama :

2. Umur : tahun

III. Karakteristik Responden 1. Jenis Pekerjaan

2. Pendapatan

Berapa penghasilan rata-rata keluarga perbulan? a. < Rp 1.000.000

b. Rp 1.000.000 – Rp 5.000.000 c. > Rp 5.000.000

3. Pendidikan a. Tidak sekolah

b. SD (tamat/tidak tamat) c. SMP

d. SMA


(2)

LAMPIRAN 2

FORMULIR PENILAIAN RUMAH SEHAT

Berdasarkan Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI, 2007). Pedoman teknis ini disusun berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan Kesehatan Perumahan.

No. Aspek Penilaian Kriteria Nilai Bobot

I. KOMPONEN RUMAH 31

1. Langit-langit

d. Tidak ada 0

e. Ada, kotor, sulit dibersihkan, dan rawan kecelakaan

1 f. Ada, bersih, dan tidak rawan

kecelakaan

2

2. Dinding

d. Bukan tembok (terbuat dari anyaman bambu/ilalang)

1 e. Semi permanen/setengah

tembok/pasangan bata atau

batu yang tidak

diplester/papan tidak kedap air.

2

f. Permanen(tembok/pasangan bata atau batu yang diplester), papan kedap air

3

3. Lantai

d. Tanah 0

e. Papan/anyaman bambu dekat dengan tanah/plesteren yang retak dan berdebu

1

f. Diplester/ubin/keramik/papa n (rumah panggung)

2

4. Jendela kamar tidur c. Tidak ada 0

d. Ada 1

5. Jendela ruang keluarga c. Tidak ada 0


(3)

6. Ventilasi

d. Tidak ada 0

e. Ada, luas ventilasi permanen <10% dari luas lantai

1 f. Ada, luas ventilasi permanen

>10% dari luas lantai

2

7. Lubang asap dapur

d. Tidak ada 0

e. Ada, luas ventilasi dapur <10% dari luas lantai dapur 1 f. Ada, luas ventilasi dapur

>10% dari luas lantai dapur (asap keluar dengan sempurna) atau ada exhaust fan/ada peralatan lain yang sejenis

2

8. Pencahayaan

d. Tidak terang (Tidak dapat digunakan untuk membaca) 0 e. Kurang terang, sehingga

kurang jelas untuk dipergunakan membaca dengan normal

1

f. Terang dan tidak silau sehingga dapat dipergunakan untuk membaca dengan normal

2

II. SARANA SANITASI 25

1.

Sarana Air Bersih (SGL/SPT/PP/KU/PAH

)

f. Tidak ada 0

g. Ada, bukan milik sendiri dan tidak memenuhi syarat kesehatan

1 h. Ada, milik sendiri dan tidak

memenuhi syarat kesehatan 2 i. Ada, bukan milik sendiri dan

memenuhi syarat kesehatan 3 j. Ada, milik sendiri dan

memenuhi syarat kesehatan 4

2. Jamban (sarana pembuangan kotoran)

f. Tidak ada 0

g. Ada, bukan leher angsa, tidak ada tutup, disalurkan ke sungai/kolam


(4)

h. Ada, bukan leher angsa, ada tutup, disalurkan ke sungai/kolam

2 i. Ada, bukan leher angsa, ada

tutup, disalurkan ke septic tank

3 j. Ada, leher angsa, ada tutup,

disalurkan ke septic tank 4

3. Sarana pembuangan air limbah (SPAL)

f. Tidak ada, sehingga tergenang tidak teratur di halaman rumah

0 g. Ada, diresapkan tetapi

mencemari sumber air (jarak dengan sumber air <10 m)

1 h. Ada, dialirkan ke selokan

terbuka 2

i. Ada, diresapkan tetapi tidak mencemari sumber air (jarak dengan sumber air >10 m)

3 j. Ada, disalurkan ke selokan

tertutup (saluran kota) untuk diolah lebih lanjut

4

4.

Sarana pembuangan sampah (tempat

sampah)

e. Tidak ada 0

f. Ada, tidak kedap air dan

tidak ada tutup 1

g. Ada, kedap air dan tidak ada

tutup 2

h. Ada, kedap air, dan tertutup 3

III. PERILAKU PENGHUNI 44

1. Membuka jendela kamar

d. Tidak pernah dibuka 0 e. Kadang-kadang dibuka 1

f. Setiap hari dibuka 2

2. Membuka jendela ruang keluarga

d. Tidak pernah dibuka 0 e. Kadang-kadang dibuka 1 f. Setiap hari dibuka 2 3. Membersihkan halaman

rumah

d. Tidak pernah 0

e. Kadang-kadang 1

f. Setiap hari 2


(5)

dan balita ke jamban sungai/kebun/kolam/sembara ngan

e. Kadang-kadang ke jamban 1 f. Setiap hari ke jamban 2

5. Membuang sampah ke tempat sampah

d. Dibuang ke

sungai/kebun/kolam/sembara ngan

0 e. Kadang-kadang ke tempat

sampah 1

f. Setiap hari ke tempat sampah 2 Penilaian = Total Nilai x Bobot

Ket : Penentuan kriteria rumah berdasarkan pada hasil penilaian rumah yang merupakan hasil perkalian antara nilai dengan bobot, dengan kriteria sebagai berikut :

1. Memenuhi Syarat : 80 – 100% dari total skor 2. Tidak memenuhi syarat : < 80% dari total skor


(6)

LAMPIRAN 3

CHECKLIST PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN

ANALISA PENILAIAN RUMAH SEHAT DAN RIWAYAT PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN PADA BALITA DI DESA SIHONONGAN

KECAMATAN PARANGINAN KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

TAHUN 2016 Riwayat Penyakit Berbasis Lingkungan Pada Balita

NO. Penyakit Berbasis Lingkungan

Pernah Tidak Pernah

Kekerapan Penyakit

Pengobatan

1 Diare

2 ISPA

3 Kecacingan

4 TB

5 Penyakit kulit

6 DBD

7 Filariasis

8 Pneumonia

9 Aspergillosis

10 Malaria

11 Chikungunya Keterangan :

1. Riwayat penyakit berbasis lingkungan pada balita yang diambil yaitu penyakit yang terjadi selama 3 bulan terakhir.

2. Kekerapan penyakit adalah frekuensi mengalami penyakit berbasis lingkungan tertentu selama 3 bulan terakhir.


(7)

LAMPIRAN 4

Dokumentasi Peneltian

Gambar 1. Tampak luar salah satu rumah penduduk


(8)

Gambar 3. Kondisi rumah tanpa langit-langit


(9)

Gambar 5. Kondisi rumah tanpa langit-langit


(10)

Gambar 7. Kondisi dinding rumah yang tidak rapat dan berlubang


(11)

Gambar 9. Kondisi ventilasi yang ditutup


(12)

Gambar 11. Aktivitas memasak dengan kayu bakar


(13)

Gambar 13. Kondisi rumah dengan pencahayaan yang tidak terang


(14)

Gambar 15. Kondisi kamar mandi penduduk


(15)

Gambar 17. Wawancara dengan penduduk


(16)

(17)

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F., 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta : UI-Press. _______, 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta : Rajawali

Pers.

Aditama, T.Y., 1994. Tuberkulosis Paru. Jakarta : UI-Press. Agtini, M., 2011. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan.

Alsagaff, H. dan Mukty, A. (Editor), 2010. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.

Amaliah, F., 2010. Hubungan Sanitasi Lingkungan Dan Faktor Budaya Dengan Kejadian Diare Pada Anak Balita Di Desa Toriyo Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo.

Azwar, A., 1996. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Mutiara Sumber Widya.

Chandra, B., 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Delp dan Manning, 1996. Diagnosis Fisik. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Denny, F.W., dan Loda, F.A., 1986. Acute Respiratory Infections Are The Leading Cause of Death in Children in Developing Countries.

Depkes RI, 2002. Kepmenkes RI No. 907/Menkes/SK/VII/2002. Tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum. Jakarta : Depkes RI.

Dinas Kesehatan Kabupaten Humbang Hasundutan, 2014. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Humbang Hasundutan Tahun 2014. Dolok Sanggul.

Entjang, I., 2000. Ilmu Kesehatan Lingkungan. Bandung : Pt.Citra Aditya Bakti. Fauzi, Yusran, Setiani,O. dan Raharjo, M., 2005. Analisis Sarana Dasar

Kesehatan Lingkungan yang Berhubungan dengan Kejadian Diare pada Anak Balita di Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu. Jurnal Kesehatan Indonesia.

Ganong, dkk., 2006. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Ginanjar, R., 2008. Hubungan Jenis Sumber Air Bersih Dan Kondisi Fisik Air Bersih Dengan Kejadian Diare Di Wilayah Kerja Puskesmas Sukmajaya Tahun 2008. Depok : Universitas Indonesia.

Harahap, M., 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates. Irianto, K., 2014. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Alfabeta.

Kariosentono, H., 2007. Dermatitis Atopik (Eksema). Surakarta : LPP UNS dan UNS Press.

Kementerian Kesehatan RI, 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI, 2014. Profil Kesehatan Indonesia.

Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Kepmenkes RI No. 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat). Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Lestari, P., 2015. Gambaran Tentang Sanitasi Rumah Di Dusun Kebonsari


(19)

Mahpudin, A.H. dan Mahkota, R., 2007. Faktor Lingkungan Fisik Rumah, Respon Biologis dan Kejadian TB Paru di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Jakarta.

Mardiana dan Djarismawati, 2008. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan.

Muaris, H., 2006. Lauk Bergizi untuk Anak Balita. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mukono, H.J., 2011. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan : Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga University Press.

Nasronudin; Hadi, U.; Vitanata, Erwin, A.T.; Bramantono; Suharto, dan Soewandojo, E. (Editor), 2007. Penyakit Infeksi Di Indonesia. Solusi Kini Dan Mendatang. Surabaya: Airlangga University Press.

Noor, N.N., 2008. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta : Rineka Cipta.

Nurdiyanti, M., 2008. Hubungan antara Pengetahuan Ibu dan Kondisi Sanitasi Lingkungan dengan Kejadian Diare pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Bumiayu Kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes. Semarang : Universitas Negeri Semarang.

Perry, P., 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC. Prabu, P., 2009. Rumah Sehat. Jakarta : Puspa Swara.

Proverawati; Atikah, dan Rahmawati, E., 2012. Perilaku Hidup Bersih & Sehat (PHBS). Yogyakarta : Nuha Medika.

Puskesmas Paranginan, 2015. Laporan 21 Penyakit Terbesar di Puskesmas Paranginan Tahun 2015.

Slamet, J.S., 2007. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

_______, 2009. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

_______, 2014. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sembel, D.T., 2009. Entomologi Kedokteran. Yogyakarta : Penerbit Andi. Soedarto, 2009. Pengobatan Penyakit Parasit. Jakarta : Sagung Seto.

Srisasi Gandahusada, 2000. Parasitologi Kedokteran edisi ke 3, Jakarta: EGC Sudarti, 2010. Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi, dan Anak Balita. Yogyakarta :

Nuha Medika.

Sudasman, F.H., 2014. Hubungan Kepemilikan Sarana Sanitasi Dasar Rumah Tangga, Personal Hygiene Ibu Balita Dan Kebiasaan Jajan Terhadap Riwayat Penyakit Diare Pada Balita Daerah Sepanjang Aliran Sungai Citarum Di Kelurahan Andir Kecamatan Balaeendah Kabupaten Bandung Tahun 2014. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Suharyono, 2008. Diare Akut : Klinik dan Laboratorik. Jakarta : Rineka Cipta. Suharyono, Boediarso, A., dan Halimun, E.M., 1994. Gastroenterologi Anak

Praktis. Jakarta : Gaya Baru.


(20)

Sukowati, S. dan Shinta, 2003. Peran Tenaga Kesehatan Masyarakat dalam Mengubah Perilaku Masyarakat Menuju Hidup Bersih dan Sehat. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Vol. XIII, No. 2:31-37.

Sutomo, B. dan Anggraeni, D.Y., Health Food Complementary Feeding. Jakarta : Demedia.

Suyono, 2005. Pokok Bahan Modul Perumahan dan Pemukiman Sehat. Pusdiknakes.

Taosu, S.A. dan Azizah, R., 2013. Hubungan Sanitasi Dasar Rumah Dan Perilaku Ibu Rumah Tangga Dengan Kejadian Diare Pada Balita Di Desa Bena Nusa Tenggara Timur. Jurnal Kesehatan Lingkungan : 1-6.

Tarigan, P.S., 2008. Hubungan Kerentanan Kondisi Fisik, Sanitasi Dasar Rumah, dan Tingkat Risiko Lokasi Pemukiman Penduduk Dengan Riwayat Penyakit Berbasis Lingkungan di Kelurahan Bidara Cina, Jakarta Timur Tahun 2008. Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.

WHO, 2008. Indikator Perbaikan Kesehatan Lingkungan Anak (Making a Difference: Indicators to Improve Children’s Environmental Health). Penterjemah : Apriningsih. Jakarta : EGC.

WHO, 2011. What Happens In Field? Acute Respiratory Infections in Children. Geneva: WHO.

WHO, 2014. Global Tuberculosis Report 2014. Geneva : WHO Press.

Widodo, N., 2007. Lingkungan Fisik Kamar Tidur dan Pneumonia pada Anak Balita di Puskesmas Kawalu Kota Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. Jakarta.

Widyati, Retno, dan Yuliarsih, 2002. Higiene dan Sanitasi Umum dan Perhotelan. Jakarta : Grasindo.

Wulandari, S., 2012. Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru. Jurnal Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang.

Yulianto, E., 2007. Hubungan Higiene Sanitasi Dengan Kejadian Penyakit Cacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 Kecamatan Tembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007. Semarang : Universitas Negeri Semarang.

Yusuf, N.A. dan Sulistyorini, L., 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik dengan Kejadian ISPA pada Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol. 1, No. 2.

Yuwono, B., 2009. Memantau Pembangunan Perkotaan Dengan RPIJM. Cipta Karya.


(21)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian survei, yaitu suatu cara penelitian deskriptif yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang biasanya cukup banyak dalam jangka waktu tertentu. Survei yang dilakukan pada penelitian ini termasuk ke dalam survey rumah tangga (household survey), yaitu survey deskriptif yang ditujukan kepada rumah tangga yang digunakan untuk memperoleh informasi tidak hanya mengenai keluarga saja melainkan juga dapat berupa informasi tentang lingkungan dan rumah.

Penelitian ini termasuk penelitian observasional karena peneliti hanya melakukan pengamatan langsung (observasi) dan wawancara tanpa memberikan perlakuan pada objek penelitian.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Sihonongan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan.

3.2.2 Waktu Penelitian


(22)

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang tinggal di Desa Sihonongan dengan total sebanyak 150 balita.

3.3.2 Sampel

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus Slovin:

n = N 1 + N(d)² n = Jumlah sampel

N = Jumlah populasi

d = Derajat kepercayaan (0,1)

Berdasarkan rumus diatas maka besar sampel dapat dihitung sebagai berikut :

n = N 1 + N(d)² n = 150

1 + 150(0,1)² n = 60

Berdasarkan perhitungan diatas didapatkan jumlah sampel keseluruhan yang dibutuhkan adalah 60 sampel.

3.4 Teknik Pengambilan Sampel

Metode yang digunakan adalah Simple Random Sampling atau sering disebut random sampling atau probability sampling. Dengan metode ini sebuah sampel diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel.


(23)

3.5 Metode Pengumpulan Data 3.5.1 Data Primer

Untuk penelitian ini digunakan beberapa metode pengumpulan data, antara lain:

a. Kuesioner

Kuesioner merupakan serangkaian atau daftar pertanyaan yang disusun secara sistematis. Peneliti melakukan wawancara dengan responden dan mengisi kuesioner yang telah disusun sebelumnya.

b. Observasi

Observasi merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian. Dalam penelitian ini, data primer diperoleh melalui kegiatan observasi ke rumah-rumah penduduk yang memiliki balita yang dijadikan sampel penelitian. Observasi dilaksanakan berdasarkan pedoman teknis penilaian rumah sehat yang dibuat oleh Depkes 2007.

3.5.2 Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini adalah laporan jumlah kasus penyakit berbasis lingkungan di wilayah kecamatan Paranginan yang diperoleh dari laporan 21 penyakit terbesar di Puskesmas Paranginan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan.

3.6 Variabel dan Definisi Operasional 3.6.1 Variabel

Variabel dalam penelitian ini adalah komponen rumah (langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, ventilasi, lubang asap


(24)

dapur, dan pencahayaan ruangan),sarana sanitasi (sarana air bersih, jamban, SPAL, dan sarana pembuangan sampah), perilaku penghuni dan riwayat penyakit berbasis lingkungan pada balita yang tinggal di Desa Sihonongan.

3.6.2 Definisi Operasional

1. Penilaian rumah sehat dilakukan dengan observasi ke rumah-rumah penduduk yang memiliki balita yang menjadi sampel penelitian. Observasi dilaksanakan berdasarkan pedoman teknis penilaian rumah sehat yang dibuat oleh Depkes (2007) yang terdiri dari 3 aspek penilaian, antara lain: komponen rumah, sarana sanitasi, dan perilaku penghuni.

2. Komponen rumah meliputi langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga, ventilasi, lubang asap dapur, dan pencahayaan ruangan

3. Langit-langit adalah penutup dibawah kerangka atap. Syarat-syarat langit-langit adalah harus dapat menahan debu dan kotoran lain yang jatuh dari atap, konstruksinya bebas tikus, tinggi langit-langit ruangan, ruang cuci dan ruang kamar mandi diperbolehkan sekurang kurangnya sampai 2,40 m dari permukaan lantai.

4. Jenis dinding atau tipe bangunan yang memenuhi syarat adalah bila konstruksi bangunan permanen (terbuat dari tembok/ pasanganbatu bata yang diplester), atau terbuat dari papan yang kedap air.

5. Lantai rumah atau alas di dalam ruangan rumah memenuhi syarat bila terbuat dari ubin, semen, atau keramik yang kedap air, kuat, tidak retak, tidak lembab, tidak berdebu dan mudah dibersihkan.


(25)

6. Ventilasi adalah lubang keluar masuknya udara. Memenuhi syarat apabila terdapat ventilasi permanen minimal 10% dari luas lantai dan berfungsi dengan baik.

7. Lubang asap dapur memenuhi syarat bila luas ventilasi dapur >10% dari luas lantai dapur (asap keluar dengan sempurna) atau ada exhaust fan/ ada peralatan lain yang sejenis.

8. Pencahayaan adalah keadaan penerangan dalam ruangan. Pencahayaan alami memenuhi syarat bila dapat menerangi ruangan secara merata, tidak menyilaukan, dan dapat dipergunakan untuk membaca dengan normal tanpa menggunakan alat bantu.

9. Sarana sanitasi meliputi sarana air bersih, jamban(sarana pembuangan kotoran, sarana pembuangan air limbah(SPAL), dan sarana pembuangan sampah(tempat sampah).

10. Sarana air bersih adalah sarana yang digunakan untuk penyediaan air bersih dari sumber air terlindung seperti sumur gali (SGL), sumur pompa tangan (SPT), perpipaan (PP), penampungan air hujan (PAH) yang merupakan milik sendiri dan memenuhi syarat kesehatan.

11. Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk kotoran sehingga kotoran tersebut tidak menjadi penyebab penyakit serta mengotori permukaan/ lingkungan. Memenuhi syarat bila memiliki jamban secara individu, merupakan jamban leher angsa dengan tutup, dan tersedia septic tank.


(26)

12. Sarana pembuangan air limbah. Memenuhi syarat bila memiliki SPAL untuk membuang limbah rumah tangga, disalurkan ke selokan tertutup (tidak dibuang ke tanah terbuka dan dialirkan langsung ke sungai).

13. Sarana pembuangan sampah rumah tangga. Memenuhi syarat bila sampah sementara hasil aktivitas rumah tangga dibuang ke tempat sampah yang bertutup dan kedap air.

14. Perilaku penghuni dalam penelitian ini adalah perilaku membuka jendela kamar, perilaku membuka jendela ruang keluarga, perilaku membersihkan halaman rumah, perilaku membuang tinja bayi dan balita ke jamban, dan perilaku membuang sampah ke tempah sampah.

15. Riwayat penyakit berbasis lingkungan pada penelitian ini adalah riwayat penyakit berbasis lingkungan pada balita selama 3 bulan terakhir di desa Sihonongan.

16. Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair, bersifat mendadak datangnya, dan berlangsung dalam waktu kurang dari 14 hari.

17. ISPA adalah radang akut yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia. Batuk dan pilek yang berlangsung selama kurang lebih 14 hari digolongkan ISPA ringan. ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 39˚C dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok. ISPA berat apabila kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.


(27)

18. Kecacingan adalah sebagai infestasi satu atau lebih cacing parasit dalam usus. 19. Tuberkulosis paru disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Keluhan yang paling umum adalah batuk berdahak selama labih dari 2-3 minggu. Keluhan dan tanda-tanda lain yang terjadi adalah suhu badan meningkat, anak tampak sakit, nyeri pada persendian sehingga anak menjadi cerewet, malaise, anoreksia, anak kelihatan lelah dan disertai keluhan nafsu makan menurun.

20. Penyakit kulit diakibatkan oleh paparan imunogen atau alergen dari luar yang mencapai kulit, dapat melalui sirkulasi setelah atau secara langsung memalui kontak dengan kulit. Tanda-tanda yang tampak pada umumnya adalah ruam, kemerahan, bengkak, dan rasa gatal.

21. DBD adalah penyakit yang disebakan oleh virus dengue yang melemahkan data tahan tubuh, dengan gejala demam, sakit kepala, rasa sakit pada otot dan sendi, serta demam yang terkadang dihubungkan dengan kejang-kejang yang disebut dengan sindrom kejang dengue.

22. Penyakit Filariasis adalah penyakit dengan pembengkakan organ tubuh terutama pada bagian tungkai atau tangan, karena bentuk dewasa parasit cacing filaria yang hidup dalam kelenjar getah bening dan menutup saluran getah bening sehingga mengalami akumulasi.

23. Aspergillosis adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh jamur, khususnya aspergillus. Jamur aspergillus juga bisa bergabung dengan bakteri yang menyebabkan abses paru. Jamur bisa menyerang ke seluruh organ khususnya otak dan jantung.


(28)

24. Malaria ditularkan oleh nyamuk anopheles betina dengan gejala klinis yang sangat bervariasi seperti demam, menggigil, berkeringat, batuk, diare, sakit kepala, gangguan pernapasan, dan pucat. Semua gejala tersebut tidak harus ada semua.

25. Chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya yang disebarkan pada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penderita chikungunya tidak bisa berjalan, untuk menahan rasa sakitnya penderita membungkuk seperti udang.

3.7 Aspek Pengukuran a. Rumah Sehat

Alat ukur: Formulir Penilaian Rumah Sehat (Depkes RI, 2007). Cara ukur: observasi

Hasil ukur : Dikategorikan rumah sehat jika total Nilai x Bobot ketiga aspek penilaian (komponen rumah, sarana sanitasi, dan perilaku penghuni) antara 1024-1280.

b. Riwayat Penyakit Berbasis Lingkungan Pada Balita

Riwayat penyakit berbasis lingkungan pada penelitian ini adalah riwayat penyakit berbasis lingkungan pada balita selama 3 bulan terakhir di desa Sihonongan. Yang termasuk penyakit berbasis lingkungan dalam penelitian ini adalah diare, ISPA, kecacingan, TB paru, penyakit kulit, DBD, filariasis, pneumonia, aspergillosis, malaria, dan chikungunya. Alat Ukur: Lembar checklist riwayat penyakit berbasis lingkungan. Cara Ukur: Wawancara


(29)

3.8 Pengolahan Data

Teknik pengolahan data pada penelitian ini adalah: a. Editing

Melakukan pengecekan isian formulir atau kuesioner apakah jawaban yang ada pada kuesioner sudah jelas, lengkap, relevan dan konsisten.

b. Coding

Melakukan pemberian kode-kode tertentu dengan tujuan mempersingkat dan mempermudah pengolahan data.

c. Entry data

Data yang telah di edit dan diberi kode kemudian diproses ke dalam program komputer.

d. Cleaning data

Melihat kembali data yang telah dimasukkan atau sudah dibersihkan dari kesalahan, baik dalam pengkodean atau pada entry data.

3.9 Analisis Data Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik variabel penelitian yaitu komponen rumah, sarana sanitasi, perilaku penghuni, dan gambaran riwayat penyakit berbasis lingkungan pada balita di Desa Sihonongan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan.


(30)

BAB IV HASIL 4.1 Gambaran Umum Wilayah

4.1.1 Geografi

Kecamatan Paranginan merupakan salah satu dari sepuluh kecamatan yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan. Kecamatan Paranginan merupakan pemekaran dari Kecamatan Lintong Nihuta. Kecamatan Paranginan beribu kotakan Onan Raja Desa Sihonongan.

Wilayah Kecamatan Paranginan terletak antara 2˚ 13’ Lintang Utara – 2˚

20’ dan 98˚ 57’ Bujur Timur. Luas wilayah Kecamatan Paranginan adalah 54 km2

dan terletak antara 1000 – 1500 meter di atas permukaan laut.

Batas-batas wilayah Kecamatan Paranginan adalah sebagai berikut : Sebelah Utara : Kecamatan Muara

Sebalah Selatan : Kecamatan Siborong-borong Sebelah Timur : Kecamatan Muara

Sebelah Barat : Kecamatan Lintong Nihuta 4.1.2 Demografi

Kecamatan Paranginan terletak didataran tinggi dengan udara yang dingin. Jumlah penduduk di Kecamatan Paranginan adalah 12.969 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk di Desa Sihonongan adalah 1979 jiwa yang terdiri dari 1005 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 974 jiwa berjenis kelamin perempuan. Pada umumnya mata pencaharian pokok masyarakat Kecamatan Paranginan adalah bertani dan sebagian kecil berdagang.


(31)

4.2 Karakteristik Responden

Karakteristik responden meliputi umur, status pekerjaan, pendapatan, dan pendidikan terakhir yang ditamatkan. Karakteristik responden di Desa Sihonongan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan karakteristik

Karakteristik Responden Frekuensi (orang) Persentasi (%) Umur 25-40 >40 36 24 60 40

Total 60 100

Status Pekerjaan Petani Wiraswasta 55 5 91,7 8,3

Total 60 100

Pendapatan < Rp 1.000.000

Rp 1.000.000 – Rp 5.000.000 >Rp 5.000.000 - 60 - - 60 -

Total 60 100

Pendidikan Terakhir SD SMP SMA 4 32 24 6,7 53,3 40

Total 60 100

Kegiatan observasi yang dilakukan di Desa Sihonongan menunjukkan bahwa sebagian besar responden berumur 25-40 tahun yaitu 36 orang (60%). Pada umumnya responden bekerja sebagai petani kopi dan sayur mayur yaitu 55 orang (91,7%) dan seluruh responden memiliki pendapatan rata-rata Rp


(32)

1.000.000/bulan. Pendidikan terakhir responden yang ditamatkan lebih banyak pada tingkat SMP yaitu 32 orang (53,3%).

4.3 Kondisi Rumah

Penilaian rumah sehat dilakukan berdasarkan Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI 2007). Pedoman teknis ini disusun berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.

Kriteria rumah ditentukan dengan menghitung skor. Skor adalah total perkalian antara nilai dengan bobot. Skor untuk rumah yang memiliki nilai tertinggi pada setiap aspek adalah 1280. Rumah dikategorikan sehat atau memenuhi syarat jika total perkalian antara nilai dengan bobot berkisar antara 80%-100% dari total skor atau 1024-1280. Rumah dikategorikan tidak sehat atau tidak memenuhi syarat jika total perkalian antara nilai dengan bobot < 80% total skor atau <1024.

Berdasarkan observasi yang dilakukan di Desa Sihonongan didapat hasil bahwa rentang skor dari 60 rumah balita yang diteliti adalah 287 - 856 atau sekitar 22% - 67% dari total skor sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh rumah tergolong tidak sehat.

Kondisi rumah tinggal dari 60 sampel penelitian di Desa Sihonongan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan dapat dilihat pada tabel 4.2.


(33)

Tabel 4.2 Penilaian Rumah Sehat N

o.

Aspek Penilaian

Kriteria N %

I. KOMPONEN RUMAH

1. Langit-langit

a. Tidak ada 50 83,33

b. Ada, kotor, sulit dibersihkan, dan rawan

kecelakaan 8 13,33

c. Ada, bersih, dan tidak rawan kecelakaan 2 3,33

2. Dinding

a. Bukan tembok (terbuat dari anyaman

bambu/ilalang) 0 0

b. Semi permanen/setengah

tembok/pasangan bata atau batu yang tidak diplester/papan tidak kedap air.

43 71,67 c. Permanen(tembok/pasangan bata atau

batu yang diplester), papan kedap air 17 28,33

3. Lantai

a. Tanah 0 0

b. Papan/anyaman bambu dekat dengan

tanah/plesteren yang retak dan berdebu 25 41,67 c. Diplester/ubin/keramik/papan (rumah

panggung) 35 58,33

4. Jendela kamar tidur

a. Tidak ada 10 16,67

b. Ada 50 83,33

5. Jendela ruang keluarga

a. Tidak ada 1 1,67

b. Ada 59 98,33

6. Ventilasi

a. Tidak ada 51 85

b. Ada, luas ventilasi permanen <10% dari

luas lantai 9 15

c. Ada, luas ventilasi permanen >10% dari

luas lantai 0 0

7. Lubang asap dapur

a. Tidak ada 60 100

b. Ada, luas ventilasi dapur <10% dari luas

lantai dapur 0 0

c. Ada, luas ventilasi dapur >10% dari luas lantai dapur (asap keluar dengan sempurna) atau ada exhaust fan/ada peralatan lain yang sejenis

0 0

8. Pencahayaan

a. Tidak terang (Tidak dapat digunakan

untuk membaca) 31 51,67

b. Kurang terang, sehingga kurang jelas untuk dipergunakan membaca dengan normal

19 31,67 c. Terang dan tidak silau sehingga dapat

dipergunakan untuk membaca dengan


(34)

N o.

Aspek

Penilaian Kriteria N %

II. SARANA SANITASI 1. Sarana Air

Bersih (SGL/SPT/ PP/KU/PAH)

a. Tidak ada 4 6,67

b. Ada, bukan milik sendiri dan tidak

memenuhi syarat kesehatan 0 0

c. Ada, milik sendiri dan tidak memenuhi

syarat kesehatan 0 0

d. Ada, bukan milik sendiri dan memenuhi

syarat kesehatan 4 6,67

e. Ada, milik sendiri dan memenuhi syarat

kesehatan 52 86,67

2. Jamban (sarana pembuangan kotoran)

a. Tidak ada 19 31,67

b. Ada, bukan leher angsa, tidak ada tutup,

disalurkan ke sungai/kolam 0 0

c. Ada, bukan leher angsa, ada tutup,

disalurkan ke sungai/kolam 2 3,33

d. Ada, bukan leher angsa, ada tutup,

disalurkan ke septic tank 0 0

e. Ada, leher angsa, ada tutup, disalurkan

ke septic tank 39 65

3. Sarana pembuangan air limbah (SPAL)

a. Tidak ada, sehingga tergenang tidak

teratur di halaman rumah 60 100

b. Ada, diresapkan tetapi mencemari sumber air (jarak dengan sumber air <10 m)

0 0

c. Ada, dialirkan ke selokan terbuka 0 0 d. Ada, diresapkan tetapi tidak mencemari

sumber air (jarak dengan sumber air >10 m)

0 0

e. Ada, disalurkan ke selokan tertutup

(saluran kota) untuk diolah lebih lanjut 0 0 4. Sarana

pembuangan sampah (tempat sampah)

a. Tidak ada 55 91,67

b. Ada, tidak kedap air dan tidak ada tutup 5 8,33 c. Ada, kedap air dan tidak ada tutup 0 0 d. Ada, kedap air, dan tertutup

0 0

III. PERILAKU PENGHUNI 1. Membuka

jendela kamar

a. Tidak pernah dibuka 9 15

b. Kadang-kadang dibuka 21 35

c. Setiap hari dibuka 30 50

2. Membuka jendela ruang keluarga

a. Tidak pernah dibuka 1 1,67

b. Kadang-kadang dibuka 14 23,33


(35)

N o.

Aspek

Penilaian Kriteria N %

3. Membersihka n halaman rumah

a. Tidak pernah 0 0

b. Kadang-kadang 34 56,67

c. Setiap hari 26 43,33

4. Membuang tinja bayi dan balita ke jamban

a. Dibuang ke

sungai/kebun/kolam/sembarangan 10 16,67

b. Kadang-kadang ke jamban 18 30

c. Setiap hari ke jamban 32 53,33

5. Membuang sampah ke tempat sampah

a. Dibuang ke

sungai/kebun/kolam/sembarangan 56 93,33 b. Kadang-kadang ke tempat sampah 4 6,67

c. Setiap hari ke tempat sampah 0 0

Berdasarkan kegiatan observasi yang dilakukan di Desa Sihonongan, kondisi rumah tinggal dari 60 sampel penelitian di Desa Sihonongan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Komponen rumah

Pada umumnya rumah yang dihuni penduduk tidak memiliki langit-langit rumah yaitu 50 rumah (83,33%). Sebagian besar rumah penduduk memiliki dinding dengan kategori semi permanen/setengah tembok yaitu 43 rumah (71,67%). Lantai rumah penduduk dalam kondisi diplester (semen) yaitu 35 rumah (58,33%). Pada umumnya rumah telah memiliki jendela kamar tidur yaitu 50 rumah (83,33%) dan jendela ruang keluarga yaitu 59 rumah (98,33%). Pada umumnya rumah yang dihuni penduduk memiliki ventilasi. Namun ventilasi tersebut ditutup dengan karton atau triplek akibat suhu udara yang sangat dingin yang berkisar antara 16-19˚C sehingga digolongkan tidak memiliki ventilasi rumah yaitu 51 rumah (85%). Seluruh rumah tidak memiliki lubang asap dapur, dan kondisi pencahayaan rumah penduduk lebih banyak dalam kondisi yang tidak


(36)

terang sehingga tidak dapat dipergunakan untuk membaca dengan normal yaitu 31 rumah (51,67%).

2. Sarana Sanitasi

Pada umumnya rumah telah memiliki sarana air bersih yang tergolong dalam kategori milik sendiri dan memenuhi standar kesehatan yaitu 52 rumah ( 86,67%). Sebagian besar rumah telah memiliki jamban leher angsa dan septic tank yaitu 39 rumah (65%). Seluruh rumah tidak memiliki saluran pembuangan air limbah, dan pada umumnya rumah tidak memiliki sarana pembuangan sampah yaitu 55 rumah (91,67%).

3. Perilaku Penghuni

Berdasarkan kegiatan observasi penelitian yang dilakukan di Desa Sihonongan didapat hasil penilaian bahwa lebih banyak penghuni rumah yang membuka jendela kamar setiap hari yaitu 30 rumah (50%). Sebagian besar penghuni rumah membuka jendela ruang keluarga setiap hari yaitu 45 rumah (75%). Sebagian kecil penghuni rumah membersihkan halaman rumah kadang-kadang yaitu 34 rumah (43,33%), lebih banyak penghuni rumah yang membuang tinja balita ke jamban setiap hari yaitu 32 rumah (53,33%), dan pada umumnya penghuni rumah membuang sampah secara sembarangan, ke kebun, atau langsung dibakar yaitu 56 rumah (93,33%).

4.4 Penyakit Berbasis Lingkungan

Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Paranginan, penyakit berbasis lingkungan yang tertinggi berdasarkan jumlah kunjungan di Desa Sihonongan adalah ISPA, diare, dan penyakit kulit. Pada bulan Maret sampai


(37)

dengan Juni 2016, terdapat 47 kasus ISPA, 19 kasus diare, dan 17 kasus penyakit kulit.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden dari sampel penelitian yaitu balita yang terdiri dari 33 laki-laki dan 27 perempuan di Desa Sihonongan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan didapat hasil sebagai berikut:

Tabel 4.3 Riwayat Keluhan Penyakit Berbasis Lingkungan Pada Balita

Keluhan Jumlah

Balita

Persentasi (%) Perut mulas, frekuensi BAB meningkat, dan

konsistensi tinja yang lembek atau encer selama kurang dari 14 hari.

5 8,33

Batuk dan pilek yang berlangsung selama kurang lebih 14 hari.

11 18,33

Ruam, kemerahan dan gatal pada kulit 6 10

Tidak ada riwayat penyakit 38 63,33

Jumlah 60 100

Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa sebagian besar balita tidak memiliki keluhan penyakit, yaitu 38 orang (63,33%), sedangkan yang memiliki keluhan penyakit sebanyak 22 orang (36,67%).


(38)

BAB V PEMBAHASAN 5.1Karakteristik Responden

Berdasarkan hasil penelitian, pendidikan terakhir responden yang ditamatkan lebih banyak pada tingkat SMP yaitu 32 orang (53,3%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden masih tergolong rendah. Tingkat pendidikan yang masih rendah mungkin disebabkan oleh penghasilan keluarga yang masih rendah dan tidak mencukupi karena pada umumnya masyarakat Desa Sihonongan bekerja sebagai petani. Kondisi ini membuat akses masyarakat terhadap pendidikan menjadi sulit untuk dijangkau.

Jenis pekerjaan dan keadaan ekonomi penting dalam meningkatkan status kesehatan keluarga. Tingkat pendapatan yang baik memungkinkan anggota keluarga untuk memperoleh yang lebih baik, misalnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk berperilaku sehat. Tingkat pendidikan yang lebih baik memungkinkan seseorang dapat menyerap informasi lebih baik dan juga dapat berpikir secara rasional dalam menanggapi setiap masalah yang dihadapi, termasuk masalah kesehatan. Tingkat pendidikan seseorang akan memiliki andil besar dalam pola pikir dan masalah kesehatan. Tingkat pendidikan juga menentukan pengetahuan terhadap sesuatu khususnya pengetahuan tentang kondisi lingkungan dalam penanganan keluhan penyakit.


(39)

5.2Deskripsi Kondisi Rumah Tinggal

Hasil penilaian rumah berdasarkan observasi dan wawancara menunjukkan bahwa tidak terdapat rumah yang tergolong sehat. Aspek-aspek rumah yang tidak memenuhi syarat pada umumnya adalah :

5.2.1 Komponen Rumah 1. Langit-langit

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa pada umumnya rumah tidak memiliki langit-langit yaitu 50 rumah (83,33%). Rumah yang tidak memiliki langit-langit dapat mengakibatkan debu yang berasal dari atap tidak terhalang dan langsung jatuh menuju ruangan rumah. Debu-debu yang berterbangan dapat mengganggu pernafasan. Debu-debu yang jatuh dari atap juga dapat menempel di lantai. Menurut penelitian Mahpudin dan Mahkota (2007), lantai rumah yang berdebu, cenderung lembab dan gelap merupakan kondisi yang ideal bagi bakteri untuk tetap hidup, misalnya bakteri penyebab ISPA. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar balita yang menderita ISPA tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki langit-langit yaitu delapan orang (72,73%).

2.Ventilasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya rumah memiliki ventilasi yang ditutup dengan karton atau triplek akibat suhu udara yang sangat dingin yang berkisar antara 16-19˚C sehingga digolongkan tidak memiliki ventilasi rumah yaitu 51 rumah (85%). Ventilasi udara berhubungan dengan pertukaran udara dari dalam ke luar ruangan. Ketika seseorang berada di dalam ruangan terjadi peningkatan kelembaban udara yang disebabkan penguapan cairan


(40)

tubuh dari kulit dan karena pernafasan. Pada kondisi tidak terjadi pertukaran udara secara baik maka akan terjadi peningkatan jumlah dan konsentrasi bakteri, misalnya bakteri penyebab ISPA. Pada umumnya balita yang menderita ISPA tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki ventilasi yaitu sembilan orang (81,81%). Menurut penelitian Yusup dan Sulistyorini (2005), risiko terjadinya infeksi saluran pernafasan akut akan meningkat bila kondisi ventilasi buruk. Sedangkan menurut penelitian Widodo (2007), ventilasi tidak memberikan pengaruh pada kejadian infeksi saluran pernafasan akut.

Ruangan yang lembab akibat ventilasi yang kurang juga dapat menjadi media yang baik bagi pertumbuhan jamur yang dapat mengganggu kesehatan kulit. Hasil penelitian menunjukkan enam sampel balita yang menderita penyakit kulit tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki ventilasi.

3. Lubang Asap Dapur

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa seluruh rumah tidak memiliki lubang asap dapur. Mereka hanya menggunakan pintu atau jendela sebagai tempat pergantian udara ketika melakukan aktivitas dapur. Oleh sebab itu, hampir 50% rumah yang diteliti dipenuhi asap dapur yang mengepul sampai ke ruang keluarga dan kamar saat melakukan aktivitas memasak. Hal ini juga diperparah oleh aktivitas memasak yang masih menggunakan kayu untuk membakar. Pertukaran udara yang tidak berlangsung dengan baik ini dapat mengakibatkan asap dapur atau asap rokok terkumpul dalam rumah sehingga balita yang sering menghisap asap tersebut di dalam rumah lebih mudah terserang ISPA. Menurut Widodo (2007), pembakaran menghasilkan pertikulat yang


(41)

bersifar iritan yang dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan sehingga mudah terjadi infeksi saluran pernapasan (Widodo, 2007).

4. Pencahayaan

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa rumah penduduk lebih banyak memiliki kondisi pencahayaan yang tidak terang yaitu 31 rumah (51,67%). Kurangnya cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah membuat rumah terasa sumpek, pengap, panas, dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan penghuni. Selain berguna untuk penerangan sinar ini juga mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk atau serangga lainnya dan membunuh bakteri penyebab penyakit tertentu, misalnya bakteri penyebab ISPA. Hasil penelitian menunjukkan sampel balita yang menderita ISPA lebih banyak tinggal di dalam rumah dengan kondisi pencahayaan yang tidak terang yaitu enam orang (54,55%). Tetapi hal ini tidak cukup untuk menyatakan bahwa penyebab ISPA adalah karena kondisi pencahayaan rumah yang tidak memenuhi syarat. Menurut Yusup dan Sulistyorini (2005), pencahayaan yang kurang memadai merupakan faktor risiko terjadinya infeksi saluran pernafasan.

Ruangan yang lembab akibat pancahayaan yang kurang juga dapat menjadi media yang baik bagi pertumbuhan jamur yang dapat mengganggu kesehatan kulit. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar sampel balita yang menderita penyakit kulit tinggal di dalam rumah dengan kondisi pencahayaan yang tidak terang yaitu empat orang (66,67%).


(42)

5.2.2 Sarana Sanitasi

1. Sarana pembuangan air limbah

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa seluruh rumah tidak memiliki saluran pembuangan air limbah sehingga air tergenang tidak teratur di halaman rumah. Air limbah banyak mengandung mikroorganisme patogen. Salah satu penyakit yang disebabkan mikroorganisme yang ada pada air limbah adalah diare. Mikroorganisme ini akan dibawa oleh vektor atau serangga yang akan diinfeksikan kepada manusia melalui makanan dan minuman. Menurut Fauzi (2005), Limbah rumah tangga yang dibuang ke sarana pengelolaan air limbah yang terbuka dan tidak bebas dari vektor berpeluang meningkatkan risiko diare pada anak. Menurut penelitian Sudasman (2014), SPAL yang tidak memenuhi syarat memiliki potensi 2 kali lipat untuk menyebabkan diare.

Menurut hasil penelitian Nurdiyanti (2008), kondisi saluran pembuangan air limbah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat berpotensi untuk menimbulkan penyakit diare karena air limbah ini akan mudah meresap ke dalam sumber air bersih sehingga menyebabkan pencemaran. Selain itu, saluran pembuangan air limbah yang dibiarkan terbuka, tidak lancar, dan becek ini akan dengan mudah menjadi tempat berkembangbiaknya jasad renik atau makhluk hidup dan vektor penyebab penyakit diare.

2. Sarana pembuangan sampah

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa pada umumnya rumah tidak memiliki sarana pembuangan sampah (tempat sampah) yaitu 55 rumah (91,67%). Penghuni rumah sering membuang sampah secara sembarangan, ke


(43)

kebun, atau langsung dibakar. Sementara itu bila terjadi proses pembakaran dari sampah maka asapnya dapat menggangu pernafasan, penglihatan dan penurunan kualitas udara karena ada asap di udara. Pembakaran juga menghasilkan pertikulat yang bersifar iritan yang dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan sehingga mudah terjadi infeksi saluran pernapasan (Widodo, 2007). Penyakit sesak nafas juga disebabkan bau sampah yang menyengat yang mengandung Amonia Hydrogen, Solfide dan Metylmercaptan. Hasil penelitian menunjukkan sebelas sampel balita yang menderita ISPA tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki sarana pembuangan sampah.

Efek tidak langsung lainnya berupa penyakit bawaan vektor yang berkembang biak di dalam sampah. Sampah bila ditimbun sembarangan dapat menjadi tempat peistirahatan lalat. Dimana lalat adalah vektor berbagai penyakit perut, salah satunya diare (Slamet, 2014).

Insidensi penyakit kulit juga dapat meningkat karena penyebab penyakitnya hidup dan berkembang biak di tempat pembuangan dan pengumpulan sampah yang kurang baik. Penularan penyakit ini dapat melalui kontak langsung ataupun melalui udara. Hasil penelitian menunjukkan enam sampel balita yang menderita penyakit kulit tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki sarana pembuangan sampah.Tidak tersedianya sarana pembuangan sampah juga merupakan faktor risiko terjadinya diare. Menurut Fauzi (2005), tempat sampah terbuka dan tidak bebas dari vektor berpeluang meningkatkan kejadian diare pada anak.


(44)

5.3Deskripsi Penyakit Berbasis Lingkungan Pada Balita

Gambaran riwayat penyakit berbasis lingkungan pada balita yang tinggal di desa Sihonongan Kecamatan Paranginan Kabupaten Humbang Hasundutan dengan jumlah sampel 60 balita yang terdiri dari 33 laki-laki dan 27 perempuan adalah sebagai berikut:

5.3.1 ISPA

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 11 balita yang mengalami ISPA. Sebagian besar balita penderita ISPA berjenis kelamin laki-laki yaitu 8 balita (72,73%). Sebagian besar balita yang mengalami ISPA adalah balita dengan golongan umur <4 tahun yaitu delapan balita (72,73%). Sebagian besar balita yang menderita ISPA tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki langit-langit yaitu delapan orang (72,73%). Hal ini mungkin disebabkan debu yang berasal dari atap tidak terhalang dan langsung jatuh menuju ruangan rumah. Debu-debu yang berterbangan dapat menggangu pernafasan. Balita yang menderita ISPA pada umumnya tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki ventilasi yaitu sembilan orang (81,82%). Hal tersebut dapat menjadi faktor risiko ISPA disebabkan karena proses pertukaran aliran udara dari luar ke dalam rumah tidak lancar, dan terjadi peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit sehingga akan menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri penyebab penyakit ISPA. Seluruh balita yang menderita ISPA tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki lubang asap dapur. Hal ini juga diperparah oleh aktivitas memasak yang masih menggunakan kayu untuk membakar. Pertukaran udara yang tidak berlangsung dengan baik ini dapat mengakibatkan asap dapur


(45)

terkumpul dalam rumah sehingga balita yang sering menghisap asap tersebut di dalam rumah lebih mudah terserang ISPA. Sampel balita yang menderita ISPA lebih banyak tinggal di dalam rumah dengan kondisi pencahayaan yang tidak terang yaitu 6 orang (54,55%). Kurangnya cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah membuat rumah terasa sumpek, pengap, panas. Selain berguna untuk penerangan, sinar ini juga mengurangi kelembaban ruangan dan membunuh bakteri penyebab penyakit tertentu, misalnya bakteri penyebab ISPA.

5.3.2 Diare

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 5 balita yang mengalami diare. Sebagian besar balita penderita diare berjenis kelamin laki-laki yaitu tiga balita (60%). Balita yang mengalami diare pada umumnya terjadi pada balita dengan golongan umur <4 tahun yaitu 4 balita (80%). Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa seluruh rumah tidak memiliki saluran pembuangan air limbah sehingga air tergenang tidak teratur di halaman rumah. Air limbah banyak mengandung mikroorganisme patogen. Salah satu penyakit yang disebabkan mikroorganisme yang ada pada air limbah adalah diare. Mikroorganisme ini akan dibawa oleh vektor atau serangga yang akan diinfeksikan kepada manusia melalui makanan dan minuman. Menurut Fauzi (2005), Limbah rumah tangga yang dibuang ke sarana pengelolaan air limbah yang terbuka dan tidak bebas dari vektor berpeluang meningkatkan risiko diare pada anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada umumnya responden tidak memiliki sarana pembuangan sampah, yaitu 55 (91,67%). Tidak tersedianya sarana pembuangan sampah juga merupakan faktor risiko terjadinya diare. Menurut Fauzi (2005),


(46)

tempat sampah terbuka dan tidak bebas dari vektor berpeluang meningkatkan kejadian diare pada anak.

5.3.3 Penyakit kulit

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 balita yang mengalami penyakit kulit. Sebagian besar balita penderita penyakit kulit berjenis kelamin laki-laki yaitu 4 balita (66,67%). Balita yang mengalami penyakit kulit lebih banyak pada golongan umur ≥ 4 tahun yaitu 3 balita (50%). Seluruh balita yang menderita penyakit kulit tinggal di dalam rumah yang tidak memiliki ventilasi. Hal tersebut dapat menjadi faktor risiko penyakit kulit. Hal ini disebabkan karena proses pertukaran aliran udara dari luar ke dalam rumah menjadi tidak lancar, dan meningkatnya kelembaban ruangan karena proses penguapan cairan dari kulit. Kelembaban yang tinggi dapat menjadi tempat yang disukai oleh kuman untuk pertumbuhan dan perkembangannya sehingga mendukung terjadinya penularan penyakit, misalnya perkembangbiakan jamur yang dapat menimbulkan gangguan pada kulit. Sebagian besar balita yang menderita penyakit kulit tinggal di dalam rumah dengan kondisi pencahayaan yang tidak terang yaitu empat orang (66,67%). Penerangan alami diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam ruangan melalui jendela, celah maupun bagian lain dari rumah yang terbuka, selain berguna untuk penerangan sinar ini juga mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk atau serangga lainnya dan membunuh kuman penyebab penyakit tertentu, misalnya untuk membunuh bakteri adalah cahaya pada panjang gelombang 4000 A sinar ultra violet (Azwar, 1990).


(47)

Salah satu syarat rumah sehat adalah tersedianya cahaya yang cukup, karena suatu rumah yang tidak mempunyai cahaya selain dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman, juga dapat menimbulkan penyakit (Prabu, 2009).

Menurut Sukini (1989), sinar matahari berperan secara langsung dalam mematikan bakteri dan mikroorganisme lain yang terdapat di lingkungan rumah, khususnya sinar matahari pagi yang dapat menghambat perkembangbiakan bakteri patogen. Dengan demikian sinar matahari sangat diperlukan didalam ruangan rumah terutama ruangan tidur.

Orang tua balita menyatakan bahwa balita yang mangalami diare dan ISPA dibawa ke puskesmas atau ke bidan desa utuk mendapatkan pengobatan, sedangkan balita yang mengalami gangguan pada kulit, sebagian besar diobati di rumah dengan menggunakan cara tradisional.


(48)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1Kesimpulan

1. Rentang skor dari 60 rumah balita yang diteliti adalah 287 - 856 atau sekitar 22% - 67% dari total skor sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat rumah sehat dari 60 rumah yang diteliti di Desa Sihonongan.

2. Kondisi komponen rumah antara lain pada umumnya rumah yang dihuni penduduk tidak memiliki langit-langit, sebagian besar memiliki dinding dengan semi permanen, sebagian kecil lantai diplester namun sudah retak dan berdebu, pada umumnya memiliki jendela kamar dan jendela ruang keluarga , pada umumnya tidak memiliki ventilasi. Seluruh rumah tidak memiliki lubang asap dapur, dan kondisi pencahayaan rumah penduduk lebih banyak dalam kondisi yang tidak terang.

3. Kondisi sarana sanitasi rumah antara lain pada umumnya rumah telah memiliki sarana air bersih yang tergolong dalam kategori milik sendiri dan memenuhi standar kesehatan, sebagian besar rumah telah memiliki jamban leher angsa dan septic tank, seluruh rumah tidak memiliki saluran pembuangan air limbah, dan pada umumnya rumah tidak memiliki sarana pembuangan sampah.

4. Perilaku penghuni rumah antara lain lebih banyak yang membuka jendela kamar setiap hari dan jendela ruang keluarga setiap hari, sebagian kecil penghuni rumah membersihkan halaman rumah kadang-kadang, lebih banyak penghuni rumah yang membuang tinja balita ke jamban setiap hari, dan pada


(49)

umumnya penghuni rumah membuang sampah secara sembarangan, ke kebun, atau langsung dibakar.

5. Sebagian besar balita tidak memiliki keluhan penyakit, yaitu 38 orang (63,33%), sedangkan yang memiliki keluhan penyakit sebanyak 22 orang (36,67%).

6. Penderita yang mengalami ISPA pada umumnya tinggal dengan kondisi rumah tidak memiliki langit-langit, tidak memiliki ventilasi , tidak memiliki lubang asap dapur, dan tinggal di dalam rumah dengan kondisi pencahayaan yang tidak terang.

7. Penderita yang mengalami diare pada umumnya tinggal di dalam rumah dengan kondisi tidak memiliki saluran pembuangan air limbah dan tidak memiliki sarana pembuangan sampah.

8. Penderita yang mengalami diare pada umumnya tinggal di dalam rumah dengan kondisi tidak memiliki ventilasi dan tinggal di dalam rumah dengan kondisi pencahayaan yang tidak terang.

6.2Saran

1. Sebaiknya perlu dilakukan perbaikan terhadap komponen rumah oleh responden yang tergolong tidak sehat, seperti: perbaikan pada langit-langit dengan cara menutup kerangka atap dengan plastik, penambahan semen pada dinding yang masih semi permanen atau menutupi dinding yang tidak diplester dengan koran atau kardus bekas, membuat lubang angin pada rumah yang tidak memiliki ventilasi, dan sebagainya.


(50)

2. Usaha penyehatan lingkungan tempat tinggal dapat dilakukan dengan melaksanakan penyuluhan oleh Dinas Kesehatan bekerjasama dengan Dinas Kebersihan dibantu dengan pihak Puskesmas Paranginan dan bekerja sama dengan pihak desa sebagai pihak yang turut bertanggung jawab terhadap kondisi sanitasi rumah yang mendukung terciptanya lingkungan sehat.

3. Perlu dilakukan penyuluhan tentang penyakit-penyakit berbasis lingkungan oleh Dinas Kesehatan dibantu dengan pihak Puskesmas Paranginan dan bekerja sama dengan pihak desa.

4. Perlu dilakukan penelitian selanjutnya mengenai penyakit-penyakit berbasis lingkungan.


(51)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Rumah

Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya (UU RI No. 1 Tahun 2011).

2.2Rumah Sehat

Rumah sehat adalah bangunan rumah tinggal yang memenuhi syarat kesehatan, yaitu memiliki jamban sehat, sarana air bersih, tempat pembuangan sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi rumah yang baik, kepadatan hunian rumah yang sesuai dan lantai rumah tidak terbuat dari tanah (Depkes, 2005).

Ukuran rumah yang kecil dan berdesak-desakan dapat mempengaruhi tumbuh kembang mental atau jiwa anak-anak. Anak-anak memerlukan lingkungan bebas, tempat bermain luas yang mampu mendukung daya kreativitasnya. Dengan kata lain, rumah bila terlampau padat disamping merupakan media yang cocok untuk terjadinya penularan penyakit khususnya penyakit saluran nafas juga dapat mempengaruhi perkembangan anak (Depkes, 2005).

2.3Komponen Rumah

Kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko terjadinya penyakit, khususnya penyakit berbasis lingkungan. Beberapa


(52)

penelitian menunjukkan bahwa kondisi rumah yang tidak sehat mempunyai hubungan terhadap kejadian penyakit (Lestari, 2015).

Berdasarkan pedoman teknis penilaian rumah sehat Depkes RI (2007), salah satu aspek rumah yang perlu dinilai adalah komponen rumah yang terdiri dari : langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga dan ruang tamu, ventilasi, dapur dan pencahayaan.

2.3.1 Langit-Langit

Langit-langit adalah sebuah penutup yang dipasang di bawah kerangka atap. Pemasangan bahan material langit-langit seperti yang tercantum dalam kriteria Rumah Sehat Sederhana (RSS) adalah triplek (Mukono, 2011).

Tujuan pemasangan langit-langit adalah:

1. Untuk menutup seluruh konstruksi atap dan kuda-kuda penyangga agar tidak terlihat dari bawah, sehingga ruangan terlihat rapi dan bersih.

2. Untuk menahan debu kotoran lain yang jatuh dan juga menahan tetesan air hujan yang menembus melalui celah-celah atap.

3. Untuk membuat ruangan antara yang berguna sebagai penyekat sehingga panas atas tidak mudah menjalar kedalam ruangan dibawahnya.

Persyaratan langit-langit yang baik adalah:

a. Langit-langit harus dapat menahan debu dan kotoran lain yang jatuh dari atap. b. Langit-langit harus menutup rata kerangka atap / kuda-kuda penyangga dengan

konstruksi bebas tikus.


(53)

2.3.2 Dinding

Dinding harus tegak lurus agar dapat memikul berat dinding sendiri dan beban tekanan angin. Dan bila sebagai dinding pemikul harus dapat memikul beban diatasnya. Dinding harus terpisah dari fondasi oleh lapisan kedap air agar air tanah tidak meresap naik sehingga dinding terhindar dari basah, lembab dan tampak bersih tidak berlumut (Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999).

Pemakaian tembok sebagai bangunan dinding rumah tergolong baik karena tembok merupakan bahan material yang tidak mudah terbakar dan juga merupakan bahan bangunan yang kokoh dan dapat melindungi dari panas dan dingin. Sedangkan untuk bahan bangunan yang semi permanen dapat dilakukan kegiatan penambahan semen pada pasangan bata atau batu yang belum diplester secara utuh karena salah satu kriteria Rumah Sehat Sederhana (RSS) adalah berdinding batu bata dan diplester (Mukono, 2011).

2.3.3 Lantai

Lantai merupakan alas atau penutup ruangan bagian bawah. Konstruksi lantai rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah di bersihkan dari kotoran dan debu. Selain itu dapat menghindari meningkatnya kelembaban dalam ruangan. Untuk mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah sebaiknya dinaikkan 20 cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti tegel, semen, dan keramik (Suyono, 2005).


(54)

Jenis lantai rumah yang tidak memenuhi syarat, sulit dibersihkan, berdebu, cenderung lembab dan gelap merupakan kondisi yang ideal bagi bakteri untuk tetap hidup (Mahpudin dan Mahkota, 2007).

2.3.4 Ventilasi

Menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999, ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam suatu ruangan dan pengeluaran udara kotor suatu ruangan baik alamiah maupun secara buatan. Ventilasi yang lancar diperlukan untuk menghindari pengaruh buruk yang dapat merugikan kesehatan. Ventilasi yang baik dalam ruangan harus mempunyai syarat-syarat, diantaranya : a. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan

luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum 5%. Jumlah keduanya menjadi 10% kali luas lantai ruangan.

b. Udara yang masuk harus udara bersih, tidak dicemari oleh asap kendaraan, dari pabrik, sampah, debu dan lainnya.

c. Aliran udara diusahakan Cross Ventilation dengan menempatkan dua lubang jendela berhadapan antara dua dinding ruangan sehingga proses aliran udara lebih lancar.

Ventilasi udara berhubungan dengan pertukaran udara dari dalam ke luar ruangan. Ketika seseorang berada di dalam ruangan terjadi peningkatan kelembaban udara yang disebabkan penguapan cairan tubuh dari kulit atau karena pernafasan. Pada kondisi tidak terjadi pertukaran udara secara baik maka akan terjadi peningkatan jumlah dan konsentrasi kuman (Yusup dan Sulistyorini, 2005).


(55)

2.3.5 Pencahayaan

Pencahayaan alam atau buatan dapat menerangi seluruh bagian ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan (Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999). Rumah harus cukup mendapatkan penerangan baik pada siang maupun malam hari. Idealnya, penerangan didapat dengan bantuan listrik. Setiap ruang diupayakan mendapat sinar matahari terutama di pagi hari (Chandra, 2007).

Menurut Azwar (1996), cahaya yang cukup kuat untuk penerangan di dalam rumah merupakan kebutuhan manusia. Penerangan ini dapat diperoleh dengan pengaturan cahaya alami dan cahaya buatan.

a. Pencahayaan alami

Penerangan alami diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam ruangan melalui jendela, celah maupun bagian lain dari rumah yang terbuka, selain untuk penerangan, sinar ini juga mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk atau serangga lainnya dan membunuh kuman penyebab penyakit tertentu. Suatu cara sederhana menilai baik tidaknya penerangan alam yang terdapat dalam sebuah rumah adalah: baik bila jelas membaca dengan huruf kecil, cukup bila samar-samar bila membaca huruf kecil, kurang bila hanya huruf besar yang terbaca, dan buruk bila sukar membaca huruf besar.

b. Pencahayaan buatan

Penerangan dengan menggunakan sumber cahaya buatan, seperti lampu minyak tanah, listrik dan sebagainya. Untuk penerangan malam hari terutama


(56)

untuk ruang baca dan ruang kerja, penerangan minimal 150 lux yang setara dengan 40 watt lampu pijar.

2.4Sarana Sanitasi

Sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia (Widyati dan Yuliarsih, 2002).

Menurut Kepmenkes No 852/MENKES/SK/IX/2008 tentang strategi nasional STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat), sanitasi dasar rumah meliputi sarana buang air besar, sarana pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga.

Ruang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas (2013) meliputi penggunaan fasilitas buang air besar (BAB), jenis tempat BAB, tempat pembuangan akhir tinja, jenis tempat penampungan air limbah, jenis tempat penampungan sampah, dan cara pengelolaan sampah.

Penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi faktor risiko terhadap penyakit diare dan kecacingan. Diare merupakan penyebab kematian nomor 4 sedangkan kecacingan dapat mengakibatkan produktifitas kerja menurun dan dapat menurunkan kecerdasan anak sekolah (Chandra, 2007).

Ketersediaan sanitasi dasar seperti air bersih, pemanfaatan jamban, pembuangan air limbah, pembuangan sampah, rumah dan lingkungan yang sehat serta membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari


(57)

perlu dilakukan untuk mencegah meningkatnya kejadian penyakit berbasis lingkungan, termasuk diare (Taosu dan Azizah, 2013).

Berdasarkan pedoman teknis penilaian rumah sehat Depkes RI (2007), salah satu aspek rumah yang perlu dinilai adalah sarana sanitasi yang terdiri dari : sarana air bersih, sarana pembuangan kotoran (jamban), sarana pembuangan air limbah (SPAL), dan sarana pembuangan sampah (tempat sampah).

2.4.1 Sarana Air Bersih

Menurut Permenkes No.416/Menkes/Per/IX/1990, air merupakan suatu kebutuhan yang mendasar dan penting untuk kehidupan manusia. Air bersih adalah air yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dengan kuantitas dan kualitas yang memenuhi syarat kesehatan serta dapat digunakan sebagai air minum apabila air tersebut sudah dimasak terlebih dahulu (Ginanjar, 2008).

Sarana air bersih dalam sanitasi dasar rumah tangga meliputi sumber penyediaan air bersih, kuantitas, dan kualitas air bersih.

1. Sumber Penyediaan Air Bersih

Sumber penyediaan air bersih adalah sumber air yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, yaitu untuk minum, mandi, dan mencuci (Putri, 2008).

a. Sumur Gali (SGL)

Sumur gali adalah jenis sarana air bersih yang mengambil dan memanfaatkan air tanah dengan cara menggali tanah menggunakan peralatan


(58)

sampai mendapatkan sumber air. Pengambilan air dapat menggunakan pompa tangan maupun pompa mesin (Putri, 2008).

Persyaratan teknis (Depkes RI, 2002):

1. Jarak minimal dari sumber pencemar minimal 10 meter 2. Lantai kedap air, minimal 1 meter dari tepi/dinding sumur 3. Tidak retak/bocor

4. Tinggi bibir sumur 80 cm dari lantai dan kedap air 5. Tertutup rapat jika diambil dengan pompa listrik b. Sumur Pompa Tangan (SPT)

Sumur pompa tangan adalah sarana air bersih yang mengambil atau memanfaatkan air tanah dengan cara membuat lubang ditanah, menggunakan alat, baik secara manual ataupun dengan alat bor mesin (Putri, 2008).

Persyaratan teknis (Depkes RI, 2002):

1. Jarak minimal dari sumber pencemar minimal 10 meter 2. Lantai kedap air, minimal 1 meter dari tepi/dinding sumur 3. Tidak retak/bocor

4. Tinggi bibir sumur 80 cm dari lantai dan kedap air c. Perpipaan

Sarana perpipaan adalah bangunan beserta peralatan dan perlengkapannya yang menghasilkan, menyediakan dan membagi air bersih untuk masyarakat melalui jaringan perpipaan atau distribusi. Air yang dimanfaatkan adalah air tanah atau air permukaan dengan pengolahan atau tanpa pengolahan (Putri, 2008).


(59)

Persyaratan teknis (Depkes RI, 2002):

1. Pipa yang terpasang tidak terendam air kotor 2. Angka kebocoran tidak lebih dari 5 %

3. Bak penampung harus rapat dan tidak tercemar 4. Pengambilan air menggunakan keran

d. Penampungan Air Hujan (PAH)

Penampungan air hujan adalah sarana air bersih yang memanfaatkan air hujan untuk pengadaan air bersih (Putri, 2008).

Persyaratan teknis (Depkes RI, 2002): 1. Terdapat talang air

2. Terdapat bak penyaring

3. Terdapat saringan nyamuk agar tidak menjadi breeding place 4. Terdapat bak serapan dengan batu kerikil

e. Perlindungan mata air

Perlindungan mata air adalah suatu bangunan penangkap mata air yang menampung atau menangkap air dari mata air. Mata air yang ditangkap tersebut mempunyai debit paling sedikit 0,3 liter/detik (Putri, 2008).

2. Kuantitas dan Kualitas Air Bersih

Pemenuhan kebutuhan akan air bersih haruslah memenuhi dua syarat yaitu kuantitas dan kualitas (Depkes RI, 2002).

a. Syarat Kuantitatif

Syarat kuantitatif adalah jumlah air yang dibutuhkan setiap hari tergantung kepada aktifitas dan tingkat kebutuhan. Makin banyak aktifitas yang dilakukan


(60)

maka kebutuhan air akan semakin besar. Secara kuantitas di Indonesia diperkirakan dibutuhkan air sebanyak 138,5 liter/orang/hari dengan perincian yaitu untuk mandi cuci kakus 12 liter, minum 2 liter, cuci pakaian 10,7 liter, kebersihan rumah 31,4 liter, taman 11,8 liter, cuci kendaraan 21,8 liter, wudhu 16,2 liter, lain-lain 33,3 liter (Slamet, 2007).

b. Syarat Kualitatif

Menurut Permenkes No.416/Menkes/Per/IX/1990, air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak.

Menurut Slamet (2009), air dikatakan bersih jika memenuhi 3 syarat utama, antara lain :

1. Parameter Fisik Air

Persyaratan fisik adalah air yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak keruh atau jernih, dan dengan suhu di bawah suhu udara sehingga menimbulkan rasa nyaman.

2. Parameter Mikrobiologis

Air tidak boleh mengandung suatu mikroorganisme. Misal sebagai petunjuk bahwa air telah dicemari oleh faces manusia adalah adanya E. coli karena bakteri ini selalu terdapat dalam faces manusia baik yang sakit, maupun orang sehat serta relatif lebih sukar dimatikan dengan pemanasan air.

3. Parameter Kimia

Air yang tidak tercemar secara berlebihan oleh zat kimia, terutama yang berbahaya bagi kesehatan. Parameter kimia anorganik terdiri atas air raksa (Hg),


(61)

alumunium (Al), Arsen (As), barium (Ba), besi (Fe), flourida (F), kadmium (Cd), kesadahan, khlorida, khromium, mangan, natrium, nitrat dan nitrit, perak, pH, selenium, seng, sianida, sulfat, sulfida, tembaga, dan timbal.

2.4.2 Jamban (Sarana Pembuangan Kotoran)

Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan mengumpulkan kotoran sehingga kotoran tersebut tersimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab penyakit serta mengotori permukaan/ lingkungan. Jamban sebagai pembuangan kotoran manusia sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan dan risiko penularan penyakit (Sudasman, 2014).

Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya (Proverawati, 2012).

Menurut Irianto (2014), jamban dapat dibedakan atas beberapa macam, yaitu:

1. Cubluk (Pit – privy)

Jamban ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah dengan diameter 80-120 cm sedalam 2,5- 8 meter. Dindingnya diperkuat dengan batu bata, dapat tembok agar tidak mudah ambruk. Lama penggunaannya antara 5-15 tahun. Jika permukaan eksreta sudah mencapai 50 cm dari permukaan tanah, dianggap cubluk sudah penuh. Cubluk penuh ditimbun dengan tanah. Tunggu 9-12 bulan, isinya digali kembali untuk pupuk, sedangkan lubangnya dapat


(62)

digunakan kembali. Sementara yang penuh ditimbun, untuk defekasi cubluk yang baru.

2. Cubluk berair (Aqua – privy)

Jamban ini terdiri atas bak yang kedap air, diisi air di dalam tanah sebagai tempat pembuangan eksreta. Proses pembusukan sama seperti halnya pembusukan feses dalam air kali. Untuk jamban ini agar berfungsi dengan baik, perlu pemasukan air setiap hari baik sedang dipergunakan atau tidak. Macam jamban ini hanya baik dibuat di tempat yang banyak air. Jika airnya penuh, kelebihannya dapat dialirkan ke sistem lain, misalnya sistem roil atau sumur resapan.

3. Watersealed latrine (Angsa – trine)

Jamban ini bukanlah merupakan tipe jamban tersendiri tapi hanya modifikasi klosetnya saja. Pada jamban ini klosetnya berbentuk leher angsa sehingga akan selalu terisi air. Fungsi air ini gunanya sebagai sumbat sehingga bau busuk dari jamban tidak tercium di ruangan rumah jamban. Bila dipakai, fesesnya tertampung sebentar dan bila disiram air, baru masuk ke bagian yang menurun untuk masuk ke tempat penampungannya (pit).

4. Hole latrine

Jamban ini sama dengan jamban cubluk hanya ukurannya lebih kecil karena untuk pemakaian yang tidak lama, misalnya untuk perkampungan sementara. Kerugiannya bila air permukaan banyak mudah terjadi pengotoran tanah permukaan (meluap).


(63)

5. Bucket latrine (Pail – closet)

Feses ditampung dalam ember atau bejana lain dan kemudian dibuang di tempat lain, misalnya untuk penderita yang tidak dapat meninggalkan tempat tidur.

6. Trench latrine

Dibuat dalam tanah sedalam 30 – 40 cm untuk tempat defekasi. Tanah galiannya dipakai untuk menimbunnya.Pembuangan tinja yang buruk sekali berhubungan dengan kurangnya penyediaan air bersih dan fasilitas kesehatan lainnya.

Jamban keluarga sehat adalah jamban yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (Depkes RI, 2002).

1. Tidak mencemari sumber air minum, letak lubang penampungan berjarak 10 – 15 meter dari sumber air minum.

2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.

3. Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok agar tidak mencemari tanah disekitarnya.

4. Mudah dibersihkan dan aman penggunaanya.

5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna terang. 6. Cukup penerangan.

7. Lantai kedap air. 8. Ventilasi cukup baik


(64)

Masing-masing keluarga seharusnya memiliki jamban pribadi. Sesuai dengan penelitian Amaliah (2010), kepemilikan jamban sendiri mengurangi faktor risiko terkena diare.

2.4.3 Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL)

Menurut Ehless dan Steel, air limbah adalah cairan buangan yang berasal dari rumah tangga, industri, dan tempat-tempat umum lainnya dan biasanya mengandung bahan-bahan atau zat yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta mengganggu kelestarian lingkungan (Chandra,2007).

Air limbah rumah tangga berasal dari air bekas mandi, bekas cuci pakaian, maupun cuci perabot, bahan makanan, dan sebagainya. Air ini sering disebut sullage atau gray water yang banyak mengandung sabun atau deterjen dan mikroorganisme penyebab berbagai penyakit. Salah satu penyebab penyakit dari mikroorganisme yang ada pada air limbah yaitu penyakit diare. Mikroorganisme ini akan dibawa oleh vektor atau serangga yang akan diinfeksikan kepada manusia melalui makanan dan minuman. Untuk memutus mata rantai penyakit tersebut diperlukan saluran pembuangan air limbah (SPAL) rumah tangga yang memenuhi syarat-syarat kesehatan (Slamet, 2014).

Menurut Chandra (2007), saluran pembuangan air limbah (SPAL) yang diterapkan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber-sumber air minum 2. Tidak mengakibatkan pencemaran air permukaan

3. Tidak menimbulkan pencemaran pada flora dan fauna yang hidup 4. Tidak dihinggapi oleh vektor atau serangga yang menyebabkan penyakit


(65)

5. Tidak terbuka dan harus tertutup

6. Tidak menimbulkan bau atau aroma tidak sedap.

2.4.4 Sarana Pembuangan Sampah (Tempat Sampah)

Sampah adalah semua produk sisa sebagai akibat aktifitas manusia yang dianggap sudah tidak bermanfaat dan dapat membahayakan kesehatan manusia, sehingga perlu tempat sampah sebagai tempat penyimpanan sementara sebelum sampah dibuang (dimusnahkan).

Menurut Irianto (2014), syarat tempat sampah adalah :

a. Terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, kuat sehingga tidak mudah bocor, kedap air.

b. Harus ditutup rapat sehingga tidak menarik serangga atau binatang-binatang lainnya seperti tikus, kucing dan sebagainya.

Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat dikelompokkan menjadi efek yang langsung dan tidak langsung. Yang dimaksud dengan efek langsung adalah efek yang disebabkan karena kontak yang langsung dengan sampah tersebut. Misalnya, sampah beracun, sampah yang korosif terhadap tubuh, yang karsinogenik, teratogenik, dan lain-lain. Selain itu ada pula sampah yang mengandung kuman patogen, sehingga dapat menimbulkan penyakit. Pengaruh tidak langsung dapat dirasakan masyarakat akibat proses pembusukan, pembakaran, dan pembuangan sampah. Efek tidak langsung lainnya berupa penyakit bawaan vektor yang berkembang biak di dalam sampah. Sampah bila ditimbun sembarangan dapat dipakai sarang lalat dan tikus. Dimana lalat adalah vektor berbagai penyakit perut, salah satunya diare (Slamet, 2014).


(66)

2.5 Penyakit Berbasis Lingkungan

Komponen lingkungan yang selalu berinteraksi dengan manusia dan seringkali mengalami perubahan akibat adanya kegiatan manusia adalah air, udara, makanan, vektor atau binatang penular, dan manusia itu sendiri. Perubahan tersebut harus diwaspadai karena berbagai komponen lingkungan tersebut mengandung agent penyakit (Putri, 2008).

Beberapa contoh penyakit berbasis lingkungan, misalnya berbagai penyakit yang diderita sekali waktu pada sebuah komunitas yang hidup atau tinggal pada pemukiman padat berdesakan dengan sanitasi dasar yang buruk (Achmadi, 2011).

2.5.1 Diare

Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair. Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang tidak normal (meningkat) dan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair, bersifat mendadak datangnya, dan berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu. Diare kronik adalah bila diare melanjut sampai 2 minggu atau lebih dan kehilangan berat badan atau tidak bertambah berat badan selama masa tersebut (Suharyono, 2008).

Berbagai penyebab penyakit diare antara lain :

1. Infeksi bakteri : Shigella, Salmonella, E.Coli, golongan Vibrio, Bacillus cereuc, Clostridium perfringes, Staphylococcus aureus, Camplyobacter aeromonas.


(67)

3. Infeksi parasit : Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli, Ascaris, Trichuris, Strongyloides, dan Candida.

Gejala diare pada umumnya adalah mula-mula anak menjadi cengeng, gelisah, suhu badan mungkin meningkat, nafsu makan berkurang, perut mulas, frekuensi BAB meningkat, tinja makin cair, mungkin mengandung darah atau lendir, muntah, dan lain-lain (Suharyono, 2008).

Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan derajat kesakitan dan kematian yang tinggi di berbagai negara terutama di negara berkembang, dan sebagai salah satu penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian anak di dunia. Menurut data United Nations Children's Fund (UNICEF) pada tahun 2009, diare merupakan penyebab kematian nomor 2 pada balita di dunia, nomor 3 pada bayi, dan nomor 5 bagi segala umur. Setiap tahunnya 1,5 juta anak meninggal dunia karena diare (Agtini, 2011).

Tidak tersedianya sarana pembuangan sampah di dalam rumah juga merupakan faktor risiko terjadinya diare. Menurut Fauzi (2005), tempat sampah terbuka dan tidak bebas dari vektor berpeluang meningkatkan kejadian diare pada anak.

2.5.2 ISPA

ISPA adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung, dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari. ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008).


(68)

Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia, dan Korinebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adnovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus, dan lain-lain (Suhandayani, 2007).

Salah satu penyebab ISPA yang lain adalah asap pembakaran bahan bakar kayu yang biasanya digunakan untuk memasak. Asap bahan bakar kayu ini banyak menyerang lingkungan masyarakat, karena masyarakat terutama ibu-ibu rumah tangga selalu melakukan aktivitas memasak tiap hari menggunakan bahan bakar kayu, gas, maupun minyak. Timbulnya asap tersebut tanpa disadari telah mereka hirup sehari-hari, sehingga banyak masyarakat mengeluh batuk, sesak nafas, dan sulit untuk bernafas. Polusi dari bahan bakar kayu tersebut mengandung zat-zat seperti Dry basis, Ash, Carbon, Hidrogen, Sulfur, Nitrogen yang sangat bebahaya bagi kesehatan (Depkes RI, 2002).

Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah : a. ISPA ringan

Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk, pilek, dan sesak.

b. ISPA sedang

ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 39˚C dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.

c. ISPA berat

Gejala meliputi kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.


(1)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Umum ... 6

1.3.2 Tujuan Khusus ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Rumah ... 8

2.2 Rumah Sehat ... 8

2.3 Komponen Rumah ... 8

2.3.1 Langit-Langit ... 9

2.3.2 Dinding ... 10

2.3.3 Lantai ... 10

2.3.4 Ventilasi ... 11

2.3.5 Pencahayaan ... 12

2.4 Sarana Sanitasi ... 13

2.4.1 Sarana Air Bersih ... 14

2.4.2 Jamban (Sarana Pembuangan Kotoran)... 18

2.4.3 Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) ... 21

2.4.4 Sarana Pembuangan Sampah (Tempat Sampah) ... 22

2.5 Penyakit Berbasis Lingkungan ... 23

2.5.1 Diare ... 23

2.5.2 ISPA ... 24

2.5.3 Kecacingan ... 26

2.5.4 Tuberkulosis Paru ... 27

2.5.5 Dermatitis ... 29

2.5.6 Dengue ... 30

2.5.7 Filariasis ... 31

2.5.8 Pneumonia ... 31


(2)

2.5.10 Malaria ... 33

2.5.11 Demam Chikungunya ... 34

2.6 Balita ... 36

2.7 Kerangka Konsep ... 37

BAB III METODE PENELITIAN ... 38

3.1 Jenis Penelitian ... 38

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 38

3.2.2 Waktu Penelitian ... 38

3.3 Populasi dan Sampel ... 39

3.3.1 Populasi ... 39

3.3.2 Sampel ... 39

3.4 Teknik Pengambilan Sampel ... 39

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 40

3.5.1 Data Primer ... 40

3.5.2 Data Sekunder ... 40

3.6 Variabel dan Definisi Operasional ... 40

3.6.1 Variabel Penelitian ... 40

3.6.2 Definisi Operasional... 41

3.7 Aspek Pengukuran ... 43

3.8 Pengolahan Data... 44

3.9 Analisis Data ... 45

BAB IV HASIL ... 46

4.1 Gambaran Umum Wilayah ... 46

4.1.1 Geografi ... 46

4.1.2 Demografi ... 46

4.2 Karakteristik Responden ... 47

4.3 Kondisi Rumah Tinggal ... 48

4.4 Penyakit Berbasis Lingkungan ... 56

BAB V PEMBAHASAN ... 58

5.1 Karakteristik Responden ... 58

5.1.1 Tingkat Pendidikan ... 58

5.1.2 Jenis Pekerjaan Orang Tua ... 58

5.1.3 Pendapatan Keluarga ... 59

5.2 Deskripsi Kondisi Rumah Tinggal ... 59

5.2.1 Komponen Rumah ... 61

5.2.2 Sarana Sanitasi ... 66

5.2.3 Perilaku Penghuni ... 73

5.3 Deskripsi Penyakit Berbasis Lingkungan Pada Balita ... 75

5.3.1 ISPA ... 77

5.3.2 Diare ... 78


(3)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 79 6.1 Kesimpulan ... 79 6.2 Saran ... 80 DAFTAR PUSTAKA


(4)

DAFTAR GAMBAR


(5)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik ... 50 Tabel 4.2 Penilaian Rumah Sehat di Desa Sihonongan ... 52 Tabel 4.3 Riwayat Keluhan Penyakit Berbasis Lingkungan Pada Balita ... 56


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Pertanyaan

Lampiran 2 Formulir Penilaian Rumah Sehat

Lampiran 3 Checklist Penyakit Berbasis Lingkungan Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian