learner, b anak berbakat gifted, dan anak genius extremely gifted. Anak dalam kategori ini anak tidak harus disekolah luar biasa. Anak yang berkelainan mental dalam arti
kekurangan disebut tunagrahita yaitu anak yang memiliki tingkat kecerdasan sedemikian rendahnya dibawah normal sehingga untuk meniti perkembangannya memerlukan
bantuan dan layanan secara khusus, termasuk didalam kebutuhan pendidikannya. Kelainan perilaku sosial adalah anak yang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap
lingkungan, tata tertib, norma sosial, dan lain-lain. Efendi 2006:11 menjelaskan Pengklasifikasikan anak berkelainan atau anak
berkebutuhan khusus sebagai mana yang telah di jelaskan, dalam pendidikan khusus atau layanan khusus khususnya di Indonesia maka bentuk kelainan di sekolah luar biasa SLB
dapat disederhanakan sesuai dengan kekhususannya masing-masing yaitu: 1 Bagian A untuk kelas tunanetra, 2 bagian B untuk kelas tunarungu, 3 bagian C untuk kelas
tunagrahita, 4 bagian D untuk kelas tunadaksa, 5 bagian E untuk tunalaras, dan 6 bagian G untuk kelas tunaganda cacat ganda.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami kelainan yang sedemikian baik fisik, mental, sosial maupun
gabungan dari ketiga aspek tersebut. Untuk pengembangan potensi dirinya, anak berkebutuhan khusus memerlukan pendidikan khusus atau layanan khusus di sekolah luar
biasa. Yang mengikuti pendidikan khusus di sekolah luar biasa antara lain adalah anak berkebutuhan khusus tunanerta, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras dan
tunaganda. Kerana karakteristik dan hambatan yang dimiliki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka.
c. Jenis-Jenis Anak Berkebutuhan Khusus
Jenis anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa menurut Kauffman dan Hallahan dalam Erianti 2009:10 dapat di golongkan berdasarkan jenis kelainannya
yaitu: 1 Tunagrahita mental retardation atau disebut sebagai anak dengan hendaya perkembangan child with development impairment, 2 Kesulitan belajar learning
disability anak yang berprestasi rendah specific learning disability, 3 Hiperaktif attention deficit disorder with hyperactive, 4 tunalaras emotional or behavioral
commit to user
disorder, 5 Tunarungu wicara communication disorder and deafnes, 6 tunanetra partially seing and legally blind, 7 anak autisik autistic children, 8 tunadaksa
physical disability, 9 tunaganda multiple handicapped, 10 anak berbakat giftedness and special talents.
Sementara itu pendapat lain juga dikemukakan oleh Rahardja 2003:7-15 mengelompokkan jenis anak berkebutuhan khusus berdasarkan lenis kelainannya yakni
antara lain: 1 tunanetra, 2 tunarungu, 3 tunagrahita, 4 tunadaksa, 5 tunaganda.
d. Karakreistik Anak Berkebutuhan khusus
1 Peserta Didik Tunanetra
Mata sebagai indra penglihatan dalam tubuh manusia dan menduduki peringkat utama, sebab sepanjang waktu manusia terjaga mata akan membantu manusia dalam
melakukan aktivitas, disamping sensoris lainnya seperti pendengaran, penciuman, perabaan dan perasa. Effendi 2006:26 menyatakan Begitu besar peran mata sebagai
salah satu dari panca indra yang sangat penting, maka dengan terganggunya indra penglihatan seseorang berarti ia akan kehilangan fungsi kemampuan visualnya untuk
merekam objek dan peristiwa fisik yang ada dilingkungannya. Dalam hal ini seseorang yang memiliki hambatan atau gangguan dalam penglihatan dikenal dengan nama
tunanetra. Kehadiran anak tunanetra tidak mengenal sekat suku bangsa, agama, golongan,
ras, atau status. Mereka hadir tanpa harus memberi tanda-tanda khusus sebagaimana layaknya fenomena alam lainnya. Hanya saja yang perlu menjadi perhatian adalah
bagaimana cara membantu mereka dengan tepat dan dapat menerima keadaan ketunatraannya, yang terpenting juga adalah bagaimana agar mereka dapat
mengembangkan potensi dirinya walaupun dalam keterbatasan. Organ mata yang normal dalam menjalankan fungsi sebagai indra penglihatan
melalui proses berikut. Pantulan cahaya dari objek dilingkungannya ditangkap oleh mata melewati kornea, lensa mata, dan membentuk bayangan mata yang lebih kecil dan
terbalik pada retina. Dari retina memalalui saraf penglihatan bayangan dikirim ke otak dan membentuklah kesadaran organ tentang objek yang dilihatnya.
commit to user
Gambar 1. Penampang Mata dan Proses Melihat Normal Sumber: Efendi 2006:30
Sedangkan organ mata yang tidak nomal atau berkelainan dalam proses fisiologis melihat sebagai berikut. Bayangan benda yang ditangkap oleh mata tidak dapat diteruskan
oleh kornea, lensa, mata, retina, dan ke saraf dikarenakan suatu sebab, misalnya kornea mata mengalami kerusakan, kering, keriput, lensa mata menjadi keruh, atau saraf yang
menghubungkan mata dengan otak mengalami gangguan. Seseorang yang mengalami kondisi tersebut dikatakan sebagai penderita kelainan penglihatan atau tunanerta Efendi,
2006:30.
Gambar 2. Contoh Proses Penglihatan Tidak Normal Sumber: Efendi, 2006
Didalam bidang pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan juga disebut dengan tunanetra. Sutjihati 2006:65 memyatakah bahwa tunanetra tidak saja
mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas selalu dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam
belajar. Menurut Dedy Kustawan 2013:82 Peserta didik tunanetra adalah peserta didik
yang memiliki hambatan penglihatan yang sedemikian rupa. Menurut Kaufman dan perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
Hallahan didalam Dedy Kustawan 2013:82 tunanerta adalah individu yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 660 setelah dikoreksi atau tidak
lagi memiliki penglihatan. Artinya seseorang dikatakan tunanetra jika ia memiliki visus sentralis 660 lebih kecil dari itu dan bisa jadi setelah di koreksi secara maksimal
penglihatan tidak dapat digunakan. Sementara Sudjihati 2006:65 juga pendapat bahwa tunanetra adalah individu yang
indra penglihatannya kedua-duanya tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Dan tambahan lain menurut Sudjihati
2006:65 anak-anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi sebagai berikut: a ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang
awas, b terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu, 3 terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.
Dari uraian di atas bahwa tunanerta harus diberikan layanan khusus karena keterbatasannya dalam melihat. Pemberian layanan khusus atau pendidikan khusus sesuai
dengan klasifikasi ketunanetraannya. Karena tunanetra memiliki keterbatasan pada indra penglihatannya maka proses belajar menekankan pada alat indra yang lain yakni indra
pendengaran dan indra peraba. Prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran kepada tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktual dan
bersuara, contohnya adalah menggunakan tulisan Braille, gambar timbul, benda model, dan benda nyata, sedangkan media bersuara adalah menggunakan radio, tape recorder, VCD,
DVD, televisi dan sebagainya. Untuk membantu tunanetra beraktifitas disatuan pendidikan khusus Sekolah Luar Biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas OM.
Orientasi dan mobelitas adalah mata pelajaran pada program pendidikan khusus. Dedy Kustawan 2013:82-83 menyatakan Orientasi dan mobilitas diantaranya mempelajari
bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan arah serta bagaimana menggunakan tongkat putih tongkat khusus tunanerta yang terbuat dari alumenium. Jadi jika hal ini tidak
dipelajari maka peserta didik tunanerta dapat ketinggalan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang sangat dibutuhkan dalam kehidupannya.
Selanjutnya Hosni 2003:16 mengatakan latihan khusus atau bantuan lainnya dalam pendidikan tunanerta dapat dikelompokan menjadi: a mereka mampu membaca
commit to user
catakan standar, b mampu membaca cetakan standar dengan menggunakan kaca pembesar, c mampu membaca cetakan besar ukuran huruf No. 18, d mampu membaca cetakan
kombinasi, cetakan regular dan cetakan besar, e membaca cetakan besar menggunakan kaca pembesar, f menggunakan braille tetapi masih bias melihat cahaya dan, g
menggunakan braille tetapi tidak punya persepsi cahaya. Yani Meimulyani dan Cartoyo 2013:10 mengelompokan jenis tunanetra menjadi
dua kelompok tunanetra yakni: 1 tunanerta golongan buta total Blind yaitu mereka yang sama sekali tidak memiliki atau hampir tidak memiliki persepsi visual, mereka yang hanya
memiliki persepsi cahaya, mereka memiliki persepsi sumber cahaya dan mereka yang mengunakan tanda-tanda braille sebagai media baca atau pengajaran, 2 tunanetra golongan
kurang lihat low vision yaitu mereka yang memiliki persepsi benda-benda ukuran besar benda-benda berukuran 1dm atau lebih besar, mereka membutuhkan tanda-tanda braille
sebagai media baca dan pengajaran, mereka memiliki persepsi benda-benda sedang benda- benda ukuran 1 dm dan 2 cm dan di antara mereka ada yang membutuhkan tanda-tanda
braille dan ada diantara mereka yang menggunakan huruf dan tanda visual yang diperbesar, mereka yang memiliki persepsi benda-benda ukuran kecil benda-benda berukuran 2 cm
atau lebih kecil mereka pada umumnya dapat menggunakan huruf dan tanda visual sebagai media baca dan pengajaran.
Berdasarkan Word Health Organition WHO didalam Yani dan Asep 2013:11 seseorang dikatakan low vision apabila: 1 memiliki kelainan fungsi penglihatan meskipun
telah dilakukan pengobatan, misalnya operasi atau koreksi, refraksi srandart kacamata atau lensa, 2 mempunyai ketajaman penglihatan kurang dari 618 sampai dapat menerima
refsefsi cahaya, 3 luas penglihatan kurang dari 10 drajad dari titik fiksasi. Dari beberapa pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penyandang
tunanetra adalah mereka yang memiliki keterbatasan cacat pada indra penglihatan baik total maupun masih memiliki sisa penglihatan. Maka dari itu diperlukan pendidikan khusus
untuk penyandang tunanetra dan media pembelajarannya juga harus dikelompokan menjadi kelopok buta total dan kelompok low vision.
commit to user
Untuk pembelajaran pendidikan jasmani sendiri dapat dikalukan dengan memodifikasi alat dengan menggunakan suara contohnya bola yang diberi kerincingan,
berlari dengan menggunakan tepukan tangan dan sebagainya. 2
Peserta Didik Tunarungu Dalam susunan pancaindra manusia, telinga sebagai indra pendengaran yang
merupakan organ untuk melengkapi informasi yang diperoleh melalui penglihatan. Oleh karena itu, kehilangan kemampuan untuk mendengar berarti kehilangan kemampuan
menyimak secara utuh peristiwa disekitarnya. Banyak istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mengalami kelainan pendengaran yaitu tuli, bisu, tunawicara, cacat
dengar, kurang dengar ataupun tunarungu. Didalam dunia pendidikan luar biasa atau di sekolah luar biasa anak yang
mengalami kelainan pendengaran dikenal dengan sebutan tunarungu. Yani dan Asep 2013:11-12 mengartikan tunarunggu sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran
yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan terutama melalui indra pendengaran dan karena memiliki hambatan dalam pendengaran individu
tunarungu juga memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka juga disebut tunawicara. Selanjutnya Dedy 2013:83 menyatakan bahwa anak tunarungu adalah
mereka yang memiliki hambatan pendengaran sedemikian rupa, dengan hambatan ini mengakibatkan gangguan pada komunikasi dan bahasa sehingga dalam pendidikan
penyandang tunarunggu memerlukan layanan atau pendidikan khusus sesuai dengan kebutuhannya.
Selain itu Mufti Salim didalam Sutjihati 2006:93-94 menyimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan
bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak. Selanjutnya hal yang hampir serupa dinyatakan oleh Dedy dan
Yeni 2013:31 bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalami kesulitan kemampuan mendengar dari yang ringan sampai yang berat, yang digolongkan menjadi
tuli dan kurang dengar, sehingga menghambat proses penerimaan informasi bahasa perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
melalui pendengarannya baik menggunakan alat bantu dengar maupun tidak, oleh karena itu diperlukan bimbingan atau pendidikan khusus yang sesuai dengan kebutuhannya
untuk mengoptimalkan bahasa dan potensi yang dimilikinya. Maka dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalami
kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengarnya sehingga sulit untuk memahami bahasa dikarenakan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat
pendengarannya, sehingga memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk memenuhi kebutuhan pendidikan agar mereka bias menggali potensi dirinya secara
optimal. Karena memiliki hambatan pendengaran individu tunarungu juga memiliki
hambatan berbicara atau berkomunikasi. Untuk itu bahasa yang digunakan oleh penyandang tunarungu adalah bahasa isyarat seperti yang dikemukakan oleh Yeni dan
Caryoto 20013:12 cara berkomunikasi tunarungu dengan individu lain menggunakan bahasa syarat, untuk abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk
isyarat bahasa berbeda-beda setiap Negara. Saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan komunikasi total yaitu cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa
verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Individu tunarungu cendrung sulit dalam memahami konsep dari sesuatu yang abstrak.
Untuk kepentingan pendidikan klasifikasi tunarungu dapat di ketahui memalui tes
audiometris. Dwidjosumarto
dalam Sutjihati
2006:95 mengemukakan
ketunarunguan diklasifikasikan sebagai berikut: tingkat I kehilangan kemampuan mendengar antara 35-54 dB penderita ini hanya memerlukan latihan berbicara dan
bantuan mendengar secara khusus, tingkat II adalah kehilangan kemampuan mendengar antara 55-69 dB penderita memerlukan penempatan sekolah secara khusus dan dalam
kebiasaan sehari-hari memerlukan latihan berbicara dan bantuan latihan secara khusus, tingkat III kehilangan kemampuan mendengar 70-89 dB, dan tingkat IV kehilangan
kemampuan mendengar 90 dB ke atas. Penderita dari tingkat I dan II mengalami ketulian. Dalam kebiasaan sehari-hari
mereka sesekali latihan berbicara, mendengar berbahasa, dan memerlukan pelayanan perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
pendidikan secara khusus. Anak yang kehilangan kemampuan mendengar dari tingkat III dan IV pada hakekatnya memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Menurut Yani dan Cartoyo 2013:13 kelompok tunarungu dapat di klasifikasikan sebagai berikut: a tunarungu ringan Mild hearing loss, b tunarungu
sedang moderate hearing loss, c tunarungu agak berat moderately severe hearing loss, d tunarungu berat severe hearing loss, e tunarungu berat sekali profound
hearing loss. Dengan kata lain tunarungu dapat diklasifikasikan menurut tingkat
pendengarannya sehingga memerlukan pendidikan khusus untuk memenuhi kebutuhan pendidikannya. Selain itu Sudjihati 2006:65 menyatakan perkembangan bahasa dan
bicara anak tunarungu berkaitan dengan ketajaman pendengarannya. Akibat dari keterbatasan pendengaran anak tunarungu tidak mampu mendengar dengan baik, dengan
demikian tidak terjadi proses peniruan suara setelah masa meraba, proses peniruannya hanya terbatas pada peniruan visual.
Perlunya pendidikan khusus untuk pengembangan diri pada penyandang tunarungu dalam menggali potensi dirinya, demikian pula dalam pendidikan jasmani.
Dengan pendidikan jasmani adaptif diharapkan anak tunarungu dapat membentuk kepercayaan dirinya, menjalani pergaulan sosial, dan kebugaran jasmani.
3 Peserta Didik Tunagrahita
Sesuai dengan fungsinya, mental dan kecerdasan bagi manusia merupakan pelengkap kehidupan yang paling sempurna. Dengan bekal mental dan kecerdasan yang
memadai dinamika kehidupan menjadi lebih baik, sebab melalui kecerdasan mental manusia dapat merencanakan atau memikirkan hal-hal yang lebih bermanfaat dan
menyenangkan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Sepanjang waktu selama manusia beraktivitas, ia akan melibatkan mental sebagai
pengendali gerak tubuh dalam aktivitas. Oleh sebab itu kelainan atau gangguan alat sensoris ini pada seseorang disebut mental subnormal berarti ia telah kehilangan
sebagian besar
kemempuan untuk
mengabstraksikan peristiwa
yang ada
dilingkungannya secara akurat. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
Istilah anak berkelainan mental subnormal dalam beberapa referensi disebut pula dengan keterbelakangan mental, lemah ingatan, flebleminded, mental subnormal, dan
tunagrahita. Didalam dunia pendidikan khusus atau tepatnya sekolah luar biasa, siswa yang memiliki kemampuan intelektual dibawah rata-rata dikenal dengan tunagrahita
yang kelasnya disebut juga kelas C. Istilah ini menjelaskan kondisi anak yang kecerdasannya jauh di bawah rata-rata dan ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan
ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Yani dan Asep 2013:12 mengemukakan tunagrahita adalah individu yang
memiliki intelegensi yang signifikan berada dibawah tara-rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul dalam masa perkembangan.
Selanjutnya Sutjihati 2006:103 menjelaskan keterbelakangan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah bisa
secara klasikal. Sementara Delphie 2006:2 “ Anak dengan hendaya perkembangan kemampuan tunagrahita, memiliki problema belajar yang disebabkan adanya hambatan
perkembangan intelegensi, mental, emosi, sosial dan fisik”. Menurut Dedy 2013;85 peserta didik tunagrahita mempunyai hambatan akademik yang sedemikian rupa
sehingga dalam layanan pembelajarannya memerlukan modifikasi kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan kemampuannya.
Bratanata 1979 didalam Efendi 2006:88 menyatakan bahwa seseorang dikategorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika ia memilki tingkat
kecerdasan yang sedemikian rendahnya dibawah normal, sehingga sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik,
termasuk dalam program pendidikannya. Penafsiran yang salah seringkali terjadi di masyarakat awam bahwa keadaan
kelainan mental atau tunagrahita dianggap seperti suatu penyakit sehingga dengan memasukan kelembaga pendidikan atau perawatan khusus, anak diharapkan dapat
normal kembali. Penafsiran tersebut sama sekali tidak benar sebab tunagrahita dalam jenjang manapun tidak ada hubungannya dengan penyakit atau sama dengan penyaki.
Menurut Kirk,1970 dalam Mohammad Efendi 2006:88 “Mental retarded is not disease perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
but a condition”. Jadi, kondisi tunagrahita tidak bisa disembuhkan atau diobati dengan obat apapun.
Dengan demikian dari beberara teori yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa tunagrahita adalah seseorang yang memiliki kecerdasan dibawah rata-rata dan
mempengaruhi perkembangan mentalnya, maka dari itu anak dengan masalah ini disebut juga dengan anak yang keterbelakangan mental. Dengan kondisi ini tidak dapat
disembuhkan dengan obat apapun, untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak dengan keterbatasan tunagrahita memerlukan pendidikan secara khusus atau di sekolah luar
biasa. Selanjutnya tim proyek pengembangan pendidikan jasmani bagi penyandang
tunagrahita 2004:1 menjelaskan bahwa para penyandang tunagrahita Intelectual disability memiliki prevalensi 7 kali lipat dibandingkan dengan ketulian, 9 kali lipat
lebih prevalen dibandingkan dengan yang memiliki cerebral palsy, 15 kali lipat dibandingkan kebutaan total dan 35 kali lipat dibandingkan distropi otot.
Untuk memahami anak tunagrahita atau keterbelakangan mental ada baiknya memahami terlebih dahulu konsep Mental Age MA. Mental Age adalah kemampuan
mental yang dimiliki oleh seorang anak pada usia tertentu. Sutjihati 2006:104 mencontohkan “Anak yang mempunyai usia enam tahun akan mempunyai kemampuan
yang sepadan dengan kemampuan anak yang berusia enam tahun pada umumnya”.
Artinya anak yang berumur enam tahun akan memiliki MA enam tahun. Jika seorang anak memiliki MA lebih tinggi dari umurnya cronologi Age, maka anak tersebut
memiliki kemampuan kecerdasan diatas rata-rata. Sebaliknya jika MA seorang anak lebih rendah dari pada umurnya, maka anak tersebut memiliki kemampuan dibawah rata-
rata. Anak tunagrahita memiliki MA yang lebih rendah dari pada CA secara jelas. Oleh karena itu MA yang sedikit saja kurangnya dari CA tidak termasuk tunagrahita. MA
dipandang sebagi indeks dari perkembangan kognitif dari seorang anak. Jadi untuk mengetahui seorang anak termasuk kedalan kondisi tunagrahita dapat
memahami konsep mental age MA yang disesuaikan dengan anak sesusianya, jika MA lebih rendah dari pada CA dapat dipastikan anak tersebut mengalami keterbelakangan
mental atau kemampuan intelektualnya dibawah rata-rata. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
Pada masa awal perkembangan, hampir tidak ada perbedaan antara anak-anak tunagrahita dengan anak yang memiliki kecerdasan rata-rata. Akan tetapi semakin lama
perbedaan pola perkembangan antara anak tunagahita dengan anak normal semakin terlihat jelas. Pada kasus tertentu memang ada anak normal menyerupai keadaan anak tunagrahita
jika dilihat selintas, tetapi setelah ia mendapatkan perawatan atau terapi tertentu, maka berlahan tanda-tanda ketunagrahitaan yang tampak sebelumnya berangsur-angsur hilang
dan menjadi normal. Keadaan ini kemudian dikenal dengan istilah tunagrahita semu pseudofeebleminded. Mohammad Efendi 2006:89 berpendapat bahwa kasus
pseudofeebleminded ada beberapa faktor yang diduga sebagai penyebabnya yakni: 1 Gangguan emosi pada kanak-kanak sehingga menghambat perkembangan kognitifnya. 2
Keadaan lingkungannya yang kurang baik dan tidak memberikan ransangan pada kecerdasan anak sehingga kecerdasannya terhambat.
Rendahnya kapabilitas mental pada anak tunagrahita akan berpengaruh terhadap kemampuanya untuk menjalankan fungsi-fungsi sosialnya. Hendeschee dalam Mohammad
Efendi 2006:89 memberikan batasan Dengan kondisi keterbatasan intelegensi, keterbatasan sosial dan keterbatasan fungsi-fungsi lainnya anak tunagrahita tidak dapat
hidup dengan kekuatan sendiri di tempat sederhana dalam masyarakat. Edgar Doll dalam Mohammad Efendi 2006:89 berpendapat seorang dikatakan tunagrahita jika : 1 secara
sosial tidak cakap, 2 secara normal dibawah normal, 3 kecerdasan terhambat sejak lahir, dan 4 kematangannya terhambat. Dari uraian tersebut memberikan implikasi bahwa
ketergantungan anak tunagrahita terhadap orang lain pada dasarnya tetap ada, meskipun tiap masing-masing jenjang anak tunagrahita kualitasnya berbeda, tergantung pada berat-
ringannya ketunagrahitaan yang diderita. Untuk memahami anak tunagrahita ada baiknya kita telaah definisi tentang anak ini
yang dikembangkan oleh AAMD American Association of Mental Deficiency sebagai berikut : “Keterbelakangan mental menunjukan fungsi intelektual di bawah rata-rata secara
jelas dengan disertai ketidak mampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan” Kauffman dan Hallahan, 1986 didalam Sutjihati Soemantri 2006.
Menurut Sutjihati 2006:105 ada beberapa karakteristik umum tunagrahita yang dapat dipelajari, yaitu: 1 keterbatasan intelegensi yakni kapasitas belajar anak tunagrahita
commit to user
terutama yang bersifat abstrak seperti berhitung, menulis, dan membaca sangat terbatas. Kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan
membeo meniru, 2 keterbatasan sosial yakni anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar,
tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi, mereka juga mudah dipengaruhi dan cendrung melakukan sesuatu
tanpa memikirkan akibatmya, 3 keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya yakni anak tunagrahita memerlukan waktu lama untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru
dikenalnya. Mereka memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal yang rutin secara konsisten yang dialaminya dari hari kehari. Anak tunagrahita tidak dapat
menghadapi sesuatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu yang lama. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tunagrahita atau keterbelakangan
mental merupakan kondisi dimana pengembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai tahap perkembangan yang optimal. Untuk itu diperlukan
pendidikan khusus untuk menggali potensi dirinya, sehingga walau dalam keadaan tunagrahita mereka memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan dan
mengembangkan potensi yang diminatinya. Tunagrahita atau keterbelakangan mental dapat diklasifikasikan menjadi tiga,
pengelompokan ini umumnya didasarkan pada taraf intelegensinya. Honsi 2003:19-20 mengemukakan klasifikasi anak tunagrahita yakni; a Tunagrahiita ringan biasanya
memiliki IQ 70-55, b tunagrahita sedang biasanya memiliki IQ 55-40, c tunagrahita berat biasanya memiliki IQ 40-25, dan d tunagrahita sangat berat memiliki IQ 25.
Selanjutnya Blake didalam Efendi 2006:108 menjelaskan perbedaan anak tunagrahita pada table berikut.
Tabel 3. klasifikasi Anak Tunagrahita Berdasar Drajat Keterbelakangannya. Level
Keterbelakangan IQ
Standford Binet Skala Weschler
Ringan 68-52
69-55 Sedang
51-36 54-40
Berat 32-90
39-25 Sangat berat
19 24
Sumber: Blake didalam Effendi 2006:108 perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
a Tunagrahita Ringan
Menurut Sudjihati 2006:106 Tunagrahita ringan disebut moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-55 menurut Binet, sedangkan skala Weschler
WISC memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan yang baik, anak terbelakangan mental ringan
pada saatnya akan memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. Sudjihati Soemantri 2006:107 “anak keterbelakangan mental ringan dapat
dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, bahkan jika dilatih dan dibimbing dengan baik
anak tunagrahita ringan dapat bekerja di pabrik-pab rik dengan sedikit pengawasan”.
Selanjutnya menutut Efendi 2006:90 kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tunagrahita ringan antara lain: 1 membaca, menulis, mengeja, dan
berhitung, 2 menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain, 3 keterampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja dikemudian hari.
Jadi anak tunagrahita ringan adalah anak dengan IQ 68-55 yang masih mampu untuk dididik, membaca, berhitung, bekerja dan dilatih. Untuk perkembangan
pengetahuannya mereka dapat dilatih, bekerja, dan masih bisa bersekolah disekolah luar biasa. Pada dasarnya tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik, jika diliat
sekilas mereka separti anak normal pada umumya. Oleh karena itu agak sukar membedakan secara fisik antara anak tunagrahita ringan dan anak normal.
b Tunagrahita Sedang
Efendi 2006:90 Tunagrahita sedang disebut juga tunagrahita mampu latih atau embecil adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya
sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukan bagi anak tunagrahita ringan.
Kemudian menurut Sutjihati 2006:107 tunagrahita sedang adalah tunagrahita dengan kelompok yang memiliki IQ 51-36 skala Binet dan 54-40 menutur skala
Weschler WISC. Mereka dapat didik untuk mengurus dirinya sendiri, melindungi diri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan dijalan raya, berlindung dari hujan,
dan sebagainya. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
Kemampuan anak tunagrahita ringan perlu diberdayakan karena mereka masih mampu dilatih. Untuk perkembangannya pengetahuannya mereka dapat dilatih untuk
merawat dirinya sendiri melalui aktifitas sehari-hari. Effendi 2006:90 menjelaskan bahwa anak tunagrahita ringan mampu dilatih dengan memberdayakan kemampuannya
melalui: 1 belajar mengurus diri sendiri misalnya makan, memakai pakaian, tidur, dan mandi sendiri, 2 belajar menyesuaikan lingkungan rumah dan sekitarnya, 3
mempelajari kegunaan ekonomi di rumah, di tempat kerja, atau dilembaga khusus. Jadi dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita ringan adalah anak yang
memiliki kecerdasan yang sedemikian rendahnya, mampu dilatih untuk merawat dirinya sendiri melalui aktivitas sehari-hari serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatannya
menurut kemempuannya. c
Tunagrahita berat dan sangat berat Tunagrahita berat dan tunagrahita sangat berat sering disebut idiot atau anak
mampu rawat. Sudjihati 2006:108 menjelaskan tunagrahita berat severe memiliki IQ antara 32-20 menurut slake Binet dan antara 39-25 menurut skala Weschler WISC,
dan untuk tunagrahita sangat berat memiliki IQ dibawah 19 menurut skala Binet dan IQ dibawah 25 menurut skala Weschler WISC. Kemampuan mental atau MA maksimal
yang dapat dicapai kurang dari tiga tahun. Selanjutnya Efendi 2006:90 menjelaskan bahwa tunagrahita berat dan
tunagrahita sangat berat ini memiliki kecerdasan yang sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus dirinya sandiri dan bersosialisasi, sehingga untuk mengurus dirinya
sendiri memerlukan bantuan orang lain. Selain itu Patton didalam Efendi 2006:91 menjelaskan bahwa anak tunagrahita mampu rawat atau tunagrahita berat
membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu hidup tanpa bantuan orang lain.
Ciri fisik tunagrahita berat atau tunagrahita sangat berat menurut Erianti 2009:19 adalah sebagai berikut; 1 penampilan fisiknya tidak seimbang, misalnya
kepala terlalu besarkecil, 2 tidak dapat mengurus dirinya sendiri, 3 perkembangan bicara dan bahasanya terlambat, 4 tidak ada atau kurang sekali perhatian terhadap
lingkungan, pandangannya selalu kosong, 5 koordinasi gerak sering tidak terkendali, 6 perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
kadang kala sebagian anak tunagrahita berat dan sangat berat sering mengeluatkan cairan dari mulut ludah atau iler.
Dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita berat dan tunagrahita sangat berat adalah anak yang kecerdasannya sangat rendah dan tidak bisa merawat atau mengurusi
dirinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Sehingga sepanjang hidupnya membutuhkan perawatan, karena ia tidak mampu hidup tanpa bantuan orang lain. Dengan kata lain
tunagrahita berat dan sangat berat memerlukan bantuan perawatan secara total dalam hal berbakaian, mandi, makan, dan semua kativitas sehati-hari.
4 Peserta Didik Tunadaksa
Barangkali kita sependapat bahwa kaki dan tangan merupakan organ tubuh yang sangat penting dalam mobilitas. Hal ini disebabkan kedua jenis organ ini manfaatnya
sangat besar bagi manusia dalam melengkapi dan merealisasikan segala keinginan untuk bergerak, baik yang dilakukan secara parsial maupun integral bersama dengan
organ sensoris pendukung lainnya. Apabila fungsi kedua organ tubuh tersebut mengalami gangguan, baik sebagian
ataupun keseluruhan, yang disebabkan oleh luka maupun luka bagian syaraf otak cerebal palsy, kelainan pertumbuhan, atupun amputasi, akan mempengaruhi mobilitas
hidup orang yang mengalaminya. Hal seperti ini dikenal dengan sebutan tunadaksa. Tunadaksa menurut Dedy dan Yani 2013:33 adalah individu yang memiliki gangguan
gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan strukur tulang yang bersifat bawaan, akibat kecelakaan, celebral palsy CP, amputasi, polio, dan lumpuh. Dedy dan
Yeni 2013;34 juga menjelaskan bahwa tingkatan gangguan pada tunadaksa adalah tunadaksa ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktifitas fisik tetapi
masih dapat ditingkatkan melalui terapi, untuk tunadaksa sedang yaitu memiliki keterbatasan gerak dan gangguan koordinasi sensorik, sedangkan tunadaksa berat yaitu
memiliki keterbatasan total dalam gerak fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
Selanjutnya Suroyo didalam Yani dan Asep 2013:14 menjelaskan bahwa tunadaksa adalah ketidakmampuan angota tubuh untuk melaksanakan fungsinya
disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
secara normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang tidak sempurna, sehingga untuk kepentingan pembelajaran perlu layanan secara khusus. Selain itu Erianti
2009:24 mengartikan tunadaksa sebagai seseorang yang fisik dan kesehatannya mengalami masalah, sehingga menghasilkan kelainan dalam berinteraksi dengan
lingkungan sosialnya dan untuk meningkatkan fungsinya diperlukan program dan layanan khusus.
Sementara itu Yani dan Caryoto 2013:19 mendefinisikan ketunadaksaan adalah seseorang yang mengalami kesulitan mengoptimalkan fungsi anggota tubuh
sebagai akibat dari luka, penyakit, pertumbuhan yang salah bentuk, dan akibatnya kemampuan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu mengalami penurunan.
Selanjutnya Conference dalam Sudjihati 2006:121 mengartikan tunadaksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan
pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau juga dapat disebabkan oleh pembawaan sejak lahir.
Delphie 2006:123 menyatakan peserta didik tunadaksa dapat dikelompokan menjadi dua bagian besar yaitu “kelainan pada sistem serebral serebral system dan
kelainan pada sistem otot dan rangka musculoskeletal system ”. Jadi peserta didik
tunadaksa mayoritas memiliki kecacatan fisik, sehingga mengalami gangguan pada koordinasi gerak, persepsi, kognisi dan dikarenakan adanya kerusakan syaraf tertentu.
Dengan demikinan dalam memberikan layanan disekolah memerlukan modifikasi dan adaptasi yang diklasifikasikan dalam tiga kategori umum, yaitu kerusakan pada syaraf,
kerusakan tulang, dan dengan anak gangguan kesehatan lainya. Sementara itu Mujito dalam Erianti 2009:25 mengatakan anak tunadaksa dapat
digolongkan menjadi tiga yaitu 1 golongan yang kehilangan atau atau kekurangan anggota tubuh misalnya amputasi amputee dan cebol, 2 golongan yang kelayuan
otottulang seperti post poliomyelitis, paraplegia, dan stiomyelitis, golongan yang mengalami kekakuan dan tidak adanya koordinasi yang baik seperti TBC tulang.
Selanjutnya Yani dan Caryoto 2013:20-21 menjelaskan dilihat dari pergerakan otot-otot penyandang cerebral palsy dikelompokan menjadi empat jenis yaitu: 1
Spastic yaitu anak yang mengalami ini menunjukan kekejangan pada otot-ototnya, yang perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
disebabkan oleh gerakan-gerakan kaku dan akan hilang dalam diam misalnya waktu tidur. Pada umumnya kekejangan ini akan menjadi hebat jika anak dalam keadaan
marah atau dalam keadaan tenang. 2 athetoid yaitu anak yang mengalami athetoid tidak mengalami atau kekakuan. Otot-ototnya dapat begerak dengan mudah, malah
terjadi gerakan-gerakan yang tidak terkendali yang timbul diluar kemampuannya. Hal ini sangat mengganggu dan merepotkan anak itu sendiri. Gerakan ini terdapat pada
tangan, kaki, lidah, bibir dan mata. 3 tremor yaitu anak yang mengalami tremor sering melakukan gerakan-gerakan kecil yang berulang-ulang. Sering dijumpai anak yang
salah satu anggota tubuhnya selalu bergerak, 4 rigid yaitu anak cerebral palsy jenis ini mengalami kekakuan otot-otot. Gerakan-gerakannya sangat lambat dan kasar. Kondisi-
kondisi anak seperti itu jelas memberi dampak pada aktifitas dikehidupannya. Dari beberapa kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa tunadaksa adalah suatu
hambatan dimana terjadi kerusakan pada organ seperti tulang, otot, sendi maupun pada syaraf. Dimana pada kondisi ini disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau juga
pembawaan sejak lahir. Dengan berbagai keterbatasan yang dimiliki tunadaksa untuk melakukan gerak tubuh menyebabkan ia membutuhkan layanan latihan, baik terapi
maupun bantuan medis guna memperbaiki atau mengobati kelainan pada tubuhnya dengan pola tertentu, peralatan-peralatan yang sesuai, dan fasilitas pendukung lainnya.
untuk yang memiliki masalah pendidikan, maka pembelajaran dapat yang bersifat khusus yang sesuai dengan kelainan anak yang bersangkutan.
5 Peserta Didik Tunalaras
Istilah tunalaras berasal dari kata tuna dan laras. Tuna berarti kurang sedangkan laras berarti sesuai. Jadi dari perpaduan kata tersebut dapat diartikan anak tunalaras
adalah anak yang tingkah lakunya tidak sesuai dengan lingkungan. Anak yang memiliki gangguan tingkah laku atau lebih dikenal dengan sebutkan
tunalaras ini, bukan masalah yang sederhana untuk menentukan anak dengan gangguan tingkah laku ini. Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi anak
yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan mengalami gangguan emosional. Sehubungan dengan itu, William M.C didalam Yani
dan Asep 2013:15 mengemukakan ada dua klasifikasi anak dengan kelainan tunalaras, perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
yaitu; 1 anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, 2 anak yang mengalami gangguan emosi.
Tunalaras menurut Erianti 2009:20 merupakan istilah atau sebutan bagi mereka yang mengalami penyimpangan tingkah laku sedemikian rupa sehingga merugikan dirinya
sendiri maupun lingkungannya, tingkahlaku mereka dikatakan menyimpang karena tidak selaras dengan norma-norma yang berlaku dilingkungannya. Anak tunalaras juga disebut
dengan anak nakal, anak anak bandel, keras kepala, dan anak yang mengalami gangguan emosi.
Hal yang hampir sama di kemukakan oleh Dedy dan Yani 2013:34 bahwa tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan
kontrol sosial, individu tunalaras biasanya menunjukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya. Effendi 2006:134
mengatakan apapun sebutan yang diberikan kepada individu yang tidak mampu menyelaraskan perilakunya dengan norma umum yang berlaku dilingkungannya, secara
substansi tidak mengurangi sebagai sosok individu yang perlu intervensi khusus. Dari uraian diatas dapat disimpulkan anak tunalaras adalah individu yang memiliki
atau mengalami hambatan dalam mengontrol emosi, sikap dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan lingkungan, mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan
sehingga hal ini akan merugikan dirinya sendiri dan orang lain yang disekitarnya dan akan mengganggu pada situasi belajarnya. Menurut Sudjihati 2006:147 situasi belajar yang
mereka hadapi secara monoton akan mengubah perilaku bermasalahnya menjadi semakin berat.
Menurut ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan Nomor 12 Tahun 1952 berbunyi bahwa anak tunalaras adalah individu yang mempunyai
tingkah laku menyimpangbekelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggara terhadap peraturan dan norma-norma sosial dengan frekuensi yang cukup besar,
tidakkurang memiliki toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi dirinya sendiri dan orang lain.
commit to user
6 Peserta Didik Tunaganda
Tunaganda adalah individu yang mengalami kelainan lebih dari dua kelainan. Menurut Dedy 2013:91 peserta didik tunaganda atau kelainan majemuk adalah peserta
didik dengan dua kelainan atau lebih. Misalnya, peserta didik yang memiliki hambatan penglihatan dan pendengaran, hambatan kecerdasan, autis dan sebagainya.
Selanjutnya Dedy dan Yani 2013:34 menjelaskan yang disebut anak tunaganda adalah anak yang memiliki kombinasi kelainan baik dua jenis atau lebih yang
menyebabkan adanya masalah pendidikan yang serius, sehingga dia tidak hanya dapat diatasi dengan satu program khusus untuk satu kelainan saja, melainkan harus didekati
dengan variasi program pendidikan sesuai dengan kelainan. Sementara menurut Johnston Magrab didalam Yani Asep 2013:16
tunaganda adalah mereka yang mempunyai kelainan perkembangan mencakup kelompok yang mempunyai hambatan-hambatan perkembangan neurologis yang
disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan dalam kemampuan seperti intelegensi, gerak, bahasa, atau hubungan pribadi dimasyarakat.
Dari beberapa kutipan diatas dapat disimpulkan bahwa tunaganda adalah seseorang yang memiliki hambatan atau kelainan lebih dari satu, misalnya dalam diri
seseorang mengalami hambatan pendengaran tunarungu dan hambatan kecerdasan tunagrahita. Dengan hambatan-hambatan tersebut mereka memerukan pendidikan
khusus atau layanan khusus untuk dapat meniti kehidupannya yang lebih baik.
B. Penelitian yang Relevan
Adapun penelitian yang relevan dalam penelitian ini adalah hampir sama dengan penelitian yang dilakukan Khairul Asbar 2010 yang meneliti tentang Pelaksanaan
Pembelajaran Pendidikan Jasmani Adaptif Siswa Tunagrahita Riangan di Sekolah Kuar Biasa Cendana Rumbai Pekanbaru. Penelitian ini dilakukan dengan mengamati aspek yang