Penerapan Asumsi Belajar Orang Dewasa

66 “Masih bagus dan layak pakai, Mbak. Yang penting adalah sarana dan prasarana tersebut dapat digunakan oleh warga belajar, dan dapat mendukung kegiatan belajar mereka. Begitulah prioritas kami.” Tidak jauh berbeda dengan yang telah disampaikan oleh HW dan SA di atas, RR menyampaikan hal senada, yaitu: “Nyaman untuk mendukung proses, Mbak. Jadi intinya, semuanya masih dalam kondisi yang bagus dan nyaman bagi kami.” Berdasarkan hasil observasi terhadap sarana dan prasarana, dan wawancara terhadap tiga narasumber yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa kondisi sarana dan prasarana masih dapat dikatakan baik dan nyaman untuk mendukung proses pembelajaran.

2. Penerapan Pendekatan Andragogi

a. Penerapan Asumsi Belajar Orang Dewasa

Andragogi pada dasarnya menggunakan asumsi-asumsi konsep diri, pengamalan, kesiapan belajar, dan orientasi belajar. Begitu pula dalam program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara, pengelola dan fasilitator program menerapkan asumsi-asumsi belajar orang dewasa dalam proses pembelajarannya. Berikut adalah uraiannya: 1 Konsep Diri. Kompetensi pengelola dan fasilitator sangatlah penting dalam penyelenggaraan sebuah program pendidikan khususnya pembelajaran yang melibatkan orang dewasa. Kompetensi yang harus dimiliki oleh keduanya adalah memahami asumsi pokok pembelajaran orang dewasa, memahami penggunaan 67 metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik orang dewasa, dan memiliki keterampilan untuk menerapkannya dalam proses pembelajaran. Konsep diri merupakan salah satu asumsi belajar yang dimiliki oleh warga belajar dalam pembelajaran orang dewasa. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap pengelola dan fasilitator program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara memperoleh hasil mengenai kompetensi yang dimiliki fasilitator dan pengelola berupa pengetahuan mengenai asumsi konsep diri dan penerapan asumsi konsep diri, diantaranya: analisis kebutuhan dan penciptaan iklim belajar. Fasilitator memiliki pengetahuan mengenai konsep diri yang dimiliki oleh orang dewasa. Sebagaimana yang disampaikan oleh HW: “Mbak Dian dengan Mbak Sinta paham, Mbak mengenai asumsi konsep diri tersebut. Ya intinya mereka memahami, karena sudah sama-sama dewasa, ya.” SA yang merupakan fasilitator dalam program Pelatihan Rajut menyampaikan bahwa: “Pada intinya memang orang dewasa itu sudah punya kesadaran bahwa dia merupakan pribadi yang bukan lagi anak-anak yang bisa diatur begitu saja. Begitu bukan, Mbak? ” Senada dengan penuturan SA, RR juga menyampaikan hal yang sama, dan lebih rinci, yaitu: “Konsep diri orang dewasa ya yang pasti, mereka paham siapakah mereka, apa yang mereka inginkan, apa yang mereka butuhkan. Menurut pemahaman saya, sih , begitu.” Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pengelola dan fasilitator memahami mengenai konsep diri 68 yang dimiliki oleh orang dewasa. Sehingga mereka dapat mengimplementasikan asumsi tersebut ke dalam proses pembelajaran. Peneliti melakukan wawancara lanjutan mengenai penerapan pendekatan andragogi yang dilakukan oleh pengelola dan fasilitator guna memperoleh data yang lebih akurat mengenai kompetensi tersebut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa pengelola telah melakukan analisis kebutuhan warga belajar. Sebagaimana yang disampaikan oleh HW: “Tentu, Mbak. Kami mengidentifikasi kebutuhan terlebih dahulu sebelum akhirnya memutuskan program inilah yang akan menjadi salah satu Unit Kegiatan Sentra Kriya Mata Aksara.” Hal tersebut juga disampaikan oleh SA pada kesempatan yang berbeda secara lebih rinci, yaitu: “Sudah, Mbak. Pada saat sebelum dilaksanakannya program ini, kami sudah melakukan analisis kebutuhan terhadap ibu-ibu yang pada waktu itu juga mengikuti beberapa program di Rumah Pintar Mata Aksara.” NI yang juga merupakan penyelenggara setiap program di Rumah Pintar Mata mengungkapkan hal senada mengenai analisis kebutuhan program Pelatihan Rajut, yaitu: “Oh iya, pasti. Karena kan semua hal berangkat dari warga belajar. Tidak mungkin kami bisa semudah itu menyelenggarakan sebuah program tanpa berlandaskan kebutuhan masyarakat.” Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa pengelola telah melakukan analisis kebutuhan terhadap warga belajar sebelum memutuskan untu menyelenggarakan program Pelatihan Rajut. 69 Pengamatan yang dilakukan oleh peneliti terhadap program Pelatihan Rajut, fasilitator juga telah melakukan penciptaan iklim belajar sebelum memulai pembelajaran bersama dengan warga belajar, diantaranya: menerima kedatangan warga belajar dan melakukan diskusi-diskusi kecil mengenai isu-isu yang sedang berkembang di masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh SA: “Kami menyambut kedatangan warga belajar dengan bincang-bincang ringan mengenai apapun. Biasanya mengajak bicara anaknya juga, secara tidak langsung ibunya juga akan ikut menjawab .” Hal senada juga disampaikan oleh RR, yang juga merupakan fasilitator program Pelatihan Rajut, yaitu: “Berusaha datang lebih awal, dan menyambut teman-teman dengan candaan atau membicarakan suatu hal, Mbak. Hal-hal yang sedang ramai diperbincangkan, misalnya .” Kedua pendapat diatas dibenarkan oleh HW, yang merupakan pengelola program yang melakukan pengawasan terhadap berlangsungnya pembelajaran, yaitu: “Santai saja, sih, Mbak. Mengalir begitu saja, karena memang pola belajarnya sangat bebas dan terbuka, jadi iklim belajar yang nyaman itu sudah dengan sendirinya terbentuk .” Berdasarkan hasil observasi terhadap usaha yang dilakukan oleh fasilitator dalam menciptakan iklim belajar, dan wawancara terhadap tiga narasumber yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa penciptaan iklim belajar dilakukan dengan cara menyambut dengan hangat kedatangan warga belajar, yang kemudian melakukan bincang-bincang ringan mengenai hal-hal yang sedang ramai diperbincangkan, ataupun mengenai buku dan anak-anak. 2 Kesiapan Belajar 70 Kesiapan belajar dimililiki oleh orang dewasa jika selaras dengan upaya dirinya dalam memainkan peran dalam kehidupannya sehari-hari. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap pengelola, fasilitator, dan warga belajar program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara memperoleh hasil mengenai kompetensi yang dimiliki fasilitator berupa pengetahuan mengenai asumsi kesiapan belajar dan penerapan asumsi kesiapan belajar, diantaranya:pemberian kesempatan kepada warga belajar untuk merancang kegiatan pembelajaran sendiri, menentukan tujuan, dan materi yang warga belajar butuhkan. Fasilitator memiliki pengetahuan mengenai kesiapan belajar yang dimiliki oleh orang dewasa. Sebagaimana yang disampaikan oleh HW: “Mbak Dian dengan Mbak Sinta paham, Mbak mengenai asumsi kesiapan belajar tersebut. Ya intinya mereka memahami, karena sudah sama-sama dewasa, ya. ” Hal tersebut ditambahkan oleh SA yang merupakan fasilitator program Pelatihan Rajut secara lebih rinci, yaitu: “Kalau untuk kesiapan belajar, menurut saya, seperti bagaimana orang dewasa tersebut memposisikan diri sebagai warga belajar dengan keadaannya pada saat itu, yang seperti kita tahu bahwa mereka sudah dewasa, tidak lagi berada di masa yang harus digurahi ketika akan belajar. ” Senada dengan yang dituturkan oleh SA, RR yang juga memiliki peran yang sama dengan SA pun menyampaikan hal serupa, yaitu: “Ya itu tadi, mereka tidak mungkin untuk kami atur sedemikian keras, karena mereka sudah dewasa, sudah punya kesiapan belajar yang lebih matang daripada anak-anak. Ketika mau belajar, ya belajar. Ketika tidak ingin, ya jangan dipaksakan. ” 71 Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa fasilitator memahami mengenai asumsi kesiapan belajar yang dimiliki oleh orang dewasa. Sehingga mereka dapat mengimplementasikan asumsi tersebut ke dalam proses pembelajaran. Peneliti melakukan wawancara lanjutan kepada warga belajar lanjutan mengenai penerapan pendekatan andragogi yang dilakukan oleh pengelola dan fasilitator, guna memperoleh data yang lebih akurat mengenai kompetensi tersebut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa fasilitator benar-benar mempertimbangkan asumsi kesiapan belajar terhadap perencanaan kegiatan pembelajaran oleh warga belajar. Sebagaimana yang disampaikan oleh SA: “Iya, Mbak. Bahkan sampai dengan jadwalpun kami yang menyesuaikan mereka. Sebetulnya, iya diberikan kebebasan untuk menentukan tujuan juga. Tetapi tujuan tersebut dikembalikan kepada masing-masing warga belajar, tujuan apa yang hendak dicapai ” Jawaban SA sebagai fasilitator tersebut kemudian dibandingkan dengan jawaban dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap warag belajar, yaitu DR yang menyampaikan bahwa: “Oh iya, pasti. Semuanya berawal dari warga belajar. Kami yang menyampaikan materi yang kami butuhkan, kemudian Bu Dian dan Bu Sinta yang menyesuaikan .” Senada dengan yang disampaikan oleh DR, SH yang ditemui pada kesempatan yang berbeda menyampaikan: “Iya, Mbak. Sering sekali ada diskusi di salah satu sosial media. Terkadang ada model baru yang ibu-ibu sedang gandrung, besoknya kita belajar itu. Menurut saya, iya. Apa yang akan dipelajari, dengan cara apa, dimana 72 melakukannya, dan kapan, itu kami dibebaskan. Iya, Mbak tujuan juga menentukan sendiri. Kan yang tau seperti itu diri kita sendiri ” Tidak jauh berbeda dengan yang disampaikan oleh dua warga belajar di atas, TN yang juga merupakan warga belajar aktif dalam program Pelatihan Rajut menuturkan: “Iya, Mbak. Biasanya ibu-ibu pengen apa, kemudian bertanya kepada Mbak Dian dan Mbak Sinta. Baru nanti dari mereka kami belajarnya. Iya, sih, Mbak. Dan tiap ibu-ibu nanti beda-beda. Misalnya saya bisa datang jam 16.00, ya saya datangnya jam 16.00. Ya kalau tujuan gitu saya pribadi punya, Mbak. Dan itu juga bebas. ” Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa fasilitator memberikan kesempatan kepada warga belajar dalam merencanakan kegiatan pembelajaran termasuk di dalamnya, tujuan mengikutoi pembelajaran, tempat, waktu, dan materi apa saja yang akan dibahas dalam kegiatan. Sehingga akan lebih bermakna bagi warga belajar itu sendiri. 3 Orientasi Belajar Orang dewasa memiliki orientasi yang spesifik dan praktis dalam mengikuti proses pembelajaran. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap pengelola dan fasilitator program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara memperoleh hasil mengenai kompetensi yang dimiliki fasilitator berupa pengetahuan mengenai asumsi orientasi belajar dan penerapan asumsi orientasi belajar,yaitu dalam merencanakan kegiatan pembelajaran, orientasi belajar warga belajar yang menjadi dasar. 73 Fasilitator memiliki pengetahuan mengenai orientasi belajar yang dimiliki oleh orang dewasa. Sebagaimana yang disampaikan oleh HW: “Mbak Dian dengan Mbak Sinta paham, Mbak mengenai asumsi orientasi belajar tersebut. Ya intinya mereka memahami, karena sudah sama-sama dewasa, ya. ” Hal tersebut ditambahkan oleh SA yang merupakan fasilitator program Pelatihan Rajut secara lebih rinci, yaitu: “Yang saya ketahui mengenai orientasi belajar pada orang dewasa, ya orang dewasa belajarnya atas apa yang mereka butuhkan dalam kehidupan sehari- hari, Mbak .” Senada dengan yang dituturkan oleh SA, RR yang juga memiliki peran yang sama dengan SA pun menyampaikan hal serupa, yaitu: “Mereka menimbang apa yang sedang mereka butuhkan, apa yang sedang mereka inginkan, dan apa yang kira-kira bermanfaat untuk mereka, maka mereka akan bersedia menerima pembelajaran mengenai hal tersebut. Begitu, Mbak? ” Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa fasilitator memahami mengenai asumsi orientasi belajar yang dimiliki oleh orang dewasa. Sehingga mereka dapat mengimplementasikan asumsi tersebut ke dalam proses pembelajaran. Peneliti melakukan wawancara lanjutan kepada warga belajarmengenai penerapan pendekatan andragogi yang dilakukan oleh pengelola dan fasilitatorguna memperoleh data yang lebih akurat mengenai kompetensi tersebut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa fasilitator benar-benar mempertimbangkan asumsi kesiapan 74 belajar terhadap perencanaan kegiatan pembelajaran oleh warga belajar. Sebagaimana yang disampaikan oleh SA: “Yang menjadi dasar dalam penentuan tema pembelajaran ya itu tadi, Mbak, yang sudah saya sampaikan beberapa kali, semuanya diserahkan kepada ibu- ibu. Apa yang mereka inginkan, apa yang mereka butuhkan, jadilah tema pembelajaran. ” Hal senada juga diungkapkan oleh RR yang juga merupakan fasilitator dalam pogram Pelatihan Rajut, yaitu: “Kebutuhan mereka, itu yang mendasar. Jadi semuanya benar-benar berdasarkan pada apa yang mereka butuhkan.” Lebih luas daripada yang disampaikan oleh kedua fasilitator di atas, HW memiliki pendapat yang menunjukkan bahwa: “Dasarnya ya apa yang mereka inginkan. Biasanya datang dengan membawa masalah, pulangnya membawa solusi. Hehehe ” Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa yang menjadi dasar dalam penentuan tema pembelajaran adalah kebutuhan warga belajar akan sesuatu hal, maupun berdasarkan masalah yang sedang dihadapi. Sehingga dapat diperoleh manfaat dan penyelesaian yang diinginkan. 4 Pengalaman Pengalaman bagi orang dewasa memiliki peran yang penting dan strategis dalam pembelajaran orang dewasa. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap pengelola, fasilitator, dan warga belajar program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara memperoleh hasil mengenai kompetensi yang dimiliki fasilitator berupa 75 pengetahuan mengenai asumsi pengalaman yang dimiliki oleh orang dewasa dan penerapan asumsi pengalaman,yaitu penyesuaian kegiatan pembelajaran yang berdasarkan pada pengalaman yang telah diperoleh warga belajar. Fasilitator memiliki pengetahuan mengenai pengalaman yang dimiliki oleh orang dewasa. Sebagaimana yang disampaikan oleh HW: “Mbak Dian dengan Mbak Sinta paham, Mbak mengenai asumsi pengalaman tersebut. Ya intinya mereka memahami, karena sudah sama-sama dewasa, ya. ” Hal tersebut ditambahkan oleh SA yang merupakan fasilitator program Pelatihan Rajut secara lebih rinci, yaitu: “Bahwa setiap orang mempunyai latar belakang pengalaman yang berbeda- beda. Jadi harus saling menghargai satu sama lain. ” Senada dengan yang dituturkan oleh SA, RR yang juga memiliki peran yang sama dengan SA pun menyampaikan hal serupa, yaitu: “Pengalaman itu menjadi satu hal yang harus diperhatikan ya. Karena mereka sudah melewati banyak fase dalam hidup, bagaimana mereka melakukan penyelesaian terhadap suatu permasalahan, dll. ” Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber yang dilakukan oleh peneliti, dapat disimpulkan bahwa fasilitator memahami mengenai asumsi pengalaman yang dimiliki oleh orang dewasa. Sehingga mereka dapat mengimplementasikan asumsi tersebut ke dalam proses pembelajaran. Melihat uraian di atas mengenai kompetensi pengelola dan fasilitator dalam pemahaman dan penerapan asumsi pokok pembelajaran orang dewasa, peniliti menyimpulkan bahwa pengelola dan fasilitator telah memiliki pengetahuan mengenai 76 konsep asumsi pembelajaran orang dewasa dan memiliki keterampilan dalam menerapkan asumsi tersebut pada proses pembelajaran program Pelatihan Rajut. Peneliti melakukan wawancara lanjutan kepada warga belajar lanjutan mengenai penerapan pendekatan andragogi yang dilakukan oleh pengelola dan fasilitator, guna memperoleh data yang lebih akurat mengenai kompetensi tersebut. Hasil wawancara menunjukkan bahwa fasilitator benar-benar mempertimbangkan asumsi pengalaman terhadap kegiatan pembelajaran oleh warga belajar. Sebagaimana yang disampaikan oleh RR: “Oya, Mbak. Buktinya bisa dilihat ketika sedang diskusin, pasti ibu-ibu banyak yang akan berpendapat mengenai apa yang telah mereka lakukan dan lampaui sendiri .” Hal senada juga diungkapkan oleh TN yang merupakan salah satu warga belajar aktif dalam pogram Pelatihan Rajut, yaitu: “Sudah sesuai, Mbak. Saya diizinkan untuk berpendapat, misalnya, sesuai yang saya pernah lihat sebelumnya. ” Secara lebih rinci dan mendalam, SH memiliki pendapat yang menunjukkan kesamaan, yaitu: “Oh iya, Mbak. Misalnya, saya nyaman dengan tusuk kipas yang isinya 4. Tetapi Mbak Dian dan Mbak Sinta pakai yang isi 3, ya mereka tidak masalah. Itu kan bagaimana nyamannya saja. Karena saya sudah merasakan enaknya pakai isi 4, ya maka itu yang saya lakukan .” Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga narasumber di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran yang dilakukan telah disesuaikan dengan pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing warga belajar. 77

b. Metode Pembelajaran