b. Karakteristik Tempat Pelelangan Ikan
Tempat Pelelangan Ikan idealnya memiliki fasilitas yang baik agar dapat mendukung fungsinya secara optimal. Sarana seperti tempat penyediaan es, cool
box, dan cool room seharusnya telah dapat terpenuhi mengingat fokus dari TPI adalah ikan yang merupakan komoditas yang cepat rusak. Kelengkapan fasilitas
pada suatu TPI adalah karakter dari masing-masing TPI, karena ternyata tidak semua TPI telah memiliki fasilitas yang memadai. Karakter lain yang dapat dilihat
pada suatu TPI adalah letaknya. TPI yang baik adalah TPI yang letaknya berdekatan dengan PPI Pelabuhan Pendaratan Ikan sehingga ketika nelayan
pulang dari melaut dapat langsung membawa hasil tangkapannya ke TPI. Hal ini tentu saja akan sangat mengefisienkan waktu dan tenaga para nelayan.
TPI adalah tanggung jawab dari pemerintahan daerah sehingga dapat terjadi perbedaan kebijakan antara TPI yang satu dengan TPI yang lainnya atau
bergantung kepada kebijakan pemerintahan daerah tempat TPI tersebut berdiri. Dengan demikian kebijakan yang berlaku pada suatu TPI dapat dikategorikan
sebagai karakteristik TPI. Perbedaan kebijakan ini dapat terlihat misalnya pada pengimplementasian biaya retribusi dan sistem lelang yang belaku.
2.1.4 Hubungan Patron-Klien
Salah satu ciri dari masyarakat nelayan adalah adanya hubungan patron- klien. Ikatan patron-klien muncul karena adanya kebutuhan yang dirasakan
nelayan akan jaminan atas kelancaran kegiatan pencarian nafkah mereka. Kebutuhan ini mereka penuhi dengan menjalin sebuah hubungan patron-klien
dengan seorang tengkulak. Hal ini terjadi karena hingga saat ini nelayan belum menemukan alternatif institusi yang mampu menjamin kepentingan sosial
ekonomi mereka Satria, 2002. “... Pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang
berat, mengandung resiko dimana penghasilannya tidak menentu. Kondisi alam musimcuaca mempengaruhi kondisi
perekonomian para nelayan. jika perbedaan musim dan cuaca yang tidak memungkinkan kegiatan penangkapan ikan maka
akan berdampak pada putusnya sumber penghasilan nelayan. situasi yang demikian maka para nelayan terpaksa melakukan
pinjaman atau kredit, berhutang barang kebutuhan pokok yang harganya jauh lebih tinggi dari biasan
ya. ...” Layn, 2008
.
Scot 1972 dalam Layn 2008 menyatakan hubungan patron-klien merupakan suatu kasus hubungan antara dua orang yang sebagian besar
melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang dengan status sosial lebih tinggi patron menggunakan pengaruh dan sumber daya untuk memberikan
perlindungan danatau keuntungan kepada seseorang dengan status lebih rendah klien yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan dukungan dan
bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron. Ketidakseimbangan pertukaran pada hubungan patron-klien dapat dengan
mudah ditemukan. Ketidakseimbangan yang dimaksudkan di sini adalah dalam arti barang dan jasa yang diterima lain dengan yang telah diberikan. Namun dalam
pandangan individu yang terlibat dalam hubungan patron-klien pertukaran yang mereka lakukan dapat saja dianggap seimbang. Gouldner 1977 dalam Layn
2008 menyatakan bahwa equivalence dapat berarti bahwa, apa yang dipertukarkan sangat berlainan wujudnya namun sama nilainya menurut
pandangan para pelakunya, dan besar kecilnya nilai sesuatu yang dipertukarkan ini ditentukan oleh berbagai macam faktor, misalnya kebutuhan penerima saat
pemberian diberikan, semakin tinggi nilai pemberian baginya makin besar pula rasa wajib untuk membalas pemberian tersebut. Keseimbangan ini sering disebut
denga heteromorphic reciprocity.
Menurut Mulyadi 2007, Tempat Pelelangan Ikan TPI yang secara konseptual disediakan pemerintah untuk membantu nelayan dalam memasarkan
hasil, ternyata belum optimal. Kendala yang dihadapi TPI dalam mengundang nelayan untuk menggunakan fasilitas yang tersedia ternyata terjadi karena alasan
sosiologis di mana nelayan telah menjalin hubungan dengan tengkulak dalam suatu hubungan patron-klien, yaitu tengkulak memberikan fasilitas kredit kepada
nelayan. Sebaliknya nelayan memiliki kewajiban untuk menjual hasil tengkapannya kepada tengkulak.
2.2 Kerangka Pemikiran