Ketentuan Pasal 99 1; “Dalam putusan hakim

KEBIJAKAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DILENGKAPI DENGAN BAHAN KAJIAN PERBANDINGAN 228 KEBIJAKAN PERUMUSAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DALAM HUKUM POSITIF YANG AKAN DATANG 2011 dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana”. Penjelasan terhadap pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat, hakim bebas untuk mempertimbangkan apakah akan menjatuhkan pidana tambahan ini, meskipun tidak tercantum sebagai ancaman dalam rumusan tindak pidana. Pemenuhan kewajiban adat yang dijatuhkan oleh hakim diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat yang terganggu karena dilakukannya suatu tindak pidana.

b. Ketentuan Pasal 99 1; “Dalam putusan hakim

dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli warisnya. 2 Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti untuk pidana denda”. Penjelasan Pasal 99 ayat 1; “bahwa pencantuman pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian menunjukkan adanya pengertian akan penderitaan KEBIJAKAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DILENGKAPI DENGAN BAHAN KAJIAN PERBANDINGAN 229 KEBIJAKAN PERUMUSAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DALAM HUKUM POSITIF YANG AKAN DATANG 2011 korban tindak pidana. Ganti kerugian harus dibayarkan kepada korban atau ahli waris korban. Untuk itu hakim menentukan siapa yang merupakan korban yang perlu mendapat ganti kerugian tersebut”. Ketentuan Pasal 99 ayat 1 “dalam putusan hakim” dapat diartikan terhadap seluruh ketentuan Buku II Konsep tentang “Tindak Pidana” sedang kata “dapat” terkait dengan kewenangan hakim dalam menangani setiap kasus tidak selalu mencantumkan pidana tambahan tersebut. Penjelasan ketentuan Pasal 67 Ayat 1; “Pidana tambahan dimaksudkan untuk menambahkan pidana pokok yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Pidana tambahan harus dicantumkan secara jelas dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan, sehingga hakim dapat mempertimbangkan untuk dikenakan terhadap terpidana”. Kalimat “pidana tambahan harus dicantumkan secara jelas dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan” merupakan ketentuan “yang berlawanan” dengan “dalam putusan hakim dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk KEBIJAKAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DILENGKAPI DENGAN BAHAN KAJIAN PERBANDINGAN 230 KEBIJAKAN PERUMUSAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DALAM HUKUM POSITIF YANG AKAN DATANG 2011 melaksanakan pembayaran ganti kerugian” Pasal 99 ayat 1. Artinya kalau didasarkan pada ketentuan Pasal 99 ayat 1 hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan “pembayaran ganti kerugian” meskipun pidana tambahan tersebut tidak tercantum secara eksplisit dalam rumusan pasal, sedang “penjelasan” ketentuan Pasal 67 ayat 1 juga merupakan landasan bagi hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan “pembayaran ganti kerugian” apabila ketentuan tersebut dicantumkan secara jelas dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Sebenarnya ada ketentuan yang dapat dipakai sebagai acuan untuk mengatasi sesuatu yang tidak sinkron tersebut yakni rumusan ketentuan Pasal 67 ayat 3; “Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana ”. Dalam penjelasan dikemukakan; begitu pula pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat, hakim bebas untuk mempertimbangkan apakah akan menjatuhkan KEBIJAKAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DILENGKAPI DENGAN BAHAN KAJIAN PERBANDINGAN 231 KEBIJAKAN PERUMUSAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DALAM HUKUM POSITIF YANG AKAN DATANG 2011 pidana tambahan ini, meskipun tidak tercantum sebagai ancaman dalam rumusan tindak pidana. Pemenuhan kewajiban adat yang dijatuhkan oleh hakim diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat yang terganggu karena dilakukannya suatu tindak pidana. Jadi pertimbangan penjatuhannya diserahkan pada hakim. Untuk pidana tambahan jenis ini tidak ditentukan terhadap tindak pidana apa dapat dijatuhkan. Status “pembayaran ganti kerugian” dengan “pemenuhan kewajiban adat” adalah sama-sama sebagai “pidana tambahan”, sehingga sangat mungkin dirumuskan dalam satu 1 ketentuan “pedoman pemberian pidana” bagi keduanya. Contoh rumusannya; 1. “Pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat setempat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana”. 2. “Pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan KEBIJAKAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DILENGKAPI DENGAN BAHAN KAJIAN PERBANDINGAN 232 KEBIJAKAN PERUMUSAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DALAM HUKUM POSITIF YANG AKAN DATANG 2011 kewajiban adat setempat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi hanya dapat dijatuhkan jika tercantum dalam perumusan tindak pidana”. c. Ketentuan Pasal 100 ayat 3; “Kewajiban adat setempat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dianggap sebanding dengan pidana denda Kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana”. Ketentuan di atas tidak dijumpai penjelasannya, namun menarik untuk dianalisis jika dikembalikan kepada ide dasarnya. Ide dasar kebijakan formulasi “pidana denda pengganti” berorientasi pada pelaku, sedang ide dasar kebijakan formulasi “pemenuhan kewajiban adat” berorientasi pada korban. Oleh karena itu ketentuan Pasal 100 ayat 4; “Pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat juga berupa pidana ganti kerugian” dapat KEBIJAKAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DILENGKAPI DENGAN BAHAN KAJIAN PERBANDINGAN 233 KEBIJAKAN PERUMUSAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DALAM HUKUM POSITIF YANG AKAN DATANG 2011 dijadikan acuan untuk kebijakan “reformulasi” ketentuan Pasal 100 ayat 3, sehingga rumusan baru nanti dapat berbunyi; “Kewajiban adat setempat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dianggap sebanding dengan pidana ganti kerugian, jika kewajiban adat setempat danatau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana”. Kebijakan “reformulasi” terhadap ketentuan Pasal 100 ayat 3 ini wajar dikemukakan, karena ada “sinkronisasi orientasi” antara “pemenuhan kewajiban adat dengan pengganti kerugian” yaitu “pemenuhan kepentingan korban”.

d. Ketentuan Pasal 101 ayat 2; “Tindakan yang