Posisi Korban dalam prosedur

KEBIJAKAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DILENGKAPI DENGAN BAHAN KAJIAN PERBANDINGAN 168 KEBIJAKAN PERUMUSAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DALAM HUKUM POSITIF SAAT INI 2011 tidak akan terulangnya pencemaran danatau perusakan; danatau tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Ketentuan semacam ini mirip dengan tindakan berupa “perbaikan akibat tindak pidana”. Dari uraian terhadap ketiga ketentuan perundang-undangan di atas, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa “penyelesaian sengketa di luar pengadilan” hakikatnya merupakan “kesepakatan” antara para pihak yang bersengketa dengan materi; pertama bentuk dan besarnya ganti rugi, kedua tujuan disepakatinya pilihan sarana penyelesaian ketiga dilibatkannya jasa pihak ketiga dalam upaya penyelesaian sengketa dan keempat dimungkinkannya sarana penyelesaian sengketa yaitu; mediasi, negosiasi dan arbitrase atau atau pilihan lain dari pihak yang bersengketa dan kelima tindakan pemulihan akibat pencemaran danatau perusakan.

b. Posisi Korban dalam prosedur

Pemahaman terhadap upaya penyelesaian sengketa dari uraian di atas dapat digunakan untuk menjelaskan “posisi korban” di dalamnya. Bahwa tujuan utama upaya penyelesaian sengketa adalah KEBIJAKAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DILENGKAPI DENGAN BAHAN KAJIAN PERBANDINGAN 169 KEBIJAKAN PERUMUSAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DALAM HUKUM POSITIF SAAT INI 2011 “perlindungan korban” dengan memposisikan pelaku tindak pidana dengan korban dalam level yang sama. Tujuan tersebut tercapai ketika ditetapkan lembaga “penyelesaian sengketa di luar pengadilan” dalam ketentuan perundang-undangan dan kebijakan demikian itulah yang mencerminkan “upaya perlindungan korban”. Posisi korban kejahatan dapat dijelaskan melalui tulisan ilmiah berikut ini tentang “Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita” oleh Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom. Dalam “Sinopsis” dijelaskan bahwa perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945, sebagai landasan KEBIJAKAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DILENGKAPI DENGAN BAHAN KAJIAN PERBANDINGAN 170 KEBIJAKAN PERUMUSAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DALAM HUKUM POSITIF SAAT INI 2011 konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar. Melalui penelusuran berbagai literatur, baik nasional maupun internasional, penulis mencoba untuk melihat bagaimana seharusnya korban kejahatan memperoleh perlindungan hukum serta bagaimana sistem hukum nasional selama ini mengatur perihal perlindungan kepada korban kejahatan. Dalam beberapa perundang-undang nasional permasalahan perlindungan korban kejahatan memang sudah diatur namun sifatnya masih parsial dan tidak berlaku secara umum untuk semua korban kejahatan. Tulisan tersebut tidak secara khusus mengulas upaya “penyelesaian sengketa di luar pengadilan”, sehingga wajar jika ulasan mengenai upaya perlindungan korban terkesan negatif, padahal “kesepakatan antara para pihak” dalam upaya tersebut adalah manifestasi “upaya perlindungan korban”. Kesepakatan antara para pihak dapat juga diartikan KEBIJAKAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DILENGKAPI DENGAN BAHAN KAJIAN PERBANDINGAN 171 KEBIJAKAN PERUMUSAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DALAM HUKUM POSITIF SAAT INI 2011 sebagai “model perlindungan ganda” yaitu perlindungan hukum bagi pelaku tindak pidana dengan perlindungan hukum bagi korban tindak pidana. Apakah ada makna lain dalam “kesepakatan” selain “kesetaraan” antara para pihak ? Kongres PBB Ke 12 tentang “Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana 12 th UN Congress on Crime Prevention and Criminal Justice 1 st Plenary Meeting AM; While most countries for which data were available showed stable or decreasing homicide trends in the last five years, homicide was on the rise in countries with significant levels of gang, drug and organized crime activity, he said, adding that organized crime had a direct, devastating impact on victims. UNDOC’s 2009 Global Report on Trafficking in Persons found that more than 21,400 victims of trafficking had been identified in 111 countries that reported victim data. Sebagian besar negara anggota mengungkap data pembunuhan cenderung stabil atau menurun dalam lima tahun terakhir, namun terjadi peningkatan tindak pidana pembunuhan yang tingkat signifikannya sama dengan geng, obat dan aktivitas kejahatan terorganisir, bahwa kejahatan terorganisir berdampak langsung pada korban. Laporan Global UNDOCs 2009 tentang Perdagangan Orang menemukan bahwa lebih dari 21.400 korban KEBIJAKAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DILENGKAPI DENGAN BAHAN KAJIAN PERBANDINGAN 172 KEBIJAKAN PERUMUSAN SISTEM PEMIDANAAN YANG BERORIENTASI PADA KORBAN DALAM HUKUM POSITIF SAAT INI 2011 perdagangan manusia telah diidentifikasi di 111 negara yang melaporkan data korban. Perhatian dunia terhadap persoalan korban kejahatan menjadi perhatian serius Kongres PBB ke 12, pertanyaannya bagaimana kebijakan perumusan sistem pemidanaan negara di dunia terhadap posisi korban yang seolah terabaikan ?

3. “Kebijakan Perumusan Perlindungan Korban Dalam Hukum Pelaksanaan Pidana”.