Pembangunan Berkelanjutan TINJAUAN PUSTAKA

pertumbuhan ekonomi itu sendiri bermasalah, karena sumberdaya alam bersifat terbatas. Pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai paradigma pembangunan yang diarahkan untuk tidak saja memenuhi kebutuhan generasi saat ini melainkan juga generasi masa mendatang. Menurut Munasinghe 1993 menawarkan konsep pembangunan yang seimbang antara tiga dimensi berkelanjutan yakni ekologi lingkungan, ekonomi dan sosial. Oleh karena itu tujuan pembangunan perikanan yang berkelanjutan memerlukan analisis multikriteria. Untuk mencapai tujuan tersebut tidak dapat diukur hanya dengan satu dimensi, diperlukan interaksi analisis tiga dimensi berkelanjutan, yakni masalah lingkungan, ekonomi dan sosial didalam proses pengambilan keputusan pembangunan. Salah satu aspek lingkungan yang saat ini banyak mendapat perhatian berbagai pihak adalah upaya mewujudkan perencanaan penggunaan lahan secara optimal yang dapat mendorong pencapaian tujuan pembangunan perdesaan secara berkelanjutan. Seperti telah dijelaskan di atas, dalam pembangunan berkelanjutan salah satu fokus utamanya adalah perhatian terhadap lingkungan, begitu pula dalam implementasi pembangunan berkelanjutan yang sangat sinergi dengan pengelolaan lingkungan. Adapun pengelolaan lingkungan ini didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup UU Nomor 23 Tahun 1997. Definisi pengelolaan lingkungan hidup ini cakupannya luas, karena meliputi upaya-upaya pelestarian lingkungan sekaligus juga mencegah berbagai hal yang mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan, khususnya melalui proses penataan lingkungan. Hal ini sesuai juga dengan pernyataan dalam Undang-undang No 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil bahwa yang dimaksud dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar pemerintah dan pemerintah daerah antara ekosistem darat dan laut serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada dasarnya kegiatan pertanian dalam arti luas, di dalamnya mencakup kegiatan perikanan dan kegiatan lain seperti peternakan, kehewanan, perkebunan dan kehutanan. Kegiatan ini sudah dilakukan di berbagai lokasi, bahkan tidak jarang kegiatan-kegiatan pertanian tersebut dilakukan secara terpadu. Dalam rangka mencapai kegiatan pertanian yang dapat berjalan secara kontinyu dan menguntungkan masyarakat, kita mengenal istilah pertanian berkelanjutan. Mengingat perikanan merupakan salah satu kegiatan dari pertanian secara umum, maka seperti halnya pada pertanian berkelanjutan, pada dunia perikananpun kita mengenal istilah perikanan berkelanjutan. Pada dasarnya perikanan berkelanjutan merupakan kegiatan perikanan yang melibatkan pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia bersamaan dengan upaya mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan mengkonservasi sumberdaya alam. Seperti halnya dengan istilah minapolitan yang merupakan pengembangan dari agropolitan, maka istilah perikanan berkelanjutan ini juga berasal dari pengembangan pertanian berkelanjutan. Sejalan dengan definisi tersebut, maka secara lebih luas pembangunan perikanan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai upaya pengelolaan dan konservasi sumberdaya perikanan lahan, air dan sumberdaya genetik melalui orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan sedemikian rupa sehingga menjamin tercapainya kebutuhan yang diperlukan secara berkesinambungan baik dari waktu ke waktu maupun dari generasi ke generasi. Menurut Pranadji 2004 kebijakan pembangunan pertanian termasuk di dalamnya perikanan, dinilai tepat jika mampu memposisikan pertanian dan perikanan sebagai penggerak utama kemajuan ekonomi perdesaan yang berdaya saing tinggi, berkeadilan dan berkelanjutan. Mengingat di beberapa lokasi cukup banyak pembangunan wilayah perdesaan dengan komoditi perikanan dan perikanan merupakan sumber protein yang murah, maka pembangunan perikanan di perdesaan perlu dikembangkan. Pembangunan perikanan berkelanjutan merupakan suatu usaha dalam pemenuhan kebutuhan akan hasil-hasil perikanan secara bijak untuk generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Berpegang pada program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan; maka basis pembangunan saat ini adalah pembangunan perdesaan. Oleh karena itu, pembangunan perdesaan pada daerah-daerah sentra produksi perlu lebih dimantapkan agar tumbuh dan berkembang sentra-sentra pertumbuhan ekonomi baru yang lebih kuat, mengingat fungsi daerah perdesaan sangat penting, terutama dalam hal: 1. Penyedia bahan pangan untuk penduduk termasuk penduduk di perkotaan; 2. Menyerap tenaga kerja untuk pembangunan; 3. Penyedia bahan baku untuk industri; 4. Penghasil komoditi untuk ekspor. Sangat disayangkan pembangunan perdesaan hingga saat ini masih dirasakan adanya ketimpangan pembangunan, terutama jika dibandingkan dengan pembangunan yang terjadi di perkotaan. Bahkan perbedaan pembangunan antara perdesaan dan perkotaan tersebut terasa cukup mencolok. Kondisi ini secara empiris terlihat dari interaksi antara keduanya yang memperlihatkan hubungan yang saling memperlemah. Kondisi ini terjadi karena berkembangnya kota sebagai pusat-pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan efek penetesan ke bawah trickle down effect. Dalam kondisi seperti tersebut di atas, tidak akan terjadi pertukaran sumberdaya yang saling menguntungkan sesuai dengan harapan berbagai pihak dalam rangka mewujudkan keberlanjutan pembangunan dalam jangka panjang. Oleh karena itu maka terjadi pengurasan sumberdaya dari wilayah perdesaan backwash effect. Adanya ketidak berimbangan hubungan antar wilayah perdesaan dan perkotaan ini pada akhirnya mengakibatkan terjadinya berbagai permasalahan di kedua belah pihak. Padahal seharusnya antara wilayah perdesaan dan perkotaan terjadi interaksi secara mutualisma. Dalam hal ini yang seharusnya terjadi adalah adanya barter produk antara keduanya, misalnya hasil industri dan jasa di perkotaan dijual ke perdesaan dan hasil-hasil pertanian dan pengolahan sumberdaya alam di perdesaan dijual ke kota. Mengingat adanya ketimpangan tersebut, kiranya wilayah perdesaan harus selalu diupayakan agar dapat melakukan pembangunan secara mandiri. Salah satu upaya untuk mewujudkan kemandirian pembangunan perdesaan adalah dengan pengolahan potensi wilayah perdesaan itu sendiri, dimana ketergantungan dengan perekonomian kota dapat diminimalkan. Untuk itu maka pendekatan agropolitan merupakan upaya pemecahan masalah dalam aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan. Namun khusus untuk wilayah perdesaan yang mempunyai potensi untuk dikembangkan perikanannya, maka pendekatan yang dilakukan adalah agropolitas berbasis komoditi ikan yang dikenal dengan sebutan minapolitan. Minapolitan menjadi relevan dengan wilayah perdesaan yang mempunyai potensi perikanan. Hal ini disebabkan pada umumnya sektor perikanan dan pengelolaan sumberdaya alam merupakan mata pencaharian utama dari sebagian besar masyarakat perdesaan terutama di daerah yang mempunyai potensi perikanan yang cukup tinggi seperti halnya dengan Kabupaten Kepulauan Anambas. Pada pendekatan agropolitan menggambarkan bahwa pengembangan atau pembangunan perdesaan rural development secara beriringan dapat dilakukan dengan pembangunan wilayah perkotaan urban development pada tingkat lokal Friedman dan Douglas, 1976. Kondisi yang sama juga terjadi pada pendekatan minapolitan, dalam hal ini minapolitan merupakan pembangunan perdesaan menjadi perkotaan pada tingkat lokal. Pembangunan kawasan perdesaan merupakan hal yang sangat mutlak dibutuhkan, mengingat sumberdaya alam di kawasan perdesaan sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai alat pendorong pembangunan. Oleh karenanya, maka pengembangan seperti halnya pada kawasan minapolitan akan menjadi sangat penting dalam konteks pengembangan wilayah, mengingat: 1. Kawasan dan sektor yang dikembangkan sesuai dengan keunikan lokal; 2. Pengembangan kawasan minapolitan dapat meningkatkan pemerataan, mengingat sektor yang dipilih merupakan basis aktifitas masyarakat; 3. Keberlanjutan dari pengembangan kawasan dan sektor menjadi lebih pasti mengingat sektor yang dipilih mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif dibandingkan dengan sektor lainnya. Menurut Dahuri 2011b, seiring dengan perubahan lingkungan strategis suatu daerah kabupatenkota atau provinsi agar maju dan sejahtera harus mampu merancang dan mengelola pembangunan daerahnya, sehingga daerah tersebut memiliki daya saing yang tinggi, menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dan mensejahterakan seluruh rakyat secara adil dan berkelanjutan. Lebih lanjut Rustiadi, dkk 2011 mengatakan bahwa daerah harus memiliki strategi pengembangan wilayah baru yang mencakup dua sisi, yakni : 1. Strategi demand side Strategi “demand side” adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa-jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan lokal. Tujuan pengembangan wilayah secara umum adalah untuk meningkatkan taraf hidup penduduk. Contoh program transmigrasi. 2. Strategi supply side Strategi supply-side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi keluar. Tujuan penggunaan strategi ini adalah untuk meningkatkan pasokan dari komoditi yang pada umumnya diproses dari sumberdaya alam lokal. Contoh program penambangan dan HPH.

2.4 Pembangunan Kepulauan dan Pesisir

Menurut Kusumastanto 2003, bahwa perspektif ekonomi regional, wilayah pesisir dan laut memiliki pilar-pilar penting untuk menjadi kekuatan dalam pembangunan wilayah yang berbasiskan kekuatan ekonomi lokal. Kekuatan-kekuatan tersebut adalah : 1 natural resources advantages dan inperfect factor mobility. Artinya di wilayah pesisir terdapat konsentrasi keunggulan wilayah yang tidak dimiliki oleh wilayah lain, seperti sumberdaya alam, kultur dan adanya keterkaitan masyarakat dengan sumberdaya; 2 economic of concentration atau imperfect diversibility. Artinya secara spasial kegiatan usaha berdasarkan skala ekonomi, umumnya terjadi pengelompokan industri sejenis cluster of industry, jika tidak masuk skala ekonomi, kegiatan ini akan keluar cluster yang ada; dan 3 mobilitas adalah pengorbanan. Artinya setiap pergerakan barang dan jasa memerlukan biaya transpotasi dan komunikasi. Sehingga kebijakan pembangunan wilayah pesisir dan laut diarahkan pada upaya untuk meminimalkan jarak dan memaksimumkan akses. Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan bagian dari sumberdaya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memiliki keragaman potensi sumberdaya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional. Yang dimaksud dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 mendefinisikan “wilayah pesisir ” adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km 2 , beserta kesatuan ekosistemnya. Sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan. Sumberdaya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain sedangkan sumberdaya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut, serta sumberdaya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di wilayah pesisir. Selanjutnya dikatakan lagi bahwa “perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 dua belas mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan la guna”. Dan dikatakan bahwa “kawasan adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. Selanjutnya “ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 dua belas mil laut diukur dari garis pantai”. Asas pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah: berasaskan keberlanjutan; konsistensi; keterpaduan; kepastian hukum; kemitraan; pemerataan; peran serta masyarakat; keterbukaan; desentralisasi; akuntabilitas; dan berasaskan keadilan. Adapun tujuan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil adalah: a melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan memperkaya sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan; b menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil; c memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan d meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan: a. antara pemerintah dan pemerintah daerah; b. antar pemerintah daerah; c. antar sektor; d. antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat; e. antara ekosistem darat dan ekosistem laut; dan f. antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen UU Nomor: 27 Tahun, 2007. Menurut Kusumastanto 2003 bahwa usaha perikanan sangat bergantung pada musim, harga dan pasar, maka sebagian besar karakter masyarakat pesisir khususnya nelayan dan petani tergantung pada faktor-faktor berikut : 1. Kondisi ekosistem dan lingkungan yang rentan pada kerusakan, khususnya pencemaran atau degradasi kualitas lingkungan. 2. Ketergantungan pada musim 3. Tergantung pada pasar. Lebih lanjut Kusumastanto 2003, mengatakan bahwa agar sektor kelautan menjadi sektor unggulan dalam perekonomian nasional, diperlukan kebijakan yang bersifat terintegrasi antar instansi pemerintah dan sektor pembangunan. Untuk mengarah pada keadaan semacam ini perlu sebuah kebijakan pembangunan kelautan ocean development policy sebagai bagian dari kebijakan kelautan ocean policy. Selanjutnya perumusan kebijakan kelautan melingkupi 3 tiga tingkatan: 1 tingkatan politis kebijakan; 2 tingkatan organisasiimplementasi institusi, aturan main; dan 3 tingkatan implementasi evaluasi, umpan balik. Elfindri dkk 2009, mengatakan bahwa manajemen pembangunan kepulauan sangat urgen bagi negara Indonesia, mengingat sekitar 17.000 pulau besar dan kecil terhampar dari Sabang sampai Merauke. Kawasan kepulauan memiliki ciri yang unik dengan keadaan geografis yang menarik. Dengan diketahui luas wilayah dan persoalan utama, maka akan lebih mudah ditentukan