sekolah. Berdasarkan kriteria tersebut, Tabel 22 halaman 55 menunjukkan, peserta PKH yang yang memenuhi persyaratan tersebut sebesar 57 persen dan 43 persen
lainnya tidak memenuhi persyaratan yang diajukan. Banyak peserta PKH yang tidak memenuhi persyaratan dikarenakan ketika
pendataan peserta menggunaan data penerima subsidi langsung tunai SLT pada program penanggulangan kemiskinan sebelumnya. Penggunaan data penerima
SLT dalam menjaring peserta PKH ini dirasa kurang tepat, karena banyak penerima SLT yang tidak tepat sasaran. Seperti yang diungkapkan oleh pihak
kesra Desa Petir, Bapak Tni 41 tahun, “pendataan dilakukan sama pihak BPS yang menggunakan data
penerima SLT, padahal data penerima SLT banyak yang tidak tepat sasarannya”
6.3 Koordinasi Perencanaan dan Pelaksanaan Program PKH
Faktor internal lainnya yang mempengaruhi kinerja PKH yaitu koordinasi perencanaan dan pelaksanaan program PKH. Koordinasi ini melibatkan banyak
pihak, mulai dari tingkat pusat, kabupatenkota, kecamatan, desa, lembaga pelayan pendidikan dan kesehatan, PT. Pos Indonesia bahkan sampai dengan
pihak RT dimana PKH akan dilaksanakan. Pada penelitian ini, hanya akan difokuskan pada koordinasi di tingkat Kecamatan Dramaga, Desa Petir, RT
diwilayah Desa Petir, seluruh lembaga pelayanan pendidikan dan kesehatan di Desa Petir, dan Kantor Pos Dramaga.
Hubungan antara koordinasi perencanaan dan pelaksanaan program PKH dengan kinerja PKH memiliki hubungan yang negatif. Hal tersebut dapat dilihat
pada Tabel 33, bahwa persentase tertinggi berada pada koordinasi perencanaan dan pelaksanaan program PKH yang rendah namun memilki kecenderungan
kinerja yang sedang.
Tabel 33 Persentase Koordinasi Perencanaan dan Pelaksanaan Berdasarkan Kinerja PKH dan Koordinasi Perencanaan dan Pelaksanaan PKH
Koordinasi perencanaan dan pelaksanaan PKH
Kinerja PKH Rendah Sedang Tinggi Total
Rendah 6.38 68.09 25.53 100.00
Sedang 0.00 0.00 0.00 0.00
Tinggi 0.00 0.00 0.00 0.00
Pada pelaksanaan program PKH, koordinasi dengan aparat setempat, baik di tingkat kecamatan, desa, dan ketua RT tidak berjalan dengan baik. Begitu pun
koordinasi dengan lembaga pemberi pelayanan pendidikan dan kesehatan. Untuk pendataan peserta PKH, baik pihak kecamatan, desa, maupun RT setempat tidak
dilibatkan secara langsung. Namun mereka hanya mengetahui saja bahwa ada warganya yang mendapatkan bantuan PKH.
Semua pendataan dilakukan oleh pihak BPS tanpa melibatkan aparat setempat. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satu pihak Kecamatan Dramaga,
Ibu Yyh 42 tahun, bahwa pihak kecamatan hanya menerima laporan data penerima bantuan PKH. Bahkan petugas Desa Petir tidak menerima laporan
tertulis mengenai data penerima PKH seperti yang diungkapkan oleh Kepala Divisi Kesejahteraan Desa Petir, Bapak Tni 41 tahun,
“saya ga tau siapa aja warga saya yang menerima PKH, ga ada laporan tertulis yang saya terima mengenai data penerima PKH”
Sedangkan ketua RT dilibatkan pada pendataan PKH hanya sebatas menunjukkan alamat warga yang menjadi calon penerima bantuan PKH seperti
yang diungkapkan oleh Bapak Art 55 tahun, salah satu ketua RT di Desa Petir, “iya a, saya mah hanya nunjukkin rumah dari warga saya aja waktu
pendataan, saya ga dilibatkan lebih jauh, terbuktikan ada warga saya yang layak dapet, tapi ga dapet, malah yang ga layak dapet jadi dapet”
Akibatnya, ketepatan peserta PKH yang memenuhi persyaratan 14 kriteria kemiskinan dan memenuhi persyaratan lainnya seperti harus memiliki ibu hamil,
ibu nifas, balita dan atau anak usia sekolah, hanya mencapai 57 persen seperti yang ditampilkan pada Tabel 22 halaman 55.
Koordinasi yang tidak baik dengan lembaga pelayanan kesehatan mempengaruhi kunjungan peserta PKH ke puskesmas. Salah satu akibat lemahnya
koordinasi diantara pendamping PKH dengan puskesmas tidak dibentuknya jadwal kunjungan peserta PKH ke puskesmas. Berdasarkan Tabel 25 halaman 56,
walaupun tidak adanya jadwal kunjungan ke puskesmas, namun peserta PKH yang berkunjung ke puskesmas setiap bulan, khususnya yang memiliki balita
mencapai 72 persen, selain itu 17 persen tidak melakukan kunjungan secara rutin, dan sisanya tidak pernah berkunjung ke puskesmas untuk mengecek kesehatan
balitanya. Rutinitas kunjungan ke puskesmas ini pun mempengaruhi imunisasi yang diterima balita peserta PKH.
Koordinasi yang tidak baik pun dirasakan antara lembaga pelayanan pendidikan dan pendamping PKH. Tidak adanya sosialisasi menjadi permasalahan
yang dirasakan oleh pihak lembaga pelayanan pendidikan, dalam hal ini sekolah- sekolah yang berada di Desa Petir. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh
Bapak Sfd 43 tahun, salah satu staf guru MTS di Desa Petir, “tidak ada sosialisai terlebih dahulu terkait PKH, tiba-tiba kami
mendapatkan form verifikasi dari kator pos untuk kami isi setiap tiga bulan sekali, setelah itu akan diambil kembali oleh pihak pos”
Koordinasi yang tidak baik antara lembaga pelayanan pendidikan dan pendamping PKH, mempengaruhi jumlah anak peserta PKH usia sekolah yang
terdaftar dilembaga pelayanan pendidikan. Berdasarkan Tabel 23 halaman 55, terdapat 76 persen anak peserta PKH yang memiliki usia sekolah sudah terdaftar
di lembaga pelayanan pendidikan, namun hanya 5 persen dari total anak peserta PKH yang terdaftar di sekolah dikarenakan adanya PKH dan sisanya anak peserta
sudah terdaftar di sekolah sebelum PKH dilaksanakan. Koordinasi yang tidak baik ini tidak mempengaruhi persentase kehadiran anak peserta PKH yang bersekolah.
Berdasarkan Tabel 24 halaman 56, anak peserta PKH yang bersekolah memiliki persentase kehadiran minimal 85 persen setiap bulannya mencapai 88 persen.
6.4 Kondisi Tempat Pelaksanaan PKH dengan Kinerja PKH