Alat dan Bahan Kesimpulan Saran

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian

Penelitian mengenai ”Aplikasi Asap Cair dalam Pembuatan Fillet Belut Asap dengan Kombinasi Bumbu” dilakukan pada bulan Agustus 2009– Januari 2010 yang bertempat di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan, Laboratorium Sensori, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, dan Laboratorium Kimia Pangan Departemen Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain oven, pisau, talenan, baskom, timbangan. Alat untuk analisis antara lain cawan porselen, gelas ukur, tabung reaksi, erlenmeyer, timbangan analitik, pipet, buret, desikator, soxhlet, kjeldahl sistem, penjepit dan mortar. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain belut yang berasal dari pasar Cikarang. Belut yang didapatkan tersebut masih dalam keadaan hidup. Sebelum belut diolah, belut tersebut dimasukkan dalam bak besar dan airnya diganti setiap 2 jam agar tetap bersih. Bahan yang digunakan selanjutnya adalah asap cair komersil “Deogreen” yang didapatkan dari agen asap cair Jakarta. Bahan lainnya yaitu jahe, asam, cengkeh, kayu manis dan es didapatkan dari Agrilestari, kawasan kampus IPB. Bahan-bahan kimia yang diperlukan untuk analisis antara lain K 2 SO 4 , HgO, NaOH, H 3 BO 3 , H 2 SO 4 pekat, akuades, HCl, NaCl.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama.

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Penelitian tahap pertama atau penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi garam yang paling disukai oleh panelis. Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut: belut yang masih hidup dimatikan terlebih dahulu dengan menggunakan garam. Garam dimasukkan ke dalam bak yang berisi belut. Penaburan garam tersebut berlangsung selama 15-30 menit. Konsentrasi garam yang digunakan adalah sebesar 3 , berdasarkan bb Rusiana 1988. Belut yang telah mati dipreparasi dengan membuang isi perutnya dan menggosokkan abu gosok untuk menghilangkan lendir. Setelah isi perut dan lendir dihilangkan, belut dicuci sampai bersih. Daging belut dipisahkan dari tulangnya, dan dilanjutkan dengan perendaman dalam larutan garam wet salting. Penggaraman ini dilakukan berdasarkan bv dengan berat fillet yang digunakan yaitu 300 gram dan konsentrasi garam yang berbeda-beda yaitu 0 , 3 , 6 dan 9 . Penggunaan konsentrasi garam ini ditentukan berdasarkan bentuk fillet yang digunakan, karena pada penelitian tentang belut asap utuh yang memiliki ukuran lebih besar membutuhkan konsentrasi garam sebesar 10 Febriani 2006. Rentang konsentrasi garam sebesar 0 sampai 9 digunakan sebagai uji coba trial and error untuk dapat menghasilkan rasa ikan asap yang dapat disukai oleh panelis. Selain itu, batas konsentrasi garam yang tidak terlalu tinggi ini bertujuan untuk mengurangi dampak negatif terhadap kesehatan Opstvedt 1988. Penggaraman dilakukan selama 15 menit. Setelah dilakukan penggaraman, daging belut tersebut ditiriskan selama 10 menit. Selanjutnya daging tersebut direndam dalam asap cair selama 30 menit dan ditiriskan selama 10 menit. Proses selanjutnya, daging belut tersebut dioven dengan suhu 100 o C selama 40 menit. Penggunaan suhu dan waktu pengovenan berdasarkan trial and error yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu dengan waktu 30 menit, 40 menit dan 60 menit. Pengovenan dengan suhu 100 o C selama 40 menit menghasilkan produk asap dengan tekstur yang lebih baik, yaitu teksturnya tidak terlalu keras dan juga tidak terlalu lembek. Setelah warna dari fillet belut berubah menjadi cokelat keemasan, fillet belut asap tersebut diuji secara sensori. Uji sensori ini dilakukan untuk menentukan rasa dari konsentrasi garam yang paling disukai oleh panelis. Pengujian sensori yang dilakukan menggunakan uji skala hedonik dengan menggunakan skala 1 sampai 9 dan panelis semi terlatih yang berjumlah 30 orang. Proses penelitian pendahuluan yang merupakan modifikasi dari penelitian Febriani 2006 dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Diagram alir tahap awal, proses pembuatan fillet belut asap Penaburan garam 3 bb untuk mematikan belut Pengovenan 100 o C selama 40 menit Fillet belut asap Penirisan selama 10 menit Perendaman dalam asap cair 5 , vv selama 30 menit Belut Perendaman dalam larutan garam 0 , 3 , 6 , 9 ; bv selama 15 menit Penirisan selama 10 menit Pengujian sensori Pemotongan fillet Pencucian Penghilangan isi perut dan lendir Pencucian

3.3.2 Penelitian utama

Penelitian utama dilakukan dengan menggunakan produk dengan kpnsentrasi garam terpilih berdasarkan pilihan panelis pada penelitian pendahuluan. Produk terpilih tersebut selanjutnya diberi perlakuan bumbu yang dicampur dengan perlakuan asap cair. Konsentrasi asap cair yang digunakan adalah sebesar 0 , 6 dan 12 vv, rentang konsentrasi ini berdasarkan penelitian Febriani 2006 yang menghasilkan belut asap utuh dengan konsentrasi di atas 10 . Kombinasi bumbu yang ditambahkan terdiri dari kombinasi asam dan jahe, cengkeh dan kayu manis bv. Kombinasi bumbu tersebut dipilih karena kedua kombinasi bumbu dapat mengurangi kandungan histamin pada ikan kembung asap Mahendrata dan Tawali 2006, akan tetapi belum diketahui bagaimana pengaruhnya terhadap kandungan nutrisi ikan asap. Selain itu, dengan penambahan bumbu pada bahan pangan dapat mengurangi laju pertumbuhan mikroba Rahayu 1999. Konsentrasi bumbu yang digunakan berdasarkan pada trial and error kombinasi asam jawa dan jahe, kombinasi cengkeh dan kayu manis. Dari trial and error didapatkan kombinasi bumbu dengan konsentrasi terpilih yaitu konsentrasi cengkeh 4 dan kayu manis 3,2 , asam jawa 5 dan jahe 4 . Produk tersebut merupakan produk belut asap dengan rasa asin yang gurih dan tidak pahit. Formulasi bumbu yang digunakan pada trial and error dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Formulasi bumbu No Kombinasi bumbu 1 Kombinasi bumbu 2 Cengkeh Kayu manis Jahe Asam jawa 1 2 1,60 2 2,50 2 4 3,20 4 5 3 6 4,80 6 7,50 Dari penelitian utama ini akan menghasilkan fillet belut asap sebagai produk yang paling disukai oleh panelis. Selanjutnya produk tersebut diuji secara kimia dan dibandingkan dengan kontrol tidak diberi perlakuan asap dan bumbu. Diagram alir pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan fillet belut asap pada penelitian utama

3.4 Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari uji sensori, proksimat, mikrobiologi, kadar garam dan kadar abu tak larut asam.

3.4.1 Uji sensori Soekarto 1985

Penentuan bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur dan nilai gizinya disamping faktor lain secara mikrobiologis. Uji sensori yang dilakukan adalah uji sensori skala hedonik yang mencakup aspek kesukaan terhadap penampakan, tekstur, aroma dan rasa. Pengujian sensori menggunakan uji skala hedonik dengan menggunakan skala 1 sampai 9 dan panelis semi terlatih yang berjumlah 30 orang. Analisis data sensori menggunakan statistik non parametrik dengan menggunakan uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison. Langkah- langkah metode Kruskal Wallis adalah sebagai berikut: a. Meranking data dari yang terkecil hingga terbesar untuk seluruh perlakuan dalam satu parameter. b. Menghitung total ranking untuk setiap perlakuan dan rata-ratanya dengan menggunakan rumus: Fillet belut asap Perendaman dalam asap cair 0 , 6 , 12 ; vv selama 30 menit Pengovenan 100 o C selama 40 menit Fillet belut dengan konsentrasi garam terpilih + kombinasi bumbu asam jawa 5 dan jahe 4 , cengkeh 4 dan kayu manis 3,2 Pengujian sensori, Proksimat, TPC, Kadar garam, Kadar abu tak Penirisan selama 10 menit H=         2 i n Ri 1 nn 12 - 3 n+1 H’ = Pembagi H Pembagi = 1 - 1n n 1 - n T   dengan T = t - 1 t + 1 Keterangan : n = jumlah data n i = banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i R i 2 = jumlah ranking dalam perlakuan ke-0 T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H’ = H terkoreksi H = simpangan baku t = banyaknya pengamatan yang seri Jika hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata, selanjutnya dilakukan uji Multiple Comparison dengan rumus sebagai berikut: R i - R j Z α2p 6 1 n k  Keterangan : R i = rata-rata ranking perlakuan ke-i R j = rata-rata ranking perlakuan ke-j k = banyaknya ulangan n = jumlah total data

3.4.2 Uji proksimat

Uji proksimat yang dilakukan meliputi penentuan kadar protein, air, lemak, abu dan kadar karbohidrat by difference.

3.4.2.1 Kadar air AOAC 2007

Cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu dalam oven selama 15 menit atau sampai berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 2 gram ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven selama 3–4 jam pada suhu 105 o C sampai 110 o C. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air berat basah dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Keterangan: B = Berat sampel gram B1 = Berat sampel + cawan sebelum dikeringkan B2 = Berat sampel + cawan setelah dikeringkan

3.4.2.2 Kadar protein AOAC 2007

Analisis kadar protein dilakukan dengan metode kjeldahl mikro. Sampel sebanyak 0.1 gram dimasukkan ke dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan K 2 SO 4 1.9 gram, HgO 40 mg, H 2 SO 4 2.5 ml serta beberapa tablet kjeldahl. Sampel dididihkan sampai berwarna jernih; didinginkan dan dipindahkan ke alat destilasi. Lalu dibilas dengan air sebanyak 5–6 kali dengan akuades 20 ml dan air bilasan tersebut juga dimasukkan dibawah kondensor dengan ujung kondensor terendam didalamnya. Ke dalam tabung reaksi ditambahkan larutan NaOH 40 sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung kondensor ditampung dengan erlenmeyer 125 ml berisi larutan H 3 BO 3 dan 3 tetes indikator campuran metil merah 0.2 dalam alkohol dan metilen blue 0.2 dalam alkohol dengan perbandingan 2:1 yang ada dibawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang bercampur Kadar air = 100 2 1 X B B dengan H 3 BO 3 dan indikator dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan menggunakan HCl 0.1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Kadar protein dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

3.4.2.3 Kadar lemak AOAC 2007

Sampel sebanyak 0.5 gram ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring dan diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet yang dipasang diatas kondensor serta labu lemak dibawahnya. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak. Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 o C selama 5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan rumus: Kadar N = sampel mg 100 x 14,007 x HCl N x blanko ml - HCl ml Kadar protein = N x faktor konversi 6,25 Lemak = berat lemak x 100 berat sampel Berat lemak = berat labu + lemak – berat labu

3.4.2.4 Kadar abu AOAC 2007

Kadar abu ditentukan dengan prosedur yaitu, sebanyak 4 gram sampel basah ditempatkan dalam wadah porselin dimasukkan dalam oven dengan suhu 60 o C sampai 105 o C selama 8 jam. Kemudian sampel yang sudah kering dibakar menggunakan hotplate sampai tidak berasap selama ± 20 menit. Kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600 o C selama 3 jam lalu ditimbang. Rumus Kadar Abu : Kadar Abu Total = berat abu x 100 berat sampel kering

3.4.2.5 Kadar karbohidrat AOAC 2007

Analisis karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100 dengan kadar air,kadar abu, kadar protein dan kadar lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini dikarenakan karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Analisis karbohidrat dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

3.4.3 Uji mikrobiologi Total Plate Count Fardiaz 1989

Pada metode hitungan cawan, bahan pangan yang diperkirakan mengandung 300 sel jasad renik per ml atau per cm jika pengambilan sampel dilakukan di permukaan, memerlukan perlakuan pengenceran sebelum ditambahkan pada medium agar di dalam cawan petri. Pengenceran biasanya dilakukan secara desimal yaitu 1:10, 1:100, 1:1000 dan seterusnya, atau 1:100, 1:10000, 1:1000000 dan seterusnya. Larutan yang digunakan untuk pengenceran dapat berupa larutan buffer fosfat 0.85 NaCl atau larutan Ringer. Pemupukan dilakukan dengan metode tuang. Jenis media yang digunakan adalah Plate Count Agar PCA. Sebelum melakukan uji, dilakukan persiapan alat -alat dan bahan yang digunakan untuk analisis. Semua alat dan bahan yang digunakan disterilisasi terlebih dahulu. Sejumlah contoh 1 ml dari pengenceran yang dikehendaki dimasukkan kedalam cawan petri, kemudian ditambah Kadar karbohidrat = 100 - kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein agar cair steril yang telah didinginkan 47–50 o C sebanyak 15–20 ml dan digoyangkan supaya contoh menyebar rata. Setelah padat, cawan petri disimpan dengan posisi terbalik di dalam incubator bersuhu 37 o C selama 24–48 jam. Jumlah koloni dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Keterangan: fp = Faktor pengenceran Data yang dilaporkan sebagai Standard Plate Count SPC harus mengikuti syarat-syarat sebagai berikut: a Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka, yaitu angka pertama dan kedua. Jika angka ketiga sama dengan atau lebih besar dari lima, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi dari angka kedua. b Jika semua pengenceran yang dubuat untuk pemupukan menghasilkan kurang dari 30 koloni pada cawan petri, hanya koloni pada pengenceran terendah yang dihitung, hasilnya dilaporkan sebagai kurang dari 30 dikalikan dengan faktor pengencer, tetapi jumlah yang sebenarnya harus dicantumkan. c Jika semua pengenceran yang dibuat untuk pemupukan menghasilkan lebih dari 300 koloni, hanya jumlah koloni pada pengenceran tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai lebih dari 300 dikalikan dengan faktor pengencer. d Jika cawan dari dua tingkat pengenceran menghasilkan koloni dengan jumlah antara 30-300, dimana perbandingan antara junlah koloni tertinggi dan terendah dari kedua pengenceran tersebut lebih dari satu atau sama dengan dua,maka tentukan rata-rata dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan pengencerannya. Jika perbandingan antara nilai tertinggi dan nilai terendah lebih besardari dua,maka yang dilaporkan hanya hasil nilai terkecil. e Jika digunakan dua cawan petri duplo pengenceran, data yang diambil harus dari kedua cawan tersebut. Koloni per ml atau per gram = fp 1

3.4.4 Kadar garam Apriyantono et. al 1989

Pengukuran kandungan garam menggunakan analisis cepat metode Modifikasi Mohr dengan cara kerja sebagai berikut : 1. Sampel sebanyak 5 gram ditimbang dan diabukan seperti pada cara penetapan abu. 2. Abu yang diperoleh dicuci dengan akuades sedikit mungkin dan dipindahkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. 3. Kemudian ditambahkan 1 ml larutan potasium kromat 5 dan dititrasi dengan larutan perak nitrat 0.1 M dan titik akhir titrasi tercapai apabila timbul warna oranyejingga yang pertama. Perhitungan : Garam NaCl : T x M x 5.84 W Keterangan : T = titer M = Molaritas perak nitrat W = Berat sampel

3.4.5 Kadar abu tak larut asam Apriyantono et. al 1989

Pengukuran kadar abu tak larut asam dilakukan dengan cara menetapkan kadar abu total yang dilarutkan dalam 25 ml HCl 10 dan dididihkan selama 5 menit. Larutan tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman bebas abu dan dicuci dengan air suling sampai bebas dari klorida dengan menggunakan indikator AgNO 3 . Selanjutnya kertas saring dikeringkan dalam oven. Abu yang telah didapatkan dari pengeringan, diabukan kembali dalam tanur dengan menggunakan cawan porselen. Setelah itu, cawan porselen tersebut didinginkan dalam desikator dan ditimbang beratnya. Rumus Kadar Abu Tak Larut Asam: Kadar Abu Total = berat abu x 100 berat sampel awal 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui konsentrasi garam terpilih yang ditentukan melalui uji sensori. Konsentrasi garam yang diberikan terdiri dari empat taraf, yaitu 0 , 3 , 6 , dan 9 . Uji ini dilakukan untuk mengetahui penilaian yang lebih spesifik dari para panelis. Uji sensori yang dilakukan adalah uji sensori skala hedonik yang mencakup aspek kesukaan terhadap penampakan, warna, tekstur, aroma dan rasa. Pengujian sensori menggunakan uji skoring menggunakan skala 1 sampai 9 dan panelis yang berjumlah 30 orang.

4.1.1 Penampakan

Penampakan adalah parameter pertama yang dinilai panelis dalam mengonsumsi suatu produk pangan. Bila kesan penampakan baik maka panelis baru melihat karakteristik lainnya seperti aroma, rasa dan tekstur. Penilaian yang diberikan panelis bersifat subjektif secara visual Soekarto 1985. Hasil dari uji sensori yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 4. 4,40 a 4,90 ab 5,33 a b 5,70 a 1 2 3 4 5 6 3 6 9 K on se n tra si g a ra m N il a i ra ta -r a ta s e n s o ri p e n a m p a k a n Gambar 4. Diagram batang nilai rata-rata sensori penampakan fillet belut asap Dari Gambar 4 tersebut dapat dilihat bahwa pemberian konsentrasi garam dengan kisaran 0 sampai 9 memberikan pengaruh yang nyata terhadap rata-rata nilai sensori penampakan fillet belut asap Lampiran 4. Nilai rata-rata sensori penampakan fillet belut asap dari konsentrasi pemberian garam yang paling kecil sampai besar adalah 4,40; 4,90; 5,33 dan 5,70. Fillet belut asap dengan konsentrasi garam 9 memiliki nilai rata-rata sensori tertinggi yaitu sebesar 5,70 yang berarti produk dianggap mempunyai penampakan yang lebih baik dibandingkan fillet belut asap dengan konsentrasi garam lainnya Lampiran 5b. Nilai rata-rata sensori terendah dimiliki oleh fillet belut asap kontrol, yaitu tanpa pemberian garam. Fillet belut asap yang tidak diberi perlakuan garam akan lebih terlihat berbeda. Pada dasarnya dengan pemberian garam tersebut maka akan terjadi pengeluaran cairan dari dalam tubuh ikan sehingga terjadi perubahan sifat daging ikan Afrianto dan Liviawaty 1989. Konsentrasi garam yang lebih tinggi menyebabkan tingkat penetrasi garam ke dalam tubuh ikan menjadi lebih cepat. Dengan begitu, air yang ditarik keluar dari dalam tubuh juga akan semakin besar dan daging ikan akan lebih mengkerut. Pada fillet belut asap kontrol, tidak terjadi penarikan air dari dalam produk yang dihasilkan sehingga daging fillet belut asap terlihat tidak padat dan kompak. Penampakan tersebut sangat berbeda dengan produk yang telah direndam dari larutan garam. Produk fillet belut asap yang mendapat perlakuan garam memiliki penampakan yang terlihat lebih padat.

4.1.2 Warna

Warna merupakan salah satu penentu mutu bahan makanan. Biasanya warna yang lebih cerah dan menarik akan lebih disukai oleh konsumen dibandingkan dengan warna yang kusam. Hasil pengujian sensori terhadap warna fillet belut asap dapat dilihat pada Gambar 5. 5,43 a 5,2 a 5,6 a 4,9 a 4,4 4,6 4,8 5 5,2 5,4 5,6 5,8 3 6 9 K o n se n tra si g a ra m N il a i ra ta -r a ta s e n s o ri w a rn a Gambar 5. Diagram batang nilai rata-rata sensori warna fillet belut asap Gambar 5 menunjukkan nilai rata-rata sensori fillet belut asap dengan menggunakan konsentrasi garam yang berbeda-beda. Fillet belut asap tanpa perlakuan konsentrasi garam memiliki rata-rata nilai sensori terkecil, yaitu sebesar 4,93. Dengan nilai rata-ratanya yang paling kecil dibandingkan dengan produk yang lain, maka fillet belut asap kontrol ini tidak terlalu disukai oleh panelis. Sedangkan nilai rata-rata sensori terbesar dimiliki oleh fillet belut asap dengan pemberian garam 3 sebesar 5,60 yang berarti produk lebih diminati oleh panelis. Uji Kruskal-Wallis yang dilakukan menunjukkan bahwa perlakuan perbedaan konsentrasi garam yang diberikan tidak memberikan hasil yang berbeda nyata, dengan nilai P 0,05 terhadap parameter warna Lampiran 4. Rentang konsentrasi sebanyak 3 tidak menimbulkan perbedaan yang nyata terhadap produk. Penggunaan rentang konsentrasi yang lebih besar diperlukan untuk mengetahui perbedaan konsentrasi terhadap kesukaan panelis terhadap produk. Selain itu, warna dari produk juga lebih dipengaruhi oleh kemurnian garam yang digunakan. Warna dari keseluruhan produk yang dihasilkan adalah cokelat yang berasal dari pengovenan yang dilakukan.

4.1.3 Aroma

Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi garam memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata P 0,05 terhadap nilai rata-rata sensori penampakan fillet belut asap Lampiran 4. Dengan hasil tersebut dapat dilihat bahwa garam sama sekali tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap fillet belut asap. Perbedaan konsentrasi garam yang diberikan tidak menghasilkan aroma yang beragam karena garam pada dasarnya lebih berperan sebagai penambah rasa dan daya pengawet Afrianto dan Liviawaty 1989. Nilai rata-rata sensori terhadap aroma dari tiap pemberian konsentrasi garam yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 6. 5,87 a 5,77 a 5,5 a 5,07 a 4,6 4,8 5 5,2 5,4 5,6 5,8 6 3 6 9 K onse n tra si g a ra m N il a i ra ta -r a ta s e n s o ri a ro m a Gambar 6. Diagram batang nilai rata-rata sensori aroma fillet belut asap Berdasarkan dari diagram batang tersebut, dapat dilihat bahwa produk dengan perlakuan asap lebih disukai karena dengan pemberian asap akan menghasilkan produk dengan aroma yang lebih khas Moeljanto 1982. Karena konsentrasi asap yang digunakan pada penelitian pendahuluan ini adalah sama, maka aroma yang dihasilkan juga sama.

4.1.4 Tekstur

Pada umumnya tekstur bahan pangan yang disukai oleh panelis adalah bahan pangan dengan tekstur yang empuk dan tidak terlalu keras. Hasil dari uji sensori fillet belut asap menunjukkan bahwa pemberian garam dengan konsentrasi yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap produk P 0,05 Lampiran 4. Nilai rata-rata dari uji sensori yang dilakukan dapat dilihat dengan lebih jelas pada Gambar 7. 7,07 b 6,5 bc 6,2 b 4,63 a 1 2 3 4 5 6 7 8 3 6 9 K onse ntra si g a ra m N il a i ra ta -r a ta s e n s o ri t e k s tu r Gambar 7. Diagram batang nilai rata-rata sensori tekstur fillet belut asap Nilai rata-rata uji sensori fillet belut asap dengan pemberian konsentrasi garam yang berbeda-beda secara berturut-turut adalah sebesar 4,63; 6,20; 6,50 dan 7,07. Penggaraman menyebabkan daging ikan menjadi lebih kompak, karena garam menarik air dan menggumpalkan protein dalam daging ikan Afrianto dan Liviawaty 1989. Oleh karena itulah, pemberian garam dengan konsentrasi 9 lebih disukai oleh panelis. Pada fillet belut asap kontrol, tidak terjadi penarikan air dari dalam produk sehingga menghasilkan produk dengan tekstur yang rapuh. Tekstur tersebut sangat berbeda dengan produk yang telah direndam dari larutan garam. Produk fillet belut asap yang mendapat perlakuan garam memiliki tekstur yang lebih kompak dan padat.

4.1.5 Rasa

Rasa termasuk dalam parameter yang sangat menentukan bagi panelis dalam menilai suatu produk. Rasa ini diukur dengan menggunakan indera pengecap Soekarto 1985. Berdasarkan dari uji sensori yang dilakukan oleh 30 panelis, maka dapat dilihat perbedaan permberian konsentrasi garam pada fillet belut asap memberikan pengaruh yang nyata terhadap rasa P 0,05 Lampiran 4. Uji lanjut Tukey dilakukan untuk mengetahui perbedaan yang diberikan terhadap rasa, dan hasilnya dapat dilihat pada Gambar 8. 5,97 c 5,90 c 5,33 ab 4,57 a 1 2 3 4 5 6 7 3 6 9 K onse ntra si g a ra m N il a i ra ta -r a ta s e n s o ri r a s a Gambar 8. Diagram batang nilai rata-rata sensori rasa fillet belut asap Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa fillet belut asap dengan konsentrasi yang lebih tinggi kisaran 0 sampai 9 akan lebih disukai oleh panelis. Nilai yang didapat dari pemberian konsentrasi garam 3 adalah sebesar 5,33. Nilai tersebut berbeda nyata P 0,05 dengan fillet belut asap konsentrasi garam 0 yang memiliki nilai sebesar 4,57 Lampiran 5b. Dari hasil tersebut bisa dilihat bahwa garam sangat berperan dalam cita rasa Afrianto dan Liviawaty 1989. Fillet belut asap tanpa perlakuan garam kurang disukai oleh panelis, karena tanpa pemberian garam maka fillet belut asap yang dihasilkan rasanya hambar. Hal tersebut sangat berbeda dengan fillet belut asap dengan perlakuan garam. Fillet belut asap dengan konsentrasi garam 3 dan 6 masih kurang disukai oleh panelis, karena rasa asinnya dirasakan kurang oleh panelis. Sedangkan fillet belut asap dengan konsentrasi garam 9 dianggap memiliki rasa asin yang sesuai dengan tingkat keasinan yang sesuai lidah, sehingga lebih disukai oleh panelis.

4.2 Penelitian Utama

Penelitian utama merupakan lanjutan dari penelitian pendahuluan. Penelitian utama terdiri dari uji sensori, uji proksimat,uji kadar garam dan uji kadar abu tak larut asam. Pada penelitian utama ini menggunakan konsentrasi garam terpilih pada penelitian pendahuluan yaitu sebesar 9 dan bumbu yang dihasilkan pada trial and error yaitu konsentrasi cengkeh 4 dan kayu manis 3,2 , asam jawa 5 dan jahe 4 .

4.2.1 Uji sensori

Uji sensori yang dilakukan pada penelitian utama ini bertujuan untuk mendapatkan produk kombinasi asap dan bumbu terpilih berdasarkan panelis. Pengujian ini dilakukan oleh 30 orang panelis semi terlatih. Parameter yang dinilai terdiri dari penampakan, warna, aroma, tekstur dan rasa.

4.2.1.1 Penampakan

Nilai yang dihasilkan dari pengujian sensori parameter penampakan adalah berkisar antara 5,10-5,77. Nilai penampakan yang tertinggi dihasilkan oleh fillet belut asap dengan kombinasi bumbu jahe dan asam dan konsentrasi asap sebesar 6 , sedangkan nilai rata-rata terendah yaitu pada perlakuan bumbu cengkeh dan kayu manis tanpa perlakuan asap. Untuk lebih jelasnya, nilai rata- rata dari uji sensori terhadap penampakan dapat dilihat pada Gambar 9. 5,27 a 5,13 a 5,40 a 5,43 a 5,77 a 5,63 a 5,1 a 5,73 a 5,23 a 4,6 4,8 5 5,2 5,4 5,6 5,8 6 K A 6 A 12 K B 1 A 6B 1 A 12B 1 K B 2 A 6B 2 A 12B 2 P e rla kua n N il a i ra ta -r a ta s e n s o ri p e n a m p a k a n Gambar 9. Diagram batang nilai rata-rata sensori penampakan fillet belut asap Keterangan : K = kontrol tanpa pemberian bumbu dan asap A6 = konsentrasi asap 6 A12 = konsentrasi asap 12 KB1 = konsentrasi asap 0 , jahe 4 dan asam 5 A6B1 = konsentrasi asap 6 , jahe 4 dan asam 5 A12B1 = konsentrasi asap 12 , jahe 4 dan asam 5 KB2 = konsentrasi asap 0 , cengkeh 4 dan k. manis 3,2 A6B2 = konsentrasi asap 6 cengkeh 4 dan k. manis 3,2 A12B2 = konsentrasi asap 12 cengkeh 4 dan k. manis 3,2 Dari nilai rata-rata uji sensori tersebut dapat dilihat bahwa masing-masing nilai uji sensori yang didapat tidak memiliki rentang nilai yang jauh berbeda. Hal ini juga diperkuat dengan hasil uji Kruskal Wallis yang menunjukan bahwa kombinasi bumbu dengan asap cair memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap penampakan fillet belut asap Lampiran 8. Dengan begitu dapat juga dipastikan bahwa panelis memiliki tingkat penerimaan terhadap penampakan cenderung sama. Tidak terlalu besarnya rentang konsentrasi asap yang digunakan, serta lama pengovenan yang sama di semua perlakuan diasumsikan dapat menyebabkan seluruh penampakan dari fillet belut asap memiliki penampakan yang hampir sama. Hasil ini juga diperkuat dengan penelitian tentang belut asap bahwa perbedaan konsentrasi 5 dan 10 dan waktu pengovenan yang sama menghasilkan rentang nilai uji sensori yang tidak jauh berbeda Febriani 2006. Penampakan produk yang dihasilkan terlihat bersih sampai berwarna cokelat dan kusam.

4.2.1.2 Warna

Warna ikan yang telah mengalami pengasapan berwarna kekuningan keemasan atau agak cokelat. Warna tersebut berasal dari komponen asap yang melekat pada produk dan membentuk lapisan damar tiruan yang menghasilkan warna cokelat dan menarik. Semakin besar konsentrasi asap cair yang digunakan maka warna pada ikan asap akan semakin cokelat Sari 2004. Pada penelitian yang dilakukan ini, perlakuan kombinasi bumbu dan konsentrasi asap tidak memberikan pengaruh yang nyata P 0.05 Lampiran 8. Hal ini membuktikan bahwa panelis memberikan penilaian pada fillet belut asap dengan tingkat penerimaan terhadap warna yang cenderung sama. Nilai rata-rata dari uji sensori fillet belut asap terhadap warna dapat dilihat pada Gambar 10. 5,63 a 5,37 a 5,7 a 5,57 a 5,43 a 4,30 a 5,00 a 5,53 a 5,57 a 4,6 4,8 5 5,2 5,4 5,6 5,8 K A 6 A 12 K B 1 A 6B 1 A 12B 1 K B 2 A 6B 2 A 12B 2 P e rla kua n N il a i ra ta -r a ta s e n s o ri w a rn a Gambar 10. Diagram batang nilai rata-rata sensori warna fillet belut asap Keterangan : K = kontrol tanpa pemberian bumbu dan asap A6 = konsentrasi asap 6 A12 = konsentrasi asap 12 KB1 = konsentrasi asap 0 , jahe 4 dan asam 5 A6B1 = konsentrasi asap 6 , jahe 4 dan asam 5 A12B1 = konsentrasi asap 12 , jahe 4 dan asam 5 KB2 = konsentrasi asap 0 , cengkeh 4 dan k. manis 3,2 A6B2 = konsentrasi asap 6 cengkeh 4 dan k. manis 3,2 A12B2 = konsentrasi asap 12 cengkeh 4 dan k. manis 3,2 Dari Gambar 10 dapat dilihat bahwa nilai sensori terendah dihasilkan oleh fillet belut asap dengan konsentrasi asap 6 tanpa pemberian bumbu, sedangkan nilai sensori tertinggi dihasilkan oleh produk dengan pemberian bumbu tanpa pemberian asap. Sama halnya dengan penampakan, perbedaan perlakuan yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna fillet belut asap P 0,05. Hal ini dapat disebabkan besarnya rentang konsentrasi asap yang digunakan, serta lama pengovenan yang sama di semua perlakuan dapat menyebabkan fillet belut asap memiliki warna kecokelatan sampai cokelat yang hampir sama, sehingga panelis juga memberikan nilai yang cenderung sama.

4.2.1.3 Aroma

Aroma lebih banyak dipengaruhi oleh indera penciuman. Aroma ini dikenal juga dengan pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya dari jarak jauh Soekarto 1985. Pengasapan memberikan makanan berprotein tinggi dengan komponen aromatiknya yang dapat memberikan flavor dan warna, berperan sebagai bakteriostatik dan antioksidan Horner 1992 dalam Hattula et al. 2001. Aroma yang terdapat pada ikan asap berasal dari komponen-komponen asap cair seperti syringol yang akan memberikan aroma khas ikan asap. Aroma yang dihasilkan dari kombinasi bumbu dengan konsentrasi asap menghasilkan pengaruh yang berbeda nyata Horner 1992 dalam Hattula et al. 2001. Hal tersebut dibuktikan dengan uji Kruskal Wallis yang menghasilkan nilai P 0,05 Lampiran 8. Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan A6B1 kombinasi konsentrasi asap 6 dengan bumbu memberikan nilai aroma tertinggi 6,0 Lampiran 9b. Nilai rata-rata dari uji sensori terhadap aroma dapat dilihat dari Gambar 11. 5,97 c 5,83 bc 4,83 a bc 5,67 a bc 6,00 c 5,40 abc 5,53 a bc 4,57 a 4,73 a b 1 2 3 4 5 6 7 K A 6 A 12 K B 1 A 6B 1 A 12B 1 K B 2 A 6B 2 A 12B 2 P e rla ku a n N il a i ra ta -r a ta s e n s o ri a ro m a Gambar 11. Diagram batang nilai rata-rata sensori aroma fillet belut asap Keterangan : K = kontrol tanpa pemberian bumbu dan asap A6 = konsentrasi asap 6 A12 = konsentrasi asap 12 KB1 = konsentrasi asap 0 , jahe 4 dan asam 5 A6B1 = konsentrasi asap 6 , jahe 4 dan asam 5 A12B1 = konsentrasi asap 12 , jahe 4 dan asam 5 KB2 = konsentrasi asap 0 , cengkeh 4 dan k. manis 3,2 A6B2 = konsentrasi asap 6 cengkeh 4 dan k. manis 3,2 A12B2 = konsentrasi asap 12 cengkeh 4 dan k. manis 3,2 Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa terdapat penilaian yang berbeda antara kontrol tanpa pemberian asap dengan perlakuan lainnya yang diberikan konsentrasi asap. Hal ini dapat disimpulkan bahwa panelis lebih menyukai produk dengan aroma asap, baik itu dengan konsentrasi asap 6 ataupun 12 . Selain itu, panelis memberikan nila sensori yang lebih tinggi pada produk dengan penambahan bumbu dibandingkan dengan produk yang tidak diberikan perlakuan bumbu. Dengan pemberian bumbu tersebut dapat meningkatkan aroma pada produk Rahayu 1999.

4.2.1.4 Tekstur

Penginderaan tentang tekstur biasanya berasal dari sentuhan yang dapat ditangkap oleh seluruh permukaan kulit ujung jari tangan. Rangsangan sentuhan dapat berasal dari bermacam-macam rangsangan mekanik, fisik, dan kimiawi. Dari rangsangan-rangsangan itu dihasilkan kesan ”rasa” rabaan sensation. Kesan itulah yang dapat menggambarkan tekstur suatu produk Soekarto 1985. Nilai rata-rata dari uji sensori yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 12. 5,43 a 5,53 a 5,33 a 5,53 a 5,87 a 5,60 a 5,57 a 5,23 a 5,17 a 4,8 5 5,2 5,4 5,6 5,8 6 K A 6 A 12 K B 1 A 6B 1 A 12B 1 K B 2 A 6B 2 A 12B 2 P e rla kua n N il a i ra ta -r a ta s e n s o ri t e k s tu r Gambar 12. Diagram batang nilai rata-rata sensori tekstur fillet belut asap Keterangan : K = kontrol tanpa pemberian bumbu dan asap A6 = konsentrasi asap 6 A12 = konsentrasi asap 12 KB1 = konsentrasi asap 0 , jahe 4 dan asam 5 A6B1 = konsentrasi asap 6 , jahe 4 dan asam 5 A12B1 = konsentrasi asap 12 , jahe 4 dan asam 5 KB2 = konsentrasi asap 0 , cengkeh 4 dan k. manis 3,2 A6B2 = konsentrasi asap 6 cengkeh 4 dan k. manis 3,2 A12B2 = konsentrasi asap 12 cengkeh 4 dan k. manis 3,2 Dari Gambar 12 tersebut dapat dilihat bahwa panelis memberikan nilai sensori yang hampir sama untuk semua perlakuan terhadap produk. Hal ini diasumsikan bahwa perbedaan pemberian konsentrasi asap dengan pemberian bumbu tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap tekstur P 0,05 Lampiran 8. Jumlah kandungan fenol dan karbonil pada asap cair dapat menentukan tekstur dari ikan asap yang dihasilkan Martinez et al 2005. Asap cair yang digunakan berasal dari asap cair komersil yang sama sehingga tekstur yang dihasilkan cenderung sama.

4.2.1.5 Rasa

Rasa merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan keputusan akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Rasa berbeda dengan bau dan lebih melibatkan indera pengecap lidah. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain Fachruddin 1997. Nilai rata-rata uji sensori dapat dilihat lebih lengkap pada Gambar 13. 5,83 a b 5,60 a b 5,23 a b 5,90 a b 6,23 a b 5,07 a b 4,93 a 5,40 a b 5,60 ab 1 2 3 4 5 6 7 K A 6 A 12 K B 1 A 6B 1 A 12B 1 K B 2 A 6B 2 A 12B 2 P e rla kua n N il a i ra ta -r a ta s e n s o ri r a s a Gambar 13. Diagram batang nilai rata-rata sensori rasa fillet belut asap Keterangan : K = kontrol tanpa pemberian bumbu dan asap A6 = konsentrasi asap 6 A12 = konsentrasi asap 12 KB1 = konsentrasi asap 0 , jahe 4 dan asam 5 A6B1 = konsentrasi asap 6 , jahe 4 dan asam 5 A12B1 = konsentrasi asap 12 , jahe 4 dan asam 5 KB2 = konsentrasi asap 0 , cengkeh 4 dan k. manis 3,2 A6B2 = konsentrasi asap 6 cengkeh 4 dan k. manis 3,2 A12B2 = konsentrasi asap 12 cengkeh 4 dan k. manis 3,2 Hasil uji sensori terhadap rasa fillet belut asap diperoleh nilai rata-rata kesukaan berkisar antara 4,93 agak tidak suka sampai 5,83 agak suka, yang masing-masing dihasilkan dari kombinasi perlakuan A6 pemberian asap konsentrasi 6 tanpa bumbu dan A6B1 kombinasi asap konsentrasi 6 dengan penambahan jahe dan asam. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap rasa fillet belut asap menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap rasa Lampiran 8. Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan A6B1 konsentrasi asap 6 dengan jahe dan asam menghasilkan nilai rasa tertinggi, dan tertinggi kedua dihasilkan oleh kombinasi perlakuan A12B1 konsentrasi asap 12 dengan jahe dan asam Lampiran 9b. Perbedaan rasa dari produk yang dihasilkan dapat disebabkan oleh pemberian asap dengan konsentrasi yang berbeda, karena pemberian asap cair tersebut digunakan untuk memberikan cita rasa yang khas pada ikan asap. Rasa yang khas pada ikan asap berasal dari kombinasi komponen asap cair, yaitu senyawa fenol dan karbonil. Selain itu, dengan kombinasi bumbu dan asap yang dilakukan, dapat dilihat bahwa produk dengan pemberiam bumbu lebih disukai dibandingkan produk yang hanya diberikan asap cair. Pemberian bumbu atau rempah-rempah tersebut diharapkan dapat memberikan cita rasa dan juga dapat menyamarkan bau yang tidak diharapkan Rahayu 1999. Berdasarkan uji sensori yang dilakukan, 3 dari parameter yang diujikan adalah tidak berpengaruh nyata terhadap produk. Tiga dari parameter tersebut adalah warna, penampakan dan tekstur. Untuk rasa dan aroma, perlakuan yang diberikan pada penelitian utama ini adalah memberikan pengaruh yang nyata terhadap produk. Nilai rata-rata sensori tertinggi dari parameter aroma dan rasa adalah produk A6B1 konsentrasi asap 6 , jahe 4 dan asam 5 . Produk tersebut juga memiliki nilai rata-rata sensori tertinggi pada tekstur dan penampakan. Produk ini memiliki rasa dan aroma khas ikan asap, dengan rasa hangat yang berasal dari bumbu yang ditambahkan. Dengan nilai tersebut maka produk A6B1 merupakan produk yang paling disukai oleh panelis. Oleh karena itu, produk ini akan digunakan sebagai produk terpilih dan diuji lebih lanjut uji proksimat, uji kadar garam, uji kadar abu tak larut asam dan TPC.

4.2.2 Uji proksimat

Uji proksimat adalah analisis terhadap suatu bahan yang menyangkut kadar air, kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat. Uji ini dilakukan untuk mengetahui nilai gizi dari suatu bahan pangan Winarno et al. 1980.

4.2.2.1 Kadar air

Air merupakan komponen bahan pangan yang mempengaruhi sifat fisik, kimia dan biologis bahan pangan. Pada perubahan fisik bahan pangan, maka perubahan air akan mempengaruhi tekstur. Pada proses mikrobiologis, peranan air sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri. Pada proses kimiawi dalam bahan pangan, air sangat penting sebagai pelarut, reaktan dalam reaksi hidrolisis, sebagai reaksi produk kondensasi dan sebagai modifikator aktivitas katalisator dan inhibitor Winarno et al. 1980. Air juga sangat berpengaruh terhadap mutu bahan pangan. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa dalam pengolahan pangan air sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan atau pengentalan dan pengeringan. Pengeluaran air selain mengawetkan juga untuk mengurangi besar dan berat bahan pangan sehingga memudahkan dan menghemat pengepakan Winarno et al. 1980. Penghitungan kadar air pada berbagai perlakuan terhadap fillet belut asap dapat dilihat pada Gambar 14. 50, 25 26, 68 10 20 30 40 50 60 K A 6B 1 Perlakuan Ni lai ra ta- rat a k ad ar ai r Gambar 14. Diagram batang nilai kadar air fillet belut asap Nilai kadar air dari kontrol dan pelakuan secara berturut-turut adalah 50,25 dan 26,68 . Pengurangan kadar air dari kedua produk tersebut disebabkan oleh pengeringan dan pemberian kadar garam yang dilakukan. Berdasarkan dari diagram batang tersebut juga dapat dilihat bahwa kadar air yang terdapat pada kontrol memiliki nilai yang masih tinggi dibandingkan dengan produk terpilih. Perbedaan kadar air pada kedua produk ini dapat disebabkan dari perlakuan yang dilakukan. Pada produk terpilih dilakukan pengasapan dan juga pemberian bumbu. Penggunaan asap cair pada produk dapat menyebabkan keluarnya air dari daging ikan, karena tingkat keasaman asap cair yang dapat menyebabkan ketidaklarutan protein daging Gomez-Guillen et al. 2003 dalam Martinez et al. 2005. Tingkat keasaman ini semakin meningkat dengan adanya asam-asam organik yang berasal dari jahe dan asam jawa Winarno et al. 1980. Kombinasi perlakuan penggaraman, pemberian asap cair, pembumbuan dan pengovenan pada produk terpilih dapat bekerja secara sinergis menurunkan kadar air pada produk.

4.2.2.2 Kadar protein

Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh. Fungsi protein bagi tubuh selain sebagai bahan bakar juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur Winarno et al. 1980. Analisis protein yang terkandung dalam bahan pangan, umumnya lebih ditujukan pada kadar total protein daripada terhadap adanya protein spesifik dalam bahan pangan tersebut. Jumlah gram protein dalam bahan pangan biasanya dihitung sebagai hasil perkalian jumlah gram nitrogen dengan faktor 6,25, dan kadar protein yang dihitung dilaporkan sebagai kadar protein kasar crude protein. Nilai kadar protein pada produk terpilih memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Nilai terendah dihasilkan oleh kontrol yaitu sebesar 40,15 . Nilai kadar protein pada produk terpilih adalah sebesar 52,40 Perbedaan nilai kadar protein seluruh perlakuan dapat dilihat pada Gambar 15. 40,15 52,40 10 20 30 40 50 60 K A 6B 1 P erlakuan N il ai r at a- ra ta ka da r pr ot ei n Gambar 15. Diagram batang nilai kadar protein fillet belut asap Peningkatan kadar protein setelah mendapat perlakuan ini disebabkan karena adanya penurunan dalam kadar air. Kandungan pada bahan pangan terdiri dari lima komponen yaitu kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar abu dan kadar karbohidrat. Dengan adanya penurunan nilai dari salah satu komponen, maka akan diikuti oleh penaikan nilai komponen yang lain. Dengan penurunan kadar air, maka kadar protein dari produk dapat mengalami kenaikan. Semakin besar penurunan kadar air maka nilai kadar protein akan semakin meningkat. Kenaikan kadar protein pada produk terpilih juga dapat disebabkan oleh penambahan bumbu dan asap. Penambahan bumbu dan asap tersebut dapat meningkatkan tingkat keasaman sehingga produk akan menjadi lebih cepat kering atau matang. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, nilai protein terlarut mengalami kenaikan pada bagian-bagian tubuh ikan yang telah mengalami berbagai jenis perlakuan pengolahan. Produk yang lebih matang banyak mengalami peningkatan protein terlarut dibandingkan dengan produk yang kurang matang atau mentah. Hal ini diduga telah terjadi penggabungan diantara molekul- molekul protein yang terbentuk sebagai akibat formasi ikatan disulfida selama pemanasan Yowell dan Flarkey 1986. Percobaan yang dilakukan Yowell dan Flarkey telah membuktikan bahwa pemanasan yang dilakukannya menyebabkan penurunan total protein terlarut, khususnya protein yang mempunyai bobot molekul 47 kilodalton. Selain itu, pemanasan juga menyebabkan peningkatan 2 fraksi protein terlarut yang mempunyai bobot molekul lebih dari 100 dalton Yowell dan Flarkey 1986. Penelitian lain mengenai kadar asam amino juga telah membuktikan bahwa variasi tinggi-rendahnya kadar asam amino pada pengasapan ditentukan oleh kandungan asam amino dalam bahan, pengaruh suhu, lama pemanasan dan kondisi pengasapan terhadap kestabilan asam amino. Pada penelitian tersebut terdapat adanya kadar asam amino yang menurun dan juga meningkat. Salah satu kadar asam amino yang meningkat adalah asam amino glutamat. Penambahan kadar asam amino glutamat tersebut dapat mengindikasikan bahwa ikan teri asap memiliki cita rasa yang lebih baik Wahyuni 1999.

4.2.2.3 Kadar lemak

Seperti halnya karbohidrat dan protein, lemak merupakan sumber energi bagi tubuh. Berdasarkan uji kadar lemak, nilai kadar lemak pada kontrol adalah sebesar 3,09 . Produk terpilih yaitu produk dengan kombinasi asap konsentrasi 6 dan penambahan bumbu menghasilkan kadar lemak tertinggi yaitu sebesar 4,33 . Nilai-nilai dari kadar lemak tersebut dapat dilihat pada Gambar 16. 3,09 4,33 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 4,50 5,00 K A 6B 1 P e rla kua n N il ai r at a- ra ta ka da r l em ak Gambar 16. Diagram batang nilai kadar lemak fillet belut asap Kadar lemak produk terpilih dengan penambahan asap dan bumbu memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Lebih tingginya kadar lemak tersebut dapat disebabkan penambahan bumbu yang digunakan, yaitu asam jawa dan jahe. Peningkatan nilai kadar lemak ini juga dapat disebabkan oleh penurunan kadar air produk. Bahan pangan yang melalui proses pengeringan pada suhu tinggi dapat mengalami oksidasi lemak yang lebih besar daripada suhu rendah. Perlakuan pengasapan pada produk telah terbukti dapat mengurangi kerusakan lemak. Hal ini diduga karena adanya aktivitas antioksidan komponen asap efektif mencegah oksidasi udara terhadap lemak ikan, minyak ikan, serta lemak pada makanan yang diasap Cutting 1965 dikutip oleh Harris dan Karmas 1989 dalam Zakaria 1996. Komponen asam yang bersifat antioksidan antara lain fenol, seperti 2,6-dimetoksi fenol, 2,6-dimetoksi-4-aktil fenol dan 2,6-dimetoksi-4-etil fenol Pearson dan Tauber 1973 dalam Zakaria 1996. Asap cair dengan konsentrasi 0,2 – 5 pada produk terbukti memiliki kandungan antioksidan yang efektif Schwanke et al. 1996 dalam Coronado et al. 2002. Oksidasi lemak yang akan terjadi pada fillet belut asap dapat dihambat dengan zat antioksidan yang terdapat dalam bumbu. Zat antioksidan yang dikandung asam jawa tersebut adalah asam sitrat, asam tartrat, asam askorbat dan asam-asam organik lain kalium bitartat, pektin, dan tanin. Asam-asam organik yang terdapat dalam asam jawa ini akan dapat mengurangi penguraian lemak Winarno et al. 1981. Selain asam jawa, penambahan jahe juga diduga dapat menekan laju kerusakan lemak karena kandungan zat antioksidan yang terdapat pada jahe Zakaria 1996. Hal ini juga diperkuat oleh Stoilova et al. 2007 bahwa ekstrak jahe memiliki kemampuan antoksidan yang dapat dibandingkan dengan BHT dalam menghambat pembentukan peroksida lipid.

4.2.2.4 Kadar abu

Abu merupakan residu anorganik dari pembakaran bahan organik, sehingga jumlah abu dalam bahan makanan mencerminkan jumlah bahan organik yang terkandung di dalam bahan makanan dan sebagian besar komponen kimia pada bahan makanan terdiri dari abu dan air. Abu terdiri dari berbagai komponen mineral seperti K, P, Na, Mg, Ca, Fe, Mn dan Cu Winarno 1997. Hasil dari uji kadar abu yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 17. 2,11 5, 7 1 2 3 4 5 6 K A 6B 1 P e rl a kua n N il ai r at a- ra ta k ad ar a b u Gambar 17. Diagram batang nilai kadar abu fillet belut asap Kontrol tanpa perlakuan pengasapan dan bumbu memiliki kadar abu sebesar 2,11 . Nilai kadar abu ini meningkat pada belut dengan perlakuan pengolahan pengasapan, serta penambahan bumbu. Kadar abu pada produk terpilih memiliki nilai sebesar 5,7 . Perubahan nilai kadar abu tersebut dapat disebabkan oleh adanya penambahan bahan lain seperti bumbu. Perbedaan nilai kadar abu dapat juga disebabkan komposisi zat gizi ikan. Perbedaan komposisi tersebut disebabkan oleh spesies, umur, habitat, jenis kelamin dan waktu penangkapan Zaitsev et al. 1969.

4.2.2.5 Kadar karbohidrat

Kadar karbohidrat pada ikan atau bahan pangan hewani lainnya terdapat dalam jumlah yang tidak besar. Kadar karbohidrat yang lebih besar terdapat pada bahan pangan nabati Winarno et al. 1980. Nilai rata-rata dari kadar karbohidrat pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Gambar 18. 4,40 10,89 2 4 6 8 10 12 K A 6B 1 Perlakuan N il ai r at a- ra ta ka da r ka rbo hi dr at Gambar 18. Diagram batang nilai kadar karbohidrat fillet belut asap Kadar karbohidrat ini dihitung dengan metode by difference. Dari diagram batang nilai kadar karbohidrat di atas dapat dilihat bahwa adanya penambahan bahan aditif seperti rempah-rempah dan juga penambahan asap dapat meningkatkan nilai kadar karbohidrat pada produk. Nilai kadar karbohidrat pada kontrol adalah 4,40 , sedangkan pada produk terpilih adalah sebesar 10,89 . Penambahan kadar karbohidrat pada produk dengan penambahan bumbu disebabkan oleh kadar karbohidrat yang berasal dari jahe dan asam jawa.

4.2.3 Uji mikrobiologi Total Plate Count

Keberadaan mikroorganisme berperan dalam menentukan bahan pangan. Mutu mikrobiologis dalam suatu produk makanan ditentukan oleh jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat dalam bahan pangan. Mutu mikrobiologis ini akan menentukan ketahanan simpan dari produk tersebut ditinjau dari kerusakan oleh mikroorganisme dan keamanan produk dari mikroorganisme ditentukan oleh jumlah spesies patogenik yang terdapat dalam produk tersebut Buckle et al. 1987. Hasil uji mirobiologi TPC yang dilakukan menunjukan bahwa fillet belut asap dengan penambahan asap dan juga kombinasi bumbu dengan asap produk terpilih sesuai uji sensori memiliki jumlah bakteri yang rendah dibandingkan dengan kontrol Horner 1992 dalam Hattula et al. 2001. Jumlah bakteri paling kecil terdapat pada fillet belut asap dengan kombinasi bumbu dan asap cair sebesar 2,6 x 10 3 . Lebih lengkapnya, hasil uji Total Plate Count TPC dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil uji Total Plate Count TPC fillet belut asap kolonigr Kontrol A6B1 TPC 3,2 x 10 5 2,6 x 10 3 Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa dengan pengasapan yang yang dilakukan, jumlah bakteri pada produk berkurang. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kombinasi fenol dan formaldehid yang dapat membunuh bakteri. Selain itu kombinasi antara komponen fungsional fenol dan asam-asam organik yang bekerja secara sinergis mencegah dan mengontrol pertumbuhan mikroba. Proses pengovenan yang dilakukan juga berperan dalam menurunkan jumlah bakteri. Adanya fenol dengan titik didih tinggi dalam asap juga merupakan zat antibakteri yang tinggi Astuti 2000 dalam Prananta 2008. Pada penelitian lain pengasapan dengan asap cair juga telah terbukti memiliki kandungan antioksidatif dan antimikroba. Kandungan dari asap cair terdiri dari fenol, syringol, guaikol, katekol dan euganol propionat dan asam organik lain yang memiliki pH rendah dan dapat merusak dinding sel bakteri Pszczola 1995 dalam Coronado et al. 2002 Kombinasi asap dengan bumbu jelas memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap jumlah bakteri. Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah bakteri pada produk asap dengan bumbu memiliki jumlah bakteri yang terkecil, yaitu sebesar 2,6 x 10 3 . Hal ini dapat diasumsikan bahwa kombinasi komponen asam dan fenol dengan zat-zat antibakteri dapat menurunkan jumlah bakteri yang lebih besar.

4.2.4 Uji kadar garam

Kadar garam pada produk pangan termasuk dalam kandungan yang penting untuk diketahui. Penambahan garam pada produk bertujuan untuk memberikan rasa dan juga untuk bahan pengawet dengan konsentrasi garam yang lebih banyak. Akan tetapi, pemberian garam yang terlalu banyak dapat mengganggu kesehatan, seperti hipertensi Opstvedt 1988. Nilai kadar garam dari perlakuan yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 19. 4,36 0,96 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5 K A6B1 Perlakuan N il a i ra ta -r a ta k a d a r g a ra m Gambar 19. Diagram batang nilai kadar garam fillet belut asap Berdasarkan diagram batang tersebut, besarnya nilai kadar garam dari kontrol adalah 4,36 . Nilai tersebut melebihi nilai kadar garam dari produk dengan perlakuan asap dan bumbu. Perbedaan nilai tersebut diasumsikan berasal dari bahan aditif bumbu yang ditambahkan pada perlakuan. Pada kontrol yang hanya mendapat perlakuan garam akan lebih banyak mengandung kadar garam dibandingkan dengan penggunaan bumbu karena dalam 300 gram fillet belut hanya terdapat garam. Pada perlakuan dengan bumbu, garam yang digunakan akan bercampur dengan bumbu sehingga dalam 300 gram fillet belut terdapat garam, dan bumbu jahe dan asam jawa.

4.2.5 Uji kadar abu tak larut asam

Penentuan kadar abu tak larut asam ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya bahan pengotor pada produk. Apabila abu banyak mengandung abu jenis ini maka dapat di perkirakan proses pencucian bahan tidak sempurna ataupun terjadi kontaminasi dari tanah selama proses pengolahan bahan tersebut. Pada fillet belut asap ini diduga akan mengandung bahan pengotor, karena habitat belut merupakan perairan yang terdapat lumpur. Nilai dari kadar abu tak larut asam dapat dilihat pada Gambar 20. 0,29 0,28 0,27 0,28 0,28 0,28 0,28 0,28 0,29 0,29 0,29 0,29 K A 6B 1 P e rla kua n N il ai r at a- ra ta ka da r a bu t ak l ar ut a sa m Gambar 20. Diagram batang nilai kadar abu tak larut asam fillet belut asap Dari diagram batang tersebut dapat dilihat bahwa kontrol dengan perlakuan memiliki nilai kadar abu tak larut asam yang tidak berbeda nyata. Kadar abu tak larut asam ini banyak dipengaruhi oleh bahan pengotor pada bahan baku. Pada penelitian yang dilakukan, perlakuan pencucian pada bahan baku adalah sama. Jadi, nilai yang dihasilkan pada penentuan kadar abu tak larut asam ini tidak memiliki nilai yang berbeda. Kadar abu tak larut asam dari fillet belut asap ini masih berada pada batasan kadar abu tak larut asam ikan asap menurut SNI Lampiran 1. 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Konsentrasi garam terbaik yang dipilih oleh panelis adalah sebesar 9 yang memiliki tekstur yang agak kenyal, serta memiliki rasa asin yang sesuai tingkat keasinannya pada lidah. Fillet belut asap yang mendapat perlakuan asap dan bumbu cenderung lebih disukai panelis. Dari perlakuan kombinasi bumbu dan asap, fillet belut asap dengan perlakuan konsentrasi asap sebesar 6 dengan kombinasi jahe 4 , bv dan asam jawa 5 , bv merupakan produk yang paling disukai oleh panelis. Selain memiliki rasa dan aroma yang khas, fillet belut asap ini memiliki nilai gizi yang cukup tinggi seperti 52,40 untuk kadar protein, 4,33 kadar lemak, 5,70 kadar abu, dan 10,89 kadar karbohidrat.

5.2 Saran

Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui daya awet fillet belut asap dengan penyimpanan produk. Selain itu perlu juga dilakukan analisis komponen kimia asapnya. DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2007. Official Method of Analysis. 18 th ed. USA: Marylan. Afrianto E. dan Liviawaty E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius. Apriyantono A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Y. Sedarnawati dan S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Bogor: Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Anonim. 2009. Bududaya Belut Monopterus albus. [artikel] http:hobiikan.blogspot.com2009budidaya-belut.html. [20 Februari 2009]. Al Khayat M. A. dan G. Blank. 1985. Phenolic Spices Component Sporostatic to Bacillus subtilis. J. Food Sci. 504: 971-974. Ardhi D. 2009. Teliti Pemanfaatan Limbah sebagai Bahan Baku Asap Cair Ikan. [artikel]. www. jawapos.com. [20 Februari 2009]. Buckle K. A., R. A. Edward, G. H. Fleet, M. Woorton. 1985. Ilmu Pangan. Hari Purnomo dan Adino, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Food Science. Coronado S. A., Trout G. R., Dunshea F. R., Shah N. P. 2002. Effect of Dietary Vitamin E, Fishmeal and Word and Liquid Smoke on The Oxidative Stability of Bacon During 16 Weeks Frozen Storage. J. Meat Science.62: 51–60. Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1989. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bhratara. Fardiaz S. 1989. Petunjuk Laboratorium Mikrobiologi Pangan. Bogor: Pusat antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Direktorat Perguruan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Farell K. T. 1990. Spices, Condiment and Seasonings. The AVI Publishing Company Incf. Connecticut: Westport. Fachruddin L. 1997. Membuat Aneka Dendeng. Yogyakarta: Kanisius. Fauzan A. 2008. Kayu Manis. [artikel]. www.jamitra.comindex. [20 Oktober 2009]. Febriani R. A. 2006. Pengaruh Konsentrasi Larutan Asap Cair terhadap Mutu Belut Asap yang Disimpan pada Suhu Kamar. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hilderbrand KS Jr. 2003. Smoking Fish at Home Safely. A Pacific Northwest Extension Publication. Electr J Techno [online]. http:eesc.oregonstate.eduagcomwebfilePNW238.pdf. [30 Agustus 2009]. Hattula K. Elving, Mrouch, U. M., Luoma T. 2001. Use of Liquid Smoke Flavouring as an Alternative to Traditional Flue Gas Smoking of Rainbow Trout Fillets Oncorhynchus mykiss. J. Academic Press. 34: 521–525. Martinez O., Salmeron, Guillen M. D., Casas C. 2005. Textural and Physicochemical Changes in Salmon Salmo salar Treated with Commercial Liquid Smoke Flavourings. J. Food Chemistry. 100: 498–503. Moeljanto R. 1982. Pengasapan dan Fermentasi Ikan. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Moeljanto R. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Mahendrata M dan Tawali. 2006. Kombinasi Bumbu dan Asap Cair dalam Meminimalkan Pembentukan Histamin pada Ikan Kembung Perempuan Rastrelliger neglectus Asap. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 2006: Vol XVII No. 2. Ojeda M., Barcenas P., Perez-Elortondo F. J., Albisu M., Guillen M. D. 2002. Chemical References in Sensory Analysis of Smoke Flavourings. J. Food Chemistry 78: 433-442. Opstvedt J. 1988. Effects of Drying on Protein Quality dalam Fish Smoking and Drying. Edited by J. R. Burt. London: Elsevier Applied Science. Parry J. W. 1969. Spices, Morphology, Histology, Chemistry. Vol. II. New York: Chemical Publ. Co., Inc. Prananta J. 2008. Pemmanfaatan Sabut dan Tempurung Kelapa serta Cangkang Sawit untuk Pembuatan Asap Cair sebagai Pengawet Makanan Alami. http:word-to-pdf.abdio.com. [30 September 2008]. Peranginangin dan Yunizal. 1992. Pengolahan Belut dalam F. Cholik Ed.. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Perikanan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Rahayu W.P. 1999. Aktivitas Antimikroba Lengkuas. Prosiding Seminar Aspek Sosial Ekonomi-Budaya, Teknologi, Khasiat dan Keamanan Pangan Tradisional PKMT-UGM. 16 Maret 1999. [prosiding]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Rusiana. 1988. Pembuatan Dendeng Gepuk Belut dan Daya Terima Konsumen. [skripsi]. Tidak dipublikasikan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Stoilova I., Krastanov A., Stoyanova A., Denev P., Gargova S. 2007. Antioxidant activity of a ginger extract Zingiber officinale. J. Food Chemistry.102: 764 – 770. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. SIN 01-2725-1992. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Stansby M. E. 1963. Industrial Fish Technology. New York: Reinhold Publishing Corporotion. Soekarto S.T. 1985. Penilaian Sensori. Jakarta: Bharatara Karya Aksara. Sari DK. 2004. Pemanfaatan Asap Cair dengan Bahan Pengasap Kayu Jati pada Produk Lidah Asap. [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sarwono B. 2005. Budidaya Belut dan Sidat. Ed ke- 24. Jakarta: Penebar Swadaya. Suwignyo S. 1989. Avertebrata Air. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Lembaga Budaya Informasi. Wibowo S. 2002. Industri Pengasapan Ikan. Yogyakarta: Penebar Swadaya. Wahyuni S. 1999. Pengaruh Pengolahan Tradisional terhadap Mutu dan Nilai Gizi Ikan Teri Stolephonus Sp. Asap. [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Winarno F. G. 1981. The Nutritional Potential of Fermented Foods in Indonesia. Proceedings of a Technical Seminar Traditional Resources in ASCA Countries. Medan, 9 – 11 Februari. Winarno F.G. , S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Yowell K. dan W. H. Flurkey. 1986. Effect of Freezing and Microwave Heating on Proteins from Cod Fish Fillets: Analysis by SDS Polyacrilamide Gel Electrophoresis. J. Food Sci. 52 2: 508-509 Zakaria I. J. 1996. Mempelajari Mutu Ikan Bilih Asap Tradisional serta Pengaruh Bumbu dan Lama Pengasapan terhadap Perbaikan Mutu. [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Zaitsev V., L. Laguno, T. Makarova, D. Minder, V. Podsevalov. 1969. Fish Curing and Processing. Moscow: Mir Published. LAMPIRAN Lampiran 1. Standar Mutu ikan asap SNI 1992 Kriteria Satuan Persyaratan Organoleptik - min 7 Kapang - negatif TPC per gram maks. 100.000 Escherichia coli MPN gram maks. 3 Salmonella - negatif Vibrio cholera - negatif Staphylococcus aureus - 1000 Air b b maks. 70 Garam b b maks. 10 Abu tak larut asam b b maks. 1,5 Lampiran 2. Lembar penilaian uji sensori fiilet belut asap Nama Panelis :…………………………….. Tanggal :………………………. Keterangan: 9 = Sangat suka sekali 8 = Sangat suka 7 = Suka 6 = Agak suka 5 = Netral 4 = Agak tidak suka 3 = Tidak suka 2 = Sangat tidak suka 1 = Sangat tidak suka sekali Keterangan: JuMo = kontrol EPA = konsentrasi garam 3 FAR = konsentrasi garam 6 KPL = konsentrasi garam 9 Parameter KML PAI FHN MTS INO ARS APN EVA Penampakan Warna Aroma Tekstur Rasa Lampiran 3. Rekapitulasi data uji sensori pada penelitian pendahuluan Aroma Tekstur Rasa Penampakan Warna 7.0 4.0 7.0 5.0 4.0 2.0 2.0 3.0 7.0 6.0 7.0 3.0 7.0 6.0 6.0 6.0 5.0 6.0 7.0 5.0 7.0 5.0 4.0 4.0 9.0 5.0 4.0 5.0 3.0 4.0 5.0 7.0 5.0 6.0 4.0 6.0 7.0 3.0 5.0 2.0 7.0 7.0 7.0 6.0 4.0 4.0 4.0 4.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 2.0 6.0 4.0 3.0 4.0 5.0 7.0 5.0 2.0 3.0 4.0 4.0 7.0 3.0 7.0 6.0 3.0 4.0 6.0 4.0 2.0 7.0 6.0 6.0 6.0 6.0 5.0 6.0 6.0 6.0 6.0 6.0 5.0 5.0 5.0 3.0 7.0 6.0 4.0 6.0 6.0 4.0 4.0 3.0 7.0 4.0 5.0 2.0 3.0 7.0 6.0 4.0 7.0 8.0 6.0 5.0 4.0 5.0 6.0 4.0 6.0 5.0 6.0 5.0 7.0 6.0 4.0 7.0 4.0 5.0 4.0 2.0 6.0 4.0 6.0 5.0 3.0 8.0 5.0 5.0 6.0 5.0 8.0 6.0 4.0 3.0 5.0 7.0 3.0 7.0 5.0 4.0 8.0 3.0 4.0 3.0 7.0 7.0 4.0 7.0 5.0 3.0 9.0 7.0 4.0 3.0 4.0 6.0 6.0 6.0 3.0 4.0 2.0 9.0 7.0 6.0 6.0 4.0 7.0 4.0 4.0 3.0 4.0 6.0 2.0 7.0 2.0 3.0 6.0 3.0 6.0 3.0 3.0 4.0 7.0 4.0 7.0 7.0 7.0 5.0 5.0 5.0 2.0 7.0 4.0 7.0 3.0 5.0 7.0 2.0 3.0 5.0 3.0 4.0 3.0 6.0 3.0 5.0 7.0 7.0 6.0 5.0 3.0 6.0 4.0 7.0 3.0 8.0 6.0 6.0 7.0 8.0 8.0 3.0 3.0 7.0 7.0 6.0 6.0 2.0 8.0 4.0 5.0 7.0 3.0 8.0 3.0 3.0 6.0 6.0 4.0 2.0 5.0 6.0 6.0 3.0 4.0 5.0 7.0 4.0 7.0 3.0 4.0 6.0 5.0 7.0 6.0 6.0 6.0 4.0 6.0 4.0 6.0 7.0 3.0 4.0 6.0 6.0 8.0 3.0 4.0 4.0 4.0 6.0 8.0 3.0 6.0 6.0 6.0 6.0 7.0 5.0 7.0 7.0 5.0 7.0 7.0 3.0 6.0 4.0 6.0 3.0 7.0 6.0 4.0 8.0 4.0 5.0 7.0 8.0 6.0 4.0 5.0 6.0 7.0 7.0 7.0 4.0 7.0 5.0 2.0 5.0 4.0 7.0 7.0 7.0 6.0 6.0 6.0 4.0 6.0 2.0 7.0 7.0 4.0 7.0 3.0 6.0 8.0 7.0 4.0 4.0 7.0 7.0 6.0 4.0 6.0 4.0 7.0 5.0 7.0 5.0 4.0 6.0 4.0 6.0 5.0 7.0 6.0 6.0 5.0 6.0 6.0 6.0 7.0 7.0 7.0 4.0 6.0 4.0 3.0 6.0 6.0 6.0 6.0 5.0 3.0 7.0 7.0 7.0 4.0 6.0 6.0 8.0 7.0 6.0 5.0 7.0 5.0 8.0 7.0 5.0 7.0 8.0 6.0 4.0 7.0 6.0 7.0 7.0 7.0 6.0 7.0 6.0 6.0 4.0 8.0 8.0 6.0 7.0 5.0 5.0 7.0 4.0 4.0 2.0 7.0 7.0 6.0 6.0 3.0 6.0 6.0 7.0 3.0 6.0 7.0 6.0 6.0 7.0 6.0 3.0 7.0 6.0 7.0 7.0 6.0 6.0 5.0 4.0 5.0 4.0 5.0 6.0 5.0 4.0 5.0 3.0 8.0 7.0 7.0 3.0 6.0 8.0 6.0 3.0 8.0 6.0 7.0 1.0 4.0 6.0 8.0 8.0 7.0 5.0 3.0 5.0 7.0 7.0 6.0 5.0 5.0 9.0 9.0 8.0 4.0 7.0 7.0 3.0 4.0 9.0 4.0 7.0 8.0 6.0 3.0 2.0 7.0 3.0 7.0 4.0 5.0 7.0 7.0 5.0 7.0 7.0 7.0 5.0 7.0 5.0 5.0 6.0 6.0 6.0 5.0 5.0 7.0 7.0 3.0 8.0 5.0 9.0 6.0 5.0 7.0 6.0 6.0 4.0 7.0 6.0 4.0 7.0 7.0 3.0 9.0 7.0 7.0 4.0 7.0 7.0 7.0 8.0 6.0 6.0 6.0 9.0 6.0 4.0 6.0 5.0 3.0 8.0 7.0 4.0 5.0 8.0 6.0 3.0 5.0 4.0 3.0 8.0 6.0 4.0 6.0 6.0 6.0 7.0 6.0 4.0 5.0 6.0 7.0 5.0 7.0 6.0 7.0 3.0 6.0 6.0 3.0 7.0 8.0 7.0 8.0 7.0 7.0 6.0 4.0 3.0 3.0 4.0 7.0 4.0 2.0 4.0 9.0 9.0 6.0 5.0 7.0 9.0 7.0 3.0 8.0 7.0 5.0 7.0 6.0 5.0 6.0 8.0 8.0 8.0 9.0 Lampiran 4. Uji Kruskall-Wallis terhadap penampakan, tekstur, aroma dan rasa fillet belut asap dengan perlakuan perbedaan konsentrasi garam Ranks Kode N Mean Rank Aroma JuMo 30 65.47 EPA 30 50.57 FAR 30 66.85 KPL 30 59.12 Total 120 Tekstur JuMo 30 31.12 EPA 30 60.93 FAR 30 67.52 KPL 30 82.43 Total 120 Rasa JuMo 30 43.25 EPA 30 57.33 FAR 30 69.57 KPL 30 71.85 Total 120 Penampakan JuMo 30 46.63 EPA 30 57.07 FAR 30 66.87 KPL 30 71.43 Total 120 Warna JuMo 30 52.03 EPA 30 67.77 FAR 30 59.60 KPL 30 62.60 Total 120 Test Statistics

a,b