Kerangka Berpikir TINJAUAN TEORITIK
21
Kultur tersebut mendorong siswa bergantung pada orang lain, tidak adanya keahlian dalam penentuan tujuan, perencanaan, penjadwalan, serta
pengaturan pribadi. Pada
siswa yang
berasal dari
keluarga yang berdimensi
collectivism , maka minat siswa berwirausaha diduga kuat akan tinggi.
Keluarga dengan ciri collectivism bercirikan mempunyai demokratis dalam keluarga, kesetiaan kepada kelompok adalah sumber daya bersama,
kemampuan mengelola keuangan, upacara keagamaan tidak boleh dilupakan, perasaan bersalah jika melanggar peraturan, dan keluarga
menjadi tempat bersatunya anggota keluarga. Kultur tersebut mendorong siswa akan memiliki sikap dan cara mengatur keuangan, keinginan untuk
bertindak secara jujur, dan memiliki dorongan dan kemauan yang kuat. Sebaliknya siswa yang berasal dari keluarga dengan individualism
bercirikan adanya kecenderungan menyendiri dan cenderung memikirkan dirinya sendiri. Kultur tersebut mendorong siswa tidak adanya komunikasi
dan hubungan antar personal. Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang berdimensi
masculinity , maka minat siswa berwirausaha diduga kuat akan lebih tinggi.
Keluarga dengan masculinity yang bercirikan relasi anak dan orang tua ada jarak, perbedaan peran orang tua, dan pembelajaran bersama menjadi
rendah hati. Kultur tersebut mendorong siswa akan memiliki hubungan antar personal yang baik, memiliki sikap tanggung jawab individual, dan
kesiapan diri terhadap inovasi. Sebaliknya siswa yang berasal dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
keluarga dengan femininity bercirikan adanya peran wanita yang lebih rendah dari pria, dominasi penetapan aturan dalam keluarga dan hasrat
untuk kuat. Kultur tersebut mendorong siswa tidak adanya kemampuan dalam memimpin dan manajerial.
Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang berdimensi uncertainty avoidance
yang lemah, maka minat siswa berwirausaha diduga kuat akan tinggi. Keluarga dengan uncertainty avoidance yang lemah
bercirikan toleransi terhadap situasi yang tidak pasti dan punya inisiatif, keluarga sebagai tempat belajar dan kepemilikan aturan. Kultur tersebut
mendorong siswa untuk selalu mengantisipasi berbagai kemungkinan di masa mendatang, memiliki kesiapan diri terhadap inovasi, dan mempunyai
jangkauan yang luas terhadap berbagai masalah. Sebaliknya siswa yang berasal dari keluarga dengan uncertainty avoidance yang kuat bercirikan
tidak mempunyai inisiatif dan tidak adanya pengaturan atas hal yang tidak baik. Kultur tersebut mendorong siswa tidak memiliki perencanaan dalam
segala kegiatan.
2. Hubungan Kultur Sekolah dengan Minat Siswa Berwirausaha Kultur sekolah adalah suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang
mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya siswa. Siswa yang berasal dari kultur sekolah yang berbeda, diduga kuat mempunyai derajat
hubungan yang tidak sama dengan minat berwirausaha. Pada siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance kecil, diduga kuat akan
23
memiliki minat berwirausaha tinggi. Sekolah dengan power distance kecil bercirikan perlakuan guru terhadap para siswa sama, proses pembelajaran
terpusat pada siswa, kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik, komunikasi dua arah di kelas, peranan orang tua pada anak di
sekolah, aturan dan norma dalam di sekolah, pengembangan kemampuan dan bakat, dan keuntungan orang tua dengan adanya proses pembelajaran
sekolah. Kultur tersebut mendorong siswa akan memiliki kreativitas, disiplin diri, kepercayaan diri, memiliki dorongan dan kemauan kuat, serta
memiliki keyakinan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance besar
bercirikan guru yang selalu pilih kasih, otoritas pada guru, dan komunikasi satu arah. Kultur tersebut mendorong siswa tidak memiliki daya kreatif
dan inovatif yang tinggi, tidak memiliki kebebasan dalam berinovasi, serta memiliki jangkauan dan pandangan yang sempit.
Pada siswa yang berasal dari sekolah yang berdimensi collectivism, diduga kuat akan memiliki minat berwirausaha tinggi. Sekolah dengan
collectivism bercirikan siswa mempunyai kebebasan mengungkapkan
pendapat, penyelesaian tugas dari guru, tingkat penerimaan diri oleh orang lain, sikap positif dalam mengerjakan tugas dan tujuan berprestasi. Kultur
tersebut mendorong siswa akan memiliki perencanaan dalam segala jenis kegiatan, keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri, dan keyakinan
terhadap kemampuan ilmu pengatahuan dan teknologi. Sebaliknya siswa yang berasal dari sekolah dengan individualism bercirikan siswa
24
mempunyai beban dalam mengerjakan tugas dari guru, otoritas pada guru, dan siswa sudah tidak memiliki tujuan berprestasi. Kultur tersebut
mendorong siswa tidak memiliki motif berprestasi yang tinggi dan siswa menjadi sulit dalam mengembangkan kemampuan personal.
Pada siswa yang berasal dari sekolah yang berdimensi masculinity, diduga kuat akan memiliki minat berwirausaha tinggi. Sekolah dengan
masculinity bercirikan suasana kompetisi di kelas, berorientasi pada
prestasi dan kompetensi guru. Kultur tersebut mendorong siswa akan memiliki kesiapan diri dan keterbukaan terhadap inovasi, dan memiliki
komunikasi atau
hubungan antar
personal, serta
memiliki jiwa
kepemimpinan. Sebaliknya siswa yang berasal dari sekolah dengan femininity
bercirikan tidak terjadinya kompetisi di kelas dan guru tidak memiliki kompetensi dalam mengajar. Kultur tersebut mendorong siswa
akan merasa tidak mempunyai jiwa kemimpinan dan siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan yang ada pada dirinya.
Pada siswa yang berasal dari sekolah yang berdimensi uncertainty avoidance
lemah, diduga kuat akan memiliki minat berwirausaha tinggi. Sekolah
dengan uncertainty
avoidance lemah
bercirikan tingkat
penerimaan siswa
dan kekurangan
guru, kejelasan
guru dalam
menerangkan dan kedekatan hubungan antara guru, siswa, dan orang tua. Kultur tersebut mendorong siswa memiliki hubungan dan komunikasi
antar personal yang baik. Sebaliknya siswa yang berasal dari sekolah dengan uncertainty avoidance kuat bercirikan guru tidak memiliki
25
kompetensi dalam menjelaskan dan kerenggangan hubungan antara guru, siswa, dan orang tua. Kultur tersebut mendorong siswa tidak memiliki
prespektif ke depan, jangkauan atau pandangan yang sempit, dan tidak adanya hubungan serta komunikasi antar personal.