Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
Dalam konteks di Indonesia sendiri, pariwisata telah menampilkan peranannya dengan nyata dalam memberikan kontribusinya terhadap
kehidupan ekonomi, sosial dan budaya bangsa. Kesempatan kerja bagi orang- orang terampil di bidang ini makin bertambah jumlahnya, pendapatan negara
dari sektor pajak dan devisa makin meningkat, keadaan sosial masyarakat yang terlibat dalam sektor ini makin baik, kebudayaan bangsa makin
memperoleh apresiasi. Disatu sisi, sulit diingkari bahwa pariwisata itu mampu meningkatkan
taraf hidup masyarakat. Di sisi lain harus diakui pula bahwa, pariwisata banyak diboncengi dampak negatif yang menyentuh berbagai aspek
kehidupan manusia yang kadang tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan tatanan kehidupan sosial, budaya dan agama masyarakat serta harkat hidup
manusia itu sendiri. Dampak lain yang ditimbulkan pariwisata yang sering disebut
sebagai multiplier effect, menyusup juga ke aspek-aspek di luar ekonomi seperti sosial, budaya, dan religi. Pada aspek budaya, industri pariwisata
memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Budaya dan pariwisata dalam interaksinya berada dalam level ganda, yaitu pada level
pertama; pola kebudayaan dalam masyarakat bisa mempengaruhi kemampuan dan keinginan mereka untuk berwisata; dan pada level kedua, budaya bisa
menyediakan berbagai jenis atraksi wisata dalam sebuah sistem pariwisata seperti kegiatan budaya, event, produk wisata yang kesemua itu merupakan
motivasi kuat bagi wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata.
Walaupun pariwisata itu telah mendapat legitimasi dari berbagai perspektif, namun pariwisata juga dipandang sedikit apriori oleh para tokoh
agama, sehingga tidak heran apabila dalam kehidupan masyarakat sering terdengar bahwa dunia pariwisata itu sebagai sebuah industri kemaksiatan
tingkat tinggi, pembawa bencana erosi, degradasi, dan abrasi moral yang tidak sepadan dengan nilai anutan masyarakat setempat. Praktek prostitusi
dan tindakan kejahatan akan semakin merajalela, perilaku generasi muda akan jauh melenceng dan terkontaminasi oleh budaya luar yang tidak sesuai
bahkan bertentangan dengan agama Islam dan budaya lokal. Budaya malu telah terabaikan bahkan sebagian generasi muda sudah mulai malu
menyandang rasa malu.
4
Melihat fenomena di atas, maka dibutuhkan tokoh agama sebagai key person memiliki peranan besar di dalam kehidupan bermasyarakat. Andil
tokoh agama dalam konteks kehidupan sehari-hari dapat dilihat dari banyak sisi seperti: 1 tokoh agama dalam hal ini “tuan guru” dianggap sebagai
penasehat tunggal the single advisor bagi masyarakat dalam meminta berbagai jenis dan macam petunjuk hidup; 2 tuan guru dipredikatkan
sebagai problem solver di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
5
4
Piliang, Yasraf Amir, Sebuah Dunia yang Dilipat, Bandung: Mizan, 1998, h. 32.
5
Raqith, Ahmad Hasan, Meraih sukses Perjuangan Da’i, Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2001, h. 23.
Begitu pula halnya aktivitas pariwisata di Pulau Tidung Kepulauan Seribu. Sebagai salah satu destinasi pariwisata di Kepulauan seribu ini
mempunyai keunikan, yaitu pariwisata di Pulau Tidung bersifat wisata pemukiman, artinya tempat pariwisata berbaur menjadi satu dengan
kehidupan masyarakat setempat. Berbeda dengan wisata resort, yaitu daerah atau tempat yang diperuntukkan khusus untuk aktivitas pariwisata, seperti
Bali, Pulau Lombok, dan lain-lain. Dari sisi ekomomi, aktivitas pariwisata di Pulau Tidung sangat
membantu masyarakat setempat meraup pundi-pundi rupiah, karena diperkirakan setiap minggu weekend wisatawan yang datang sekitar 1.500
wisatawan yang berkunjung bahkan bisa lebih jika libur panjang long weekend.
6
Dapat dibayangkan nilai rupiah yang berputar di Pulau Tidung setiap minggunya. Dengan begitu maka pendapatan masyarakat di Pulau
tersebut meningkat dan berujung pada kesejahteraan masyarakat setempat. Namun, disisi lain, yaitu aspek religikeagamaan disadari atau tidak
sudah mengalami degradasi, bahkan sedikit demi sedikit telah melunturkan kebiasaan keagamaan yang telah lama ada disana. Salah satu bukti adalah
ketika hari raya idul fitri. Sudah dua tahun belakangan, perayaan hari raya idul fitri agak berbeda dan kurang khidmat dari tahun sebelumnya karena
berkurangnya budaya bersalam-salaman antar masyarakat setempat karena ramainya aktivitas pariwisata pada saat hari raya yang seharusnya khidmat
itu. Masyarakat disibukkan dengan kegiatan melayani wisatawan yang
6
Harian Pelita, Alamsyah M Dja‟far, Islam dan Ruang Publik, 28 Oktober 2011.
mayoritas non muslim. Tidak hanya itu, Warga acap kali disuguhi pemandangan cara berpakaian serba minim, baik di bagian atas tubuh maupun
kaki. Rasa miris tak hanya terkait tata berbusana, kegaduhan juga mengusik suasana masyarakat yang tenang. Wisatawan sering melakukan tindakan yang
bertentangan dengan nilai agama dan budaya lokal.
7
Menurut Ketua Kerukunan Umat Beragama Kepulauan Seribu KUBKS Thoyib Syahputra bahwa jika dibandingkan masa lalu, terutama
saat Pulau Tidung belum terjamah oleh pariwisata, masyarakat lokal tersohor dengan lingkungan agamis. Jauh melampaui kondisi keagamaan di pulau-
pulau sekitar Kepulauan Seribu. Perlahan tapi pasti, pergeseran norma dan nilai-nilai kearifan lokal kian mengemuka.
8
Disinilah diperlukan peranan tokoh agama atau ormas keagamaan yang dianggap mampu mengatasi persoalan pariwisata terhadap kehidupan
keagamaan. Majelis Ulama Indonesia MUI Kepulauan Seribu adalah salah satu organisasi keagamaan yang oleh masyarakat setempat dianggap mampu
mengatasi hal tersebut. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih jauh dan mendalam
mengenai peranan Majelis Ulama Indonesia MUI Kepulauan Seribu dalam menanggulangi dampak negatif dari pariwisata yang berpengaruh pada
kehidupan keagamaan di Pulau Tidung Kepulauan Seribu, maka penulis akan
7
Pernyataan Pribadi Ketua MUI Kepulauan Seribu H. Rahmat Syamsudin, di Pulau Tidung, 27 September 2011.
8
Batavia.co.id, Ferry Kisihandi, Thoyib Syahputra: Meredam Lunturnya Nilai Agama, diakses pada 14 Oktober 2011.
menuangkannya dalam karya tulis ilmiah “skripsi” dengan judul “PERANAN MAJELIS
ULAMA INDONESIA
DALAM PENANGGULANGAN
DAMPAK PARIWISATA TERHADAP KEHIDUPAN KEAGAMAAN DI PULAU TIDUNG KEPULAUAN SERIBU”.