Dampak Positif Dampak Pariwisata di Pulau Tidung

maupun status ekonomi masyarakat Pulau Tidung. Hal ini terlihat dari gaya hidup masyarakat yang tinggi dan tidak sedikit masayarakat yang mempunyai barang-barang mewah. Tidak hanya itu, tradisi gotong royong masyarakat Pulau Tidung semakin lama semakin memudar. Dahulu Pulau Tidung dikenal dengan masyarakatnya yang religius dibandingkan dengan pulau-pulau lain yang ada di Kepulauan Seribu, namun hal tersebut kini sudah tidak berlaku semenjaka adanya pariwisata. 3 Dampak lingkungan fisik pariwisata adalah perubahan penurunan kondisi kualitas lingkungan fisik permukiman diukur melalui penyediaan dan perbaikan prasarana dan sarana dasar permukiman akibat aktivitaskegiatan pariwisata. Seperti ikon pariwisata Pulau Tidung yaitu Jembatan Cinta yang tidak terurus dan kurang diperhatikan, padahal Jembatan Cinta merupakan daya tarik wisatawan yang ingin berkunjung ke Pulau Tidung. Tidak hanya itu, rasa air tanah di Pulau Tidung yang dulu tawar kini sudah menjadi payau bahkan asin di sebagian besar kawasan Pulau Tidung, ini diakibatkan oleh pemakaian air tanah yang berlebihan dan ditambah dengan para wisatawan yang datang menyebabkan persediaan air tanah tidak cukup dan pohon-pohon untuk penyerapan sudah banyak yang ditembangi untuk kepentingan lahan membuat penginapan atau home stay, hal ini yang mengakibatkan air menjadi payau atau asin. 94 4 Dampak pariwisata terhadap keagamaan.Dengan berkembangnya pariwisata, maka akan ada dampak yang ditimbulkan dari aktivitas pariwisata tersebut, tidak terkecuali adalah dampak terhadap aktivitas keagamaan. Dampak-dampak tersebut diantaranya: 95 a. Sebelum adanya pariwisata Pulau Tidung terkenal dengan Pulau yang religius diantara pulau-pulau yang ada di Kepulauan Seribu. Kebiasaan-kebiasaan yang berbau keislaman dan sosial masih kental, seperti shalat berjama‟ah yang ramai, setiap masuk waktu maghrib tidak ada masyarakat yang keluar rumah atau berkeliaran, dan hidup gotong royong terus dijunjung. Akan tetapi semenjak adanya pariwisata dan seiring berjalannya waktu predikat tersebut seakan pudar bahkan hilang, terbukti dengan semakin berkurangnya masyarakat yang shalat berjama‟ah, masyarakat sudah mulai acuh dan kurang menghargai waktu maghrib yang merupakan kebiasaan masyarakat untuk tidak kelaur rumah dan tidak melakukan aktivitas, dan mulai lunturnya jiwa kegotongroyongan masyarakat. 94 Wawancara langsung dengan Bapak Bunyamin, S.Sos, MM, Lurah Pulau Tidung, pada tanggal 30 September 2012 di Pulau Tidung. 95 Wawancara langsung dengan Bapak H. Rahmat Syamsudin, Ketua MUI Kepulauan Seribu pada tanggal 30 September 2012 di Pulau Tidung. b. Aktivitas majelis taklim yang dilakukan kaum ibu setiap siang hari ba‟da zuhur mengalami pengurangan jamaa‟ah dikarnakan ibu- ibu yang biasa mengikuti majelis taklim kini menjadi juru masak atau catering untuk para wisatawan. Apalagi hal tersebut terjadi di hari sabtu dan minggu majelis taklim seakan sunyi dan hanya ada beberapa ibu-ibu. c. Bulan Ramadhan yang dianggap bulan penuh barokah dan fokus untuk ibadah kini hanya sekedar dalam ingatan saja karna pada bulan tersebut aktivitas wisata terus berlanjut sudah 5 tahun belakangan ini. Hal tersebut akan mengganggu masyarakat Pulau Tidung yang 100 muslim dalam melaksanakan ibadah puasa, seperti: para wisatwan yang berlalu lalang di daerah pemukiman dengan berpakaian serba mini akan berpotensi mengganggu ibadah puasa masyarakat, dan aktivitas makan siang yang dilakukan para wisatawan di luar rumah akan menggoda selera dan berpotensi membatalkan puasa, apalagi anak-anak. d. Pada saat shalat Idul Fitri dan Idul Adha para wisatawan seakan tidak bisa bertoleransi dengan masyarakat yang seluruhnya muslim. Pada saat tersebut para wisatwan melakukan aktivitas wisata seperti snorkling, bersepeda dan lain-lain, bahkan hal tersebut bersepeda melalui jalur masjid. Hal tersebut tentu menggangu masyarakat yang sedang shalat Idul Fitri dan Idul Adha.