Sedangkan untuk melindungi produsen lokal apabila harga rata-rata dunia lebih rendah, maka pemerintah menurunkan pajak
ekspor dan membatasi impor produk agroindustri perikanan dari luar negeri. Negara tujuan ekspor utama Indonesia untuk tuna adalah
Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Harga rata-rata diketiga negara tersebut lebih tinggi dibandingkan harga rata-rata dalam negeri
sehingga membuat nelayan lebih memilih untuk mengekspor tuna dalam keadaan segardingin.
Apabila dibiarkan terus maka agroindustri perikanan tuna dalam negeri akan memperoleh kesulitan dalam memperoleh bahan
baku. Oleh karena itu, pemerintah berperan untuk menjaga stok dalam negeri dengan meningkatkan pajak ekspor bagi produk tuna
segardingin. Selain menaikkan pajak ekspor tuna segardingin, pemerintah diharapkan dapat membantu para produsen tuna dalam
negeri dalam hal kemudahan melakukan perdagangan dengan konsumen luar negeri bagi produk olahan perikanan berbahan dasar
tuna.
7. Situasi Makroekonomi
Guncangan eksternal pada pertengahan 1980an, termasuk penurunan pada harga minyak, peningkatan tingkat suku bunga
internasional dan depresiasi dolar AS menganggu perekonomian Indonesia. Situasi ini mengurangi secara tajam pendapatan ekspor dan
fiskal, menyebabkan ketidakseimbangan keuangan dalam negeri dan menaikkan biaya pinjaman luar negeri. Pemerintah menanggapi kejadian
ini dengan melancarkan dua program penyesuaian, yaitu; i pemulihan stabilitas ekonomi dengan pengekangan moneter dan fiskal, didukung
dengan peningkatan tingkat kompetisi ekspor eksternal melalui kebijakan nilai tukar yang responsif mengambang terkendali, dan ii mendorong
aktivitas difersifikasi produksi melalui reformasi struktural untuk mengurangi ketergantungan pada minyak World Bank, 1993 dalam
Erwidodo, 1999.
Hingga tahun 1996, strategi pembangunan yang diterapkan cukup sukses dalam mempertahankan pertumbuhan dan mentransformasi struktur
produksi. Fokus yang konsisten untuk mempertahankan stabilitas ekonomi yang ditandai oleh keinginan untuk mengambil keputusan-keputusan sulit
pada keadaan mudah dan sulit menjadi fondasi yang kokoh bagi pertumbuhan yang pesat dan berkelanjutan. Pembangunan yang
didasarkan pada penerimaan dari minyak tidak dapat mempertahankan stabilitas.
Meskipun demikian saat krisis ekonomi terjadi sejak 1997 regulasi dari lembaga keuangan menjadi perhatian utama. Hal ini karena rentannya
prinsip dasar yang mendukung kebijakan fiskal dan keuangan. Puncak krisis yang juga menimpa sebagian besar negara asia terjadi pada bulan
Mei 1998 hal tersebut menyebabkan penundaan penerapan kebijakan stabilisasi dan reformasi di Indonesia juga akibat ketidakstabilan politik
yang mengakibatkan pergantian pemerintahan pada akhir 1998. Berkaitan dengan ketidakstabilan politik tersebut Indonesia mengalami depresiasi
mata uang yang terbesar. Stabilisasi keuangan dan pemulihan ekonomi bergantung pada
kebijakan yang berkaitan dengan kebijakan fiskal, kebijakan moneter, keuangan dan restrukturisasi sektor swasta dan reformasi struktural
lainnya. Pemerintah Indonesia memulai dengan upaya penstabilan keuangan melalui rehabilitasi sistem keuangan, pengembalian kepercayaan
untuk mencegah berpindahnya modal keluar negeri, restrukturisasi sektor swasta dan perbaikan sistem distribusi dan mekanisme pasar. Kebijakan
ekonomi Indonesia sejak 1974 dapat dilihat pada tabel 6 berikut.
Tabel 2. Perubahan kondisi eksternal dan arah kebijakan Indonesia, 1974-2004
Periode Perubahan pada lingkungan
eskternal Arah kebijakan
Kebijakan makroekonomi Kebijakan
perdagangan dan industri
Regulasipemerintah 1974-1981
oil boom Peningkatan tajam pada
harga minyak 1973; “booming komoditas non
migas” 1975-1979 kenaikan harga minyak
kedua Menjaga stabilitas
makroekonomi, meski terjadi inflasi akibat
pendapatan dari minyak yang meningkat
Tumbuhnya Orientasi kedalam
peningkatan substitusi impor
Peningkatan investasi publik dan perusahaan
milik pemerintah
1982-85 guncangan
eksternal pertama
Penurunan harga minyak dan penurunan harga
komoditas primer Stabilisasi makroekonomi,
kebijakan fiskal, devaluasi dan kebijakan uang ketat
Orientasi ke dalam; proliferasi hambatan
non tarif Berlanjutnya
ketergantungan pada BUMN dan regulasi
ekonomi pasar 1986-88
guncangan eksternal
kedua Penurunan tajam pada harga
minyak dan berlanjutnya penurunan harga komoditas
primer Berlanjutnya stabilisasi
makroekonomi; devaluasi, kebijakan moneter ketat
anggaran ketat Perubahan mejadi
orientasi keluar Deregulasi dari cukai
dan impor, pelonggaran peraturan investasi dan
pengurangan ketergantungan pada
BUMN dan investasi publik
1988-1992 pemulihan
ekonomi dengan
dorongan non-migas
Harga minyak yang stabil, penurunan lebih lanjut pada
harga komoditas primer Pemeliharaan stabilitas
makro Pergerakan lanjutan
ke arah ekonomi orientasi ke luar
Lanjutan Deregulasi pada investasi, keuangan
dan sektor lain. Langkah awal menuju deregulasi
BUMN
1993-1996 Lanjutan
deregulasi dalam
masa transisi
Harga minyak yang stabil, peningkatan harga beberapa
komoditas, meningkatnya kompetisi dari negara
berkembang lain Pemeliharaan stabilitas
makro. Peningkatan fleksibilitas nilai tukar dan
instrumen lain dalam kebijakan moneter
Berlanjutnya fokus pada ekspor dengan
penyimpangan tertentu berupa
substitusi ekspor petrokimia dan
kandungan lokal otomotif
Lanjutan deregulasi, Perbaikan pada
pengawasan sektor finansial, deregulasi FDI
Foreign Domestic Investment
1997-1998 Depresiasi tinggi,
krisi ekonomi, inflasi tinggi,
masalah hutang, dan kebangkrutan banyak
perusahaan Mempertahankan stabilitas
makro; pengaturan kebijakan reformasi
ekonomi untuk mendukung kebijakan
fiskal Penenangan;
mendorong ekspor untuk produk
berbahan baku lokal. Evaluasi
perusahaan yang pailit
Peningkatan peraturan domestik, peningkatan
deregulasi keuangan bank, dan mendorong
investasi asing
1999-2001 Pemulihan dari krisis,
peningkatan ekspor pertanian
Pengendalian nilai tukar, mempertahankan
kebijakan fiskal moneter; kebijakan uang
ketat, meningkatkan suku bunga
Orientasi luar; promosi ekspor;
restrukturisasi sektor swasta;
perbaikan sistem distribusi;
liberalisasi perdagangan untuk
produk tertentu Mendorong reinvestasi
deregulasi dari sektor- sektor lain pengendalain
ketat pada BUMN dan pengurangan hambatan
dagang dan non dagang
2002-2004 Pertumbuhan yang
positif setelah krisis, peningkatan
ekspor pertanian Pengendalian nilai tukar,
menjaga kebijakan fiskal, moneter dan suku bunga
Promosi ekspor, restrukturisasi
sektor riil terutama UMK, liberalisasi
perdagangan Mendorong reinvestasi
deregulasi dari sekor- sektor lain pengendalian
ketat pada BUMN dan pengurangan hambatan
dagang dan non dagang
Sumber: Stephenson dan Pangestu untuk tahun 1974-1996, Erwidodo untuk tahun 1997-1998, Munandar untuk tahun 1999-2004 dalam Munandar
2004.
Berkaitan dengan pemulihan sistem perdagangan, setidaknya ada tiga indikator penting dari situasi makroekonomi suatu negara berkaitan
dengan kegiatan produksi komoditas, yaitu inflasi, tingkat suku bunga dan nilai tukar. Ada kecenderungan bahwa nilai suku bunga yang tinggi akan
menyebabkan inflasi yang lebih tinggi dan sebaliknya. Pada gambar 15 berikut disajikan perkembangan kondisi makroekonomi Indonesia.
Kondisi Makroekonomi
0.0 10.0
20.0 30.0
40.0 50.0
60.0 70.0
19 81
19 83
19 85
19 87
19 89
19 91
19 93
19 95
19 97
19 99
20 01
20 03
Tahun P
er s
en ta
se
0.00 2000.00
4000.00 6000.00
8000.00 10000.00
12000.00
N ila
i t u
k a
r R
p U
S
Tingkat Inflasi Tingkat Sukubunga
Indeks Nilai Tukar
Sumber : Biro Pusat statistik tahun 1981-2003 Gambar 15. Tingkat suku bunga, inflasi, dan nilai tukar
Inflasi
Inflasi bagi sebagian besar negara di dunia dianggap sebagai alat untuk mengukur permasalahan perekonomian yang berkaitan dengan
kenaikan harga. Indonesia memiliki kebijakan untuk menjaga inflasi berada dibawah dua digit atau kurang dari sepuluh persen. Apabila inflasi
meningkat hingga diatas 10 , tindakan pengendalian akan dilakukan oleh Bank Indonesia danatau menteri keuangan. Sejak 1980 inflasi di
Indonesia berfluktuasi setiap tahunnya dengan variasi nilai berada dibawah
dua digit, kecuali pada tahun 1980,1983,1997 dan 1998, dan tahun dengan nilai inflasi tertinggi terjadi pada tahun terjadinya krisis ekonomi.
Nilai inflasi yang tinggi pada tahun 1980 adalah imbas kebijakan devaluasi rupiah pemerintah pada tahun 1978. Inflasi pada tahun 1983
disebabkan karena terjadinya peningkatan permintaan minyak oil boom yang mengakibatkan kenaikan harga minyak di pasaran internasional pada
tahun 1981. Kondisi ini secara otomatis meningkatkan pendapatan pemerintah hingga dua kali lipatnya yang mendorong terjadinya inflasi
tinggi Hicks, 1996. Tahun berikutnya pemerintah cenderung untuk mempertahankan sistem nilai tukar yang fleksibel. Untuk menjaga tingkat
inflasi dibawah dua digit, pemerintah menerapkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan persediaan uang.
Pada pertengahan 1998, perekonomian Indonesia dilanda krisis ekonomi yang berat dan menyebabkan tingkat inflasi mencapai 84 .
Perekonomian Indonesia kemudian mengalami stagflasi dan krisis nilai tukar mempengaruhi semua aktivitas perekonomian. Ketergantungan pada
bahan baku impor meningkatkan biaya produksi, meningkatkan harga dan dan menyulitkan situasi permintaan. Sebagai konsekuensi dari kondisi
yang terjadi, pertumbuhan ekonomi yang terealisasi adalah sebesar 5,1 , lebih rendah dari laju pertumbuhan rata-rata lima tahun sebelumnya
sebesar 7,8 . Tingkat inflasi yang tinggi disebabkan oleh perkembangan situasi
domestik dan eksternal. Inflasi domestik terjadi karena defisit anggaran negara sementara inflasi eksternal oleh kenaikan harga barang impor.
Kenaikan harga barang impor disebabkan oleh depresiasi rupiah terhadap dollar. Hal ini meningkatkan biaya produksi dan menyebabkan terjadinya
cost-push inflation . Pada periode selanjutnya keadaan perekonomian
menunjukkan kondisi yang kurang menguntungkan karena tingkat inflasi cenderung naik diatas 2 digit. Pada tahun 2001 tingkat inflasi yang terjadi
sebesar 12,55 , dan pada tahun 2002 sebesar 10,03 . Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada tahun 2003 dengan perbaikan yang dilakukan
dalam berbagai bidang membuat tingkat inflasi berada pada level 5,06 . Munandar, 2004.
Tingkat Suku Bunga
Sejak 1981, tingkat suku bunga berfluktuasi dari 8,6 terendah pada tahun 1983 hingga 62,8 tertinggi pada tahun 1998. Secara umum,
kecuali pada 1993 dan 1994, rentang tingkat suku bunga cenderung stabil antara 10 dan 20. Meskipun demikian hal ini berubah secara drastis
pada 1997 saat krisis yang tak terduga melanda perekonomian Indonesia. Tingkat suku bunga naik sangat cepat dan mencapai puncaknya pada
62,8 pada 1998, tapi pada akhirnya turun hingga 37,8. Fluktuasi ini mempengaruhi kemampuan industri manufaktur untuk mengekspor produk
mereka karena hal tersebut mempengaruhi biaya produksi komoditas mereka.
Selama krisis yang terjadi, Bank Indonesia menerapkan kebijakan untuk meningkatkan tingkat suku bunga untuk mempertahankan likuiditas
persediaan uang akibat dari penarikan uang besar-besaran yang terjadi saat itu. Hal ini disusul dengan kenaikan suku bunga yang dilakukan oleh
bank-bank swasta. Tingkat suku bunga selama lima tahun terakhir dalam kurun waktu
1999-2003 menunjukkan kecenderungan yang menurun. Dengan semakin menurunnya tingkat suku bunga maka investor cenderung lebih memilih
untuk melakukan investasi dibandingkan dengan menyimpan uang di bank. Disamping itu para pelaku bisnis atau industri dapat menambah
permodalan mereka untuk mengembangkan usahanya dengan mengajukan kredit kepada bank.
Nilai Tukar
Nilai tukar di Indonesia secara umum berfluktuasi setiap tahunnya tetapi nilai tukar Indonesia mengalami kondisi yang parah pada
penghujung tahun 1997. Pada 1998 nilai tukar rupiah mencapai rata-rata
sebesar 10.000 rupiah per US. Nilai tukar pasar sebenarnya pada juni 1998 mencapai Rp 16.000.
Selama dua dekade terakhir, beberapa kebijaksanaan telah diterapkan untuk meningkatkan kondisi perekonomian Indonesia. Yang
pertama adalah devaluasi rupiah yang terjadi pada 1986. Kebijakan ini dilakukan untuk menurunkan nilai dari komoditas ekspor, karena saaat
tersebut Indonesia mengupayakan komoditas ekspor non-migas. Selanjutnya pemerintah menerapkan sistem nilai tukar fleksibel dengan
intervensi. Ketika krisis terjadi pada 1997 akhir, pemerintah tidak memiliki cukup cadangan dollar untuk menstabilisasikan nilai tukar
rupiah. Pada saat yang sama banyak pelaku bisnis membutuhkan banyak dollar untuk memenuhi kewajiban keuangan mereka. Semua hal ini
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kemampuan ekspor dari komoditas udang dan tuna.
Tingkat Upah
Tingkat upah di Indonesia bervariasi menurut daerah dan jenis industri. Daerah kota besar dan sekitarnya umumnya memiliki tingkat
upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain yang lebih terpencil. Sebagai tambahan, jenis industri juga memiliki peran pada
perbedaan tingkat upah tenaga kerja. Industri multinasional dan berskala besar memberikan upah yang lebih tinggi pada karyawannya dibanding
dengan industri dengan skala menengah dan kecil. Selain itu upah untuk produksi produk sekunder atau olahan akan memiliki tingkat upah yang
lebih tinggi dibandingkan dengan upah untuk produksi produk primer. Selain itu tingkat keahlian juga menentukan besar upah yang akan
diterima. Gambar 16 menyajikan perkembangan tingkat upah rata-rata bagi
pekerja di sektor makanan selama periode 1981-1997 cenderung stabil. Pada periode tersebut tingkat upah disektor makanan mengalami
peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata kenaikkan sebesar 0,81. Memasuki tahun 1998 dimana krisis ekonomi melanda Indonesia, tingkat
upah pekerja yang ada dirasakan sudah tidak mencukupi kebutuhan mereka.
Tingkat upah yang terjadi untuk sektor makanan pada tahun 1998 adalah sebesar Rp. 221.267. Tingkat upah tersebut mengalami peningkatan
hingga tahun 2003 menjadi sebesar Rp 498.833. Rata-rata kenaikan per tahun sebesar 18,78.
Perkembangan Tingkat Upah Rata-rata Pekerja Sektor Makanan
100,000 200,000
300,000 400,000
500,000 600,000
19 81
19 83
19 85
19 87
19 89
19 91
19 93
19 95
19 97
19 99
20 01
20 03
Tahun R
p bu
la n
Tingkat Upah Pekerja
Sumber : Biro Pusat Statistik tahun 1981-2003 Gambar 16.Tingkat upah rata-rata pekerja di sektor makanan
8. Tingkat Kompetisi Ekspor