dan senyawa-senyawa hidrofilik lainnya yang diperoleh selama proses estrans.
Sentrifugasi dilakukan selama satu menit pada suhu 25
°C karena umumnya pemisahan biodiesel dari gliserol dikondisikan pada
suhu ruang. Biodiesel yang telah terpisah dari gliserol selanjutnya dianalisis, baik sifat
fisik dan kimianya.
1. Viskositas Kinematik
Viskositas yang tinggi adalah kelemahan pokok minyak nabati karena
nilainya jauh lebih besar 10 kali lipat dari viskositas solar sehingga akan menyulitkan
pemompaan bahan bakar dari tangki ke ruang bakar mesin. Viskositas kinematik
biodiesel dipengaruhi oleh panjang rantai dan komposisi asam lemak, posisi dan
jumlah ikatan rangkap derajat ketidakjenuhan dalam biodiesel serta jenis
alkohol yang digunakan untuk proses estrans. Hasil uji viskositas kinematik dapat
dilihat pada Tabel 2. Viskositas adalah salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan
pemisahan biodiesel dari gliserol selain densitas. Gliserol merupakan salah satu
senyawa yang dapat meningkatkan viskositas biodiesel.
Tabel 2. Hasil Uji Viskositas Kinematik Biodiesel 40
°C
Dari data yang diperoleh terlihat adanya penurunan viskositas kinematik yang
signifikan setelah minyak jarak diolah menjadi biodiesel. Menurut Openshaw
2000, solar adalah hidrokarbon dengan 8- 10 atom karbon per molekul, tetapi minyak
jarak memiliki 16-18 atom karbon per molekulnya. Oleh karena itu, minyak jarak
jauh lebih viskous daripada diesel dan memiliki kualitas pembakaran yang rendah.
Viskositas biodiesel juga dipengaruhi oleh kandungan trigliserida yang tidak
bereaksi dengan metanol serta senyawa intermediet seperti monogliserida dan
digliserida yang mempunyai polaritas dan bobot molekul yang cukup tinggi.
Digliserida dan monogliserida merupakan senyawa yang mempunyai sifat aktif
permukaan atau menurunkan tegangan permukaan lebih baik daripada trigliserida.
Hasil ANOVA α=0,05 menunjukkan tidak
adanya perbedaan yang nyata dari perlakuan sentrifugasi terhadap viskositas kinematik
biodiesel. Rata-rata viskositas kinematik biodiesel yang diperoleh sudah memenuhi
standar mutu biodiesel Indonesia dan ASTM D 6751. Dibandingkan biodiesel hasil
pengenapan settling selama 12 jam 5,09 cSt, sesuai hasil uji t-student, maka
viskositas kinematik biodiesel hasil sentrifugasi ini lebih baik. Dengan metode
sentrifugasi zat-zat pengotor yang dapat meningkatkan viskositas kinematik metil
ester hasil transesterifikasi, mengenap lebih sempurna daripada pengenapan biasa. Zat-
zat pengotor ini dapat berupa gliserol serta katalis basa dan monogliserida yang bersifat
lebih polar larut dalam gliserol dibandingkan biodiesel.
2. Densitas
Parameter seperti densitas atau berat jenis minyak dan metil ester dipengaruhi
oleh panjang rantai asam lemak, ketidakjenuhan, dan temperatur lingkungan
Formo, 1979. Keberadaan gliserol dalam biodiesel mempengaruhi densitas biodiesel
karena gliserol memiliki densitas yang cukup tinggi 1,26 gcm
3
sehingga jika gliserol tidak terpisah dengan baik dari
biodiesel, maka densitas biodiesel pun akan meningkat.Hasil uji densitas biodiesel hasil
sentrifugasi pada suhu 15 °C dapat dilihat
pada Tabel 3. Selama proses estrans rantai- rantai asam lemak dalam minyak jarak akan
terpecah menjadi rantai metil ester yang lebih pendek sehingga densitas pun akan
menurun seiring dengan penurunan bobot molekul.
Tabel 3. Hasil Uji Densitas Biodiesel 15
°C Perlakuan Densitas
gcm
3
500 rpm 30 g 0,8848
1000 rpm 120 g 0,8832
1500 rpm 270 g 0,8823
2000 rpm 480 g 0,8831
Hasil uji ANOVA α=0,05
menunjukkan tidak ada pengaruh nyata kecepatan sentrifugasi terhadap densitas
biodiesel yang diperoleh, namun dari hasil
Perlakuan Viskositas Kinematik
cSt
500 rpm 30 g 4,61
1000 rpm 120 g 4,71
1500 rpm 270 g 4,65
2000 rpm 480 g 4,65
uji t-student terlihat adanya perbedaan nyata antara densitas biodiesel hasil sentrifugasi
dan biodiesel hasil settling selama 12 jam 0,8922 gcm
3
. Hal ini dapat disebabkan karena senyawa-senyawa seperti sabun,
katalis basa, dan metanol yang mengenap bersama gliserol lebih maksimal hasilnya
melalui proses sentrifugasi. Kondisi tersebut menyebabkan berat jenis biodiesel hasil
sentrifugasi lebih rendah dibandingkan sedimentasi.
3. Kadar Katalis KOH
Adanya katalis yang tidak bereaksi dalam proses transesterifikasi dapat
menyebabkan korosi pada mesin diesel sehingga perlu dilakukan penetralan dan
pencucian metil ester yang sebaik-baiknya. Hasil uji kadar KOH biodiesel hasil
sentrifugasi dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil Uji Kadar Katalis KOH dalam Biodiesel
Perlakuan Kadar Katalis
KOH ppm
500 rpm 30 g 714
1000 rpm 120 g 982
1500 rpm 270 g 749
2000 rpm 480 g 719
Berdasarkan uji ANOVA α=0,05,
tidak terdapat perbedaan yang nyata dari perlakuan kecepatan sentrifugasi terhadap
hasil uji kadar katalis biodiesel. Namun, uji t-student menunjukkan adanya perbedaan
yang nyata antara nilai kadar katalis KOH pada biodiesel hasil sentrifugasi dan hasil
settling
selama 12 jam 1.714 ppm. Sebagian besar sisa katalis basa hasil
transesterifikasi terdapat dalam gliserol yang mengenap selama proses separasi karena
sifat kepolarannya.
Parameter pascatransesterifikasi, seperti proses separasi dan pencucian
biodiesel setelah separasi adalah beberapa faktor yang mempengaruhi kandungan
logam alkali dalam biodiesel. Proses pencucian biodiesel kasar biasanya diawali
dengan penambahan larutan asam lemah seperti asam asetat atau asam fosfat,
kemudian disusul dengan penambahan air hangat secara berulang-ulang hingga pH-nya
netral. Jika dari hasil sentrifugasi selama satu menit dengan kecepatan 500 rpm 30 g
dapat memaksimalkan jumlah katalis basa yang mengenap dibandingkan dengan cara
settling , maka metode sentrifugasi ini dapat
mengefisiensikan proses pencucian biodiesel kasar hasil estrans. Dalam hal ini efisien
dapat berarti mereduksi jumlah penggunaan air untuk proses pencucian biodiesel dan
juga mempercepat proses pemisahan gliserol dari biodiesel.
Untuk mengetahui seberapa efisien proses sentrifugasi dalam meminimalisasi
penggunaan air pada tahap pencucian biodiesel, dilakukan pencucian pada
biodiesel hasil settling dan biodiesel hasil sentrifugasi. Sampel biodiesel yang
digunakan masing-masing sebanyak 10 ml, kemudian ke dalam sampel ditambahkan
larutan asam asetat 0,1 N sebanyak 10 ml untuk menetralkan KOH pada biodiesel.
Setelah larutan asam asetat dicampur dengan biodiesel, dilakukan pemisahan secara
settling
hingga larutan asam asetat mengenap dan dipisahkan dari biodiesel.
Tahap selanjutnya ialah penambahan air hangat bersuhu sekitar 50°C sebanyak 50 ml
pada biodiesel. Air hangat dicampur dengan biodiesel dan dibiarkan mengenap,
kemudian dipisahkan dari biodiesel dan pH- nya diukur. Jika pH air yang diperoleh
belum netral, maka biodiesel ditambahkan air hangat lagi secara berulang-ulang hingga
diperoleh pH air netral. Biodiesel yang diperoleh dari hasil separasi secara settling
selama 12 jam membutuhkan tiga kali penambahan air hangat 3x50 ml hingga
diperoleh pH netral, sedangkan biodiesel hasil sentrifugasi hanya membutuhkan satu
kali penambahan air hangat 50 ml agar pH- nya netral.
4. Perolehan Biodiesel Setelah Sentrifugasi