Hubungan Status Perkawinan dengan Kejadian Disabiitas Fisik

111 adalah responden yang tidak pernah sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD, sedangkan tingkat pendidikan cukup adalah responden yang tamat SLTP, tamat SLTA dan perguruan tinggi. Menurut Notoatmodjo 2007: 108, pendidikan adalah ilmu yang mempelajari serta memproses perubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang, usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan proses, dan cara. Hal ini menjadikan pendidikan yang tinggi dipandang perlu karena tingkat pendidikan yang tinggi maka mereka dapat meningkatkan taraf hidup dan membuat keputusan yang menyangkut masalah kesehatan mereka sendiri. Tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dan kejadian disabilitas fisik disebabkan semakin tingginya tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap perilaku pola hidup sehat seseorang. Seperti konsumsi makanan sehat dan aktivitas fisik. Sesorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi biasanya mempunyai beban pekerjaan yang tinggi sehingga tidak sempat untuk berolahraga dan cenderung mengonsumsi makanan yang tidak sehat seperti junk food dan fast food.

5.1.8. Hubungan Status Perkawinan dengan Kejadian Disabiitas Fisik

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status perkawinan dengan kejadian disabilitas fisik pada lansia di 13 desa di Kecamatan Punung Kabupaten Pacitan. Hal ini didasarkan pada analisis dengan uji chi square diperoleh nilai p value = 0,300. Hasil ini lebih besar dari 0,05 0,3000,05, artinya Ho diterima dan Ha ditolak, yaitu tidak ada hubungan antara status perkawinan dengan kejadian disabilitas fisik. 112 Menurut penelitian yang dilakukan Sugiharti dan Heny 2011 diperoleh bahwa lansia yang tidak kawin mempunyai peluang 1,737 kali untuk mengalami disabilitas dibandingkan dengan lansia yang kawin. Kecenderungan yang sama ditunjukkan pada penelitian Siop 2008 bahwa menikah mencegah terjadinya disabilitas baik bagi laki-laki maupun perempuan dan tidak menikah meningkatkan risiko terjadinya disabilitas. Lansia yang menikah saling memberikan dukungan sosial satu sama lain yang dapat mencegah terjadinya disabilitas. Kehilangan pasangan hidup adalah sesuatu yang harus dilewati dalam perkembangan lanjut usia. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Djadji dan Partasari 2008 dalam Zulfitri 2011 bahwa lansia yang tidak mempunyai pasangan hidup mempunyai dukungan sosial yang rendah jika dibandingkan dengan pasangan hidup, sehingga memunculkan rasa kesepian pada lansia. Status perkawinan tidak kawin banyak ditemukan pada lansia dengan jenis kelamin perempuan 78,6 dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki 21,4. Hal ini banyak ditemukan karena terdapat kecenderungan bahwa pria menikah dengan perempuan yang lebih muda serta apabila sudah bercerai baik mati atau hidup seorang duda akan menikah lagi, sedangkan wanita tidak. Variabel ini tidak berhubungan karena seperti dalam teori Azizah 2011, bahwa dukungan sosial tidak hanya diperoleh dari pasangan, tetapi juga dari keluarga, teman dekat, orang yang mempunyai ikatan emosi. Dengan dukungan keluarga yang bagus, kesepian yang dialami lansia akan terminimalisir, hal ini juga didukung dengan kondisi psikologis setiap lansia yang berbeda. 113

5.1.9. Hubungan Perilaku Merokok dengan Kejadian Disabilitas Fisik