Pemaknaan pengalaman laki-laki Jawa tentang istri yang bekerja.
i
PEMAKNAAN PENGALAMAN LAKI-LAKI JAWA TENTANG
ISTRI YANG BEKERJA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
Adita Primasti Putri NIM: 089114005
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
(2)
(3)
(4)
iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
Aku Punya Hari Ini
Aku Hidup Untuk Hari Ini
Terima kasih Untuk Cinta Yang Besar, Ibu & Bapak Tersayang
(5)
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang sudah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 19 Juli 2013 Penulis,
(6)
vi
PEMAKNAAN PENGALAMAN LAKI-LAKI JAWA TENTANG ISTRI YANG BEKERJA
Adita Primasti Putri
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi secara terperinci pemaknaan pengalaman laki-laki Jawa tentang istri yang bekerja. Ketertarikan terhadap pemaknaan pengalaman didasarkan pada adanya pergeseran peran yang tidak sesuai dengan budaya patriaki di daerah Jawa. Penelitian ini berfokus pada bagaimana laki-laki Jawa memaknai pengalaman tentang istri yang bekerja melalui apa yang dirasakan, dipikirkan dan dialami. Penelitian ini dilakukan terhadap lima subyek penelitian. Metode yang digunakan adalah kualitatif fenomenologi dengan teknik pengumpulan data yaitu wawancara semi terstruktur. Proses validitas yang digunakan adalah validitas komunikatif, yaitu pernyataan dianggap terpercaya jika data yang didapatkan mampu menggambarkan realitas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman tentang istri yang bekerja dimaknai sebagai: 1) istri bekerja itu meningkatkan harga diri yang positif pada laki-laki Jawa karena mendapatkan pandangan yang baik dari masyarakat, 2) laki-laki Jawa merasa perannya terancam oleh adanya perubahan peran yang dilakukan istri bekerja
(7)
vii
THE MEANING OF JAVANESE MEN’S EXPERIENCES OF THE WORKING WIVES
Adita Primasti Putri
ABSTRACT
This research aims to explore specifically about the meaning of Javanese men’s experiences about the working wives. The interest in the meaning of experiences is based on the role friction which is not relevant with the patriarch’s culture in Java region. The focus of this research is on how Javanese men interpret the experiences of the working wives about what they feel, what they think, and what they are experienced. This research was conducted on five research subjects. The method used was the qualitative phenomenology with semi-structured interview as the data gathering technique. Communicative validity was used as the validity process in which the statement was valid if the data gathered was able to describe the reality. The results of this research show that the experience of the working wives was interpreted as: 1) a working wife can increase a positive self esteem upon Javanese males for she can gets a good perspective from the society, 2) Javanese man feel threatened by the changes in his role especially when he has a working wife.
(8)
viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Nama : Adita Primasti Putri NIM : 089114005
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Pemaknaan Pengalaman Laki-laki Jawa tentang Istri yang Bekerja
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 19 Juli 2013
Yang menyatakan,
(9)
ix
KATA PENGANTAR
Ucapan syukur serta pujian yang teramat besar kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkatnya dan penyertaannya sehingga karya kecil ini bisa selesai.
Selain berkat melimpah yang selalu diberikan Sang Pencipta, karya ini tentunya tidak lepas dari dukungan bantuan banyak pihak. Seluruh karya ini mewakili ucapan terimakasih penulis yang teramat dalam kepada:
1. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang memberikan dukungan berupa perizinan penelitian.
2. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani atas dorongan semangat, panutan, arti berjuang untuk hidup dan kebijaksanaannya selaku dosen pembimbing skripsi dan akademik.
3. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang dengan kebijaksanaannya membagikan ilmu mereka kepada saya.
4. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, M.Si dan Ibu Agnes Indar Etikawati, M.Si., Psi. selaku dosen penguji yang telah memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis, kritik dan saran yang sangat membangun skripsi ini.
5. Staf Fakultas : Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, Mas Doni dan Pak Gie, atas bantuannya selama saya menuntut ilmu.
(10)
x
6. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, tempat menemukan referensi dan tempat ternyaman dalam pengerjaan karya ini.
7. Semua pihak-pihak yang memberikan data dan dalam penelitian ini : Bpk AP, Bpk SM, Bpk HM, Bpk SW, Bpk AM, dan Om Heru
8. Keluarga yang paling berharga, orangtua tersayang dan tersabar Ibu Anastasia Kris Riyani dan Bapak Mathias Sugeng Ryadi. Serta tempat berkeluh kesah, kakak tersayang Ayu Primasandi.
9. Sahabat satu bimbingan atas semangat, diskusi dan canda-tawanya eneng Lusi, Iyin & Elisa (mekdi 12 jamnya ;p ).
10.Sahabat psikologi, Gi2, Tiwi, Meili, Chelly, Aix, Vita, segenap warga kelas A dan semua teman mahasiswa Psikologi yang hebat.
11.Sahabat sepaket lengkap Pimpin-Meli-Cure. Sosok spesial sehari-hari dan sepermainan: Cece, Yuli, Ilham. Penerjemah andalan Rean dan Bang Sonny. 12.Sahabat Masdha ’09 yang selalu jadi keluarga: Manyik, Ayu, Nino, Bertha,
Cisty, Etus, Wibi, Paijo, Gatyo, Ukik, Jeanot dan ‘Nada Melodia’, dan 13.Semua pihak yang belum dapat disebutkan satu persatu.
(11)
xi
Penulis menyadari bahwa karya ini masih belum sempurna. Segala kekurangan, ketidaktelitian, dan kekeliruan karya ini menjadi tanggung jawab penulis. Dengan rendah hati, penulis menerima saran dan kritik.
Yogyakarta, 19 Juli 2013
(12)
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
1. Manfaat Teoretis ... 7
2. Manfaat Praktis ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
(13)
xiii
B. Peran sebagai Laki-laki dan Perempuan ... 11
1. Konsep Peran Laki-laki dan Perempuan dalam Masyarakat ... 11
2. Peran Laki-laki sebagai Suami ... 12
3. Peran Perempuan dalam Budaya Jawa ... 13
C. Laki-laki dalam Menghadapi Perubahan Istri yang Bekerja ... 15
1. Masalah-masalah yang Mengundang Penyesuaian ... 15
2. Laki-laki dalam Menghadapi Perubahan ... 16
3. Dampak Perubahan Peran Perempuan pada Laki-laki ... 16
D. Kerangka Penelitian ... 18
E. Pertanyaan Penelitian ... 20
1. Central Question ... 20
2. Subquestion ... 20
BAB III METODE PENELITIAN ... 21
A. Jenis Penelitian ... 21
B. Fokus Penelitian ... 21
C. Subjek Penelitian ... 22
D. Proses Penelitian ... 22
E. Metode Pengumpulan Data ... 24
F. Proses Pengumpulan Data ... 26
G. Metode Analisis Data ... 27
1. Mencari Tema-tema dalam Suatu Kasus ... 27
2. Mengaitkan Tema-tema yang Ada ... 28
(14)
xiv
H. Validitas Penelitian ... 28
I. Refleksi Peneliti ... 29
BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 31
A. Profil Subjek ... 31
B. Hasil Analisis Penelitian ... 33
1. Subjek I ... 33
a. Deskripsi subjek AP ... 33
b. Pengalaman tentang istri bekerja ... 36
2. Subjek II ... 42
a. Deskripsi subjek SM ... 42
b. Pengalaman tentang istri bekerja ... 43
3. Subjek III ... 48
a. Deskripsi subjek HM ... 48
b. Pengalaman tentang istri bekerja ... 50
4. Subjek IV ... 55
a. Deskripsi subjek SW ... 55
b. Pengalaman tentang istri bekerja ... 56
5. Subjek V ... 63
a. Deskripsi subjek AM ... 63
b. Pengalaman tentang istri bekerja ... 64
(15)
xv
a. Makna pertama menunjukkan bahwa istri bekerja itu meningkatkan harga diri yang positif pada laki-laki Jawa karena mendapatkan
pandangan yang baik dari masyarakat ... 73
b. Makna kedua menunjukkan bahwa laki-laki Jawa merasa perannya terancam oleh adanya perubahan peran yang dilakukan istri bekerja 73 C. Pembahasan ... 74
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 81
A. Kesimpulan ... 81
B. Saran ... 82
1. Bagi Peneliti Lain ... 82
2. Bagi Keluarga ... 83
DAFTAR PUSTAKA ... 84
(16)
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Penduduk Perempuan Usia 15 Tahun ke Atas menurut Kegiatan
Februari 2006-Februari 2007 (Dalam Jutaan) ... 3
Tabel 2 Panduan Wawancara ... 25
Tabel 3 Jadwal Pengambilan Data Penelitian ... 27
Tabel 4 Data Demografi Subjek ... 31
Tabel 5 Subjek I AP ... 36
Tabel 6 Subjek II SM ... 43
Tabel 7 Subjek III HM ... 50
Tabel 8 Subjek IV SW ... 56
Tabel 9 Subjek V AM ... 64
(17)
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pergeseran peran di Indonesia sudah terjadi sejak lama, hingga saat ini pergeseran tersebut terus semakin berkembang. Pergeseran peran perempuan terjadi terutama pada peran kerja perempuan memasuki sektor publik. Padahal sektor publik lebih dikenal didominasi oleh laki-laki. Di Indonesia sendiri dikenal budaya patriarkhi yang mengedepankan kaum laki-laki. Khususnya dalam budaya Jawa juga terdapat istilah Konco Wingking yang menekankan peran perempuan pada sektor domestik dan bukan pada sektor publik. Pergeseran ini berpengaruh pada suami yang memiliki istri yang bekerja.
Perempuan pada zaman ini sudah mampu menunjukkan prestasi dirinya. Terdapat berbagai jenis pekerjaan untuk mengaktualisasikan kemampuan perempuan. Apalagi saat sekarang sudah semakin banyak perempuan yang sudah memperoleh pendidikan tinggi. Hal ini menyebabkan keikutsertaan perempuan dipekerjaan luar rumah semakin meningkat (Dagun, 1990).
Dalam budaya barat ada data yang menunjukkan bahwa status wanita sudah luar biasa. Pergeseran di dalam masyarakat, hukum dan kebijakan sudah terjadi sejak tahun 1960-an. Contohnya negara-negara di Amerika Latin, perempuan mewakili sekitar 15,4 persen dari anggota Kongres. Diskala regional, perempuan mengisi 20 persen tenaga kerja ditahun 1970. Tahun 1995, angkanya berkembang sekitar 35 persen. Selain itu, perempuan telah memiliki kesetaraan
(18)
resmi secara hukum. Konstitusi dibeberapa Negara mengakui hak yang sama antara perempuan dan laki-laki (Harrison, 2006).
Masuk abad dua puluh negara-negara industri yang maju, kaum perempuan yang bekerja di luar rumah juga meningkat. Misalnya di Inggris hanya satu di antara 20 keluarga yang masih menjalani pola peran tradisonal, seperti suami bekerja dan istri tinggal di rumah mengurus keluarga dan mengasuh anak (Dagun, 1990).
Kesetaraan peran perempuan dan laki-laki yang terjadi di Negara Barat berbeda dengan yang terjadi di Negara-negara Timur Tengah. Kehidupan perempuan dibatasi dalam hal aturan berpakaian, larangan kerja dan bermain. Budaya lebih didominasi laki-laki, laki-laki lebih bisa menikmati keadaan garis pemisah yang jelas antara kerja dan rumah, karir dan keluarga (Harrison, 2006).
Dalam hal larangan kerja yang terjadi di negara-negara Timur Tengah serupa dengan budaya Jawa yang mengharapkan perempuan berada di rumah untuk mengambil peran mengurus rumah dan keluarga. Dalam budaya Jawa peran bekerja di luar rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dilakukan oleh laki-laki. Perempuan memiliki peran dengan konsep konco wingking, yaitu manak,
macak, dan masak. Pekerjaan manak menjelaskan tugas perempuan untuk
regenerasi, macak dimaksudkan usaha memelihara unsur seksualitasnya agar tetap memikat, dan masak punya arti bahwa perempuan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kesejahteraan keluarga (Beatrix, 2009).
Kemajuan era pergeseran peran perempuan yang terjadi di negara-negara Barat juga terjadi di Indonesia. Pergeseran peran pada perempuan mulai
(19)
berkembang. Salah satu peristiwa yang mendukung adanya pergeseran peran perempuan terjadi pada tahun 2001. Indonesia untuk pertama kali memiliki seorang presiden wanita yaitu Megawati Soekarnoputri. Dalam masa pemerintahannya, pemilihan umum presiden secara langsung dilaksanakan dan secara umum dianggap merupakan salah satu keberhasilan proses demokratisasi di Indonesia (Yulianto, 2004).
Pergeseran peran juga ditunjukkan dari peningkatan angka tenaga kerja perempuan. Peningkatan jumlah tenaga kerja perempuan sebagian besar berasal dari perempuan yang sebelumnya hanya berstatus mengurus rumah tangga. Seperti yang tampak pada tabel 1.1 berikut:
Tabel 1
Penduduk Perempuan Usia 15 Tahun ke Atas menurut Kegiatan Februari 2006-Februari 2007
(Dalam Jutaan)
Kegiatan Utama 2006 2006 2007
Februari Agustus Februari
1. Penduduk perempuan 15+ 79,40 80,37 81,16
2. Angkatan Kerja 38,61 38,64 40,19
- Bekerja 33,31 33,48 35,43
- Penganggur 5,30 5,16 4,75
3. Bukan Angkatan Kerja 40,79 41,73 40,97
4. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%) 48,63 48,08 49,52 5. Tingkat Pengangguran terbuka (%) 13,72 13,35 11,83
Sumber: Berita Resmi Statistik, BPS No. 28/05/Th. X, 15 Mei 2007
Dalam tabel 1, pada bulan Februari 2006 jumlah angkatan kerja perempuan yang bekerja sebesar 33,31 juta orang dari 79,40 juta jumlah penduduk perempuan yang berusia di atas 15 tahun. Angka tersebut meningkat pada Februari tahun 2007 menjadi sebanyak 35,43 juta perempuan yang bekerja dari 81,16 juta jumlah penduduk perempuan yang berusia di atas 15 tahun.
(20)
Peningkatan jumlah penduduk perempuan yang bekerja ini sebesar 2,12 juta orang. Peningkatan jumlah tenaga kerja perempuan ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki kemampuan mengambil peran bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah.
Data Berita Resmi Statistik oleh BPS (2007) menyebutkan tingginya peningkatan penduduk perempuan yang bekerja karena semakin terbukanya kesempatan bekerja pada kaum perempuan. Selain itu, krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia, menyebabkan banyak perusahaan bangkrut memilih untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Krisis yang disebabkan oleh adanya PHK ini, membuat perempuan kemudian ikut dalam sektor publik untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga.
Dalam penelitian Darwin (2004) tentang Gerakan Perempuan Di
Indonesia Dari Masa ke Masa, ditunjukkan perempuan seperti halnya laki-laki,
adalah warga negara, sehingga memiliki hak-hak kewarganegaraan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi oleh negara karena perbedaan jenis kelamin. Menurut Hastuti (2005) dalam penelitiannya tentang Hambatan Sosial budaya
Dalam Pengarusutamaan Gender Di Indonesia, partisipasi perempuan di dalam
kelembagaan tingkat lokal relatif tinggi. Selain itu, penelitian tentang Profil
Perempuan Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah Ditinjau Dari Perspektif
Politik Gender oleh Triwanto (2007) ditunjukkan kinerja perempuan sebagai
anggota legislatif pada umumnya, memiliki kemampuan yang tidak berbeda dengan anggota legislatif laki-laki. Dalam studi kasus pada masyarakat Aceh di Desa Cot Rambong oleh Nurlian dan Daulay (2008) tentang Kesetaraan Gender
(21)
Dalam Pembagian Kerja Pada Keluarga Petani Ladang menunjukkan bahwa
tidak ada pembakuan pada suami-istri petani ladang dalam pola pembagian kerja. Hal ini terbentuk berdasarkan nilai-nilai sikap yang harmonis, musyawarah, dan saling menghargai. Selain itu, penelitian tentang Perbandingan Kemajuan Karir
Antara Manajer Wanita dan Manajer Pria Di Indonesia menunjukkan hasil
bahwa kemajuan karir manajer wanita lebih baik dalam hal salary progression dan promotion dibandingkan karir manajer pria (Setyaningtyas dkk, 2003). Dituliskan oleh Siregar (2010) dalam penelitiannya Perjuangan Dan Peran
Perempuan Di DPRD Jawa Timur, bahwa pemilu 2004 telah melahirkan 16
perempuan yang ikut berpartisipasi di DPRD Jawa Timur dari jumlah total 100 anggota.
Pergeseran peran perempuan ini ternyata juga memiliki dampak negatif. Dampak negatif yang dirasakan pada perempuan ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Alteza dan Hidayanti (2008) di daerah Yogyakarta tentang
Work-Family Conflict Pada Wanita Bekerja: Studi Tentang Penyebab, Dampak,
dan Strategi Coping. Hasil penelitian menunjukkan dampak yakni berkurangnya
kepuasan baik dalam bekerja maupun dalam kehidupan rumah tangga, ketegangan dan stress pada diri wanita bekerja, gangguan kesehatan, dan ketidakharmonisan hubungan dengan anggota keluarga lainnya.
Dampak negatif tidak hanya dirasakan oleh perempuan. Dalam beberapa data konsultasi menyebutkan bahwa laki-laki merasakan dampak ketika pasangannya bekerja. Data konsultasi dari majalah Femina, 2012, menyebutkan,
(22)
menghasilkan penghasilan yang lebih tinggi. Suami menunjukan perbedaan sikap. Suami menjadi sering marah-marah tanpa sebab. Kasus kedua, istri memiliki pekerjaan sebagai manager dan menyita waktu. Meskipun sibuk istri memastikan semua kebutuhan anak tercukupi. Tetapi, suami mempermasalahkan pekerjaan istri dan memilih untuk meninggalkan rumah dan mengatakan keinginan bercerai.
Kasus ketiga, ketika suami dan istri sama-sama bekerja dan ada kesepakatan
untuk melakukan pembagian tugas rumah tangga, yang terjadi adalah suami tidak mematuhi kesepakatan tersebut. Suami enggan melakukan tugas-tugas rumah tangga yang biasa dilakukan oleh perempuan.
Data-data penelitian dan data konsultasi yang ada lebih banyak dilihat dari sisi perempuan. Data yang berasal dari sisi laki-laki masih sangat terbatas. Padahal dari data konsultasi ditemukan bahwa yang merasakan dampak perubahan tidak hanya perempuan tetapi laki-laki pun ikut merasakan dampak pergeseran peran tersebut. Terbatasnya jumlah data penelitian dari sisi laki-laki ini menjadi salah satu alasan mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan. Selain itu, dalam Nurrachman (2011) dikatakan bahwa penelitian guna memahami laki-laki juga perlu dikembangkan.
Pada penelitian ini, peneliti melakukan penelitian pada laki-laki Jawa yang memiliki istri yang bekerja. Alasan kenapa peneliti memilih subjek tersebut karena dalam lingkungan keluarga Jawa masih mengenal konsep konco wingking dan mengenal budaya patriaki. Penelitian ini penting dilakukan karena data penelitian dan data konsultasi lebih banyak dilihat dari sisi perempuan. Data yang berasal dari sisi laki-laki masih sangat terbatas. Hasil penelitian ini akan
(23)
memahami bagaimana laki-laki memaknai istri bekerja. Makna yang dimaksud oleh peneliti dalam penelitian ini adalah perasaan yang dirasakan oleh laki-laki Jawa menghadapi pengalaman mereka tentang istri yang bekerja. Setelah ditemukan hasil penelitian akan memberii masukan dalam pengadaan upaya-upaya pendampingan pada laki-laki yang memaknai pengalaman tentang istri bekerja.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pemaknaan pengalaman laki-laki Jawa tentang istri yang bekerja.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan umum untuk mengeksplorasi secara terperinci makna pengalaman laki-laki Jawa tentang istri yang bekerja.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis
Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini diharapkan mampu memberiikan kontribusi berkaitan dengan pemaknaan laki-laki Jawa tentang istri yang bekerja sehingga berguna bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi sosial.
(24)
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini dapat memberii masukan pada laki-laki dan perempuan tentang peran seorang istri yang bekerja melalui pemaknaan pengalaman laki-laki Jawa.
b. Memberikan gambaran bagi pembaca, khususnya masyarakat umum pemaknaan pengalaman yang dilihat melalui sudut pandang laki-laki Jawa tentang istri yang bekerja.
(25)
9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemaknaan Pengalaman Laki-laki tentang Istri Bekerja
Menurut Maslow makna hidup merupakan sesuatu yang muncul secara intrinsik dari diri manusia sendiri. Manusia harus memenuhi kebutuhan dasarnya terlebih dahulu untuk memenuhi nilai-nilai diri dalam hidupnya. Bila kebutuhan-kebutuhan dasar telah terpenuhi, maka nilai-nilai itu akan menjadi energi motivasional bagi individu untuk mendedikasikan diri pada usaha memenuhi nilai-nilai tersebut. Apabila individu memilih melakukan aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan nilai-nilai intrinsik dalam dirinya, maka ia akan mendapatkan makna hidup yang bernilai positif dan menyehatkan bagi perkembangan kepribadian
Makna hidup menurut Maslow tak lain adalah meta motive, meta-needs atau growth need, yaitu suatu kebutuhan yang muncul dalam diri manusia untuk meraih tujuan, melanjutkan kehidupan, dan menjadi individu yang lebih baik. Manusia harus memenuhi basic needsnya terlebih dahulu, sebelum berusaha memenuhi growth needs. Manusia yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya, tapi tidak berhasil memenuhi nilai-nilai dalam dirinya akan menjadi sakit. Manusia yang berhasil menemukan makna hidupnya akan merasa dirinya penting dan bermakna (Debats, 1993).
Pemenuhan kebutuhan pada pengalaman laki-laki Jawa tentang istri yang bekerja diawali dengan adanya kesenjangan antara gambaran tentang peran-peran
(26)
yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Kesenjangan inilah yang menjadi area rasa yang dimaknai oleh laki-laki dalam menghadapi pengalamannya memiliki istri bekerja. Laki-laki akan berusaha memenuhi kebutuhan dirinya sesuai dengan gambaran peran yang ia yakini. Apabila kebutuhan ini belum terpenuhi karena adanya perbedaan kenyataan yang dihadapi di dalam hidup maka hal ini memotivasi akan adanya usaha pemenuhan nilai-nilai di dalam dirinya. Usaha pemenuhan dilakukan sesuai dengan nilai-nilai dari dalam dirinya. Hal tersebut mendorong laki-laki dalam menemukan rasa atas pengalaman tentang istri yang bekerja.
Pengalaman seseorang yang akan menjadi proses penelitian menentukan metode penelitian yang akan digunakan. Pengalaman itu sendiri merupakan pembelajaran bagi metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah dengan melihat pengalaman hidup manusia. Dalam penelitian Schwandt (2001) dikatakan bahwa pengalaman hidup manusia ini merupakan objek studi yaitu dunia kehidupan, merasa, mengalami, dan membuat rasa. Tujuan utama dari penelitian kualitatif adalah untuk menggambarkan dan memperjelas pengalaman hidup seseorang dan merupakan kesadaran dirinya. Pengalaman manusia adalah area yang sulit dijangkau untuk dipelajari. Pengalaman seseorang tentunya tidak dapat dihentikan untuk kepentingan peneliti. Pengalaman berbeda dengan benda yang kaku, bukan yang isinya bergerak. Metode kualitatif secara khusus dibangun untuk memperhitungkan karakteristik tertentu dari pengalaman manusia dan memfasilitasi penyelidikan pengalaman seseorang.
(27)
Pengalaman memiliki kedalaman vertikal. Menggunakan metode pengumpulan data, seperti Jawaban singkat kuesioner dengan skala Likert yang hanya mengumpulkan informasi permukaan, tidak memadai untuk menangkap kekayaan dan kepenuhan pengalaman. Dengan demikian, data yang dikumpulkan untuk studi pengalaman berasal dari individu yang mengalami langsung suatu pengalaman.
B. Peran sebagai Laki-laki dan Perempuan
1. Konsep Peran Laki-laki dan Perempuan dalam Masyarakat
Konsep tradisional menekankan suatu pola perilaku tertentu yang tidak memperhitungkan minat dan kemampuan individual. Peran-peran ini menekankan superioritas maskulin dan tidak dapat menolerir setiap sifat yang memberi kesan keperempuanan atau pekerjaan yang dianggap “pekerjaan perempuan” (Hurlock, 1980). Laki-laki di luar rumah menduduki posisi yang berwewenang dan berprestise dalam masyarakat dan dunia bisnis, di rumah ia pencari nafkah, pembuat keputusan, penasehat dan tokoh yang mendisiplin anak-anak, dan model maskulinitas bagi putera-puteranya. Perempuan dalam konsep ini, baik di rumah atau di luar, perannya berorientasi pada orang lain. Maksudnya, perempuan mendapatkan kepuasan lewat pengabdian kepada orang lain. Ia tidak diharapkan bekerja di luar rumah, kecuali bilamana keadaan finansial memaksa, dan apabila ini terjadi ia melakukan pekerjaan di bidang pelayanan seperti sebagai perawat, guru, atau sekretaris (Hurlock, 1980). Sebagai ibu rumah tangga, perempuan mempersembahkan waktunya
(28)
untuk memelihara dan melatih anak-anak, mengasuh anak dengan pola yang dibenarkan oleh masyarakat sekitar (Mappiare, 1983).
Sedangkan, menurut konsep egalitarian, menekankan pada individualitas dan persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Suatu peran harus mendatangkan rasa kepuasan pribadi dan seharusnya tidak dinyatakan cocok hanya bagi satu jenis kelamin tertentu saja (Hurlock, 1980). Laki-laki di rumah maupun di luarnya bekerja bersama dengan perempuan
sebagai rekan. Ia tidak merasa “dijajah istri” apabila ia memperlakukan
istrinya sebagai rekan yang sederajat. Begitu pula ia tidak merasa malu jika isterinya mempunyai pekerjaan yang lebih berprestise atau berpenghasilan lebih besar dari dia. Sedangkan, perempuan dalam konsep ini, di rumah maupun di luarnya mendapat kesempatan mengaktualisasikan potensinya. Ia tidak merasa bersalah apabila memanfaatkan kemampuannya dan pendidikannya untuk kepuasan dirinya meskipun ini berarti ia harus mengupah orang lain untuk mengatur rumah tangga dan mengasuh anak (Hurlock, 1980).
2. Peran Laki-laki sebagai Suami
Laki-laki dewasa mengembangkan kehidupan berkeluarga sebagai seorang suami. Menurut Gunarsa (1990), dalam kehidupan berkeluarga antara suami istri memasuki lingkungan-lingkungan yang membutuhkan penyesuaian. Penyesuaian dapat tercapai melalui hubungan yang saling mengisi dan terbentuk dalam hubungan yang akrab. Pada umumnya, istri lebih banyak berhubungan dengan anak dan mempunyai kesibukan rumah tangga.
(29)
Sebaliknya suami lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah. Lingkungan di luar rumah justru banyak mengalami perubahan-perubahan. Dalam menghadapi perubahan, suami menyesuaikan diri pada setiap perubahan untuk mempertahankan kedudukan dalam pekerjaannya dan tempatnya di masyarakat.
Sebagai suami, laki-laki dituntut untuk menjaga keharmonisan hubungan antara suami dan istri. Beberapa hal yang menjaga kesatuan dan keakraban antara hubungan suami dan istri menurut Gunarsa (1990) adalah: a. Adanya usaha suami menarik istri untuk mengajak bersama-sama
mengikuti setiap perubahan dan perkembangan berbagai hal. Sehingga antara suami istri tidak kehilangan kontak psikis. Begitu juga sebaliknya pada istri, melibatkan suami dalam setiap perubahan melalui penyelesaian masalah demi masalah.
b. Menyediakan waktu khusus untuk saling berkomunikasi disela-sela kesibukan masing-masing. Dengan adanya kesempatan untuk saling berbicara, saling mengungkapkan masalah, maka kelegaan akan tercipta. Suami istri akan mencari penyelesaian masalah dan menghayati perlakuan afeksi karena telah saling memberi.
Hubungan seks merupakan media kontak psikis yang paling intim, dan merupakan perwujudan dorongan, selain kebutuhan fisiologis seseorang, dapat merupakan alat untuk membantu membina kesatuan suami istri. 3. Peran Perempuan dalam Budaya Jawa
Perempuan di dalam keluarga Jawa merupakan mata rantai yang penting bagi anggota keluarga yang lain. Perempuan mempunyai bidang luas
(30)
untuk bergerak di dalam lingkungan kerumahtanggan. Dia mengendalikan keuangan keluarga, dan meskipun diberikannya penghormatan formal kepada sang suami serta dalam soal-soal besar selalu mendengarkan pertimbangannya, biasanya dialah yang dominan (Geertz, 1982).
Kedudukan dalam masyarakat Jawa pada umumnya sangat kuat. Sebagaian besar pekerjaan –termasuk berbagai corak pekerjaan seperti kerja sawah ladang, dagang kecil, jual-beli borongan, usaha kecil, membantu rumah tangga, dan mengajar– semuanya terbuka bagi perempuan. Perempuan dapat memiliki tanah pertanian dan mengawasi penggarapannya. Dengan demikian, perempuan tidak mengalami kesulitan untuk menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya. Di pihak lain laki-laki tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, jarang hidup sendirian serta mengasuh anak-anaknya sendiri pula (Geertz, 1982).
Semua faktor yang beraneka ragam ini bekerja serentak bersama-sama
–status perempuan yang dominan di tengah keluarga, sikap saling menahan diri dan menghindari antara sesama laki-laki di dalam satu keluarga, syak wasangka antara saudara-saudara perbesanan pada umumnya, dan posisi ekonomi kaum perempuan yang kuat– sehingga timbul hubungan kekeluargaan berpolakan matrilokal, atau memusatkan pada ibu (Geertz, 1982).
(31)
C. Laki-laki dalam Menghadapi Perubahan Peran Istri Bekerja 1. Masalah-masalah yang Mengundang Penyesuaian
Dari konsep peranan yang dijalani oleh kaum laki-laki terdapat beberapa masalah yang sering timbul. Salah satu masalah yang sering timbul adalah adanya pertentangan antara konsep peranan yang dianut oleh seseorang dengan harapan-harapan dari lingkungannya.
Apabila suatu konflik terjadi dalam diri individu maka sangat mungkin dirinya akan merasa tidak pasti, kebingungan, cemas dan merasa tidak berguna. Kemudian hal-hal ini akan menghambat adanya motivasi untuk menyesuaikan diri. (Mappiare, 1983).
Penyesuaian diri terhadap konflik tersebut ditandai oleh adanya pengaruh konsep-konsep tradisional. Pada laki-laki, menghindari cap sebagai
„laki-laki lemah‟ atau „keperempuanan.‟ Laki-laki akan selalu berusaha
menjadi „pelindung‟ bagi perempuan. Konflik atau frustrasi akan muncul manakala perempuan yang ingin dilindungi justru menunjukkan bahwa dirinya tidak butuh untuk dilindungi. Demikian pula, ketika orang lain (terutama perempuan) berpandangan bahwa diri laki-laki tidak perlu dianggap kuat atau superior (Mappiare, 1983).
Selain itu, pengaruh pengalaman masa lalu juga mempengaruhi citra diri. Pada anak laki-laki yang diajarkan konsep tentang adanya perbedaan peran secara jelas dan pasti maka sedikit demi sedikit ia akan berpikir harus melakukan pekerjaan yang berbeda dengan perempuan. Laki-laki seperti ini, pada masa dewasa akan menghadapi kesulitan-kesulitan yang menuntutnya
(32)
untuk melakukan penyesuaian diri. Sebaliknya, laki-laki yang tidak terlalu memiliki gambaran tentang adanya perbedaan akan lebih menerima apabila ia harus melakukan pekerjaan feminin (Mappiare, 1983).
2. Laki-laki dalam Menghadapi Perubahan
Pada anak laki-laki lebih banyak menikmati kebebasan dan tidak wajib melakukan tugas rumah tangga. Laki-laki menjadi simbol dunia luar yaitu tempat bersaing untuk mencapai status dan pengaruh. Laki-laki dibiasakan berorientasi di luar rumah maka dalam bekerja ia menggunakan imajinasi, tidak konkret, dan cenderung abstrak. Hal ini menyebabkan dalam menghadapi persoalan praktis rumah tangga laki-laki menjadi kurang siap (peran gender). Dalam mengalami kesulitan, laki-laki diharapkan tidak meluapkan emosi dengan cara menangis. Laki-laki harus terlihat kuat. Dalam menghadapi perubahan, misalnya ketika mengalami kejadian yang mengandung stres laki-laki menjadi berkurang daya tahan emosionalnya (stereotip gender) (Handayani dan Novianto, 2004).
3. Dampak Perubahan Peran Perempuan pada Laki-laki
Ketika pasangan suami dan istri sama-sama bekerja, maka terdapat dampak perubahan peran yang dilakukan oleh suami di rumah. Menurut Lamb dan Bronson, keikutsertaan suami dalam tugas rumah tangga terutama mengasuh anak akan membawa dampak positif bagi pekerjaan ibu dan perkembangan anak. Tetapi apabila suami menolak untuk ikut serta dalam tugas rumah tangga dan mempertahankan pola peran tradisional maka hal ini akan menyulitkan bagi ibu yang bekerja dan anak (Dagun, 1990).
(33)
Data konsultasi dari majalah Femina, 2012, menyebutkan, kasus
pertama, istri naik jabatan pekerjaan dan memiliki pekerjaan yang
menghasilkan penghasilan yang lebih tinggi. Suami menunjukan perbedaan sikap. Suami menjadi sering marah-marah tanpa sebab. Kasus kedua, istri memiliki pekerjaan sebagai manager dan menyita waktu. Meskipun sibuk istri memastikan semua kebutuhan anak tercukupi. Tetapi, suami mempermasalahkan pekerjaan istri dan memilih untuk meninggalkan rumah dan mengatakan keinginan bercerai. Kasus ketiga, ketika suami dan istri sama-sama bekerja dan ada kesepakatan untuk melakukan pembagian tugas rumah tangga, yang terjadi adalah suami tidak mematuhi kesepakatan tersebut. Suami enggan melakukan tugas-tugas rumah tangga yang biasa dilakukan oleh perempuan.
Penyesuaian perubahan peran pada perempuan dilakukan laki-laki dengan ikut serta dalam peran rumah tangga. Dalam Dagun (1990), terdapat penelitian di Amerika Serikat dan Australia yang menunjukkan bahwa ketika suami dan istri itu berkarir, maka ada perubahan peran yang diambil oleh suami. Suami akan melibatkan diri pada tugas rumah tangga diantaranya adalah mengasuh anak. Pada penelitian yang dilakukan oleh Graeme Russel menujukkan gambaran pada keluarga di Australia. Ia mengatakan bahwa orangtua yang sama-sama bekerja cenderung memperhatikan anak dua kali dari sebelumnya. Meskipun demikian peran ibu akan tetep menangani berbagai kegiatan rumah tangga.
(34)
D. Kerangka Penelitian
Masyarakat (keluarga) Indonesia didominasi oleh budaya patriaki. Budaya patriaki ini mengedepankan kepentingan dan pendapat laki-laki daripada perempuan. Dalam hal pekerjaan, perempuan berada di rumah untuk mengurus keluarga dan urusan rumah tangga. Laki- laki berada di luar rumah sebagai pencari nafkah bagi keluarga.
Peran perempuan yang biasanya berada di rumah untuk mengurus rumah tangga mulai bergeser menjadi peran bekerja di luar rumah. Pergeseran peran perempuan ini memberii dampak kepada laki-laki yang memiliki istri yang bekerja. Dalam beberapa data konsultasi menyebutkan bahwa laki-laki merasakan dampak ketika pasangannya bekerja.
Pergeseran peran pada perempuan ini menjadi pengalaman laki-laki yang bertolak belakang dengan budaya Jawa. Penelitian ini penting dilakukan karena data penelitian dan data konsultasi lebih banyak di lihat dari sisi perempuan. Data yang berasal dari sisi laki-laki masih sangat terbatas. Hasil penelitian ini akan memahami bagaimana laki-laki memaknai istri bekerja. Setelah ditemukan hasil penelitian akan memberii masukan dalam pengadaan upaya-upaya pendampingan pada laki-laki yang mengalami pengalaman tentang istri bekerja.
(35)
Skema 1
Pemaknaan Pengalaman Laki-laki Jawa tentang Istri Bekerja
Keterangan tanda
Hubungan yang bertolak belakang antara peran perempuan dalam keluarga Jawa (berada di rumah mengurus urusan rumah tangga dan keluarga) dengan pergeseran peran pada perempuan (bekerja di luar rumah)
Laki-laki Jawa meyakini peran perempuan dalam keluarga Jawa namun mengalami pergeseran peran perempuan yaitu memiliki istri yang bekerja
Peran Perempuan dalam keluarga Jawa:
- Perempuan
mengurus rumah dan keluarga (sektor domestik)
Pergeseran Peran pada Perempuan: - Istri bekerja
di luar rumah (sektor publik)
Pengalaman laki-laki Jawa
memiliki istri bekerja?
(36)
E. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan kerangka penelitian, peneliti menyusun pertanyaan menjadi 2 macam, yaitu central question atau pertanyaan utama dan subquestion atau
pertanyaan yang mengarah pada pertanyaan utama. 1. Central Question
- Bagaimana pengalaman laki-laki Jawa tentang istri yang bekerja dan apa makna pengalaman tersebut bagi laki-laki Jawa tentang istri yang bekerja? 2. Subquestion
- Apa sikap awal laki-laki Jawa mengetahui bahwa memiliki istri yang bekerja?
- Bagaimana pengalaman laki-laki Jawa tentang istri yang bekerja? - Apa makna pengalaman laki-laki Jawa tentang istri yang bekerja?
(37)
21 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis fenomenologi interpretatif. Pendekatan ini melibatkan dua tahap proses interpretatif. Tahap pertama, subjek/ partisipan berusaha memahami dunia pengalamannya. Kedua, penelitian berusaha memahami usaha-usaha subjek/ partisipan dalam memahami dunia pengalamannya tersebut (Smith dan Osborn, 2008). Dengan memunculkan dua tahap interpretatif tersebut dalam penelitian akan menghasilkan analisis yang lebih kaya dan sesuai dengan pengalaman subjek. Dalam penelitian, peneliti ingin mengungkapkan pemaknaan pengalaman laki-laki Jawa yang memiliki istri yang bekerja dengan menggunakan metode analisis fenomenologi interpretatif.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian terbagi menjadi tiga. Pertama, berfokus pada pengalaman laki-laki Jawa tentang istri yang bekerja. Kedua, berfokus pada pemaknaan terhadap pengalaman laki-laki Jawa tentang istri yang bekerja. Terakhir, berfokus pada apa makna dari pengalaman laki-laki Jawa memiliki istri yang bekerja.
(38)
C. Subjek Penelitian
Subjek partisipan dalam penelitian ini adalah laki-laki yang berusia dewasa tengah. Subjek memiliki latar belakang Jawa, yaitu keturunan keluarga Jawa, dibesarkan dengan latar belakang keluarga Jawa, dan tinggal di daerah Jawa. Subjek sudah berkeluarga dan memiliki pasangan yang bekerja. Jumlah subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5 orang.
D. Proses Penelitian
Proses pelaksanaan penelitian ini menggunakan prosedur yang ilmiah. Terdapat beberapa tahapan yang dilakukan oleh peneliti hingga akhirnya ditemukan hasil dari pengalaman penelitian. Berikut akan dijabarkan tahapan-tahapan yang dilakukan peneliti dalam melakukan penelitian ini.
Pertama, proses awal yang dilakukan oleh peneliti meliputi pencarian calon subjek penelitian yang bersedia untuk berbagi pengalamannya. Pemilihan subjek dilakukan di salah satu Sekolah Menengah Atas negri di Yogyakarta. Alasan tempat pemilihan subjek penelitian ini adalah demi kemudahan peneliti dalam mencari subjek yang sesuai dengan tema penelitian dan bersedia untuk membagikan pengalamanya. Dari subjek penelitian yang bersedia ini, peneliti mulai melakukan pendekatan secara pribadi. Pendekatan ini dimaksudkan supaya subjek merasa nyaman untuk membagikan pengalamannya kepada peneliti. Salah satu cara pendekatan yang dilakukan oleh subjek adalah dengan menanyakan hal-hal bersifat umum tetapi berkaitan dengan pribadi subjek.
(39)
Kedua, subjek yang sudah bersedia untuk membagikan pengalamannya akan lanjut pada tahap wawancara. Kesediaan subjek ini dilakukan melalui informasi penjelasan berkaitan dengan penelitian yang diberikan oleh peneliti. Wawancara semi terstruktur dipilih untuk mendapatkan data dari subjek penelitian. Wawancara ini menggunakan panduan pertanyaan tetapi hanya digunakan sebagai pedoman agar pertanyaan wawancara tidak melebar. pertanyaan akan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan demi kelengkapan data. Hal ini juga membantu subjek merasa nyaman untuk menJawab pertanyaan penelitian. Demi kelengkapan data, proses wawancara direkam menggunakan
digital recorder.
Ketiga, pembuatan verbatim dari hasil wawancara yang sudah direkam. Data rekaman wawancara, didengarkan, disalin secara lengkap, dan dituangkan kedalam tabel verbatim. Tabel verbatim ini berfungsi untuk mengklarifikasi data yang diperoleh dari subjek.
Keempat, membuat tabel ringkasan hasil wawancara dari setiap subjek. Tabel ringkasan ini membantu peneliti menentukan tema dari pertanyaan penelitian. Tabel ini juga memudahkan dalam memilah informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.
Kelima, mengumpulkan tabel ringkasan wawancara, untuk menentukan tema dari seluruh hasil verbatim subjek. Tema-tema yang sudah ditemukan, membantu subjek untuk melangkah ke tahapan berikutnya yaitu membuat horizonaliting (menghilangkan pernyataan yang tumpang tindih/ tidak sesuai dengan topik). Tahap ketujuh, membuat tabel pengalaman (apa yang dialami dan
(40)
bagaimana fenomena itu dialami). Tabel pengalaman ini merupakan penjelasan naratif dari hasil pengalaman.
Tahapan yang terakhir adalah membuat pembahasan dari setiap pengalaman subjek. Dari pembahasan ini kesimpulan dari keseluruhan hasil dapat diperoleh. Langkah ini merupakan akhir dari proses kegiatan penelitian. Langkah ini juga paling menentukan daripada langkah-langkah sebelumnya.
E. Metode Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode
interview/ wawancara semi terstruktur. Pertanyaan yang diajukan dikembangkan
berdasarkan point-point yang berhubungan dengan topik penelitian yang ingin diketahui.
Proses pengumpulan data dimulai dengan menyusun panduan pertanyaan wawancara berdasarkan fokus penelitian. Panduan pertanyaan disusun dalam bentuk pertanyaan terbuka sehingga tidak mengarahkan subjek pada Jawaban tertentu.
(41)
Tabel 2
Panduan Wawancara No. Panduan Wawancara
1. Menurut bapak, Bagaimana sebenarnya peran seorang istri?
2. Menurut pandangan bapak, bagaimana peran seorang istri yang bekerja itu?
3. Bagaimana awal mulanya sehingga istri bapak bekerja?
4. Pada saat itu, apa alasan khusus yang menyebabkan istri bapak juga bekerja?
5. Bagaimana perasaan bapak pada mulanya saat itu ketika menghadapi situasi memiliki istri yang bekerja?
6. Seiring dengan berjalannya kondisi tersebut, seperti apa perasaan bapak?
7. Apa yang bapak pikirkan pada mulanya saat itu ketika menghadapi situasi memiliki istri yang bekerja?
8. Menghadapi situasi istri yang bekerja, apa yang bapak pikirkan selama situasi tersebut berjalan?
9. Ketika istri bekerja, permasalahan apa yang bapak alami?
10.Bagaimana perasaan bapak ketika menghadapi permasalahan tersebut?
11.Apa yang bapak pikirkan ketika mengalami permasalahan tersebut? 12.Bagaimana bapak menghadapi permasalahan yang bapak alami
ketika istri bekerja?
13.Tindakan apa yang bapak lakukan untuk mengatasi permasalahan yang dialami tersebut?
14.Apa harapan bapak kedepannya dengan memiliki istri yang bekerja?
Tahapan proses wawancara
1. Mencari subjek untuk dijadikan partisipan penelitian
2. Melakukan perkenalan, membangun rapport, dan memastikan kesediaan subjek untuk menjadi partisipan
3. Menyusun jadwal pertemuan wawancara antara subjek dan peneliti 4. Melakukan wawancara secara bertahap.
Proses wawancara dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara. Pertanyaan yang akan diajukan dalam proses wawancara
(42)
menggunakan metode wawancara semi terstruktur. Proses wawancara akan dilakukan hingga ditemukan data pengalaman subjek secara utuh. Untuk mendapatkan data wawancara yang utuh, proses wawancara direkam menggunakan digital recorder kemudian disalin dalam transkrip wawancara verbatim.
F. Proses Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara. Proses pengumpulan data diawali dengan mencari subjek penelitian. Setelah subjek penelitian berhasil ditemui dan setuju untuk menjadi partisipan, peneliti membuat rencana pertemuan dengan partisipan. Wawancara partisipan dimulai dengan menyetujui informer concert oleh partisipan. Lalu peneliti melakukan wawancara semi terstruktur. Pertanyaan-pertanyaan diajukan berdasarkan panduan yang sudah dibuat. Namun dalam prosesnya wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang mengalir demi tercapainya kedalaman pengalaman yang ingin diketahui oleh peneliti.
Pada subjek 1, rapport dilakukan secara cepat dan lancar. Setelah rapport dilaksanakan dengan baik dan subjek mengerti dengan tugasnya, wawancara dilaksanakan secara bertahap.
Hasil wawancara yang sudah dilakukan ditranskrip dalam bentuk verbatim wawancara. Selama proses tersebut peneliti membangun rapport dengan subjek penelitian yang berikutnya yakni subjek 2. Begitu seterusnya hingga didapat subjek 3, subjek 4 dan subjek 5.
(43)
Setiap proses wawancara memiliki durasi antara 30-45 menit. Dalam prosesnya apabila subjek masih bersemangat bercerita di luar konteks penelitian, proses wawancara tetap dilanjutkan.
Tabel 3
Jadwal Pengambilan Data Penelitian
G. Metode Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis fenomenologi interpretatif. Tahapan dalam menganalisis data dalam analisis fenomenologi interpretatif adalah sebagai berikut:
1. Mencari Tema-Tema dalam Suatu Kasus
Mencari tema-tema dalam suatu data transkrip penting untuk membaca berulang-ulang secara cermat agar akrab dengan data. Transkrip dibaca kemudian keterangan mengenai makna diletakkan pada margin sebelah kiri.
NO SUBJEK TANGGAL DURASI KETERANGAN
1. AP 3 Juli 2012
6 Juli 2012 9 Juli 2012 30 Juli 2012
09.51-10.09 09.55-10.25 10.20-10.27 Rapport Wawancara I Wawancara II Wawancara III
2. SM 19 Juli 2012
19 Juli 2012 23 Juli 2012
10.55-11.20 10.40-10.50
Rapport Wawancara I Wawancara II
3. HM 19 Juli 2012
23 Juli 2012 2 Agustus 2012
09.20-09.42 10.01-10.05
Rapport Wawancara I Wawancara II
4. SW 23 Juli 2012
26 Juli 2012 6 Agustus 2012
08.30-09.15 09.10-09.17
Rapport Wawancara I Wawancara II
5. AM 19 Juli 2012
8 Agustus 2012 15 Agustus 2012
10.00-10.30 10.15-10.45
Rapport Wawancara I Wawancara II
(44)
Tema-tema yang ditemukan memindahkan respon dari partisipan kepada istilah-istilah psikologis (Smith dan Osborn, 2003).
2. Mengaitkan Tema-tema yang Ada
Tahap berikutnya adalah mencari koneksi antara tema-tema yang ada. Pengelempokan diurutkan berdasarkan kemunculan dalam transkrip, dilanjutkan pengurutan yg bersifat analitis. Setelah pengelompokan tema dilakukan peniliti membandingkan pemahaman yang dibuat tersebut dengan apa yang sesungguhnya dikatakan partisipan. Tahap berikutnya, kelompok tema tersebut diberi nama dan penanda untuk menunjukkan keberadaannya dalam transkrip (Smith dan Osborn, 2003).
3. Melanjutkan Analisi dengan Kasus-kasus Lain
Tema-tema yang ditemukan pada satu kasus dikaitkan dengan temuan tema-tema pada kasus lainnya. Tema-tema tersebut lalu masukkan dalam tabel kolompok subjek. Hal ini guna memudahkan melihat titik temu dan titik pisah dari tema-tema setiap kasus (Smith dan Osborn, 2003).
H. Validitas Penelitian
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan validitas komunikatif. Transkrip data yang sudah diperoleh dikonfirmasikan kembali kepada subjek dan mengkoreksi data yang tidak sesuai dengan realitas. Transkrip data dinyatakan sah apabila sesuai dengan realitas pengalaman subjek.
Untuk memenuhi validitas data yang diperoleh, setiap subjek diminta untuk membaca kembali dan mengkoreksi data transkrip mereka masing-masing.
(45)
Setelah membaca ulang transkrip data, hasilnya hanya satu subjek saja yang mengkoreksi data.
I. Refleksi Peneliti
Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu yang cukup panjang. Proses awal dilakukan dengan cukup lancar, dari pengerjaan bab 1 sampai dengan bab 3. Hal yang berkesan yang langsung dirasakan oleh peneliti adalah pada saat pengambilan data. Setelah menemukan beberapa subjek yang bersedia membagikan pengalamannya, proses wawancara terkait dengan tema penelitian pun dilakukan. Jumlah subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima orang. Dari pertanyaan yang diajukan oleh peneliti, kelima subjek ini memberiikan nuansa cerita yang berbeda-beda. Kehidupan keluarga para subjek diceritakan kepada peneliti dengan begitu unik. Mengesankan adalah ketika subjek menceritakan setiap detil tugas-tugas rumah tangga yang dilakukan. Ada subjek yang menceritakan, bagaimana ketika subjek menghadapi masalah yang muncul ketika suami istri bekerja namun mereka mulai memiliki anak yang harus diberi perhatian. Ada pula cerita tentang ketika istri sibuk memasak dan suami mencuci. Hal tersebut dialami oleh subjek dalam kehidupan keluarga mereka dengan kondisi istri yang juga bekerja. Kesenangan dan kesusahan dialami oleh para subjek. Berbagai cara juga dilakukan agar kehidupan keluarga terhindar dari permasalahan. Hal ini memberii gambaran kehidupan keluarga kepada peneliti. Tidak menutup kemungkinan peneliti akan menghadapi keadaan yang sama dengan subjek penelitian ini. Harapannya ketika peneliti memiliki keluarga
(46)
dimasa depan hal ini menjadi pegangan bagaimana menghadapi dan bersikap antara suami dan istri.
(47)
31 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan pemaknaan pengalaman laki-laki Jawa tentang istri bekerja. Pemaknaan pengalaman ini menjelaskan bagaimana laki-laki Jawa memaknai pengalaman mereka tentang istri bekerja.
A. Profil Subjek
Tabel 4
Data Demografi Subjek
Subjek AP Subjek SM Subjek HM Subjek SW Subjek AM
Usia 36 tahun 39 tahun 38 tahun 41 tahun 34 tahun
Suku Jawa Jawa Jawa Jawa Jawa
Tempat, tanggal lahir
Yogyakarta,
10 April
1977
Cilacap, 22 Agustus 1972
Sleman, 5
Oktober 1974
Bantul, 11
Juni 1972
Bekasi, 16
Maret 1979
Pekerjaan Karyawan
swasta
PNS (Guru) PNS (Guru) PNS (Guru) PNS (Guru)
Pendidikan Diploma 1 Strata 1 Strata 1 Strata 1 Strata 1
Pekerjaan istri
Karyawan rumah sakit swasta
PNS (Guru) PNS (Guru) Guru PNS (Dinas
PU)
Agama Katolik Islam Islam Islam Islam
Anak - 2 orang 2 orang 2 orang 2 orang
(48)
Berdasarkan data demografi di atas, subjek penelitian berjumlah lima orang. Subjek penelitian adalah laki-laki yang berasal dari suku Jawa dan dibesarkan dalam keluarga Jawa. Kelima subjek memiliki status sudah menikah. Rentang usia yang dimiliki adalah 30-40 tahun. Subjek satu berusia 36 tahun, subjek dua 39 tahun, subjek tiga 38 tahun, subjek empat 41 tahun, dan subjek lima berusia 34 tahun. Pendidikan terakhir yang dimiliki berada ditingkat sarjana dan D3.
Sebagai seorang kepala keluarga kelima subjek memiliki pekerjaan untuk memenuhi tanggung Jawabnya. Beberapa subjek penelitian ini berprofesi sebagai seorang pengajar ditingkat sekolah menengah atas negri, dan ada juga yang memiliki profesi sebagai karyawan swasta. Keempat subjek menganut agama Islam dan ada yang menganut agama Katolik. Kelima subjek berstatus menikah dengan istri yang bekerja. Ada yang berprofesi sebagai pengajar ditingkat SMA, karyawan rumah sakit swasta dan dosen.
Usia pernikahan kelima subjek juga beragam, berkisar antara 3 tahun hingga belasan tahun. Subjek satu belum memiliki anak, subjek dua memiliki dua anak, subjek tiga memiliki dua anak, subjek empat memiliki dua anak, dan subjek lima memiliki dua anak. Kesemua subjek penelitian berdomisili di Yogyakarta setelah menikah.
(49)
B. Hasil Analisis Penelitian
Hasil penelitian merupakan merupakan hasil penemuan tema-tema pada kelima subjek. Beberapa tema yang telah ditemukan ini dikategorikan kedalam tema yang lebih umum. Kategori tema didasarkan pada tema-tema yang saling berhubungan.
Tema-tema umum ini membantu peneliti menemukan makna dari pengalaman. Hasil penelitian ini membahas penemuan makna yang didasarkan pada rumusan masalah penelitian ini. Penemuan makna berdasarkan pengalaman laki-laki Jawa tentang istri yang bekerja.
1. Subjek I
a. Deskripsi subjek AP
Subjek AP laki-laki yang berasal dari Jawa berusia 36 tahun. AP berprofesi sebagai seorang karyawan swasta. Pendidikan terakhir AP adalah Diploma 1. AP berstatus menikah dengan istri yang juga bekerja. Istri AP bekerja sebagai karyawan di salah satu rumah sakit swasta sekaligus menjadi seorang dosen. Pendidikan terakhir istri AP adalah Strata 1. Subjek berdomisil di daerah Godean, Yogyakarta. AP beragama Katolik.
(50)
Sebelum bertemu dengan AP, istri AP sudah bekerja. Dari awal sebelum menikah, AP dan istri sudah membicarakan tentang pendapatan yang dimiliki. AP dan istri berusaha untuk saling terbuka sejak awal
“Kalau awal mulanya memang sebelum ketemu dengan saya, istri memang sudah bekerja, jadi itu sudah tidak ada masalah. Dan saya juga tahu dari awal, bukan hanya itu aja masalah pendapatan, itu kita juga..juga
terbuka” (AP)
AP membangun kehidupan bersama istri dengan berlandaskan pedoman yang mereka pegang bersama. AP menawarkan pedoman yang ia sebut S10 kepada istri. S10 tersebut berisi “Setiap Saat Selalu Sayang Setia Seiya Sekata Sehidup Semati Selamanya”. Dengan adanya pedoman tersebut AP bersama istri berharap bisa menjadi pondasi dalam membangun kehidupan pernikahan AP.
“kita buat satu kesepakatan itu, S 10 itu. Dan itu saya tawarkan kepada istri, istri juga ya mau. Ya jadi itu awalnya itu dari pengalaman-pengalaman dulu itu gagal, nah trus kebentuknya itu, S 10 itu…. lambang $ 10, itu sebenarnya lambang kita, itu pertama. Trus yang di buku panduannya itu juga ada kita sisipkan ya itu, setiap saat selalu sayang setia seiya sekata sehidup semati selamanya. Nah itu kita cantumkan di panduan, supaya apa, supaya kita itu inget jadi bukan sekedar omongkosong tapi bener-bener kita hayati dalam kehidupan keluarga, seperti itu” (AP)
Pondasi ini menjadi pedoman yang menguatkan kehidupan berkeluarga subjek. Setiap Saat Selalu Sayang pada pasangan. Setia diartikan sebagai kesetiaan pada pasangan. Seiya Sekata dalam berkomunikasi dan menggambil keputusan bersama. Harapan akan Sehidup Semati dalam menjalani hidup berkeluarga Selamanya. Prinsip ini lah yang menjadi pegangan kehidupan keluarga AP dan istri.
(51)
“Jadi ini prinsip kita bersama dan ini harus kita pegang bersama, jadi setiap saat itu selalu sayang, ketika ada suat masalah bertengkar atahupun rame kita ingat kembali „oo iya setiap saat ki kudu sayang e‟ jadi trus marah e trus hilang. Setia, setia ini adalah hal yang juga penting, Karena dalam perjalanan hidup berkeluarga kita mungkin ada gangguan dari luar, „aku
kudu setia‟. Seiya sekata, ini di dalam menggambil keputusan itu kita saling
komunikasi, apik e tu piye. Nek iya yo ho‟o, nek ora yo ora. Seiya sekata. Jadi satu setiap keputusan itu kita ambil secara bersama-sama dan kita mengutamakan apik e piye. Jadi bukan apik aku sendiri, bukan. Tapi sama-sama berdua apik e gimana. Dan harapan kita juga sehidup semati, ngopo kok sehidup semati? karena dulu saya itukan juga pernah punya pacar, tetapi Karena berbeda prinsip jadi trus misah, berartikan gak sehidup semati. Harapan kita dengan yang sekarang ini kita mencoba untuk sehidup semati. Nah selamanya” (AP)
(52)
b. Pengalaman tentang istri bekerja Tabel 5 Subjek I AP
Peran seorang istri Peran istri adalah untuk bekerja sama dalam
keluarga
Istri melayani suami
Istri itu berperan mengurus urusan rumah tangga
Peran istri yang bekerja Peran istri bekerja itu membantu ekonomi keluarga
Istri bekerja itu agar bisa berkembang dan membagikan ilmunya
Perasaan memiliki istri bekerja
Merasa minder karena pendapatan istri lebih tinggi Merasa belum bisa memberiiikan lebih kepada pasangan
Merasa senang karena dipahami pasangan. Merasa kondisinya diterima oleh pasangan Merasa belum terbiasa dengan permasalahan yang timbul
Suami itu memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada istri
Keinginan untuk dilayani oleh istri Menghadapi situasi istri
bekerja
Mencoba untuk terbuka untuk masalah pendapatan Mensharingkan permasalahan yang dihadapi dengan teman.
Berusaha menyesuaikan pola pikir untuk menghadapi perubahan jaman
Membagi waktu sebaik mungkin supaya bisa bersama-sama
Menjaga komunikasi dengan istri
Mengambil peran untuk ikut serta mengurus urusan rumah tangga
Dari tabel diatas dapat dilihat subjek AP menyatakan bahwa peran seorang istri begitu besar di dalam keluarga. Istri berperan untuk bekerja sama membantu di dalam keluarga.
“peran seorang istri dalam suatu kehidupan itu menurut saya begitu besar, karena keluarga ayah dan istri itu.. apa namane itu, saling bekerja
(53)
Selain itu, memiliki istri yang bekerja tidak membuat AP beranggapan bahwa peran mengurus rumah tangga bukan dilakukan oleh istri. Istri bagi AP berperan dalam hal mengurus rumah tangga. Istri juga berperan dalam hal melayani suami.
“apa ya istrilahnya.. istri jarang masak di rumah hahaha..” (AP)
“nyuwun sewu aja, dalam pelayanan seorang istri kalau pagi membuatkan kopi, membuatkan teh itu juga ga ada. Padahal kebanyakan suami pingin seperti itu, pengen dilayani, kalau pagi dibikinkan teh, dibikinkan untuk sarapan itu kurang” (AP)
Kebutuhan yang besar dalam hidup berumah tangga membuat AP merasakan peran dari memiliki istri yang bekerja. Istri yang bekerja itu berperan membantu perekonomian keluarga AP. AP mengungkapkan bahwa dengan memiliki istri bekerja, kebutuhan hidup yang besar bisa tercukupi.
“…Kalau seandainya saya hanya bekerja sendiri otomatis kebutuhan hidup yang besar itu tidak bisa mencukupinya. Tetapi ketika istri saya itu bekerja nah itu juga sangat membantu kehidupan kita berkeluarga. Jadi yang semula itu kurang trus jadi kebutuhannya cukup. Walaupun mungkin masih sering kurang tetapi karena dua-duanya itu bekerja yang kurang itu
trus jadi cukup.” (AP)
Di awal saat memiliki istri bekerja subjek AP merasa minder dengan keadaan dirinya. AP merasa belum bisa memberiiikan hal-hal yang dibutuhkan oleh pasangan. Sedangkan, dilihat dari segi pekerjaan istri memiliki posisi yang lebih tinggi dan pendapatan yang juga lebih besar. Oleh karena hal ini lah AP menjadi merasa minder, dan tidak siap
(54)
dengan keadaan istri yang bekerja. Subjek AP mencoba untuk berani terbuka sejak awal tentang perasaan yang dia rasakan ketika istri bekerja.
“…Dan saya juga tahu dari awal, bukan hanya itu aja masalah
pendapatan, itu kita juga.. juga terbuka karena waktu itu terus terang saja saya itu minder, karena apa, karena dilihat dari sisi pekerjaannya mungkin istri itu lebih.. lebih apa ya? Lebih tinggi, itu pertama. Kedua dari pendapatannya pun lebih tinggi, jadi waktu itu saya minder tapi saya
mencoba untuk berani terbuka dari awal.” (AP)
Pada awal mulanya rasa minder karena merasa bahwa dirinya belum mampu memberiiikan apa yang istri butuhkan berganti menjadi rasa senang. Rasa senang itu muncul ketika AP berusaha terbuka dengan keadaan dirinya kepada istri. AP merasa senang karena istri bisa menerima kondisi dirinya. AP berpendapat bahwa istri mau menerima diri subjek apa adanya.
“Yang saya rasakan, apa ya.. ya sekarang saya merasa senang soalnya
ya senang karena istri bisa memahami keadaan saya pribadi. Soalnya banyak keluarga yang terkadang itu ribut masalah keuangan. Mungkin karena istri nya bekerja dan penghasilannya lebih tinggi, terkadang istri itu tidak menghargai suamine, karena dia merasa lebih tinggi penghasilannya. Tapi yang saya seneng kalau untuk saya sendiri, dia juga menerima apa adanya itu” (AP)
“..Saya seneng kalau untuk saya sendiri, dia juga menerima apa adanya itu. Saya pikir memang, hal seperti itu memang kembali lagi dari awal dari semula menjalin suatu hubungan. Itu yang menurut saya modal utama untuk kita saling mengerti. Jadi perasaan saya sekarang saya senang karena istri saya bisa menerima itu. Nggih” (AP)
Subjek AP, berpendapat bahwa ia menerima pada awal mula istri bekerja karena melihat pengalaman yang sudah pernah ia alami bahwa akan kesulitan masalah materi. Subjek juga membutuhkan bantuan istri untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang begitu besar. Subjek berpikir
(55)
apabila hanya ia yang bekerja, tentunya akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang besar.
Sebelum membina rumah tangga dengan istri pun, AP berusaha mencari dukungan dari teman-temannya. Ketika itu AP menjadi lebih yakin menghadapi situasi memiliki istri yang bekerja dengan mensharingkan situasi yang akan dihadapi
“Nah waktu itu memang sebelum kita nikah itu, saya memang sudah mencoba untuk mensharingkan ke temen. Entah itu temen-temen kantor, entah itu temen-temen maen. Ya waktu itu tanggapan temen-temen itu yo ya gak ada masalah, jaman sekarang itu gak masalah, mbuh itu istri luwih dhuwur itu gak ada masalah. Sing jelas dua-duanya itu saling menerima”
(AP)
Selama situasi berjalan subjek AP berusaha menerima kondisi yang ia alami. Ia berusaha menerima walaupun pada kenyataan yang dihadapi tidak sesuai dengan yang subjek harapkan. Memiliki istri yang bekerja membuat subjek dihadapkan pada kenyataan bahwa ia tidak sepenuhnya dilayani istri. Maksud dari dilayani ini adalah istri tidak melaksanakan sepenuhnya tugas sebagai seseorang yang melayani urusan rumah tangga. Contohnya, ketika istri bekerja istri terkadang tidak sempat membuat sarapan untuk subjek. Ini adalah salah satu kondisi yang berusaha diterima oleh subjek walaupun hal tersebut tidak sesuai dengan keinginan dirinya.
“kebanyakan suami pingin seperti itu, pengen dilayani, kalau pagi dibikinkan teh, dibikinkan untuk sarapan itu kurang, bahkan mungkin endak… Tetapi pada dasarnya saya sendiri tidak masalah seperti itu, Karena peran sorang istri bukan hanya masak, bukan hanya buat minum,
(56)
bukan hanya njuk yang seperti kita inginkan. Bukan. Tapi suamipun sebenarnya bisa seperti itu, jadi gak perlu harus dilayani, gak perlu harus dimasakin, nah itu kita juga bisa sendiri, bisa buat minum sendiri, kalau ada
waktu kita bisa buat masak sendiri” (AP)
AP juga memiliki keyakinan bahwa dalam budaya Jawa itu, laki-laki seharusnya bisa memenuhi kebutuhan pasangannya. AP menjadi merasa minder ketika istri bisa memenuhi kebutuhan tanpa bantuan subjek. Rasa minder ini menunjukkan bahwa AP merasa dirinya belum bisa melakukan peran yang ia yakini ada dalam tradisi Jawa. Laki-laki dianggap lebih tinggi daripada perempuan.
“..menurut tradisi, suami itu harus lebih tinggi dari pada istri apalagi di Jawa ya. Di Jawa itu nek bisa yo raja nya itu yang laki, nek putri ya ratu ne. itu yang membuat saya itu minder itu karena saya sendiri menyadari bahwa saya belum bisa memberiiikan lebih, misalkan istri mau apa, mau apa, saya kan belum bisa mencukupi itu makanya saya minder, sedangkan istri sendiri bisa mencukupi kebutuhan hidup sendiri tanpa bantuan saya” (AP)
Perasaan yang muncul ketika menghadapi permasalahan adalah merasa belum terbiasa. .AP merasa belum terbiasa dengan permasalahan yang ia hadapi. Hal ini dipicu oleh keadaan yang tidak sesuai dengan keinginan dirinya. Ketidaksesuaian antara apa yang menjadi gambaran subjek sebelum menikah dengan yang ia jalani saat menikah memicu timbulnya perasaan kecewa dalam diri AP.
“Memang kalau pertama-tama itu ya agak… agak gimana ya.. agak
belum terbiasa. Agak.. mungkin masih penyesuaian ya. Jadi apa yang dulu gambaran-gambaran saya sebelum nikah bahwa suami itu hidupnya itu katakanlah dilayani itu gak bener gitu lho. Jadi yang dirasakan itu ya agak berbeda dengan gambaran-gambaran saya sebelum nikah” (AP)
(57)
AP berusaha menerima permasalahan yang dialami dengan jalan mengubah pola pemikirannya selama ini. AP merasa bahwa dirinya harus menyesuaikan diri dengan perubahan jaman saat ini. AP berusaha mengubah pemikiran bahwa tidak selamanya istri itu hanya melayani suami. Istri bisa melakukan hal lain di luar hal tersebut.
“saya berusaha untuk mengubah pola pikir saya. Pola pikir saya yang seperti itu harus diubah karena itu mungkin jaman dulu seperti itu ya, tapi jaman-jaman sekarang itu gak bisa seperti itu” (AP)
Selain itu, penyesuaiaan diri dilakukan oleh AP dengan cara ikut serta dalam peran mengurus urusan rumah tangga. Jika istri tidak bisa melakukan seluruh tugas rumah tangga, maka AP akan mengerjakan tugas-tugas yang tidak terselesaikan.
“Karena kebanyakan orang itu, istri yang melayani suami, tapi jaman
-jaman sekarang ini tidak harus seperti itu. Suamipun bisa melayani istri. Jadi ketika mungkin istri pagi tidak membuat minum atahu apa gitu, kita pun bisa melayani istri. Kita yang membuatkan minum. Jadi saya juga enggak malu, enggak.. apa itu istrilahnya? Enggak merasa kudu, “kowe kudu
mgawekke aku minum” enggak. Saya pun misalken saya pas selo, saya pas
longgar. Yaudah saya buat minum untuk istri. Jadi saling lah” (AP)
Permasalahan yang dialami oleh subjek berusaha diselesaikan dengan berbagai macam cara. Subjek AP berusaha menyelesaikan permasalahan yang ia hadapi dengan cara membagi waktu luang yang dimiliki. Hal tersebut dimaksudkan agar subjek dan istri memiliki waktu untuk bersama-sama dan bertemu untuk saling berkomunikasi.
“Alternatifnya apabila istri jarang masak di rumah yaitu makan di luar.
tetapi memang ketika libur bersama-sama kita mencoba melungkan waktu masak bersama-sama. Untuk masalah yang dilayani itu suami pun dapat melayani istri jadi ketika istri tidak dapat melayani maka suami yang
(1)
52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107
punya ilmu pengen diterapkan, kan begitu saja. Kalau saya gak ada keberatan yang lain-lain, toh juga kerjaannya juga gak yang aneh-aneh, terus resiko istri saya juga terbuka, kerja terus teman-temannya cowok itu terbuka kalau saya tanya, diantar teman pasti cerita ke saya, ya itu jadi saya gak ada masalah. Sejauh ini belum ada masalah, karena istri saya bekerja. Paling-paling, tapi ini Cuma masalah ini saja, misalkan saya di sini ini kan. Misalkan saya berangkat ini, atahu besok malam itu saya harus saya punya tugas untuk nginep di sini, tapi istri itu mungkin merasa kesepian gitu ya, jadi agak berat begitu. Atahu pas hari sabtu saya harus kerja, istri saya kan tidak kerja kadang-kadang ngelepasnya itu berat, tapi itukan bukan karena kerja saya gitukan. Ya Cuma karna saya meninggalkan dia saja, gak ada temannya di rumah, gitu saja. Kalau kaitannya dengan kerja ndak ada. Status kerja itu gak ada.
Ya mungkin kalau kita merujuk ke peran istri tapi secara konvensional atahu mungkin secara agama yang saya tahu mungkin peran istri saya sedikit kurang berjalan. Tapi saya rasa sejauh peran-peran itu bisa ditambal sulam. Tambal sulam itu ya artinya saya punya pembantu begitu, sejauh saya bisa melakukan peran itu. Kalau kayak momong anak itukan saya juga bisa, ndulang anak juga bisa. Sejauh itu kalau berkurang dikit gak masalah, kalau peran itu berkurang sedikit gak masalah. Tapi kalau kita ukurannya norma-norma yang lain, mungkin peran istri saya berkurang. Tapi kalau peran dia sebagai ibu saya rasa masih. Sebagai ibu itu masih dan peran dia sebagai istri itu saya rasa 90 persen itu masih. Jadi ya gak masalah.
Ya saya rasa, mungkin norma agama ya yang konvensional, ini pemahaman saya mungkin juga keliru, sejauh yang saya tahu kalau norma agama yang saya anut, ya mungkin istri itu lebih itu kerjanya tinggal di rumah, ngurus anak, menjaga harta suaminya, menghindari fitnah dan tidak boleh keluar kan begitu. Kalau ukurannya norma itu saya rasa istri saya gak masuk kualifikasi. Tapi bagi saya, saya rasa agama itu tidak, itukan mungkin interpretasi ulama juga ya mungkin. Interpretasi ulama itu interpretasi seseorang begitu. Saya rasa beragamanya seseorang dalam meyakini itu, saya juga meyakini itu ya sejauh saya sudah melakukan hal yang baik, niatnya juga baik tidak melanggar apa yang dilarang, kaitannya dengan fitnah itu juga bisa dihindari. Lalu tugas istri saya bisa di cover saya atahu entah pembantu saya, kalau nyuci bisa dengan mesin cuci ya sudah gak masalah. Ya saya rasa begitu. Jadi untuk norma-norma itu saya sendiri masih, ya apa ya, mungkin itu juga butuh interpretasi lagi, dan saya sendiri juga gak meyakini itu.
Ini sejauh pemahaman saya ya, kalau di dalam agama itu dari hadis, meskipun saya gak hapal satu hadis dua hadis itu. Pembagiannya itu pembagian dalam rumah tangga itu jelas suami itu di luar rumah mencari nafkah, menafkahi istri dan anak, itu seperti itu. Lalu kalau istri itu bagian domestik, di rumah mendidik anak bahkan kalau dalam agama hal-hal yang fitnah itu hendaknya dihindari. Seperti misalkan dia keluar rumah, dia bahkan pergi ke mesjidpun kalau itu menimbulkan fitnah ya jangan pergi ke mesjid. Nah sejauh yang saya tahu sampai sekarangpun interpretasi itu belum pernah berubah. Saya belum pernah menemukan dalam buku-buku agama, bahwa perempuan itu katakanlah bebas untuk mengejar karir itu, saya jujur belum pernah melihat itu. Yang saya tahu perempuan dan laki-laki itu wajib untuk mencari ilmu. Itu wajib, dari ketika dia lahir bahkan dari buaian bahkan sampai liang lahat itu yang saya tahu. Jadi artinya sepemahaman saya belum pernah melihat agama itu memberiikan
Peran istri secara ajaran agama itu kurang
Peran istri yang kurang bisa digantikan dengan bantuan orang lain
Istri bekerja itu peran sebagai ibu masih.
(2)
123
108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163kelonggaran untuk katakanlah bahkan untuk itu tadi berkarir dengan luas. Kalau saya yang saya pahami, ini yang saya pahami ya, itu yang saya tahu. Bahwa laki-laki dan perempuan itu sama-sama manusia. Kedua sama-sama punya hak untuk berkembang, untuk berekspresi, untuk maju. Bahwa memang ada kodrat-kodrat tertentu laki-laki dan perempuan itu pasti punya. Tapi yang pasti kalau di dalam rumah tangga apalagi di kehidupan modern seperti ini ya saya pikir sejauh bahwa rumah tangga itu bisa berjalan. Sejauh bahwa hal-hal dari istri saya itu bisa dilaksanakan dengan bantuan, sejauh juga bisa berkembang itu gak masalah. Jadi saya gak pernah meyakini ajaran-ajaran agama yang saklek seperti itu. Saya pikir gerak jamannya, semangat jamannya, arus jamannya sudah seperti ini. Artinya dunia memang menuntut kita untuk lebih terbuka baik perempuan dan laki-laki. Ya mungkin kalau di Indonesia di mulai dari Kartini ya, spirit jamannya harus ada pendobrakan seperti itu. Saya sendiri curiga bahwa interpretasi agama yang ada hanya interpretasi budaya. Interpretasi dari orang-orang fikih, ahli-ahli fikih yang sebetulnya dia tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan budaya, adat istriadat. Baik itu yang di Arab juga di Indonesia dan seterusnya. Kalau agama itu ditabirkan dengan lebih jujur, lebih manusiawi saya yakin laki-laki dan perempuan itu punya kesempatan untuk bisa berekspresi, untuk kerja. Bahkan ketika perempuan ada jadi rewang jadi pembantu di rumah saya sebetulnya itu juga jadi bagian dari perempuan itu juga bisa kerja meskipun hanya minim katakanlah jadi pembantu begitu. Dan saya pikir itu sebagai sesuatu yang baik. Ya mungkin karena banyak ahli fikih yang laki-laki, san sejauh yang saya tahu ahli fikih itu kebanyakan dari Arab. Sekarang ahli fikih yang dari Indonesia siapa, kalau pun ada pasti rujukannya dan pertimbangannya bukan dari budaya Indonesia. ya kalau dengan istri saya melihatnya lebih dari itu, dia sebagai teman hidup.
Ya saya maklum, maklum istri saya itu artinya saya membolehkan dia kerja. Saya juga melihat bahwa istri saya itu juga manusia. Dia punya hak mendapat pendidikan, dan dia sudah mendapat pendidikan to. Nah kalau sudah punya ilmu ya mestinya diamalkan. Ya saya rasa itu bentuk permakluman saya. Yang kedua dia juga butuh ekspresi, ekspresi dari ilmunya itu tadi. Terus ada lagi yang mungkin belum saya sebutkan ya, ya mungkin ini juga patut disebutkan karena mungkin ini kadang-kadang lebih, yang lebih agak-agak, cuma saya sebetulnya gak keberatan, cuma lebih menerjang-nerjang waktu rumah. Dia juga ikut organisasi keagamaan, juga mungkin sore harus keluar itu juga saya maklumi. Karena memang manusia butuh berekspresi. Dan sejauh itu, saya juga gak tahu jujur saja daya juga gak tahu batas saya itu bisa bertoleransi saya juga gak tahu. Misalkan nanti istri saya nanti mau S2, kan masih no problem juga. Istri saya mau S2 ya monggo saja, saya gak masalah. Yang jelas ini sebatas saya yang terlintas ya, batasan saya, bahwa istri saya kalau sore, kalau jumat siang itu sudah pulang. Malam itu bersama saya. Saya mungkin orang yang termasuk orangnya konvensional, ya istri itu ya dalam 24 jam mesti ada waktu bersama. Bersama suami bersama anak. Saya gak bisa terima, ini mohon maaf pandangan pribadi, kalau suami istri itu beda kota. Itu saya gak masuk akal begitu. Hahaha.. gak masuk akal karena ya itu suami istri itukan hubungannya kan lahir batin ya. Saya rasa toleransinya di situ. Itu juga karena saya sayang dia ya makanya bisa toleransi. Saya gak tahu mulainya dari mana dan itu sudah dan mungkin saya bisa jawab ini mungkin karena ini sudah berlangsung begitu maka saya. Dan semuanya lalu beradaptasi dengan sendirinya, mungkin saya juga
Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama
Menerima perubahan kehidupan modern yakni istri bekerja
(3)
164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219
karena sudah beradaptasi itu, mungkin ya.
Kalau menurut saya di dunia yang sudah demikian terbuka, global ini di mana laki-laki dan perempuan itu punya kesempatan untuk maju dan berkarir, ya banyak godaan lah. Ya saya bicara tentang godaan. Saya rasa hubungan suami istri yang saya yakini adalah hubungan yang suci. Ketika saya sudah berjanji dengan istri saya juga berjanji dengan Tuhan saya. Nah hubungan antara suami dan istri itu hubungan lahir batin sesuatu yang lahir batin itu harus dijaga dengan sesuatu yang lahir batin. Apa yang lahir batin itu bisa dicapai dengan saya dan istri saya juga setiap hari itu bertemu. Kalau saya ketemu itu berarti pertemuan lahir, kalau saya berbincang itu bisa batin. Bayangkan kalau saya beda kota, dua orang yang beda kota menurut pandangan saya hanya berbekal saling percaya. Bagi saya itu tidak masuk akal. Bahwa ada orang lain yang bisa melakukan itu saya juga tidak memungkiri. Kalau bagi saya saya hanya meminimalisir resiko.
Sejak awal bertemu sudah bekerja, jadi tidak ada diskusi apakah istri bekerja atahu tidak. Kalau yang ada itu malah mertua. Mertua itu malah takut kalau saya jadi suami menikah itu nanti saya meminta istri untuk keluar begitu. Padahal saya gak pernah meminta sama sekali. Jadi artinya kalau dengan istri saya gak pernah ada masalah. Dan yang kedua saya gak pernah memilih istri yang istri saya bekerja. Jadi artinya kriteria istri yang baik adalah yang bekerja begitu, saya juga gak pernah menentukan itu. Ya mungkin emang takdir itu.
Saya gak tahu, harus bersyukur atahu tidak. Kadang-kadang ya bersyukur, mungkin kalau masalah ekonomi bisa ya. Kalau dalam, tapi juga mungkin resiko pekerjaan saya itu cukup berat akhirnya saya juga khawatir. Jadi resikonya itu berat, terkait dengan jujur saja istri saya memang kerjanya di PU. Ya kata orang itu lahan basah. Ya mungkin termasuk orang yang pengennya ya bersih. Kadang-kadang dia harus banyak kontra dengan banyak orang. Selain itu PU itu juga banyak dirong-rong oleh banyak LSM. Ya kemaren itu sampai dipanggil kekejaksaan. Ya itu kalau orang belum pernah berurusan dengn hukum itu, yakan tahu sendiri kan. Ya sampai terlintas, istri saya yang terlintas untuk keluar. Kalau saya ya kalau mau keluar ya saya dukung, kalau enggak ya saya dukung.
Waktu itu ya masalah itu muncul, lalu ada pertimbangan-pertimbangan. Ya pertimbangan-pertimbangan itu muncul dari istri saya sendiri. Jujur saya kalau diskusi, kalau saya mendukung itu kaitannya dengan saya mendukung istri saya sebagai istri saya, sebagai orang yang saya sayangi. Kalau dia keluar bagi saya dia tetap berharga lah. Kalau kaitannya dengan mendukung itu saya akan pastikan ya akan baik-baik saja. Itu saya rasa, kalau saya sebagai suami ya. Ya semua akan baik-baik saja, entah masalah ekonomi, masalah perasaan saya ya tidak akan berubah. Cuma kalau dia tetep lanjut di PNS saya mendukung itu adalah bahwa satu hal ya saya rasa istri saya juga membela suatu nilai yang betul. Membela suatu yang dia yakini dan saya yakini juga tentu. Artinya saya mendukung dia dengan nilainya dengan keyakinannya dan saya juga berusaha menjelaskan proporsi-proporsi. Seperti misalnya istri saya diancam, dia tidak mau dijadikan katakanlah pejabat pembuat komitmen, jadi kaya kepala proyek tapi diatur pihak pemerintahnya. Istri saya mau gak karena resikonya besar, terkait dengan kongkalikong dan seterusnya, saya gak mau. Ketika itu ya saya berusaha menjelaskan bahwa dia itu mengabdi pada Negara bukan kepada perorangan. Kalau kamu menerima itu, toh kalau kamu menolak pekerjaan itu, kerjaan mu yang lain juga masih banyak. Itu biar diambil orang lain. Kalau kamu dipindah ya mungkin itu baiknya,
Merasa bersyukur status sosial baik
Merasa khawatir dengan resiko pekerjaan istri
Istri itu orang yang disayangi
(4)
125
220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239
saya sih berusaha mengambil sisi positifnya. Saya rasa begitu kalau untuk mendukung, karena saya juga gak begitu paham dengan masalah itu. Kalau saya dengan istri yang pasti berusaha mengembalikan itu pada Tuhan. Saya rasa itu yang proporsional. Dan itu pun juga sulit ya, kadang kalau kita berhadapan dengan manusia yang berperan akal. Padahal akal itu terbatas, kadang-kadang penentu segalanya itu jadi hilang, hilang arah. Kalau mendukung ya lewat jalan itu. Saya gak tahu kalau yang lain.
Ya kadang bersyukur, ya mungkin harusnya semuanya ya disyukuri. Kadang-kadang bersyukurnya itu jadi agak lupa ketika muncul masalah ya itu. Kalau yang lain-lain enggak. Kalau bersyukurnya ya kalau kaitannya dengan status sosial. Ya mungkin status sosial, ya ya dianggap itu enggak ya. Kalau dengan istri saya bekerja itu ya mungkin jadi lebih enak lah. Lebih enak dalam hal kalau misalkan, apa ya, tapi ya gak begitu banyak juga. Yaa status sosial itu juga bukan sesuatu yang diharapkan, tapi itu datang begitu saja. Mungkin orang yang melihatnya ya, kita cuma mensyukurinya saja. Ya kalau orang kalau liat PNS begitukan beda. Cuma gitu aja. Mungkin orang lain di kampung melihat masih kerja, punya kerja, ya punya kesibukan, cuma itu aja gak ada yang lain-lain. Dan itu datang dengan sendirinya, artinya gak ini juga. Cuma itu aja.
Status sosial menjadi dipandang baik ketika istri bekerja
(5)
vi
PEMAKNAAN PENGALAMAN LAKI-LAKI JAWA TENTANG ISTRI YANG
BEKERJA
Adita Primasti Putri
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi secara terperinci pemaknaan pengalaman laki-laki Jawa tentang istri yang bekerja. Ketertarikan terhadap pemaknaan pengalaman didasarkan pada adanya pergeseran peran yang tidak sesuai dengan budaya patriaki di daerah Jawa. Penelitian ini berfokus pada bagaimana laki-laki Jawa memaknai pengalaman tentang istri yang bekerja melalui apa yang dirasakan, dipikirkan dan dialami. Penelitian ini dilakukan terhadap lima subyek penelitian. Metode yang digunakan adalah kualitatif fenomenologi dengan teknik pengumpulan data yaitu wawancara semi terstruktur. Proses validitas yang digunakan adalah validitas komunikatif, yaitu pernyataan dianggap terpercaya jika data yang didapatkan mampu menggambarkan realitas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman tentang istri yang bekerja dimaknai sebagai: 1) istri bekerja itu meningkatkan harga diri yang positif pada laki-laki Jawa karena mendapatkan pandangan yang baik dari masyarakat, 2) laki-laki Jawa merasa perannya terancam oleh adanya perubahan peran yang dilakukan istri bekerja
(6)
vii
THE MEANING OF JAVANESE MEN’S EXPERIENCES OF THE
WORKING WIVES
Adita Primasti Putri
ABSTRACT
This research aims to explore specifically about the meaning of Javanese men’s experiences about the working wives. The interest in the meaning of experiences is based on the role friction which is not relevant with the patriarch’s culture in Java region. The focus of this research is on how Javanese men interpret the experiences of the working wives about what they feel, what they think, and what they are experienced. This research was conducted on five research subjects. The method used was the qualitative phenomenology with semi-structured interview as the data gathering technique. Communicative validity was used as the validity process in which the statement was valid if the data gathered was able to describe the reality. The results of this research show that the experience of the working wives was interpreted as: 1) a working wife can increase a positive self esteem upon Javanese males for she can gets a good perspective from the society, 2) Javanese man feel threatened by the changes in his role especially when he has a working wife.
Keywords: Meaning, Javanese men, working wives