Sebaliknya  suami  lebih  banyak  melakukan  kegiatan  di  luar  rumah. Lingkungan  di  luar  rumah  justru  banyak  mengalami  perubahan-perubahan.
Dalam  menghadapi  perubahan,  suami  menyesuaikan  diri  pada  setiap perubahan  untuk  mempertahankan  kedudukan  dalam  pekerjaannya  dan
tempatnya di masyarakat.
Sebagai  suami,  laki-laki  dituntut  untuk  menjaga  keharmonisan hubungan  antara  suami  dan  istri.  Beberapa  hal  yang  menjaga  kesatuan  dan
keakraban antara hubungan suami dan istri menurut Gunarsa 1990 adalah: a.
Adanya  usaha  suami  menarik  istri  untuk  mengajak  bersama-sama mengikuti  setiap  perubahan  dan  perkembangan  berbagai  hal.  Sehingga
antara  suami  istri  tidak  kehilangan  kontak  psikis.  Begitu  juga  sebaliknya pada istri, melibatkan suami dalam setiap perubahan melalui penyelesaian
masalah demi masalah. b.
Menyediakan  waktu  khusus  untuk  saling  berkomunikasi  disela-sela kesibukan  masing-masing.  Dengan  adanya  kesempatan  untuk  saling
berbicara,  saling  mengungkapkan  masalah,  maka  kelegaan  akan  tercipta. Suami istri akan mencari penyelesaian masalah dan menghayati perlakuan
afeksi karena telah saling memberi. Hubungan  seks  merupakan  media  kontak  psikis  yang  paling  intim,  dan
merupakan  perwujudan  dorongan,  selain  kebutuhan  fisiologis  seseorang,
dapat merupakan alat untuk membantu membina kesatuan suami istri. 3.
Peran Perempuan dalam Budaya Jawa
Perempuan  di  dalam  keluarga  Jawa  merupakan  mata  rantai  yang penting bagi  anggota keluarga  yang lain. Perempuan mempunyai bidang luas
untuk  bergerak  di  dalam  lingkungan  kerumahtanggan.  Dia  mengendalikan keuangan keluarga, dan meskipun diberikannya penghormatan formal kepada
sang suami
serta dalam
soal-soal besar
selalu mendengarkan
pertimbangannya, biasanya dialah yang dominan Geertz, 1982. Kedudukan  dalam  masyarakat  Jawa  pada  umumnya  sangat  kuat.
Sebagaian  besar  pekerjaan –termasuk berbagai  corak pekerjaan seperti kerja
sawah  ladang,  dagang  kecil,  jual-beli  borongan,  usaha  kecil,    membantu rumah tangga, dan mengajar
– semuanya terbuka bagi perempuan. Perempuan dapat  memiliki  tanah  pertanian  dan  mengawasi  penggarapannya.  Dengan
demikian,  perempuan  tidak  mengalami  kesulitan  untuk  menghidupi  dirinya sendiri dan anak-anaknya. Di pihak lain laki-laki tidak mengerjakan pekerjaan
rumah tangga seperti  memasak, jarang hidup  sendirian serta mengasuh  anak-
anaknya sendiri pula Geertz, 1982.
Semua faktor yang beraneka ragam ini bekerja serentak bersama-sama –status  perempuan  yang  dominan  di  tengah  keluarga,  sikap  saling  menahan
diri  dan  menghindari  antara  sesama  laki-laki  di  dalam  satu  keluarga,  syak wasangka  antara  saudara-saudara  perbesanan  pada  umumnya,  dan  posisi
ekonomi  kaum  perempuan  yang  kuat –  sehingga  timbul  hubungan
kekeluargaan  berpolakan  matrilokal,  atau  memusatkan  pada  ibu  Geertz,
1982.
C. Laki-laki dalam Menghadapi Perubahan Peran Istri Bekerja
1. Masalah-masalah yang Mengundang Penyesuaian
Dari  konsep  peranan  yang  dijalani  oleh  kaum  laki-laki  terdapat beberapa masalah  yang sering timbul. Salah satu masalah  yang sering timbul
adalah adanya pertentangan antara konsep peranan yang dianut oleh seseorang
dengan harapan-harapan dari lingkungannya.
Apabila suatu konflik terjadi dalam diri individu maka sangat mungkin dirinya  akan  merasa  tidak  pasti,  kebingungan,  cemas  dan  merasa  tidak
berguna.  Kemudian  hal-hal  ini  akan  menghambat  adanya  motivasi  untuk
menyesuaikan diri. Mappiare, 1983.
Penyesuaian  diri  terhadap  konflik  tersebut  ditandai  oleh  adanya pengaruh konsep-konsep tradisional.  Pada laki-laki,  menghindari cap sebagai
„laki-laki  lemah‟  atau  „keperempuanan.‟  Laki-laki  akan  selalu  berusaha menjadi  „pelindung‟  bagi  perempuan.  Konflik  atau  frustrasi  akan  muncul
manakala perempuan yang ingin dilindungi justru menunjukkan bahwa dirinya tidak  butuh  untuk  dilindungi.  Demikian  pula,  ketika  orang  lain  terutama
perempuan berpandangan bahwa diri laki-laki tidak perlu dianggap kuat atau
superior Mappiare, 1983.
Selain  itu,  pengaruh  pengalaman  masa  lalu  juga  mempengaruhi  citra diri.  Pada  anak  laki-laki  yang  diajarkan  konsep  tentang  adanya  perbedaan
peran  secara  jelas  dan  pasti  maka  sedikit  demi  sedikit  ia  akan  berpikir  harus melakukan  pekerjaan  yang  berbeda  dengan  perempuan.  Laki-laki  seperti  ini,
pada  masa  dewasa  akan  menghadapi  kesulitan-kesulitan  yang  menuntutnya
untuk  melakukan  penyesuaian  diri.  Sebaliknya,  laki-laki  yang  tidak  terlalu memiliki gambaran tentang adanya perbedaan akan lebih menerima apabila ia
harus melakukan pekerjaan feminin Mappiare, 1983. 2.
Laki-laki dalam Menghadapi Perubahan
Pada anak laki-laki lebih banyak menikmati kebebasan dan tidak wajib melakukan  tugas  rumah  tangga.  Laki-laki  menjadi  simbol  dunia  luar  yaitu
tempat  bersaing  untuk  mencapai  status  dan  pengaruh.  Laki-laki  dibiasakan berorientasi  di  luar  rumah  maka  dalam  bekerja  ia  menggunakan  imajinasi,
tidak  konkret,  dan  cenderung  abstrak.  Hal  ini  menyebabkan  dalam menghadapi  persoalan  praktis  rumah  tangga  laki-laki  menjadi  kurang  siap
peran  gender.  Dalam  mengalami  kesulitan,  laki-laki  diharapkan  tidak
meluapkan emosi dengan cara menangis. Laki-laki harus terlihat kuat. Dalam menghadapi  perubahan,  misalnya  ketika  mengalami  kejadian  yang
mengandung  stres  laki-laki  menjadi  berkurang  daya  tahan  emosionalnya
stereotip gender Handayani dan Novianto, 2004. 3.
Dampak Perubahan Peran Perempuan pada Laki-laki
Ketika  pasangan  suami  dan  istri  sama-sama  bekerja,  maka  terdapat dampak perubahan peran yang dilakukan oleh suami di rumah. Menurut Lamb
dan  Bronson,  keikutsertaan  suami  dalam  tugas  rumah  tangga  terutama mengasuh  anak  akan  membawa  dampak  positif  bagi  pekerjaan  ibu  dan
perkembangan  anak.  Tetapi  apabila  suami  menolak  untuk  ikut  serta  dalam tugas rumah tangga dan mempertahankan pola peran tradisional maka hal  ini
akan menyulitkan bagi ibu yang bekerja dan anak Dagun, 1990.
Data  konsultasi  dari  majalah  Femina,  2012,  menyebutkan,  kasus pertama,  istri  naik  jabatan  pekerjaan  dan  memiliki  pekerjaan  yang
menghasilkan  penghasilan  yang  lebih  tinggi.  Suami  menunjukan  perbedaan sikap.  Suami  menjadi  sering  marah-marah  tanpa  sebab.  Kasus  kedua,  istri
memiliki pekerjaan sebagai manager dan menyita waktu. Meskipun sibuk istri memastikan
semua kebutuhan
anak tercukupi.
Tetapi, suami
mempermasalahkan  pekerjaan  istri  dan  memilih  untuk  meninggalkan  rumah dan mengatakan keinginan bercerai. Kasus ketiga, ketika suami dan istri sama-
sama  bekerja  dan  ada  kesepakatan  untuk  melakukan  pembagian  tugas  rumah tangga, yang terjadi adalah suami tidak mematuhi kesepakatan tersebut. Suami
enggan  melakukan  tugas-tugas  rumah  tangga  yang  biasa  dilakukan  oleh perempuan.
Penyesuaian  perubahan  peran  pada  perempuan  dilakukan  laki-laki dengan  ikut  serta  dalam  peran  rumah  tangga.  Dalam  Dagun  1990,  terdapat
penelitian di Amerika Serikat dan Australia  yang  menunjukkan bahwa ketika suami  dan  istri  itu  berkarir,  maka  ada  perubahan  peran  yang  diambil  oleh
suami.  Suami  akan  melibatkan  diri  pada  tugas  rumah  tangga  diantaranya adalah  mengasuh  anak.  Pada  penelitian  yang  dilakukan  oleh  Graeme  Russel
menujukkan  gambaran  pada  keluarga  di  Australia.  Ia  mengatakan  bahwa orangtua  yang  sama-sama  bekerja  cenderung  memperhatikan  anak  dua  kali
dari  sebelumnya.  Meskipun  demikian  peran  ibu  akan  tetep  menangani berbagai kegiatan rumah tangga.