Gaya Bahasa Kode LANDASAN TEORI

42

J. Gaya Bahasa

Dalam setiap berkomunikasi baik itu secara lisan maupun tulisan, seorang penutur selalu berusaha untuk memperhatikan ketepatan gaya bahasa yang digunakannya. Dengan memperhatikan gaya bahasanya itu, maka seorang penutur akan memiliki ciri yang menonjol sehingga mitra tutur akan mudah mengenali gaya bahasa dari si penutur. Keraaf berpendapat sebagai berikut. Gaya bahasa meliputi semua herarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Jadi, gaya bahasa atau style dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penutur 1996 : h.112. Bertolak dari pendapat di atas, gaya bahasa atau style merupakan pengungkapan ide, gagasan, serta pikiran-pikiran penutur bahasa yang meliputi semua hirarki kebahasaan: kata, frasa, klausa, bahkan dalam sebuah wacana tertentu untuk menghadapi situasi tutur tertentu pula. Berhubungan dengan gaya bahasa tersebut, dalam penelitian ini ditemukan pemanfaatan gaya bahasa berupa gaya bahasa repetisi dan gaya bahasa aliterasi. “Repetisi merupakan perulangan bunyi, suku kata, kata, bagian kalimat yang dianggap cukup penting untuk memberikan penekanan dalam sebuah konteks yang sama. Aliterasi merupakan gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama” Keraf 1996 :127-132. 43

K. Kode

Dalam bertutur kadangkala seseorang menggunakan lebih dari satu kode untuk menyampaikan makna atau maksudnya kepada orang lain. “Kode dimaksudkan untuk menyebutkan salah satu varian di dalam hirarki kebahasaan. Kode merupakan bagian dari bahasa. Selain kode dikenal pula beberapa varian lain misalnya varian rasional, varian klas sosial, gaya, varian kegunaan, dan sebagainya” Suwito 1996: h.78. Poedjosoedarmo berpendapat sebagai berikut. Kode merupakan sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat bahasa 1978, h.30. Berhubungan dengan kode, dalam penelitian ini ditemukam pemanfaatan kode berupa campur kode dari kosakata bahasa Jawa, bahasa Inggris, bahasa Arab, serta dialek Jakarta. Selain campur kode, ditemukan pula pemanfaatan kode berupa ragam lengkap dan ragam ringkas. Campur kode adalah “Penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa” Kridalaksana 1993 : h.35. “Campur kode merupakan suatu keadaan berbahasa bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam satu tindak bahasa tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut percampuran bahasa tersebut” Nababan 1991: h.35. Suwito menjelaskan ciri-ciri campur kode sebagai berikut. 1. Ciri ketergantungan ditandai dengan hubungan timbal balik antara peranan dan fungsi bahasa. Peranan maksudnya siapa yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa 44 yang hendak dicapai penuturnya dengan tuturannya itu. Sifat khusus penutur misalnya latar belakang sosial, tingkat pendidikan, ras, dan sebagainya. Disisi lain fungsi kebahasaan menentukan sejauh mana bahasa yang dipakai penutur memberi kesempatan untuk bercampur kode. 2. Unsur bahasa yang menyisip dalam bahasa itu tidak berdiri sendiri. Unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipi sehingga secara keseluruhan mendukung makna atau maksud dari bahasa itu. Unsur- unsur itu dibedakan menjadi dua sumber yaitu yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya inner code-mixing dan yang bersumber dari bahasa asing outter code-mixing. 3. Wujud campur kode bisanya hanya berupa kata, frasa, idiom, baster, perulangan kata, serta klausa. 4. Pemakaian campur kode kadangkala dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial atau identitas pribadinya. 1996 : h.88. “Dalam penggunaanya, munculnya campur kode disebabkan oleh tiga hal yaitu identitas peranan dengan ukurannya berupa sosial, registral, dan edukasional; identitas ragam yang menempatkan penutur dalam herarki status sosialnya; serta keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan sesuatu hal kepada orang lain” Suwito 1996 : h.90. “Variasi ragam dapat dibedakan menjadi ragam suasana yakni ragam resmi, santai, dan literer; ragam komunikasi dibedakan menjadi ragam ringkas dan ragam lengkap.” Rahardi 2001: h.22-23. 45 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kode merupakan sebuah penyebutan istilah dalam variasi kebahasaan seperti variasi ragam, gaya, campur kode, varian klas sosial, dan sebagainya. Campur kode merupakan penyisipan unsur kosakata dari bahasa lain yang keberadaannya tidak bisa berdiri sendiri, artinya unsur-unsur tersebut mendukung makna atau maksud tuturan yang disisipinya. Varian ragam komunikasi lengkap merupakan varian tuturan yang tidak mengalami penanggalan unsur-unsur pendukungnya. Dengan kata lain unsur-unsur dalam tuturan itu lengkap dan utuh sehingga tidak mengalami pengurangan makna atau maksud. Sedangkan ragam ringkas merupakan varian tutur yang mengalami penanggalan unsur-unsur pendukungnya sehingga menuntut peserta tutur untuk jeli dan cermat memahami konteksnya. Dari uraian teori-teori pada bab II ini agar lebih jelas dan mudah dipahami dapat direkapitulasi dalam bentuk bagan sebagai berikut. Tindak Tutur Konteks, praanggapan, implikatur, entailmen Prinsip kerjasama, prinsip sopan- santun Kesantunan bahasa Gaya bahasa, kode Pragmatik Imperatif 46

BAB III METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini berlokasi di Taman kanak-kanak Trisula Perwari dengan alamat jalan Gajah Mada nomer 1 Kebon Asri, Sragen dan Taman kanak-kanak Pertiwi I Sine dengan alamat jalan Raya Sukowati nomer 31 Sragen. Dipilihnya kedua Taman kanak-kanak tersebut sebagai lokasi penelitian ini dengan mempertimbangkan pada dominannya penggunaan bahasa Indonesia oleh guru di kedua Taman kanak-kanak tersebut pada waktu proses belajar- mengajar, sehingga hal itu memudahkan peneliti untuk memperoleh data yang digunakan dalam penelitian ini. Realitas tersebut peneliti temukan saat mengadakan observasi pendahuluan di kedua sekolah tersebut.

B. Metode Penelitian

Istilah “metode” dalam penelitian linguistik dapat ditafsirkan sebagai strategi kerja berdasarkan ancangan tertentu. Dengan demikian, ancangan lebih berkaitan dengan metode. Ancangan merupakan kerangka berpikir untuk menentukan metode” Subroto 1992, h.32. Ancangan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah ancangan pragmatik. Alasan dipergunakan ancangan ini karena keberadaan data-data penelitian yang merupakan tindak tutur, baru dapat dikatakan mengandung makna atau maksud pragmatik imperatif apabila dikaitkan dengan konteksnya. “Konteks merupakan semua latar belakang pengetahuan back ground knowledge yang dipahami bersama antara penutur dan mitra tutur” Wijana 1996, h.11.