BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian dan Perumusan Masalah
Sumberdaya mineral tidak memiliki kemampuan regenerasi secara biologis sebagaimana halnya pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan dan lain-lain,
karena itulah maka sumber daya mineral bersifat tidak terbarukan unrenewable resources.
Ketika sumberdaya ini dieksploitasi, konsekuensinya pada masa tertentu pasti akan habis dan tidak bisa diperbaharui kembali. Namum demikian di
banyak daerah yang mempunyai kekayaan sumberdaya mineral, sektor pertambangan seringkali memberikan kontribusi signifikan terhadap struktur
perekonomian bahkan mendominasi Produk Domestik Regional Bruto PDRB sembilan sektor yang diukur kinerjanya.
Dominannya sektor pertambangan yang tidak diikuti berkembangnya sektor lain merupakan fenomena yang biasa disebut Dutch Disease
1
. Hal ini diperkuat dengan pandangan Humpreys et al 2007 yang menyatakan bahwa penyakit
Belanda Dutch Disease dalam kasus Belanda yang memburuk kinerjanya adalah sektor manufaktur, sedangkan di negara-negara berkembang yang dirugikan
adalah sektor pertanian.Pengelolaan industri pertambangan di banyak negara di dunia lebih banyak menuai kegagalan daripada keberhasilan. Negara
– negara yang gagal mengelola sumberdaya alamnya dan gagal dalam menarik manfaat
dari berkah kekayaan yang dimiliki dikatakan bahwa negara tersebut telah mengalami kutukan sumberdaya alam resource curse
2
. Persoalaan deplesi sumberdaya alam tidak terbarukan umumnya dialami
oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia yang mempunyai kandungan tambang timah yang cukup besar dan dikelola selama ratusan tahun, dan
diperkirakan ekonomi basis tambang timahnya akan habis pada sekitar 8 tahun kedepan menurut data US Geological Survey tahun 2006.
1
Tahun 1970-an, Belanda mengalami fenomena Dutch Desease menyusul penemuan gas alam di Laut Utara, tetapi kemudian Belanda menyadari bahwa sektor manufaktur mereka tiba-tiba
berkinerja lebih buruk dari yang sudah diantisipasi Humphreys et al dalam Escaping The Resource Course, 2007
2
Kutukan sumberdaya alam merujuk pada fakta bahwa negara-negara kaya sumberdaya alam memiliki pertumbuhan yang lebih rendah Sachs dan Warner, 2000, memiliki sistem kelembagaan
yang buruk Karl 1997, dan lebih banyak konflik dibandingkan dengan negara-negara miskin sumberdaya alam Collier dan Hoeffler, 2004
Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan jumlah cadangan yang cukup besar. Cadangan timah ini, tersebar
dalam bentangan wilayah sejauh lebih dari 800 kilometer, yang disebut The Indonesian Tin Belt.
Bentangan ini merupakan bagian dari The Southeast Asia Tin Belt,
membujur sejauh kurang lebih 3.000 km dari daratan Asia ke arah Thailand, Semenanjung Malaysia hingga Indonesia.
Di Indonesia sendiri, wilayah cadangan timah mencakup Pulau Karimun, Kundur, Singkep, dan sebagian di daratan Sumatera Bangkinang di utara terus
ke arah selatan yaitu Pulau Bangka, Belitung, dan Karimata hingga ke daerah sebelah barat Kalimantan. Penambangan di Bangka, misalnya, telah dimulai pada
tahun 1711, di Singkep pada tahun 1812, dan di Belitung sejak 1852. Namun, aktivitas penambangan timah lebih banyak dilakukan di Pulau
Bangka, Belitung, dan Singkep. Kegiatan penambangan timah di pulau-pulau ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Dari sejumlah
pulau penghasil timah itu, Pulau Bangka merupakan pulau penghasil timah terbesar di Indonesia.
Penambangan timah yang telah berlangsung ratusan tahun itu belum mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat. Padahal, cadangan timah yang ada kian
menipis pula. Tak heran, jika kemudian pertambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung membawa dampak sosial berupa masalah kemiskinan dan
kecemburuan sosial di sekitar wilayah pertambangan. Kehidupan ekonomi masyarakat Kepulauan Bangka Belitung mengalami
peningkatan setelah
pemerintah melalui
SK Menperindag
Nomor. 146MPPKep41999 tanggal 22 April 1999 menetapkan bahwa timah
dikategorikan sebagai barang bebas tidak diawasi dan pencabutan status timah sebagai komoditas strategis, sehingga tidak dimonopoli lagi oleh satu BUMN dan
dapat diekspor secara bebas oleh siapapun. Dengan dikeluarkannya peraturan ini maka semakin maraklah tambang-tambang inkonvensional TI beroperasi di
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Disebut
dengan tambang
inkonvensional TI
karena metode
penambangannya tidak seperti penambangan terbuka open mining namun hanya menggunakan mesin penyedot tanah dan air dengan kebutuhan modal hanya
berkisar Rp 15 juta. Keberadaan TI adalah berkah dan telah menghidupi kurang lebih 15.000 jiwa dengan total kontribusi PDRB sekitar Rp 30 miliar. Jumlah
uang sebanyak itu sayangnya tidak ditanam dan beredar di Kepulauan Bangka Belitung yang pada gilirannya dapat menggerakkan ekonomi daerah, tetapi malah
diangkut oleh pemilik modalnya yang umumnya berasal dari luar negeri Bank Indonesia, 2006.
Walaupun keberadaan TI meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, tetapi dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan TI tersebut ternyata telah merusak hutan,
sungai, kebun, jalan, dan pantai. Bahkan kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya yang tampak oleh pandangan mata, namun juga yang kasat mata seperti
budaya masyarakat untuk berkebun dan aspek wajib belajar pendidikan dasar. Berdasarkan data Sakernas 2004-2005 BPS, di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung telah terjadi pergeseran jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di sektor pertanian ke sektor pertambangan dan penggalian. Pada sektor
pertanian, tahun 2004 berjumlah 172.030 orang dan tahun 2005 berkurang menjadi 140.911. Sebaliknya, di sektor pertambangan dan penggalian justru
mengalami peningkatan dari 103.880 pada tahun 2004 menjadi 128.915 pada tahun 2005. Pergeseran tersebut tentu tidak lepas dengan maraknya kegiatan
penambangan timah inkonvensional dan rendahnya minat masyarakat untuk menekuni sektor pertanian seperti lada yang harganya merosot, sehingga
menyebabkan banyak petani beralih profesi ke sektor pertambangan. Maraknya industri TI, telah menciptakan keuntungan bagi perekonomian
Kepulauan Bangka Belitung dengan menggeliatnya sektor pertambangan dan penyerapan tenaga kerja, namun juga menimbulkan berbagai masalah yang
merugikan sektor ekonomi lain, khususnya pertanian, serta meningkatnya angka putus sekolah dan kerusakan lingkungan.
Berdasarkan data US Geological Survey tahun 2006, disebutkan bahwa cadangan terukur timah di Indonesia adalah sekitar 800.000 sampai 900.000 ton,
dimana Kepulauan Bangka Belitung merupakan penghasil timah utama. Dengan tingkat produksi rata-rata sekitar 60.000 tontahun, atau setara dengan 90.000
tontahun pasir timah, cadangan tersebut hannya akan mampu bertahan sekitar 10 - 12 tahun lagi, atau hingga tahun 2017
– 2019.
Indonesia kini merupakan negara produsen timah terbesar ke-2 di dunia, setelah Cina sebagai produsen terbesar pertama. Indonesia merupakan negara
eksportir timah nomor satu di dunia, lebih dari 90 produksinya diekpor ke manca negara. Sedangkan Cina mengkonsumsi hampir seluruh produksinya untuk
kebutuhan domestik. Sedangkan gambaran konsumen timah di dunia yang terbesar sampai tahun
2007 adalah Negara Jepang dan korea yakni sebesar 109.000 ton. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:
Tabel 1. Daftar Produsen Timah Dunia
No Nama Negara
Jumlah produksi ton
1. China
130.000 2.
Japan Korea 109.000
3. Eropa
76.000 4.
USA 60.500
5. Lain-lain Negara di Eropa Australia
5.200
Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Prop Kepulauan Bangka Belitung, 2010
Cadangan timah di seluruh dunia diperkirakan sebesar 11 juta ton US Geological Survey, 2009. Jika dikomparasikan dengan empat negara-negara
penghasil timah terbesar di dunia, cadangan timah Indonesia paling sedikit. Negara dengan cadangan terbesar adalah Cina sebanyak 3 juta ton, Brasil 2,5 juta
ton, Peru 1 juta ton, dan Indonesia 0,9 juta ton. Perusahaan penambangan timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
saat ini terdiri dari tiga kelompok besar, yaitu PT Timah Tbk, PT Koba Tin, dan perusahaan lain. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki ijin untuk mengelola
tambang pada suatu kawasan tertentu kuasa penambangan, baik di darat maupun di laut. PT Timah Tbk mempunyai kuasa penambangan terluas, dan mempunyai
ijin penambangan Kontrak Karya berlaku sampai tahun 2025. Sedangkan PT Koba Tin- Joint Venture Malaysia dan Indonesia, mempunyai KP terluas kedua
mempunyai ijin penambangan hingga tahun 2013.
Tabel 2. Daftar Perusahaan Smelter Timah yang Telah Mendapat Izin Sebagai Exportir Terdaftar ET
No Nama Perusahaan
Luas Kuasa Penambangan Ha
1 PT. TIMAH Tbk.
473.800,06 2
PT. KOBA TIN 41.680,30
3 CV. DS Jaya Abadi
50,00 4
PT. Bukit Timah 49,60
5 PT. Bangka Putra Karya
255,00 6
CV. Duta Putra Bangka 100,00
7 PT. Billiton Makmur Lestari
374,00 8
PT. Tinindo Inter Nusa 539,00
9 CV. Donas Kembara
12,00 10
PT. Sumber Jaya Indah 75,00
11 PT. Sari Wiguna Bina Sentosa
121,00 12
PT. Prima Timah Utama 50,00
13 Yin Chinindo Minning Industry
87,20 14
PT. Mitra Stania Prima Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Prop Kepulauan Bangka Belitung, 2010
Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan dan Energi Prov. Kepulauan Bangka Belitung, produksi timah Prov. Kepulauan Bangka Belitung pada tahun
2008 mencapai 90.146 ton, sementara tahun 2009 mencapai 119.711 ton. Timah tersebut sebagian besar diproduksi oleh PT Timah Tbk dan sisanya oleh PT Koba
Tin dan 14 perusahaan tambang timah lainnya
Tabel 3. Jumlah ekspor timah Prov. Kep. Bangka Belitung
Perusahaan Tambang Tahun
2008 2009
PT Timah Tbk 46.862
49.240 PT Koba Tin
7.269 7.400
14 Perusahaan Lainnya 36.015
63.071
Total 90.146
119.711
Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Prop Kepulauan Bangka Belitung, 2010
Di masa mendatang, tingkat produksi timah lambat laun pasti menurun. Oleh sebab itu, pemerintah harus mengedepankan pembangunan berkelanjutan
dengan memperhitungkan keberlanjutan ekonomi masyarakat Kepulauan Bangka Belitung sejak produksi menurun hingga cadangan timah habis. Jika industri
timah berakhir, sedang sumber penggerak ekonomi alternatif tidak tersedia maka kesejahteraan masyarakat akan berkurang atau bahkan angka kemiskinan
bertambah.
Semakin menipisnya ketersediaan sumber daya alam dalam hal ini timah, jika dilihat dari sisi pandangan eksploitatif perspektif Ricardian, akan
meningkatkan biaya ekstraksi maupun harga output. Dengan meningkatnya harga output produsen akan berusaha untuk meningkatkan suplai. Namun karena
sumberdaya yang terbatas, kombinasi dampak harga dan biaya akan menimbulkan insentif untuk mencari sumber daya substitusi dan peningkatan daur ulang Fauzi,
Akhmad, 2006 Menurut Hayami 2001 untuk mencapai pembangunan berkelanjutan,
negara-negara berkembang
harus melakukan
transformasi struktural
perekonomiannya melalui akumulasi modal, utamanya untuk akumulasi modal yang tidak kasat mata intangible capital agar mencapai perekonomian industri
modern dengan semakin mengurangi pangsa kebergantungannya pada sumberdaya alam melainkan kepada sumberdaya manusia SDM yang bertumpu
pada sektor perindustrian, perdagangan dan jasa-jasa. Karena itu strategi awal negara-negara berkembang sebelum mencapai perekonomian modern harus
mengandalkan pada industri pengolahan dari hasil sektor-sektor primer sekaligus untuk menekan kebocoran nilai tambah, untuk mencapai surplus ekonomi,
peningkatan tabungan yang kemudian dapat diinvestasikan pada sektor-sektor produktif. Untuk seterusnya kembali menyumbangkan surplus ekonomi. Begitu
seterusnya untuk mencapai tatanan perekonomian modern. Proses transformasi struktur perekonomian yang matang atau seimbang
secara berkelanjutan, harus pula diiringi oleh proses transformasi struktur ketenagakerjaan. Artinya, penurunan pangsa sektor primer dalam perekonomian
harus pula diimbangi oleh penurunan persentase tenaga kerja di sektor ini dan semakin tingginya pangsa relatif sektor industri dan jasa. Bila hal ini tidak terjadi
maka salah satu sektor ekonomi akan menanggung beban tenaga kerja yang berlebihan, sementara itu, sektor-sektor lain yang berkembang akan mengalami
kelangkaan tenaga kerja dalam arti kualitas dan kuantitas. Proses transformasi yang demikian inilah yang pertama kali dikonsepkan dalam Model Clark-Fisher
pada tahun 1942 Winoto, 1995.
Gambar 1 Transformasi Struktur Perekonomian Prov. Bangka Belitung Berdasarkan Harga Berlaku 2000 - 2009
Gambar 2 Transformasi Struktur Ketenagakerjaan Prov. Bangka Belitung 2001 - 2010
Keterangan Gambar 1 dan 2:
1 Pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan 2 Pertambangan dan penggalian
3 Industri pengolahan 4 Listrik, gas dan air
5 Bangunan 6 Perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel
7 Angkutan, pergudangan dan komunikasi 8 Keuangan, asuransi, usaha persewaan bangunan, tanah dan jasa perusahaan
9 Jasa kemasyarakatan
Gambar 1 memperlihatkan bahwa selama tahun 2000 sampai dengan 2009 industri pengolahan merupakan sektor yang mendominasi struktur perekonomian
Provinsi Bangka Belitung, hanya pada tahun 2005 sektor ini dikalahkan oleh sektor pertambangan, tetapi kemudian meningkat lagi dan menjadi sektor utama
yang mendominasi struktur perekonomian di Provinsi Bangka Belitung hingga tahun 2009. Peran sektor pertanian menunjukkan kecenderungan menurun dan
sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan dan hotel cenderung mengalami peningkatan.
Sedangkan sektor
pertambangan yang
didominasi oleh
pertambangan timah sejak tahun 2000 berada di urutan ketiga, kemudian meningkat di tahun 2005 menjadi sektor yang paling tinggi sumbangannya
terhadap PDRB, tetapi kemudian kecenderungannya menurun menjadi urutan ketiga seimbang dengan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini
menunjukkan bahwa sektor tambang bukan merupakan sektor yang dapat diandalkan sebagai sektor perekonomian unggulan di Provinsi Bangka Belitung,
walaupun memiliki pangsa yang relatif tinggi tetapi fluktuasi pangsa perekonomiannya tidak stabil bahkan cenderung mengalami penurunan.
Selanjutnya ditelusuri apakah struktur perekonomian yang saat ini didominasi oleh industri pengolahan didukung pula oleh struktur ketenagakerjaan
yang kondusif bagi perkembangan sektor-sektor ekonomi di Provinsi Bangka Belitung. Gambar 2 memperlihatkan transformasi struktur ketenagakerjaan selama
sepuluh tahun 2001 – 2010. Ternyata struktur perekonomian yang ada di
provinsi Bangka Belitung tidak didukung oleh struktur ketenagakerjaan yang kondusif bagi perkembangan dan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang
memberikan dampak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kesempatan kerja yang relatif merata. Hal ini terlihat dari struktur ketenagakerjaan yang
ternyata masih didominasi oleh sektor pertanian. Sedangkan sektor industri pengolahan yang mempunyai pangsa perekonomian tertinggi hanya mampu
memberikan sumbangan terhadap ketenagakerjaan rata-rata sebesar 4.5 selama 10 tahun terakhir.
Kondisi yang menarik dari struktur ketenagakerjaan diperlihatkan oleh perpindahan struktur ketenagakerjaan dari sektor pertanian ke sektor
pertambangan. Sejak tahun 2000, sektor pertanian mendominasi struktur ketenagakerjaan, dan sektor pertambangan menduduki urutan kedua. Dari grafik
pada Gambar 2 terlihat bahwa ketika daya serap sektor pertambangan terhadap
tenagakerja menurun, maka penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian meningkat, begitu juga sebaliknya ketika daya serap sektor pertambangan
terhadap tenaga kerja meningkat, maka penyerapan tenaga kerja oleh sektor pertanian menurun. Sedangkan sektor perekonomian yang lain relatif stabil. Hal
ini menunjukkan bahwa sektor pertambangan tidak bisa diandalkan sebagai sektor perekonomian unggulan di Provinsi Bangka Belitung. Karena itu harus dicari
sektor perekonomian pengganti tambang sebagai pemicu perekonomian wilayah di Provinsi Bangka Belitung.
Dalam pandangan Stimson dkk 2006 dalam tatanan perkonomian dunia yang semakin kuat mengglobal seperti dewasa ini, setiap wilayah harus mampu
menemukenali recognizing keunggulan komparatif yang dimiliki untuk dikelola menjadi keunggulan kompetitif di pasar ekspor global. Karena itu, perencanaan
pengembangan setiap wilayah sebagai bagian dari wilayah nasional haruslah semakin mengandalkan kedua keunggulan yang dapat dikembangkan oleh
masing-masing wilayah untuk saling bersinergi selain untuk saling berkompetisi. Karena itu pula perencanaan pengembangan wilayah yang sifatnya top down
semata-mata dari otoritas pusat perlu untuk semakin diminimalisir peranannya, agar setiap wilayah mampu berkembang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki.
Bila setiap wilayah mampu berkembang menurut keunggulan kompetitifnya, maka secara agregat akan bermuara pada daya kompetisi nasional suatu negara
pula di pasar global. Dalam konteks strategi pengembangan wilayah seperti dideskripsikan oleh
Stimson dkk 2006 tersebut, maka perencanaan wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung harus disusun sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Dengan
akan berakhirnya era tambang timah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, perlu diidentifikasi potensi wilayah yang terdapat di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung. Karena itu kebutuhan untuk melakukan identifikasi sektor-sektor basis dan analisis daya kompetitifannya menjadi prioritas pertama dalam melakukan
perencanaan pengembangan wilayah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
1.2 Rumusan Masalah