Preferensi Bahan Baku Kedelai

26 Pemanfaatan kedelai di Indonesia memiliki pola berbeda dengan di negara Barat. Di Indonesia harga kedelai relatif mahal jika dimanfaatkan sebagai pakan dan kurang mampu bersaing bila diolah menjadi minyak makan. Karakter industri pangan dari kedelai di Indonesia adalah 1 sebagian besar berproduksi dalam skala industri kecil dan rumah tangga, 2 semua proses pengolahannya diawali dengan perendaman yang membutuhkan banyak air Suryana, et al., 2005. Berdasarkan survei SUSENAS oleh Biro Pusat Statistik setiap enam tahun sekali, konsumsi kedelai dalam bentuk biji dan olahan terus meningkat. Tahu dan tempe merupakan produk kedelai yang dominan dikonsumsi penduduk desa maupun kota. Rata-rata konsumsi tahu dan tempe penduduk kota lebih tinggi dari penduduk desa.

3.1.4. Preferensi Bahan Baku Kedelai

Industri tahu dan tempe merupakan pengguna kedelai terbesar. Informasi tentang estimasi kebutuhan kedelai untuk industri tahu dan secara akurat masih sulit diperoleh, karena makin berkembangnya industri tersebut dan masih banyak industri-industri kecil yang belum terdata. Tempe merupakan makanan tradisional yang telah lama dikenal di Indonesia. Indonesia merupakan negara penghasil tempe terbesar di dunia. Pembuatan tempe dilakukan dengan cara fermentasi. Tempe merupakan sumber protein yang relatif murah. Menurut Sarwono 2004, sekitar 57 persen kedelai di Indonesia dikonsumsi dalam bentuk tempe, 38 persen dalam bentuk tahu, dan sisanya dalam bentuk kecap, taoco, kembang tahu, dan lain-lain. Tempe kedelai mengandung protein sekitar 19,5 persen, lemak 4 persen, karbohidrat 9,4 persen, vitamin B12 antara 3,9-5 mgram per 100 gram tempe. Sedangkan dalam 100 gram daging mengandung protein 18,8 gram dan telur 12,2 gram. Menurut hasil penelitian Aryanie 1999, dari 1000 gram kedelai varietas tidak disebutkan menghasilkan tempe dari : a kedelai lokal rata-rata 1.580 gram, b kedelai impor rata-rata 1.683 gram. 27 Pada tahun 1983 konsumsi kedelai tercatat 1,2 juta ton. Tujuh tahun kemudian, yaitu pada 1990, konsumsi kedelai tercatat 1,8 juta ton dan sekitar 1.048.800 ton 58 persen dikonsumsi dalam bentuk tempe. Dari data tersebut menunjukkan bahwa jumlah konsumsi kedelai meningkat rata-rata 12 persen per tahun. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan 2000, kebutuhan konsumen dan permintaan pasar perlu juga menjadi pertimbangan dalam memproduksi kedelai. Menurut Sumarno dan Harnoto 1983, di Indonesia industri tempe lebih menyukai biji kedelai yang berwarna kuning dan berukuran besar + 12 gram atau lebih100 biji. Industri tahu lebih menyukai biji kedelai yang berukuran kecil 8-10 gram100 biji hingga sedang 10-12 gram100 biji. Sedangkan di Amerika dan Jepang, kedelai dengan bobot 15 gram100 biji masih dianggap kecil. Hasil kajian Saptana 1993 di Wonogiri, Jawa Tengah bahwa produksi kedelai lokal untuk industri tempe dan kecap relatif kecil + 10 persen. Sedangkan untuk industri tahu sebagian besar + 80 persen menggunakan kedelai impor dan + 20 persen menggunakan kedelai lokal. Industri kecap memerlukan spesifikasi bahan baku agar diperoleh kualitas kecap yang baik, yaitu dari kedelai berkulit hitam. Rendahnya penggunaan kedelai lokal lebih disebabkan oleh tidak tersedianya bahan baku lokal, sehingga dipenuhi dari impor. Dalam industri tahu, menurut Sarwono dan Saragih 2004, mutu produk ditentukan oleh bahan baku. Teknologi tidak mampu memperbaiki mutu, namun hanya mampu mempertahankan mutu. Persyaratan bahan baku utama tahu lebih ketat dibandingkan dengan bahan baku tempe atau kecap. Jumlah dan mutu protein penting dipertimbangkan saat pemilihan bahan baku yang dilihat dari varietasnya. Varietas kedelai sangat berpengaruh pada tinggi rendahnya rendemen maupun rasa tahu. Diantara sekian banyak varietas lokal, varietas yang tinggi rendemen tahunya antara lain varietas Dempo dan Shakti. Namun, varietas berendemen tinggi belum tentu mempunyai rasa enak setelah diolah menjadi tahu, kecuali varietas Shakti. Varietas berendemen sedang seperti Wilis, No. 129 dan Galunggung malah 28 menghasilkan tahu bercitarasa baik Indrasari dan Damardjati, 1991 dalam Sarwono dan Saragih, 2004. Berdasarkan hasil penelitian Indrasari dan Damardjati 1991 dapat dilihat hasil rendemen tahu dari beberapa varietas kedelai lokal, seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Rendemen Tahu dari Beberapa Varietas Kedelai Lokal Rendemen Varietas Tinggi 220 Sedang 190 – 220 Rendah 190 Dempo, Shakti, Orba, Rinjani Ringgit, No. 129, Lokon, Wilis Muria, Raung, Tidar Sumber : Indrasari dan Damardjati 1991 Menurut hasil penelitian Hartati 1999, dari 1000 gram kedelai : a lokal varietas No. 129 menghasilkan tahu rata-rata 2590 gram, b impor dari Amerika menghasilkan tahu rata-rata 2130 gram, b campuran lokal dan impor menghasilkan tahu rata-rata 2323 gram. Selain varietas, biji kedelai yang akan dijadikan bahan baku tahu sebaiknya memenuhi syarat : 1 Kedelai masih baru dipanen dan cukup umur. Jika terlalu lama disimpan atau panen muda, rendemen rendah. Selain itu, tahu yang dihasilkan akan lembek dan tidak tahan lama disimpan. Kedelai panen muda ditandai dengan bijinya keriput. 2 Kadar air maksimal 13 persen. Bila kadar airnya mencapai 15 persen, jamur mudah tumbuh selama penyimpanan. Namun bila kadar airnya 9 persen atau kurang, maka biji kedelai akan mudah pecah dan rendemen tahu akan menurun. 3 Biji kedelai harus utuh karena enzim-enzim lipoksidase akan aktif bila kedelai pecah, sehingga menyebabkan kandungan minyak dalam biji akan tengik dan bau tahu kurang enak. 4 Kedelai harus bebas berbagai kotoran kerikil, pasir, dan sisa tanaman yang akan membutuhkan waktu dan biaya membersihkannya serta dapat merusak alat penggiling. 29 Dalam industri olahan kedelai, permasalahan yang dihadapi adalah sulitnya ketersediaan bahan baku lokal dalam segi kualitas, kuantitas dan kontinuitas. Kebutuhan akan bahan baku kedelai setiap tahunnya terus meningkat. Berdasarkan data Badan Litbang Pertanian, pada tahun 2002 saja, kebutuhan kedelai untuk industri tahu dan tempe mencapai 1,78 juta ton atau 88 persen dari total kebutuhan nasional. 3.2. Kedelai Internasional 3.2.1. Produksi