populasi. Strategi resiko tinggi mengarahkan upaya untuk orang-orang yang memiliki resiko stroke di atas rata-rata.
Agar hemat biaya, pendekatan resiko tinggi harus didasarkan pada resiko basal absolut seseorang mengalami suatu kejadian dan bukan didasarkan hanya
pada usia atau pertimbangan resiko relatif yang berkaitan dengan satu faktor resiko. Pada semua kelompok usia dan di semua kategori resiko, perempuan
memiliki resiko absolut yang lebih rendah daripada laki-laki. Contoh dari pencegahan primer yaitu program Pos Pembinaan Terpadu PTM Posbindu PTM
yang dibentuk oleh Kemenkes RI.
2.11.2 Pencegahan Sekunder
Merupakan upaya tingkat dua yang dilakukan setelah seseorang individu mengalami stroke, bentuk upaya yang dilakukan dalam pencegahan sekunder
adalah diagnosa dini dan memperbaiki kondisi penderita stroke agar tidak memburuk melalui pengobatan yang tepat. Pencegahan sekunder pertama yaitu
melalui diagnosa, menurut Batticaca 2008 diagnosa stroke adalah sebagai berikut:
i. Pemeriksaan klinis Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
a. Riwayat penyakit sekarang kapan timbulnya, lamanya serangan,
gejala yang timbul. b.
Riwayat penyakit dahulu hipertensi, jantung, DM. c.
Aktivitas sulit beraktivitas, kehilangan sensasi penglihatan, gangguan tonus otot, gangguan tingkat kesadaran.
d. Sirkulasi hipertensi, jantung, disritmia, gagal ginjal kronis.
Universitas Sumatera Utara
e. Makanancairan nafsu makan berkurang, mual, muntah pada fase
akut, hilang sensasi pengecapan pada lidah, obesitas sebagai faktor resiko.
f. Neurosensorik sinkop atau pingsan, vertigo, sakit kepala, penglihatan
berkurang atau ganda, hilang rasa sensorik kontralateral, afasia motorik, reaksi pupil tidak sama.
g. Kenyamanan sakit kepala dengan intensitas yang berbeda, tingkah
laku yang tidak stabil, gelisah, ketergantungan otot. h.
Pernapasan merokok sebagai faktor resiko, tidak mampu menelan karena batuk.
i. Interaksi sosial masalah bicara, tidak mampu berkomunikasi.
ii. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah rutin
b. Gula darah
c. Urine rutin
d. Cairan serebrospinal
e. Analisa gas darah AGD
f. Biokimia darah
g. Elektrolit
iii. Pemeriksaan penunjang
a. Angiografi serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik misalnya pertahanan atau sumbatan arteri. b.
Skan Tomografi Komputer Computer Tomography scan-CT-Scan . Mengetahui adanya tekanan normal dan adanya trombosis, emboli
Universitas Sumatera Utara
serebral, dan tekanan intrakranial. Kadar protein total meningkat, beberapa kasus trombosis disertai proses inflamasi.
c. Magnetic Resonance Imaging MRI. Menunjukkan daerah infark,
perdarahan, malforrnasi arteriovena MAV. d.
Ultrasonografi doppler USG doppler. Mengidentifikasi penyakit arteriovena masalah sistem arteri karotis [aliran darah atau timbulnya
plak] dan arteriosklerosis. e.
ElektroensefalogramElectroencephalogram-EEG.Mengidentifikasi masalah pada gelombang otak dan memperlihatkan daerah lesi yang
spesifik. f.
Sinar tengkorak. Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal daerah yang berlawanan dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis
interna terdapat pada trombosis serebral, kalsifikasi parsial dinding
aneurisma pada perdarahan subarakhnoid.
Pencegahan sekunder kedua yaitu pengobatan yang tepat. Berbagai penelitian mengenai pengobatan stroke seperti penelitian yang dilakukan pada
tahun 1996 mengenai The European Stroke Prevention Study of antiplatelet anti agregant drugs dan penelitian Albers dkk pada tahun 2001 terhadap obat
anhibitor glikoprotein IIbIIIa jelas memperlihatkan efektivitas obat antiagregasi trombosit dalam mencegah kambuhnya stroke dan Aggrenox adalah satu-satunya
kombinasi aspirin dan dipiridamol yang telah dibuktikan efektif untuk mencegah stroke berulang Price dan Lorraine, 2005.
Universitas Sumatera Utara
2.11.3 Pencegahan Tersier Ginsberg, 2007