71
Bab IV Kebangkitan Nasional
melakukan perlawanan terhadap Belanda sampai akhirnya terpaksa menyerah pada 1905. Demikian juga pejuang wanita lainnya, seperti Tjut Nyak Meutia terus melakukan perlawanan
gerilya sampai ia gugur pada 1910.
Perang Aceh terus berlangsung sampai tahun 1912 melalui serangan gerilya yang tidak terorganisir. Namun, Perang Aceh telah menunjukkan kepada Belanda bahwa rakyat
Aceh tidak suka dengan penjajahan yang memaksakan nilai-nilai yang bertentangan dengan adat istiadat Aceh.
Di Bali, perlawanan rakyat untuk mengusir Belanda dari daerahnya dikenal dengan Perang Puputan.
Perang itu ditandai dengan pengorbanan yang luar biasa dari seluruh rakyat yang cinta daerahnya, baik pengorbanan nyawa maupun materi. Perang Puputan
dilakukan olah rakyat Bali demi mempertahankan daerah mereka dari pendudukan pemerintah kolonial Belanda. Rakyat Bali tidak ingin Kerajaan Klungkung yang telah berdiri
sejak abad ke -9 dan telah mengadakan perjanjian dengan Belanda tahun 1841 di bawah pemerintahan Raja Dewa Agung Putra diduduki oleh Belanda. Sikap pantang menyerah
rakyat Bali dijadikan alasan oleh pemerintah Belanda untuk menyerang Bali.
Pada 1844, perahu dagang milik Belanda terdampar di Prancak, wilayah Kerajaan Buleleng dan terkena Hukum Tawan Karang. Hukum tersebut memberi hak kepada
penguasa kerajaan untuk menguasai kapal yang terdampar beserta isinya. Dengan kejadian itu, Belanda memiliki alasan kuat untuk melakukan serangan ke Kerajaan Buleleng pada
1848. Namun, rakyat Buleleng dapat menangkis serangan tersebut. Akan tetapi, pada serangan yang kedua pada 1849, pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal Mayor A.V. Michies dan
Van Swieeten berhasil merebut benteng pertahanan terakhir Kerajaan Buleleng di Jagaraga.
Dengan serangan besar-besaran, rakyat Bali membalasnya dengan perang habis- habisan guna mempertahankan harga diri sebagai orang Bali. Pertempuran untuk
mempertahankan Buleleng itu dikenal dengan Puputan Jagaraga. Puputan lainnya, yaitu Puputan Badung
1906, Puputan Kusamba 1908, dan Puputan Klungkung 1908. Selain perlawanan yang diuraikan tersebut, perlawanan terhadap pemerintah kolonial
berlangsung di berbagai daerah dengan latar belakang dan penyebab yang berbeda-beda, seperti di Banjarmasin, Kalimantan Selatan menunjukkan perang berkecamuk di tengah-
tengah persaingan anggota keluarga kerajaan untuk menduduki tahta kerajaan. Banyak anggota keluarga kerajaan yang ingin naik tahta bekerja sama dengan Belanda. Keadaan
inilah yang sangat ditentang oleh Pangeran Antasari, salah seorang pangeran dari Banjarmasin. Perang Banjarmasin
pada 1859 dipimpin oleh Antasari yang menentang kehadiran Belanda dalam keluarga kerajaan di Banjarmasin. la putra dari Sultan Muhammad yang sangat
anti-Belanda. Pangeran Antasari melakukan pertempuran sengit sampai ia gugur pada 1862.
72
Ilmu Pengetahuan Sosial untuk Sekolah Menengah PertamaMadrasah Tsanawiyah Kelas VIII
Dalam bidang politik, pemerintah kolonial Belanda pernah menerapkan politik etis yang mulai dilaksanakan lebih intensif pada saat Hindia Belanda Indonesia berada di
bawah Gubernur Jenderal Idenburg tahun 1899-1906. Politik ini difokuskan pada pengembangan edukasi atau pendidikan, migrasi atau kependudukan, dan irigasi atau
pengairan.
Edukasi dimaksudkan untuk mendidik warga pribumi agar memiliki keterampilan- keterampilan yang diperlukan untuk mendukung birokrasi dan administrasi kolonial Belanda.
Pemerintah kolonial mendirikan sekolah bagi para pamongpraja para pegawai yang kelak lulusannya dapat dipekerjakan di kantor pemerintah. Adapun irigasi dimaksudkan
untuk meningkatkan produksi pertanian dan perkebunan rakyat. Sementara migrasi merupakan program pemindahan penduduk dari daerah padat di Jawa ke daerah yang
masih jarang penduduknya di luar Jawa.
Prinsip edukasi dalam pelaksanaanya dikembangkan lebih baik dari yang lainya, penduduk pribumi diberi kesempatan yang secara terbuka untuk masuk ke sekolah-sekolah
yang didirikan oleh pemerintah kolonial. Namun demikian terdapat perbedaan pendekatan pelaksanaanya. Pendekatan pertama dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. Dia
berpendapat bahwa pendidikan model Barat ialah yang paling tepat diterapkan bagi penduduk pribumi sehingga kesempatan harus dibuka terutama bagi warga pribumi dari
kalangan yang mampu dan memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat. Warga pribumi harus dididik dengan cara Barat dan menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantarnya. Pendekatan ini bertujuan untuk mendidik warga pribumi sehingga memiliki keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk memperkuat pemerintahan jajahan
di Indonesia.
Pendekatan kedua dikemukakan oleh Idenburg dan van Heutsz yang menjadi gubemur jenderal pada 1904–1909. Pendekatan ini menginginkan bahwa edukasi yang diterapkan
menekankan kepada pendekatan praktis dan sifatnya mendasar bagi masyarakat pribumi. Pada akhirnya, konsep Idenburg dan van Heutsz lebih diterima dan dikembangkan. Karena,
konsep ini lebih mengarah kepada budaya lokal dan lebih menekankan kepada peningkatan kesejahteraan pribumi.
Dalam rangka melaksanakan politik etis, pemerintah kolonial melakukan penataan sistem pendidikan yang sudah ada. Tiga sekolah praja Qwofdenschool di Bandung,
Magelang, dan Probolinggo yang didirikan pada akhir abad ke-19 melakukan upaya penataan ulang. Sekolah tersebut bertujuan untuk melahirkan para birokrat yang dapat
bekerja pada pemerintah kolonial. Di sekolah tersebut diajarkan pendidikan umum dan berbagai pengetahuan dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda pemerintah
kolonial Belanda.
C PERKEMBANGAN PENDIDIKAN BARAT DAN PENDIDIKAN ISLAM
73
Bab IV Kebangkitan Nasional