BUSANA MUSLIMAH SEBAGAI MEDIA DAKWAH: Studi Kasus Upaya UIN Fashion Fair dalam Memasyarakatkan Busana Muslim

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

TASHA HELMI MAHINDRIA

NIM: 1110051000177

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pondok Aren, 14 Agustus 2014


(3)

(4)

(5)

iv

UIN Fashion Fair adalah suatu ajang untuk memperkenalkan dan mensosialisasikan busana muslimah. Terselenggaranya kegiatan ini berawal dari ide beberapa mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki keprihatinan terhadap cara berbusana mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang hanya “seadanya”, seperti hanya mengenakan kaos, celana panjang yang membentuk lekuk tubuh, bahkan berego (kerudung langsung pakai). UIN Fashion Fair merupakan salah satu yang menjadikan busana muslim sebagai media dalam berdakwah dengan memperkenalkan busana muslim yang sesuai dengan syari’at namun tetap modis dan trendi.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pertanyaan yang timbul: Bagaimana upaya UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslimah sebagai media dakwah? Apakah tujuan yang diharapkan dari acara UIN Fashion Fair tercapai?

Menurut Enjang AS dan Aliyudin dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu

Dakwah, dari sekian media dakwah yang ada, busana muslimah termasuk ke

dalam washilah madiyah, yaitu media yang bersifat material, yakni segala bentuk alat yang bisa di indera dan dapat membantu para da’i dalam menyampaikan dakwah kepada mad’u-nya. Dalam kelompok washilah madiyah, busana muslimah termasuk ke dalam bentuk washilah bashariah atau karya lukis. Karena pembuatan busana muslim diawali dengan gambar lukis (sketsa) di atas kertas. Busana muslimah dapat dijadikan sebagai media dakwah karena perkembangannya yang terus berputar dan selalu diperbaharui sehingga banyak menarik perhatian massa.

Metodologi yang digunakan adalah metodologi studi kasus berdasarkan pendekatan kualitatif. Yakni suatu penelitian yang menggunakan bukti empiris dari satu atau lebih organisasi dan peneliti berusaha mempelajari permasalahan dalam konteks upaya UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslimah sebagai media dakwah. Bukti diperoleh dari berbagai sumber meski realitanya sebagian besar data berupa data wawancara dan dokumen.

Hasil dari penelitian ini adalah beberapa upaya yang dilakukan oleh UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslimah sebagai media dakwah dengan mengadakan talk show dengan tema “Fashion, World and Religion” yang

membahas mengenai fesyen muslim dan perkembangannya di Indonesia dan dunia, tutorial Hijab and Beauty Class, kompetisi memadu-padankan busana muslimah (styling competition), ajang pencarian bakat model untuk busana muslim/muslimah (model hunt) serta pagelaran busana muslimah (Islamic

Fashion Show). Namun, tujuan yang diharapkan oleh tim UIN Fashion Fair tidak

sepenuhnya tercapai. Karena masih banyak muslimah yang belum menerapkan cara berpakaian sesuai syari’at Islam, termasuk para anggota dari UIN Fashion Fair itu sendiri.

Kata kunci: UIN Fashion Fair, busana muslim, media dakwah, muslimah, syari’at Islam.


(6)

v

Alhamdulillahirabbil’aalamiin, segala puji dan syukur bagi Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Busana Muslimah Sebagai Media Dakwah: Studi Kasus Upaya UIN Fashion Fair dalam Memasyarakatkan Busana Muslim”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai prasyarat untuk menempuh ujian sarjana pada Bidang Kajian Komunikasi dan Penyiaran Islam di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini penulis susun atas bantuan dan dukungan berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan. Penulis berharap adanya kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa yang akan datang. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang diberikan, yaitu kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Dr. H. Arief Subhan MA, Wakil Dekan I Bidang Akademik Suparto, M.Ed, Ph.D, Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum Drs. Jumroni, M.Si dan Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan Dr. H. Sunandar, MA.

2. Rachmat Baihaky, MA. dan Fita Fathurrokhmah, SS, M.Si selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.


(7)

vi

4. Bapak/Ibu seluruh staf pengajar di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah membagi ilmunya kepada penulis.

5. Bapak/Ibu seluruh staf dan karyawan tata usaha bidang kemahasiswaan, administrasi, keuangan, dan kepustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah membantu penulis.

6. Bapak/Ibu seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam hal peminjaman buku-buku yang digunakan sebagai referensi dan literatur dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

7. Teman-teman UIN Fashion Fair selaku narasumber - kak Qonitah Al-Jundiah, Fatma Hidayani, Mira Fatma, Agnesh Sherfina, Samia Puspita Juwita, dan Rahmania Fauzia. Terima kasih banyak sudah meluangkan waktunya untuk penulis.

8. Ayah Dimmi Achadiman Kodrie, Ibu Elly Hayati, Kakak Lucky Helmi Mahindria, Kakak Tanya Helmi Mahindria dan Mas Devid Sabtatiyanto untuk semua cinta, do’a, kesabaran, pengorbanan, dan dukungan yang tak ternilai. I’m so lucky to have you all.

9. Terima kasih untuk keluarga besar Mansoer dan Kodrie yang selalu memberikan do’a dan dukungan terbaiknya.


(8)

vii

yang semakin membangun semangat penulis.

11. Teman-teman seperjuangan KPI 2010, teman-teman HMJ KPI dan DEMA FIDKOM, Bang Sabir Laluhu, Bang Sirajuddin Ar-Ridho dan Bang Fahdi Fahlevi. Terima kasih banyak atas pengalamannya dalam berbagi ilmu dan semua kebersamaannya yang takkan terlupakan.

12. KKN AKSI 2013 – Diena, Reny, Mega, Futri, Aya, Ellyf, Ayu, Vera, Hana, Lillah, Monica, Rendy, Aris, Kahfi, Fahmi, Yusra dan Sendy. Terima kasih atas kebersamaannya.

13. Teman-teman Nebengers #TeamTangsel dan Social Media Festival, terima kasih untuk diskusi, kebersamaan, serta do’a dan dukungannya.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Akhir kata penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan dari seluruh pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, umumnya kepada siapapun yang membaca dan khususnya bagi diri penulis sendiri.

Pondok Aren, 19 Agustus 2014


(9)

viii LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK...iv

KATA PENGANTAR...v

DAFTAR ISI...viii

DAFTAR GAMBAR...x

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah...1

B.Batasan dan Rumusan Masalah...2

C.Tujuan Penelitian...2

D.Manfaat Penelitian...3

E. Tinjauan Pustaka...3

F. Metodologi Penelitian...5

G.Sistematika Penulisan...8

BAB II LANDASAN TEORI A.Busana Muslimah...10

B.Pengertian dan Media Dakwah...22


(10)

ix

C.Struktur Organisasi...47

D.Kegiatan...49

BAB IV HASIL TEMUAN DAN ANALISIS A.Upaya UIN Fashion Fair dalam Menjadikan Busana Muslimah Sebagai Media Dakwah...53

B.Evaluasi Upaya UIN Fashion Fair dalam Memasyarakatkan Busana Muslim...62

BAB V PENUTUP A.Kesimpulan...65

B.Saran...66

DAFTAR PUSTAKA...67


(11)

x

1. Gambar 2.1 Kerudung yang memenuhi persyaratan QS. An-Nur: 31...22

2. Gambar 3.1 Bentuk sosialisasi UIN Fashion Fair...43

3. Gambar 4.1 Penampilan wanita muslimah Timur Tengah...53

4. Gambar 4.2 Penampilan wanita muslimah Indonesia...54


(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

UIN Fashion Fair adalah suatu ajang untuk memperkenalkan dan mensosialisasikan busana muslimah. Terselenggaranya kegiatan ini berawal dari ide beberapa mahasisiwi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memiliki keprihatinan terhadap cara berbusana mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang cenderung terlihat “seadanya”, seperti hanya mengenakan kaos, celana panjang yang membentul lekuk tubuh, bahkan berego (kerudung langsung pakai).

Kelompok sosial ini berupaya untuk menjadikan busana muslimah sebagai media dakwah dengan tujuan agar semakin banyak muslimah yang mengenakan pakaian sesuai syari’at Islam dan mengenakan hijab, karena setiap muslimah diwajibkan untuk mengenakan pakaian takwa tersebut.

Dengan membawa identitas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, para muslimah (mahasiswi) diharapkan untuk mengenakan pakaian sesuai dengan syari’at Islam seperti, pakaiannya longgar dan bahannya tebal, menggunakan kerudung yang menutupi dada, pakaiannya menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, tidak menyerupai pakaian laki-laki, tidak memakai wewangian yang berlebihan dan tidak digunakan untuk bermewah-mewahan atau untuk dipamerkan kepada orang lain.


(13)

Penulis memilih UIN Fashion Fair sebagai objek penelitian karena ia memiliki keunikan tersendiri. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tidak memiliki fakultas, jurusan, atau bahkan mata kuliah yang mengarah pada bidang desain dan fesyen tetapi UIN Syarif Hidayatullah berhasil menyelenggarakan UIN Fashion Fair yang diminati oleh banyak orang.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka judul skripsi ini adalah “Busana

Muslim Sebagai Media Dakwah: Studi Kasus Upaya UIN Fashion Fair dalam Menjadikan Busana Muslimah Sebagai Media Dakwah”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk lebih memfokuskan masalah, maka penelitian ini dibatasi pada UIN

Fashion Fair 2012 dengan tema “Breakthrough”. Dari batasan masalah tersebut,

maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana upaya UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslim sebagai media dakwah?

2. Apakah tujuan yang diharapkan dari acara UIN Fashion Fair tercapai?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui bagaimana UIN Fashion Fair menjadikan busana muslim sebagai media dakwah.


(14)

2. Mengetahui tercapai atau tidaknya tujuan yang diharapkan oleh UIN Fashion Fair.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademis

Kegiatan penelitian ini merupakan kesempatan bagi penulis untuk mengeksplorasi lebih jauh materi-materi yang didapatkan di bangku perkuliahan yang kemudian diaktualisasikan dalam sebuah tulisan ilmiah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan baru bagi pengembangan mengenai media-media yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan dakwah, yaitu melalui busana muslim.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para muslimah untuk terus memperkenalkan busana muslim kepada seluruh muslimah dan memperlihatkan bahwa dengan menutup aurat, seorang muslimah tetap bisa melakukan pekerjaan dan berkreasi sehingga akan semakin banyak muslimah yang menjalankan perintah agama untuk menutup aurat.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam penyusunan skripsi ini penulis mengadakan penelitian lebih lanjut kemudian menyusunnya menjadi suatu karya ilmiah. Maka langkah awal yang penulis lakukan adalah mengkaji terlebih dahulu terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang penulis lakukan.


(15)

Adapun setelah penulis mengadakan suatu tinjauan kepustakaan, akhirnya penulis menemukan beberapa judul yang penelitiannya memiliki kemiripan dengan apa yang akan penulis teliti. Judul-judul tersebut antara lain adalah:

Syahrani Fauziah1 yang menyimpulkan bahwa media-media yang selama ini digunakan Ratih Sanggarwati dalam mensosialisasikan busana muslimah yaitu melalui media cetak, media elektronik, website, brosur profil, spanduk, billboard, sponsor suatu produk, serta melalui sekolah modelling yang beliau miliki, dan melalui penggunaan seorang model.

Rizky Amalia2 yang menulis bahwa dalam aktivitas dakwah melalui busana muslim, Monika Jufry berusaha menyumbangkan sesuatu yang memang menjadi keahliannya untuk menjadi alternatif bagi para muslimah yang ingin memadukan keindahan dan kebaikan dalam berbusana sesuai syari’at Islam. Dari berbagai aktivitas yang dilakukan Monika, diharapkan dapat menggugah minat orang-orang lain yang belum menggunakan busana muslimah.

Nur „Arofah3

yang menemukan bahwa Anne Rufaidah memanfaatkan busana muslim dan muslimah yang dirancangnya sebagai ajang untuk melakukan dakwah Islam dengan cara membuat desain busana-busana muslim yang kreatif, inovatif, tetapi tetap menarik tanpa melanggar batasan dan larangan dalam Islam.

1Syahrani Fauziah, “Peranan Ratih Sanggarwati dalam Mensosialisasikan Busana Muslimah”,

(Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 56

2 Rizky Amalia, “Aktivitas Dakwah Monika Jufry Melalui Busana Muslimah”, (Skripsi S1

Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012), h. 64

3Nur „Arofah, “Kontribusi Anne R

ufaidah Terhadap Perkembangan Dakwah Melalui Busana

Muslim”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Syarif Hidayatullah


(16)

Selain itu, Anne Rufaidah telah memfasilitasi bagi orang-orang yang senantiasa menggunakan busana muslim dan yang hendak atau berkeinginan untuk mengenakan busana muslim tetapi tetap up to date dari segi model dan tidak ketinggalan zaman.

F. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari orang atau perilaku yang diamati tanpa mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi memasangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.

Studi kasus adalah suatu pendekatan penelitian yang menggunakan eksplorasi suatu fenomena dalam konteksnya dengan menggunakan data dari berbagai sumber. Fokus utama studi kasus adalah menjawab permasalahan penelitian yang dimulai dengan kata tanya bagaimana atau mengapa. Studi kasus digunakan untuk meneliti kejadian nyata di masa kini di mana peneliti tidak dapat mengendalikannya dan mungkin saja semua kejadian yang diamati terjadi dalam waktu yang bersamaan. Dalam penelitian ini, studi yang penulis angkat adalah bagaimana upaya UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslim sebagai media dakwah.


(17)

2. Subjek dan Objek Penelitian

Dalam penelitian ini, subjek yang diteliti adalah UIN Fashion Fair. Sedangkan yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah busana muslim sebagai media dakwah.

3. Tahapan Penelitian a. Pengumpulan Data

Tahap pengambilan data melalui beberapa tahapan. Tahap pertama merupakan tahap pengumpulan data. Tahap ini merupakan tahapan yang paling penting, karena pada tahap ini data merupakan proses pengadaaan primer untuk keperluan penelitian.

Adapun cara-cara pengumpulan data yang penulis lakukan adalah melalui:

1) Observasi, yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untu menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. Dalam penelitian ini, peneliti mengamati langsung di lapangan untuk mendapatkan data primer.

2) Wawancara, yakni kegiatan tanya jawab langsung kepada narasumber. Peneliti mengajukan sejumlah pertanyaan yang mengundang jawaban atau komentar subjek secara bebas. Pada penelitian ini, yang menjadi narasumber adalah Qonitah Al-Jundiah selaku penggagas UIN Fashion Fair serta Fatma Hidayani, Mira Fatma, Agnesh Sherfina, Samia P. Juwita, dan Rahmania Fauzia selaku anggota UIN Fashion Fair.


(18)

3) Dokumentasi, yaitu proses mencari data berupa hasil dokumentasi (foto) dan data metah (video atau rekaman wawancara) tentang penelitian yang dilakukan. Dokumentasi yang penulis dapatkan adalah video liputan acara Islamic Fashion Show: Breakthrough, foto-foto selama pelaksanaan acara, serta rekaman wawancara dengan narasumber.

b. Pengolahan Data

Setelah data diperoleh, langkah selanjutnya adalah mengolah dan menganalisa data dengan cara menghimpun, mempelajari, memilah dan memberi ulasan. Selain dalam bentuk narasi, data juga diolah dalam bentuk tabel, grafik dan gambar. Seluruh data tersebut nantinya akan dipaparkan dengan didukung oleh beberapa hasil temuan studi pustaka yang kemudian dianalisis.

c. Analisis Data

Setelah data diolah sedemikian rupa, maka penulis menafsirkan temuan dan mengomentarinya sesuai dengan teori yang digunakan. Penulis juga menjawab perumusan masalah sesuai dengan data yang didapatkan dari para narasumber terkait.

4. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah “Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” yang diterbitkan oleh


(19)

CeQDA (Centre for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2007.4

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah, maka penulis membagi pembahasannya ke dalam lima bab yang dibagi ke dalam sub-sub bab sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Pendahuluan ini menguraikan secara singkat mengenai alasan pemilihan judul, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II: LANDASAN TEORI

Bab ini menerangkan tentang tinjauan umum tentang busana muslimah, pengertian dan unsur-unsur dakwah, media dakwah, dan penjelasan mengenai metode studi kasus.

BAB III: GAMBARAN UMUM

Bab ini berkenaan dengan gambaran umum yang mencakup tentang UIN

Fashion Fair (UFF) yang meliputi: sejarah dan tujuan pembentukkan, proses

4

Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah (Skripsi, Tesis, Disertasi), (Jakarta: CeQDA (Centre for Quality Development and Assurance), 2007), cet. ke-1.


(20)

sosialisasi, proses perekrutan anggota, struktur kepengurusan, serta kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh UIN Fashion Fair.

BAB IV: HASIL TEMUAN DAN ANALISIS

Bab ini berisi analisis peneliti yang meliputi: temuan peneliti tentang upaya yang dilakukan oleh UIN Fashion Fair dalam menjadikan busana muslimah sebagai media dakwah dan pembahasan mengenai tercapai atau tidaknya tujuan yang diharapkan oleh UIN Fashion Fair.

BAB V: PENUTUP

Dalam bab akhir ini, penulis memberikan kesimpulan terhadap apa yang telah ditelaah oleh penulis dalam karya ini, serta memberikan saran-saran dan juga beberapa lampiran yang didapat oleh penulis.


(21)

10 A. Busana Muslimah

Busana adalah sinonim dari kata “pakaian” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai barang apa yang dipakai (baju, celana, dan sebagainya)1, serta diartikan pula sebagai pelindung dari cuaca panas dan dingin. Adapun yang dimaksud dengan busana ini sendiri dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang kita pakai mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, dalam hal ini termasuk:

1. Semua benda yang melekat di badan, seperti baju, celana, sarung dan kain panjang.

2. Semua benda yang melengkapi pakaian yang berguna bagi si pemakai, seperti selendang, topi, sarung tangan, dan ikat pinggang.

3. Semua benda dan gunanya menambah keindahan bagi si pemakai, seperti hiasan rambut, giwang, kalung, bros, gelang dan cincin yang biasa dikenal dengan aksesoris.2

Sedangkan busana muslim merupakan pakaian taqwa yang terkandung dalam kaidah Islam yang berfungsi untuk menutup aurat. Kata aurat berasal dari bahasa Arab, auro yang berarti mengaibkan, kekurangan pada suatu benda. Dalam

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), edisi ketiga, h. 813

2

Nina Surtiretna, et. Al, Anggun Berjilbab, Pakaian Wanita Muslimah, (Bandung: Mizan, 1995), h. 27-28


(22)

hal berpakaian, aurat adalah bagian tubuh manusia yang diharamkan dilihat dan dipegang oleh orang lain, terutama yang bukan mahramnya.3

Pada dasarnya, semua jenis busana boleh digunakan oleh wanita, kecuali yang termasuk di bawah ini:4

1) Tidak menutupi aurat wanita di hadapan selain suami dan muhrim. 2) Ketat dan transparan.

3) Mengundang hasrat seksual selain suami. 4) Memancing aksi kejahatan.

5) Ghasab (milik orang yang tidak rela digunakan) dan bukan dari harta

haram lainnya.

6) Memberikan kesan meniru kaum pria menurut ‘urf (pandangan umum masyarakat sekitar).

7) Memberi kesan meniru dan menyebarkan budaya yang merugikan Islam.

8) Syuhrah (sensasional), menarik perhatian baik dari sisi warna atau

model busana.

Islam sangat mengistimewakan kaum wanita, bahkan menyebutnya sebagai “perhiasan terindah”. Seorang wanita shalihah ibarat sebuah mutiara yang tersimpan baik karena selalu menjaga diri dan kehormatannya. Sebagaimana hadits Rasulullah saw., ”Dunia itu perhiasan, dan seindah-indahnya perhiasan dunia adalah wanita shalihah” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

3

Li Patrick, Jilbab Bukan Jilboob, (Jakarta: Penerbit Kalil, 2014), h. 4

4


(23)

Perempuan adalah aurat, seluruh tubuhnya mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki mempunyai daya tarik. Maka dari itu setiap muslimah diwajibkan untuk menutup aurat, yaitu dengan berhijab. Rasulullah bersabda, “Perempuan itu aurat, apabila ia keluar rumah, maka berdirilah setan kepadanya” (HR. tarmidzi dan Ibnu Majah).

1. Hijab

Kata hijab memiliki makna “penutup”, karena menunjuk kepada suatu

alat penutup. Kewajiban menutup yang telah digariskan untuk wanita dalam Islam tidak berarti bahwa mereka harus selalu berada di dalam rumah. Makna hijab bagi wanita dalam Islam adalah bahwa wanita harus menutup tubuhnya di dalam pergaulannya dengan laki-laki yang menurut hukum agama bukan muhrim-nya, dan bahwa dia tidak boleh memamerkan dirinya.

Filsafat hijab Islam bertumpu pada beberapa hal. Menurut Muthahhari, “... Sebagian bersifat psikologis, sebagian berhubungan dengan rumah dan keluarga, dan sebagian lainnya memiliki akar-akar sosiologis, dan sebagian besar di antaranya berhubungan dengan pengangkatan kemuliaan wanita dan pencegahan agar ia tidak sampai terhina ...”5

Ajaran Islam tidak dibangun berdasarkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Namun, kewajiban memakai hijab hanya dibebankan kepada wanita sebab wanita merupakan simbol keindahan. Hal ini dikarenakan kaum wanita cenderung untuk mempertunjukkan kecantikannya dan lebih tak acuh dalam

5

Murtadha Muthahhari, Hijab: Gaya Hidup Wanita Islam (Terj. On the Islamic Hijab), (Bandung: Penerbit Mizan, 1990), h. 19


(24)

memandang tubuh lawan jenisnya. Dengan pakaian islami, kaum wanita akan lebih terhormat dan terpandang. Mereka akan terjaga dari gangguan orang-orang usil dan amoral.6

Hijab terdiri atas dua hal, yaitu jilbab (gamis) dan khimar (kerudung). Dalam Al-Mu’jam Al-Wasith, ada beberapa pengertian jilbab yang dapat kita pahami secara mudah.

“Jilbab diartikan sebagai “ats tsabaul musytamil’alal jasadi kullihi

(pakaian yang menutupi seluruh tubuh) atau “ma yulbasu fauqa ats tsiyab

kal mihalfah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah) atau

al mula’ah tasytamilu biha al mar’ah” (pakaian luar yang dikenakan untuk menutupi seluruh bagian tubuh wanita). Sedangan kerudung merupakan busana bagian atas (al-libas al-a’la), yaitu penutup kepala.”7

2. Jilbab

Jilbab menurut Kamus Bahasa Arab adalah busana lebar untuk menutup aurat, kepala, leher, hingga ke bawahnya.8 Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 59:





















































“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk

6

Husein Shahab, Hijab Menurut Al-Qur’an dan Al-Sunnah: Pandangan Muthahhari dan Al-Maududi, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), h.16-17

7

Muslimah Talk, Saleha is Me: Sebab Cantik Saja Tidak Cukup, (Jakarta: QultumMedia, 2014), h. 14

8

Abdilah Firmanzah Hasan, Lebih Anggun dengan Berhijab, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2013), h.


(25)

dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Al-Qur’an dan hadits tidak pernah menyinggung bentuk pakaian secara khusus. Ada dua istilah populer yang digunakan untuk penutup kepala, yaitu

khumur dan jalabib, keduanya dalam bentuk jamak dan bersifat umum. Kata

khumur (pada surat an-Nur ayat 31) merupakan bentuk jamak dari khimar, dan

jalabib (pada surat al-Ahzab ayat 59) merupakan bentuk jamak dari kata jilbab.

Kata jilbab berasal dari akar kata jalaba yang berarti menghimpun dan membawa. Jilbab pada masa Nabi adalah pakaian luar yang menutupi segenap anggota badan dari kepala hingga kaki perempuan dewasa.

“Jenis pakaian perempuan pada zaman Nabi sebagaimana dapat ditelusuri dalam syair-syair Jahiliyah, antara lain yang pertama burqu’, yaitu kain transparan atau perhiasan perak yang menutupi bagian wajah kecuali dua bola mata; kedua niqab, yaitu kain halus yang menutupi bagian hidung dan mulut; ketiga miqna’ah, yaitu kerudung mini yang menutupi kepala; keempat qina’, yaitu kerudung yang lebih lebar; kelima litsam atau nishaf, yaitu kerudung yang lebih panjang atau selendang; dan yang keenam adalah khimar.”9

Ditinjau secara psikologis, “... Jilbab adalah simbol tentang seperangkat nilai. Jilbab bukanlah sekedar untaian benang yang membentuk kain, kemudian dipakaikan sedemikian rupa untuk menutup aurat wanita ...”10

Dari ajaran Islam yang terkandung dalam surat al-A’raf ayat 26, al-Ahzab ayat 59, dan an-Nur ayat 31, esensi pakaian yang bernafaskan taqwa bagi muslimah mengandung unsur sebagai berikut:11

9

Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 22

10

Sitoresmi Syukri Fadholi, Sosok Wanita Muslimah, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992), h. 38


(26)

1) Menjauhkan wanita dari gangguan laki-laki jahil (nakal).

2) Membedakan antara wanita yang berakhlak terpuji dengan wanita yang berkepribadian tercela.

3) Menghindari timbulnya fitnah seksual bagi kaum pria. 4) Memelihara kesucian agama wanita yang bersangkutan.

Dengan berjilbab, berarti kita telah beribadah mendekatkan diri kepada-Nya. Setiap muslimah yang memakai jilbab untuk menutup seluruh tubuh tanpa terlihat sedikitpun bagian yang dilarang terlihat, maka muslimah tersebut sedang mempraktikkan ketaatan. Selain mendapatkan pahala berlimpah karena menaati peraturan-Nya, menggunakan jilbab juga memiliki beberapa manfaat lainnya, yaitu:12

1) Pahala sabar yang luar biasa. Kita harus sabar selama mengenakan jilbab dan tetap teguh memegangnya untuk mencari keridaan Allah. Seperti janji Allah pada umatnya dalam surat al-Insan ayat 12 dan surat Hud ayat 11.

“... dan Dia memberi Balasan kepada mereka karena kesabaran

mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera.” (QS. Al-Insan: 12)

“kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Hud: 11)

11

Ibid., h. 39-40

12


(27)

2) Melindungi diri dari fitnah dan perbuatan zina. Seseorang yang berjilbab secara sempurna akan terjauhkan dari fitnah. Dalam jilbab yang syar’i terkandung perlindungan terhadap diri dari berbagai kelemahan, penguasaan hawa nafsu, dan setan. Seseorang yang berjilbab tidak hanya sabar menahan panas, tetapi juga sabar akan semua hal yang berkaitan dengan jilbab, termasuk penghinaan atau ejekan ketika memakainya.

“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka

tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)

3) Mendapat kedudukan tinggi di dunia dan akhirat. Dengan menaati perintah-Nya, Allah menjanjikan derajat yang tinggi di dunia dan akhirat, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah:

“... dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin [314], orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa’: 69)

[314] Ialah: orang-orang yang Amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran rasul, dan Inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut dalam surat Al Faatihah ayat 7.


(28)

4) Jilbab adalah pakaian takwa. Jilbab tidak lain adalah merupakan simbol ketaatan wanita muslimah, seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya:

“Hai anak Adam [530], Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan pakaian takwa [531] Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah,

Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’Raaf: 26)

[530] Maksudnya Ialah: umat manusia

[531] Maksudnya Ialah: selalu bertakwa kepada Allah.

5) Mencegah kanker kulit dan penuaan dini. Pemicu kanker adalah radikal bebas yang terdapat pada sinar ultraviolet, dan jilbab mampu menutupi tubuh serta melindungi kulit dari sinar ultraviolet.

6) Mudah dalam melakukan shalat. Saat kita lupa membawa mukena, maka jilbab syar’i yang kita kenakan dapat menggantikannya.

7) Aman saat menyusui. Ketika bayi kita menangis sebagai tanda minta disusui saat di tempat umum, maka kita dapat menyusui dengan cara menyembunyikan bayi kita di balik jilbab syar’i yang digunakan.

1. Sejarah Tradisi Jilbab13

Jilbab merupakan fenomena simbolik yang sarat dengan makna. Jika yang dimaksud jilbab adalah penutup kepala (veil) perempuan, maka jilbab sudah

13

Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 25-30


(29)

menjadi wacana dalam Code Bilalama (3000 SM), kemudian berlanjut di dalam Code Hammurabi (2000 SM) dan Code Asyiria (1500 SM). Ketentuan penggunaan jilbab sudah dikenal di beberapa kota tua seperti Mesopotamia, Babilonia, dan Asyiria. Perempuan terhormat harus menggunakan jilbab di ruang publik. Sebaliknya, budak perempuan dan prostitut tidak boleh mengenakannya.

Ketika perang antara Romawi-Bizantium dan Persia berlangsung, rute perdagangan antarpulau mengalami perubahan untuk menghindari akibat buruk wilayah peperangan. Beberapa pesisir jazirah Arab tiba-tiba menjadi kota penting sebagai wilayah transit perdagangan. Wilayah ini juga menjadi alternatif pengungsian dari daerah yang bertikai. Globalisasi peradaban secara besar-besaran terjadi di masa ini. Kultur Hellenisme-Bizantium dan Mesopotamia-Sasania ikut serta menyentuh wilayah Arab.

Jilbab yang semula tradisi Mesopotamia-Persia dan pemisahan laki-laki dan perempuan merupakan tradisi Hellenistik-Bizantium, menyebar menembus batas-batas geokultural, tidak terkecuali daerah jazirah Arab. Institusionalisasi jilbabdan pemisahan perempuan mengkristal ketika dunia Islam bersentuhan dengan peradaban Hellenisme dan Persia di Damaskus dan Baghdad. Pada periode ini, jilbab yang tadinya merupakan pakaian pilihan (occasoinal custom) mendapatkan kepastian hukum (institutionalized) sebagai pakaian wajib bagi perempuan Islam.

2. Jilbab sebagai Fenomena Sosial

Jilbab bukan lagi fenomena kelompok santri atau kelompok tertentu, tetapi sudah menjadi fenomena di seluruh lapisan masyarakat. Jilbab tidak lagi


(30)

menjadi sesuatu yang “tidak boleh ada” di tempat dan suasana tertentu seperti tempat hiburan dan pesta. Kini sudah banyak para public figure yang menggunakan jilbab dan menjadikannya sebagai identitas. Butik busana muslimah juga turut serta menghiasi sudut-sudut mal dan hotel ternama.

Yang dipermasalahkan dari sebuah jilbab adalah penggunaannya. Bila seseorang dipaksa untuk mengenakan jilbab, maka itu adalah salah. Seperti yang dulu pernah terjadi di Turki. Ketika kekuatan ulama memaksakan syari’ah (termasuk busana muslim) ke dalam masyarakat yang belum siap, maka lama kelamaan muncul gerakan Tanzimat yang dipimpin Mustafa Rasyid Pasya dan Sultan Mahmud II yang mencapai puncaknya pada revolusi Kemal Attaturk. Banyak kasus pengejaran terhadap perempuan berjilbab pada masa itu, meskipun yang melakukannya mengaku muslim. Ketika jilbab muncul sebagai kesadaran individu dan bersamaan, maka usaha untuk menghapusnya akan jauh lebih sulit. Pengalaman di Turki, jilbab yang tadinya merupakan fenomena umum masyarakat pedesaan (rural society) kini juga menjadi fenomena perkotaan. Ketika terjadi urbanisasi besar-besaran, maka fenomena jilbab pun tak terbendung di kota-kota di Turki.14

3. Khimar (Kerudung)

Kata kerudung sudah tidak asing di telinga masyarakat kita. Namun, kita masih sering menyamakan kerudung dengan jilbab. Di Indonesia, kerudung sering disebut sebagai jilbab. Padahal, kedua kata tersebut berbeda maknanya. Seperti

14

Nasaruddin Umar, Fikih Wanita untuk Semua, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010), h. 32-33


(31)

yang sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, jilbab adalah kain yang menutupi seluruh tubuh, dari kepala sampai kaki. Sedangkan kerudung adalah penutup kepala, leher, dan dada.15

Wanita harus menutup kepalanya karena seluruh anggota tubuh wanita merupakan aurat, termasuk leher dan rambut. Rambut dan leher termasuk dari bagian perhiasan perempuan yang dapat menimbulkan fitnah dan hasrat bagi laki-laki yang melihatnya. Firman Allah berbunyi:







































































































































































































“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai

15


(32)

keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur : 31)

Salah satu kaum muslimah yang dapat diteladani karena ketaatan untuk menutup kepalanya dengan kerudung ialah wanita Anshar, seperti dijelaskan dalam hadits berikut:

”Dari Shafiyah binti Syuaibah, ia bercerita, “Ketika kami bersama Aisyah Ra., mereka menyebut-sebut kelebihan wanita Quraisy. Lalu Aisyah Ra. berkata, “Memang wanita Quraisy itu memiliki kelebihan, tetapi demi Allah, sesungguhnya aku tidak pernah melihat yang lebih mulia daripada wanita Anshar, mereka sangat membenarkan Kitabullah dan sangat kuat imannya kepada wahyu yang diturunkan. Ketika turun surat al-Nur ayat 31, ayat yang menyuruh berkerudung, lalu suami mereka pulang dan membacakan kepada mereka apa yang telah Allah turunkan. Dengan segera setiap wanita (Anshar) itu menarik kain yang ada, lalu menjadikannya kerudung karena membenarkan dan iman

kepada apa yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya.” (HR. Muslim)16

Jadi, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa busana muslimah adalah pakaian takwa yang merupakan simbol ketaatan seorang wanita muslimah. Selain itu, busana muslimah juga dapat digunakan untuk menyampaikan identitasnya, yaitu sebagai seorang wanita muslim. Dengan mengenakan hijab, seorang wanita sudah melindungi diri dari perbuatan fitnah dan zina, serta menaikkan kedudukannya di dunia dan di akhirat.

16Muhammad Syafi’ie el


(33)

Gambar 2.1 Kerudung yang memenuhi persyaratan

QS. An-Nur : 3117

B. Pengertian dan Media Dakwah

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dakwah memiliki arti penyiaran agama di kalangan masyarakat dan pengembangannya; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama.18 Dakwah harus berjalan terus menerus tanpa henti, yang sesungguhnya merupakan tugas setiap manusia. Oleh karena itu, dakwah harus dilaksanakan sehingga tidak ada seorangpun yang dapat menghindarinya. Firman Allah SWT berbunyi:















































17

Husein Shahab, Hijab Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah: Pandangan Muthahhari dan Al-Maududi, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2013), h. 111

18

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 309


(34)

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali’ Imran : 104)

Toha Jahya Omar menyatakan, “... Dakwah menurut Islam adalah mengajak manusia dengan cara yang bijaksana kepada jalan yang benar sesuai peringatan Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat ...”19

Sedangkan M. Quraish Shihab menulis:

Dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsafan atau usaha

mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna terhadap individu dan masyarakat. Perwujudan dakwah bukan sekedar usaha peningkatan pemahaman keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja,

tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas.”20

Menurut Muhammad Natsir dalam bukunya Dakwah dalam Rangka

Perjuangan mendefinisikan dakwah sebagai berikut:21

“Usaha-usaha untuk menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan dan seluruh umat manusia tentang pandangan dan tujuan hidup mereka di dunia ini. Yang meliputi amar ma’ruf nahi munkar, dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan dan membimbing pengalamannya dalam peri kehidupan perseorangan, peri kehidupan bermasyarakat, peri kehidupan bernegara.”

Pada intinya, pemahaman lebih luas dari pengertian dakwah yang telah didefinisikan oleh para ali tersebut adalah: Pertama, ajakan ke jalan Allah SWT.

Kedua, dilaksanakan secara berorganisasi. Ketiga, kegiatan untuk memengaruhi

manusia agar masuk jalan Allah SWT. Keempat, sasaran bisa secara fardiyah

19

Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer: Studi Sebuah Komunikasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 36

20

Ibid., h. 36

21

Abd. Rosyad Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), cet. ke-2, h. 8


(35)

(perorangan) atau jama’ah (berkelompok). Berbicara mengenai dakwah, tidak terlepas dari unsur-unsurnya, yaitu:

1. Da’i

Da’i adalah orang yang melakukan dakwah22

. Seseorang dapat disebut Da’i atau Ulama apabila secara keilmuan ia telah mengetahui tentang ajaran-ajaran agama Islam. Begitu juga dari segi wawasan intelektual, pengalaman spiritual, sikap mental, dan kewibawaannya. Seorang yang disebut Da’i biasanya akan terlihat lebih matang dibandingkan mad’u (khalayak).

Pada dasarnya, semua umat muslim berperan secara otomatis sebagai juru dakwah. Da’i dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu:23

1) Secara umum adalah setiap muslim atau muslimah yang mukallaf (dewasa) di mana bagi mereka kewajiban dakwah merupakan suatu yang melekat, tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan perintah: “Sampaikan walau satu ayat”.

2) Secara khusus adalah mereka yang mengambil keahlian khusus (mutakhasis) dalam bidang agama Islam, yang dikenal dengan panggilan ulama.

Da’i adalah salah satu faktor dalam kegiatan dakwah yang menempati posisi yang sangat penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan dakwah. Setiap muslim yang hendak menyampaikan dakwah khususnya da’i profesional yang mengkhususkan diri di bidang dakwah sebaiknya memiliki kepribadian yang baik untuk menunjang keberhasilan dakwah.

22

Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: PT. Ikhtiar Ouve, 1992), h. 137

23


(36)

2. Mad’u

Mad’u atau penerima dakwah adalah seluruh umat manusia, baik laki-laki ataupun perempuan, tua maupun muda, miskin atau kaya, muslim atau non-muslim, semua berhak menerima ajakan dan seruan ke jalan Allah SWT.

Hamzah Yaqub mengklasifikasikan sasaran dakwah berdasarkan derajat pemikirannya, yakni:

1) Umat yang berpikir kritis, tergolong di dalamnya adalah orang-orag yang berpendidikan dan berpengalaman. Bila da’i berhadapan dengan kelompok ini, ia harus mampu menyuguhkan dakwah dengan gaya dan bahasa yang dapat diterima oleh akal sehat mereka sehingga mereka mau menerima kebenarannya.

2) Umat yang mudah dipengaruhi, yaitu suatu masyarakat yang mudah untuk diepengaruhi oleh paham baru tanpa menimbang-nimbang secara matang apa yang dikemukakan kepadanya.

3) Umat yang bertaklid, yakni golongan yang fanatik buta bila berpegangan pada tradisi dan kebiasaan yang turun-temurun.

Ditinjau dari segi kehidupan psikologis, masing-masing dari golongan masyarakat tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya, sesuai dengan kondisi dan lingkungannya. Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar24 menyimpulkan bahwa dalam garis besarnya umat yang dihadapi oleh seorang Da’i dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:

24

Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah: Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta: AMZAH, 2008), cetakan pertama, h. 231-232


(37)

1) Golongan cerdik-cendekia yang cinta akan kebenaran, dan dapat berpikir secara kritis, cepat dapat menangkap arti persoalan.

2) Golongan orang awam, yaitu orang kebanyakan yang belum dapat berpikir secara kritis dan mendalam, belum dapat menangkap pengertian-pengertian yang tinggi.

3) Golongan yang tingkat kecerdasannya berada di antara kedua golongan tersebut. salah satu ciri mereka adalah suka membahas sesuatu, tetapi hanya dalam batas tertentu, tidak sanggup secara mendalam benar.

3. Pesan Dakwah

Arti pesan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perintah, nasihat, permintaan, amanat yang disampaikan melalui orang lain. 25 Sedangkan menurut Onong Uchjana Effendy, “... Pesan ialah sepasang perangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator ...”26 Materi atau pesan dakwah adalah isi pesan yang disampaikan Da’i kepada mad’u. Pada dasarnya pesan dakwah itu adalah ajaran Islam itu sendiri yang dapat dikelompokkan menjadi tiga:

1) Pesan Akidah, meliputi Iman kepada Allah SWT, iman kepada malaikat-Nya,

iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, iman kepada Hari Akhir, dan iman kepada Qadha-Qadar.

25

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), edisi ketiga, h. 865

26

Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), cet. ke-2, h. 43


(38)

2) Pesan Syari’ah yang meliputi ibadah thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, serta mu’amalah.

 Hukum perdata meliputi: hukum niaga, hukum nikah, dan hukum waris.

 Hukum publik meliputi: hukum pidana, hukum negara, hukum perang dan damai.

3) Pesan Akhlak meliputi akhlak terhadap Allah SWT, akhlak terhadap makhluk

yang meliputi; akhlak terhadap manusia, diri sendiri, tetangga, masyarakat lainnya, akhlak terhadap bukan manusia, flora, fauna, dan sebagainya.

Muhaemin menjelaskan secara umum pokok isi al-Qur’an, yaitu:27 1) Akidah: aspek ajara Islam yang berhubungan dengan keyakinan, meliputi

rukun iman ata segala sesuatu yang harus diimani atau diyakini menurut ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah.

2) Ibadah: aspek ajaran Islam yang berhubungan dengan kegiatan ritual dalam rangka pengabdian kepada Allah SWT.

3) Muamalah: aspek ajaran Islam yang mengajarkan berbagai aturan dalam tata kehidupan bermasyarakat dalam berbagai aspeknya.

4) Akhlak: aspek ajaran Islam yang berhubungan dengan tata perilaku manusia sebagai hamba Allah, anggota masyarakat, dan bagian dari alam sekitarnya. 5) Sejarah: peristiwa-peristiwa perjalanan hidup yang sudah dialami umat

manusia yang diterangkan al-Qur’an untuk diambil hikmah dan pelajarannya.

27

Slamet Muhaemin dalam Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 80-81


(39)

6) Prinsip-prinsip pengetahuan dan teknologi: petunjuk-petunjuk singkat yang memberikan dorongan kepada manusia untuk mengadakan analisa dan mempelajari isi alam dan perubahannya.

7) Lain-lain berupa anjuran-anjuran, janji-janji, maupun ancaman-ancaman.

4. Metode Dakwah

Metode berasal dari bahasa Yunani methodos, yang merupakan gabungan dari kata meta dan hodos. Meta berarti melalui, mengikuti, atau sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, arah, atau cara. Jadi, metode bisa diartikan sebagai suatu cara atau jalan yang bisa ditempuh.28

Tujuan diadakannya metode dakwah adalah untuk memberikan kemudahan dan keserasian, baik bagi pembawa dakwah itu sendiri maupun bagi penerimanya. Berikut ini adalah metode-metode dakwah yang dapat digunakan oleh para da’i dalam mensyi’arkan agama Islam:29

1) Da’wah bil Hikmah

Hikmah adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Seoang da’i yang baik harus mampu menyesuaikan dirinya dengan segala lapisan masyarakat yang dihadapi, dari rakyat elata, orang berpangkat, kaum cerdik-cendekiawan, atau berbagai lapisan sosial lainnya yang kesemuanya menuntut suatu pendekatan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.

28

Fathul Bahri An-Nabiry, Meniti Jalan Dakwah: Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta: AMZAH, 2008), h. 238

29


(40)

2) Da’wah bil Mau’izhatil Hasanah

Mau’izhatil Hasanah ialah kalimat atau ucapan yang diucapkan oleh seorang da’i, disampaikan dengan cara yang baik, berisikan petunjuk-petunjuk ke arah kebajikan, diterangkan dengan gaya bahasa yang sederhana, supaya yang disampaikan itu dapat ditangkap, dicerna, dihayati, dan pada tahapan selanjutnya dapat diamalkan.

3) Da’wah bil Mujadalah

Secara umum, metode dakwah ini ditujukan bagi orang-orang yang taraf berpikirnya telah maju dan kritis seperti halnya Ahlul Kitab yang memang telah memiliki bekal keagamaan dari para utusan Allah SWT sebelumnya. Metode dakwah ini menuntut adanya profesionalisme dari para da’i. Dengan kata lain, seorang da’i bukan anya dituntut untuk sekedar mampu berbicara dan beretorika,

ber-uswah dan ber-qudwah hasanah, tetapi juga dituntut untuk memperbanyak

perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sifatnya ilmiah.

4) Da’wah bil Hal

Da’wah bil Hal adalah dakwah yang diberikan oleh seseorang melalui amal perbuatan yang nyata. Contoh nyata dari metode dakwah ini adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. saat mempersatukan kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Beliau menjadikan ikatan persaudaraan ini sebagai ikatan yang benar-benar harus dilaksanakan.

5) Da’wah bil Qalb

Metode dakwah ini menjadi sangat diperlukan mengingat banyak para da’i yang berdakwah dengan lebih mengedepankan logika saja. Seseorang dapat


(41)

memberikan ceramah yang mengagumkan karena ia diawali dari hati, diucapkan dengan niat yang baik dan tulus. Walaupun lisannya tidak mengucapkan apa-apa, tangannya tidak menggoreskan tulisan, dan tubuhnya tidak melakukan suatu amal perbuatan, namun cukup dengan hati saja itu sudah terhitung dakwah serta mendapatkan pahala.

5. Media Dakwah

Kata media berasal dari bahasa Latin medium yang memiliki arti alat atau perantara. Sedangkan menurut istilah, media ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat perantara untuk mencapai suatu tujuan tertentu.30 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, media berarti perantara; penghubung; yang terletak di antara dua pihak (orang, golongan, dsb.).31 Sedangkan menurut Kamus Istilah Komunikasi, “... Media berarti sarana yang digunakan sebagai alat bantu dalam berkomunikasi disebut media komunikasi, adapun bentuk-bentuk dan jenisnya beraneka ragam ...”32

Arifin membagi media menjadi tiga bentuk. Pertama, media yang menyalurkan ucapan (spoken words), termasuk juga yang berbentuk bunyi, yang sejak dahuu sudah dikenal dan dimanfaatkan sebagai medium yang utama. Media yang termasuk dalam kategori ini antara lain gendang, kentongan (alarm block), telepon dan radio. Kedua, media yang menyalurkan tulisan (printed writing), dan karena hanya dapat ditangkap oleh mata maka disebut juga visual media (media

30

Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 163

31

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 931

32


(42)

pandang). Media yang termasuk dalam golongan ini antara lain prasasti, selebaran, pamflet, poster, brosur, baliho, spanduk, surat kabar, majalah dan buku.

Ketiga, media yang menyalurkan gambar hidup, dan karena dapat ditangkap oleh

mata dan telinga sekaligus, maka disebut audio visual media (media dengar pandang). Media yang termasuk dalam bentuk ini hanya film dan televisi.33

Berdasarkan pengertian di atas, maka media dakwah adalah segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan. Media dakwah yang dimaksud dapat berupa barang (material), orang, tempat kondisi tertentu dan sebagainya.

Dengan memanfaatkan media, maka jangkauan dakwah tidak lagi terbatas pada ruang dan waktu. Adapun media dakwah yang dapat dimanfaatkan antara lain:34

a. Lisan

Da’wah bil lisan yaitu penyampaian informasi atas pesan dakwah melalui lisan. Termasuk dalam bentuk ini adalah ceramah, khutbah, tausyiah, pengajian, pendidikan agama (lembaga pendidikan formal), diskusi, seminar, dan lain sebagainya.

b. Tulisan

Da’wah bil qalam yaitu penyampaian materi dakwah dengan menggunakan media tulisan. Termasuk dalam jenis ini adalah buku-buku, majalah, surat

33

Anwar Arifin, Dakwah Kontemporer: Studi Sebuah Komunikasi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 89

34

Fathul Bahri Al-Nabiry, Meniti Dakwah: Bekal Perjuangan Para Da’i, (Jakarta: AMZAH, 2008), h. 236-238


(43)

kabar, buletin, dan lain-lain. Dalam memanfaatkan media ini, hendaknya ia ditampilkan dengan gaya bahasa yang lancar, mudah dicerna, dan menarik minat publik, baik mereka yang awam (umum) maupun kaum terpelajar.

c. Audio Visual

Dakwah dengan media audio visual merupakan suatu cara penyampaian yang merangsang penglihatan serta pendengaran audiens. Yang termasuk dalam jenis ini adalah televisi, film, drama, teater, dan lain sebagainya. Terkadang, pesan yang disampaikan melalui media ini cenderung lebih mudah diterima oleh audiens, bahkan dapat membentuk karakter mereka.

d. Lingkungan Keluarga

Suasana keluarga mempunyai kontribusi yang cukup kuat, karena bila ikatan keluarga itu senantiasa bernapaskan islami, maka akidah dan amaliahnya pun akan semakin kuat. Dengan demikian, dakwah dalam keluarga akan selalu berjalan dengan baik.

e. Uswah dan Qudwah Hasanah

Yaitu suatu cara penyampaian dakwah yang dilakukan dalam bentuk perbuatan nyata. Ia tidak menganjurkan, tetapi langsung memberi contoh kepada mad’u -nya. Termasuk dalam bentuk ini adalah seseorang yang membesuk saudara yang sakit, menjalin dan menjaga tali silaturahmi, dan lain sebagainya.

f. Organisasi Islam

Organisasi Islam menjembatani antara umat dengan petunjuk agama, menuntun masyarakat kepada kebenaran dengan mengadakan berbagai acara kegamaan yang diikuti oleh keluarga besar organisasi tersebut. di antara organisasi Islam


(44)

yang ada di Indonesia adalah Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Ikhwanul Muslimin, dan lain sebagainya.

Sedangkan menurut Asmuni Syukir ada beberapa media yang dapat dijadikan sebagai media dakwah, di antaranya: 35

a. Lembaga-lembaga pendidikan formal b. Lingkungan keluarga

c. Organisasi-organisasi Islam d. Hari-hari besar Islam

e. Media massa (radio, televisi, film, surat kabar, majalah, internet, dan lainnya) f. Seni budaya (musik, drama sastra, wayang kulit, dan lain-lain)

Dalam konteks dakwah, secara praktis media terbagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) Washilah Maknawiyah dan (2) Washilah Madiyah.36 Washilah maknawiyah adalah media yang bersifat imaterial, seperti rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mempertebal ikhlas dalam. Sedangkan washilah madiyah adalah media yang bersifat material, yaitu segala bentuk alat yang bisa di indera dan dapat membantu para da’i dalam menyampaikan dakwah kepada mad’u-nya.

Media material (washilah madiyah) terbagi menjadi tiga bentuk, yaitu: (1) Media yang bersifat fitrah (wasail fitriyah), seperti ceramah monolog, mengajar, ceramah umum, khutbah, dan sebagainya; (2) Media yang bersifat ilmiah (wasail fanniah), seperti washilah yadawiyah (karya tulis), washilah

35

Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhas, 1992), h. 176

36

Muhammad Abdul Fatah al-Bayanuni, “al-Madkhal ila „ilm al’Da’wah” dalam Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 94


(45)

bashariah (karya lukis), washilah sam’iyah (kreasi suara) berupa pengeras suara, kaset, telepon, dan lain-lain, serta washilah al-Mutanawiyah seperti teater, drama, dan sebagainya; (3) Media yang bersifat praktis (tabiqiyah), seperti memakmurkan masjid, mendirikan organisasi, mendirikan sekolah, menyelenggarakan seminar, dan mendirikan sistem pemerintahan Islam.

Ahmad Subandi mengatakan bahwa “... Media dakwah adalah isntrumen yang dilalui oleh pesan atau saluran pesan yang menghubungkan antara da’i dan mad’u ...”37

Media dakwah berdasarkan jenis dan peralatan yang melengkapinya terdiri dari media tradisional, media modern, dan perpaduan antara media tradisional dan modern.38

1. Media tradisional

Setiap masyarakat tradisional selalu menggunakan media yang berhubungan dengan kebuadayaannya. Media yang digunakan terbatas pada sasaran yang paling digemari dalam kesenian, seperti tabuh-tabuhan (gendang, rebana, bedug, suling, wayang, dan lain-lain) yang dapat menarik perhatian orang banyak.

2. Media modern

Berdasarkan jenis dan sifatnya, media modern terbagi menjadi tiga.

Pertama, media auditif yang meliputi telepon, radio, dan tape recorder. Kedua,

media visual yang meliputi surat kabar, buku, majalah, pamflet, dan lain

37 Ahmad Subandi, “Ilmu Dakwah Pengarah Ke Arah Metodologi” dalam Enjang AS dan

Aliyudin, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 95

38


(46)

sebagainya. Ketiga, media audiovisual yang meliputi televisi, video, internet, dan lain-lain.

3. Perpaduan media tradisional dan modern

Perpaduan yang dimaksud adalah pemakaian media tradisional dan media modern dalam suatu proses dakwah. Contohnya pagelaran wayang dan sandiwara yang bernuansa Islam, atau ceramah di mimbar yang ditayangkan televisi.

Dalam menggunakan media dakwah ini, para da’i diharuskan untuk menjaga etika dan ketentuan-ketentuan dalam berdakwah, yakni:39

1) Media dakwah tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. 2) Dalam menggunakan media dakwah, tidak menjurus kepada hal-hal yang

diharamkan oleh agama dan tidak menimbulkan kerusakan. 3) Dapat digunakan dengan baik.

4) Media relevan dengan situasi dan kondisi konteks dakwah.

5) Media dapat menjadi perantara untuk menghilangkan kesesatan dari orang-orang ingkar dan menyalahi agama.

6) Jelas dalam tahapan-tahapan penggunaannya.

7) Media secara fleksibel dapat digunakan dalam berbagai kondisi mad’u (adat, kepercayaan, dan kebudayaan).

8) Dapat digunakan dalam berbagai situasi waktu dan keadaan.

39 Muhammad Sa’id Mubarak, “Al

-Da’wah wa al-Idarah” dalam Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-dasar Ilmu Dakwah, (Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 95


(47)

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya media dakwah adalah berbagai sarana yang dapat digunakan untuk mengembangkan dakwah Islam yang mengacu pada kebudayaan masyarakat mulai dari yang klasik, tradisional hingga modern yang di antaranya meliputi mimbar, panggung, media massa cetak dan elektronik, lembaga, organisasi, seni, karya budaya, dan lain sebagainya.

C. Metode Studi Kasus

Studi kasus didefinisikan sebagai pendekatan penelitian yang menggunakan eksplorasi suatu fenomena dalam konteksnya dengan menggunakan data dari berbagai sumber. Studi kasus menyiratkan peneliti melakukan analisis secara intensif pada satu unit analisis yang diteliti. Sebuah kasus dapat berupa satu individu, satu organisasi, satu peristiwa, satu keputusan, satu periode, atau sistem yang dapat dipelajari secara menyeluruh dan holistik.40

Myers mendefinisikan studi kasus kualitatif sebagai penelitian yang menggunakan bukti empiris dari satu atau lebih organisasi dan peneliti berusaha mempelajari permasalahan dalam konteksnya. Bukti diperoleh dari berbagai sumber meski realitanya sebagian besar berupa data wawancara dan dokumen.41

Fokus utama studi kasus adalah menjawab permasalahan penelitian yang dimulai dengan kata tanya bagaimana atau mengapa. Studi kasus digunakan untuk meneliti kejadian nyata di masa kini (kontemporer) di mana peneliti tidak dapat

40

Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar, (Jakarta: PT Indeks, 2012), h. 115-116

41


(48)

mengendalikannya (tidak seperti dalam eksperimen) dan mungkin saja semua kejadian yang diamati terjadi dalam waktu yang bersamaan.42

Menggunakan metodologi studi kasus diawali dengan menemukan kasus yang menarik. Kriteria kasus yang menarik adalah suatu hal yang dianggap baru. Sesuatu yang baru adalah memberitahukan kepada komunitas akademik sesuatu yang tadinya tidak diketahui. Sesuatu yang baru dapat berupa ekplorasi suatu objek penelitian yang baru, membantah teori yang sudah ada, atau memberikan alternatif teori lain yang menjelaskan suatu fenomena.43

Sebagai sebuah metode, studi kasus memiliki keunikan atau keunggulan tersendiri. Secara umum studi kasus memberikan akses atau peluang yang luas kepada peneliti untuk menelaah secara mendalam, detail, intensif dan menyeluruh terhadap unit sosial yang diteliti. Secara lebih rinci studi kasus mengisyaratkan keunggulan-keunggulan berikut:

1. Studi kasus dapat memberikan informasi penting mengenai hubungan antar-variabel serta proses-proses yang memerlukan penjelasan dan pemahaman lebih luas;

2. Studi kasus memberikan kesempatan untuk memperoleh wawasan mengenai konsep-konsep dasar perilaku manusia. Melalui penyelidikan intensif peneliti dapat menemukan karakteristik dan hubungan-hubungan yang (mungkin) tidak diharapkan atau diduga sebelumnya;

42

Ibid., h. 117

43


(49)

3. Studi kasus dapat menyajikan data-data dan temuan-temuan yang sangat berguna sebagai dasar untuk membangun latar permasalahan bagi perencanaan penelitian yang lebih besar dan mendalam dalam rangka pengembangan ilmu-ilmu sosial.44

Studi kasus memiliki tipe-tipe tertentu yang spesifik. Bogdan dan Biklen mencoba mengklasifikasikan tipe-tipe studi kasus ke dalam enam tipologi:45

1) Studi kasus kesejarahan sebuah organisasi

Yang dituntut dalam studi kasus jenis ini adalah pemusatan perhatian mengenai perjalanan dan perkembangan sejarah organisasi sosial tertentu dan dalam jangka waktu tertentu pula. Dalam melakukan studi ini diperlukan juga kecermatan dalam merinci secara sistematik perkembangan dari tahap-tahap sebuah organisasi sosial.

2) Studi kasus observasi

Yang lebih ditekankan di sini adalah kemampuan seorang peneliti menggunakan teknik observasi dalam penelitian. Dengan teknik observasi partisipan diarapkan dapat dijaring keterangan-keterangan empiris yang detail dan aktual dari unit analisis penelitian, apakah itu menyangkut kehidupan individu maupun unit-unit sosial tertentu dalam masyarakat.

44

Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatf: Pemahaman Filosofis dan Metodologis Ke Arah Penguasaan Model Aplikasi, (Jakarta: PT RajaGrafindo Perkasa, 2012), cet. ke-8, h. 23

45


(50)

3) Studi kasus life history

Studi ini mencoba menyingkap dengan lengkap dan rinci kisah perjalanan hidup seseorang sesuai dengan tahap-tahap, dinamika dan liku-liku yang mengharu-biru kehidupannya. Seseorang yang dimaksud adalah yang memiliki keunikan yang menonjol dan luar biasa dalam konteks kehidupan masyarakat.

4) Studi kasus komunitas sosial atau kemasyarakatan

Seorang peneliti yang berpengalaman serta memiliki kepekaan dan ketajaman naluriah sebagai peneliti serigkali mampu melihat sisi-sisi unik tapi bermakna dari lingkungan sosial sekitarnya di alam komunitas di mana dia hidup dan bergaul sehari-hari.

5) Studi kasus analisa situasional

Kehidupan sosial yang dinamis dan selalu menggapai perubahan demi perubahan tentu saja mengisyaratkan adanya letusan-letusan siatuasi dalam bentuk peristiwa-peristwa atau fenomena sosial tertentu.

6) Studi kasus mikroetnografi

Studi kasus tataran ini dilakukan terhadap sebuah unit sosial terkecil, yaitu sebuah sisi tertentu dalam kehidupan sebuah komunikasi atau organisasi atau bahkan seorang individu.

Cresswell menyatakan bahwa dalam penyusunan pertanyaan penelitian dengan metode studi kasus peneliti dapat menulis pertanyaan lanjutan yang difokuskan pada isu dari topik yang diteliti. Selain itu, pertanyaan lanjutan dapat menandakan langkah-langkah prosedur dari koleksi data, analisis, dan konstruksi


(51)

format naratif. Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu tercatum dalam pertanyaan penelitian model studi kasus:46

1. Apa yang terjadi dan bagaimana suatu hal atau fenomena dapat terjadi (gambaran dan batasan fenomena yang akan diteliti)?

2. Siapa saja yang terlibat (seluruh subjek dan informan penelitian)?

3. Apa tema sentral atau suatu inti permasalahan (central phenomenon) yang akan diteliti?

4. Konstruksi teoritis apa yang dapat dipakai untuk mendasari fenomena yang diteliti dan mengapa teori tersebut berkaitan?

5. Apa dan di mana keunikan dari fenomena yang diteliti?

Jadi, dapat disimpulkan bahwa metode studi kasus adalah suatu studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci dan mendalam serta lebih diarahkan sebagai upaya menelaah masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang bersifat kekininian.

46

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), cetakan ketiga, h. 97


(52)

41 A. Latar Belakang UIN Fashion Fair

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merupakan salah satu Universitas Islam terbesar yang menjadi simbol lingkungan Islami. Sehingga secara langsung maupun tidak langsung, UIN Jakarta turut memberikan kontribusi pada perkembangan fesyen muslim di Indonesia.

Latar belakang terbentuknya UIN Fashion Fair berawal dari pengalaman toleransi beragama yang dirasakan oleh Qonitah Al-Jundiah, mahasiswi Jurusan Psikologi UIN Syarif Hidayatullah saat melakukan pertukaran pelajar (Student

Exchange) di Amerika Serikat.

Aku waktu itu ngeliat di luar negeri tuh fesyennya item-item semua

gitu lho (untuk yang Muslim), jadi mereka mikirnya kalo orang Muslim yaa pake bajunya item-item aja atas sampe bawah. Pas

mereka liat aku di US, “kok lucu sih? Scarf-nya beli di mana?”,

kayak gitu... Padahal “enggak kok, ini bajunya H&M, ini bajunya ZARA”, gitu... Padahal baju yang biasa aku pake di pake buat

berbusana muslim. Jadi aku tuh kayak, “oh, orang luar aja interest

sama kita. Kenapa kita-nya enggak...””1

Dari pengalaman itulah gagasan ini bermula. Qonitah Al-Jundiah memiliki keinginan untuk mengumpulkan para muslim-muslimah muda untuk menjalin silaturahmi serta memperlihatkan potensi dan bakat-bakat terpendam yang dimiliki, khususnya di dalam lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1


(53)

Idenya sebenernya, sempet ehm waktu itu kan pulang dari pertukaran pelajar terus ehm kepikiran kayaknya harus buat sesuatu nih di UIN. UIN tuh potensial, tapi kita enggak tau mau dikemanain. Setelah mikir, brainstorming sana-sini, terus cari-cari referensi, akhirnya ngumpulin temen-temen untuk bikin satu event, project

namanya UIN Fashion Fair.”1

Ia juga ingin memperkenalkan busana muslimah yang sesuai dengan aturan-aturan berpakaian dalam Islam namun tetap sesuai dengan gaya dan keseharian muslimah muda masa kini. Qonitah Al-Jundiah ingin membuat sebuah acara yang tidak hanya sekedar “ada” tapi juga memberikan banyak informasi, pengetahuan dan kesan menyenangkan bagi para muslim-muslimah.

Ehm karena pengen satu, apa ya? Kalo cuma bikin fashion week

gitu kan udah biasa ya. Cuma kayak nonton fashion show terus pulang, terus enggak dapet inside meaning apa pun. Akhirnya kita mikir kayaknya mesti ada suatu event yang continously. Tapi kita enggak mungkin bikin UIN Fashion Week, karena udah ada yang

punya. Jadi yang lebih catchy akhirnya UIN Fashion Fair.”2

1. Proses Sosialisasi

UIN Fashion Fair disosialisasikan melalui berbagai macam cara, baik melalui media online berupa blog dan website, jejaring media sosial berupa

facebook, twitter, path, instagram maupun media cetak seperti poster, banner, dan

baliho. Selain itu, UIN Fashion Fair juga selalu mengadakan “pawai” setiap minggunya bergantian di setiap fakultas yang ada di dalam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam setiap pawainya anggota UIN Fashion Fair

1

Wawancara Pribadi dengan Qonitah Al-Jundiah, Tangerang Selatan, 4 Desember 2012.

2


(54)

mengenakan busana seragam (dresscode) untuk lebih menarik perhatian khalayak umum.

Kita kan bener-bener serius ya bikin project-nya, jadi banner di

mana-mana. Kita udah prepare banget kan, dari coming soon tuh udah bikin. Terus kita juga melibatkan media sosial, kita melibatkan semua akses sosial media kayak kita bikin website, bikin twitter, blog, facebook. Kita juga bikin parade kan. Jadi kita ketemu

langsung sama orang-orangnya, interaksi langsung.”3

Gambar 3.1 Bentuk sosialisasi UIN Fashion Fair

Sumber: uinfashionfair.blogspot.com

2. Proses Rekrutmen Anggota

Pada proses rekruitmen anggota UIN Fashion Fair, terdapat perbedaan pada proses di tahun 2012 dan tahun 2014. Pada tahun 2012, awal terbentuknya tim melalui promosi “dari mulut ke mulut”. Dari lingkaran pertemanan yang ada, maka terkumpullah tim UIN Fashion Fair yang terdiri dari (kurang-lebih) 50 orang dari seluruh fakultas di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3


(55)

Waktu itu kita tuh... Aku pertama nge-bagi, berapa orang sih yang diperluin untuk satu event besar seperti itu. Terus dapet sekitar 40-an (or40-ang). K40-an awalnya cuma ngomong ke lima temen aku. Aku k40-an kampus dua (Psikologi), terus aku ngajak temen-temen aku. Temen aku ada lima orang, dan untungnya kita semua beda-beda fakultas semua. Jadi ada dakwah, saintek, psikologi, ini, ini, yaudah aku minta sama temen-temen aku ini untuk cari orang. Jadi aku tuh yang UFF 2012 rata sampe (fakultas) Dirasat-pun ada. Jadi aku enggak mau yang orang-orangnya tuh dari (fakultas) Psikologi semua. Dan kita tuh ada open recruitment-nya juga. Jadi waktu yang tim intinya udah lengkap, kita kayak cari volunteer juga. Nah volunteer itu terbuka buat umum. Dan waktu itu yang daftar sampe 200-an (orang), cuma waktu itu kita cuma ambil sekitar sepuluh orang. Jadi yang kepilih di UFF 2012 itu kebanyakan yang mau, tertarik sama

fesyen.”4

3. Visi-Misi UIN Fashion Fair

UIN Fashion Fair memiliki visi untuk menjadi wadah bagi pemuda dan pemudi dalam mengembagkan potensi-potensinya, terutama di dalam bidang fesyen serta untuk memajukan Islam syi’ar melalui busana muslimah. Sedangkan untuk misinya, terdapat empat poin yang ingin ditonjolkan oleh UIN Fashion Fair, yaitu: (1) exploring fashion sense, (2) educational support, (3) epowering youth,

(4) enlightened.

Jadi dari sini tuh bisa dijelasin exploring, empowering, enlightened

sama educational support itu apa. Kalo exploring jadi kita di sini ehm bisa jadi untuk wadah enggak cuma muslimah di UIN aja tapi di Jabodetabek, se-Indonesia, itu semuanya dari mana aja, kita bisa di sini saling berbagi pengalaman mengenai fesyen, mengenai agama itu sendiri, maksudnya Islam itu sendiri, terus bisa saling bertukar pikiran, bisa sharing di sini kita mengadakan acara-acara syi’ar Islam bentuknya fesyen tapi enggak hanya fesyen, walaupun bertema fesyen. Kita kan punya acara macem-macem juga, terus dari bentuk empowering youth sama educational support. Educational support itu misalkan kita syi’ar dalam bentuk berbusana itu kita bentuk dalam acara talkshow itu sendiri, kayak

4


(56)

gitu. Terus untuk empowering youth, kita bikin acara untuk desain berbusana muslimah itu sendiri, desainnya itu gimana, dan enlightened itu kita menjadikan ehm UFF itu sendiri tidak hanya mengharumkan UFF atau UIN punya saja, tapi untuk muslim dan muslimah, kalo kita itu ehm Islam itu tetep modern dan dinamis gitu enggak statis gitu-gitu aja, bisa mengikuti perkembangan zaman tapi tetep dalam aturan syari’ah Islam.”5

B. Tujuan UIN Fashion Fair

Setiap kelompok sosial pasti memiliki tujuan. Tujuan kelompok bukan hanya sekedar gabungan dari tujuan-tujuan personal para anggotanya, melainkan mengarah pada kedudukan yang diinginkan oleh kelompok. Tujuan kelompok terletak pada pemikiran para anggotanya dan hidup bersama proses mental lainnya termasuk kebutuhan personal, harapan personal dan tujuan personal.6 Begitu pula dengan UIN Fashion Fair. Kelompok ini memiliki dua tujuan utama, yaitu: (1) mengubah pandangan masyarakat tentang muslimah berjilbab, (2) syi’ar kepada muslimah muda yang belum berjilbab agar menjadi berjilbab dengan cara memperkenalkan fesyen Islam (Islamic fashion) kepada khalayak umum.

Tujuan pertama, mengubah konstruksi citra masyarakat terhadap muslimah berjilbab dilatarbelakangi oleh kondisi para muslimah berjilbab di Indonesia yang mana sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, namun ternyata muslimah berjilbab masih dipandang sebelah mata. Muslimah berjilbab dianggap kuno, tidak gaul dan tidak bisa gaya. Selain itu, banyak pihak yang berpandangan bila menggunakan jilbab akan sulit untuk

5

Wawancara Pribadi dengan Agnesh Sherfina, Tangerang Selatan, 9 Juni 2014.

6 Ayu Agustin Nursyahbani, “Kontruksi dan Representasi Gaya Hidup Muslimah P

erkotaan: Studi Kasus Pada Hijabers Community di Jakarta”, (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), h. 89


(57)

mendapatkan pekerjaan. Hal tersebut membuat para muslimah muda ragu untuk menggunakan jilbab karena khawatir dengan kesulitan-kesulitan yang akan dihadapinya. Konstruksi citra mengenai jilbab yang berkembang di masyarakat membuat para muslimah memilih untuk menggunakan jilbab saat sudah mapan, saat menikah, ataupun saat sudah lanjut usia.

Sebelum banyak muncul kelompok-kelompok muslimah yang ada seperti sekarang, figur panutan untuk muslimah adalah para ustadzah yang lebih tertuju pada segmen usia ibu-ibu, yakni usia 30 tahun ke atas. Oleh karena itu, UIN Fashion Fair ingin memberikan inspirasi bagi para muslimah muda yang telah berjilbab ataupun muslimah muda yang belum agar tertarik untuk mengenakan jilbab. Melalui gaya berbusana dan berjilbab, kegiatan yang diselenggarakan, UIN Fashion Fair ingin mengubah pandangan negatif terhadap muslimah berjilbab. Tujuan untuk mengubah pandangan terhadap muslimah berjilbab tersebut terkait dengan tujuan UIN Fashion Fair yang kedua, yaitu membuat lebih banyak orang tertarik untuk mengenakan hijab.

UIN Fashion Fair menggunakan busana muslimah sebagai alat atau media untuk berdakwah dalam upaya memberikan inspirasi kepada muslimah muda untuk berkerudung dan berbusana muslimah sesuai dengan syari’at-syari’at Islam yang merupakan salah satu bentuk syi’ar dari UIN Fashion Fair. Dalam upaya menyebarluaskan makna jilbab dan pemakaiannya, UIN Fashion Fair berupaya melalui berbagai kegiatan dengan menonjolkan unsur-unsur Islami yang dimasukkan dalam setiap rangkaian kegiatan yang diselenggarakan.


(58)

Selain itu, UIN Fashion Fair juga ingin menunjukkan figur muslimah yang bisa menjadipanutan bagi orang lain, menunjukkan sisi Islam yang modern, serta menghilangkan kesan kaku dan kuno yang selama ini berkembang di masyarakat.

Setiap orang mempnyai motivasi dalam melakukan aktifitas agar menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Begitu pula dengan Qonitah Al-Jundiah dan teman-temannya. Berawal dari bidang yang diminati, mereka kemudian memiliki inisiatif menyelenggarakan suatu kegiatan dengan tujuan untuk mensyi’arkan dan menyebarluaskan tentang kewajiban berhijab kepada para muslim/muslimah agar semakin banyak orang yang menjalankan perintah Allah untuk mengenakan pakaian takwa tersebut.

C. Struktur Organisasi UIN Fashion Fair

Berikut ini merupakan bagan struktur kepengurusan UIN Fashion Fair. Bagan 3.1 Struktur Kepengurusan UIN Fashion Fair

D. E. F. G. H. I. J. K. L. M. N.

Sumber: Dokumen UIN Fashion Fair Ketua Bendahara Divisi Acara Divisi Humas Divisi Sponsorship Divisi Tenant Divisi Dokumentasi Sekretaris


(1)

(2)

DOKUMENTASI UIN FASHION FAIR


(3)

(4)

(5)

(6)