Penerapan Corporate Social Responsibilty di Indonesia
40 semua perusahaan melakukan CSR, sehingga perlu ada payung hukum
yang “memaksa” agar mereka mau melakukannya. Tidak hanya itu, dengan adanya regulasi tentang CSR, maka akan memberikan
keseragamanstandarisasi dalam
aplikasi CSR.
Pandangan ini
dilatarbelakangi oleh beragamnya definisi CSR, sehingga beraneka ragam pula aplikasinya di lapangan. Dengan adanya standarisasi ini, maka akan
memudahkan dalam pelaksanaan audit sosial perusahaan terhadap lingkungan intrernal dan eksternalnya. Pada sisi yang lain, ada pandangan
yang menganggap regulasi CSR merupakan hal yang mubadzir. Ini muncul karena CSR merupakan kegiatan yang bersifat discretionary, yang
mendorong perusahaan untuk mau tidak mau melaksanakan CSR. Jika CSR tidak dilakukan maka perusahaan sendirilah yang akan mengalami
kerugian akibat dampak sosial yang muncil. Dengan kata lain, CSR bukanlah suatu hal yang perlu dipaksakan, mengingat ini adalah sebuah
keberpihakan bisnis yang bersifat sukarela untuk membangun mayarakat dan lingkungannya. Secara etimologi, CSR berarti tanggung jawab sosial,
bukan kewajiban sosial perusahaan. Pengertian ini berimplikasi bahwa dalam pelaksanaan CSR, perusahaan tidak dapat dibebani dengan biaya
tambahan yang akan muncul akibat peraturan secara formal. CSR merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan kemampuan
perusahaan, dan akan menjadi rancu dengan kewajiban atas pajak. Belum lagi, dengan mempertimbangkan potensi penyimpangan yang ada di
41 indonesia, biaya kegiatan CSR yang diwajibkan hanya akan menjadi
lahan basah bagi sejumlah parata setempat. Reza Rahman, 2009:104 Kekecewaan masyarakat dan pemerintah akan minimnya peran
serta dunia usaha juga bisa dipahami, mengingat peraan serta dunia usaha dalam implementasi CSR selama ini lebih banyak secara sukarela dan
kedermawanan. Sehingga jangkauan program CSR relatif terbatas dan tidak efektif. Bahkan program CSR yang mereka laksanakan tidak lebih
dari upaya untuk meningkatkan image perusahaan di masyarakat, bahkan hanya di mata konsumennya. Jackie Ambadar, 2008:6
Berbagai aturan dalam hal kebijakan pemerintah, perhatian pemerintah terhadap CSR dan lingkungan tertuang dalam UU Nomor 40
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Bab V Pasal 74, UU No. 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, UU. No.
23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU. No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, UU No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan UU. No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan
Usaha Milik Negara Widjaja dan Pratama, 2008:99. Disinilah letak pentingnya pengaturan CSR di indonesia, agar
memiliki daya atur, daya ikat dan daya dorong. CSR yang semula bersifat voluntary perlu ditingkatkan menjadi CSR yang bersifat mandatory.
42 Dengan demikian dapat diharapkan kontribusi dunia usaha yang terukur
dan sistematis dalam ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan yang pro-masyarakat dan lingkungan seperti ini sangat
dibutuhkan ditengah arus neoliberalisme seperti sekarang ini. Sebaliknya disisi lain, masyarakat juga tidak bisa seenaknya melakukan tuntutan
kepada perusahaan, apabila harapannya itu berada diluar batas aturan yang berlaku.