PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGERINGAN TERHADAP KADAR VITAMIN A ,DAN VITAMIN C, SERTA AKTIVITAS ANTIOKSIDAN TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam).

(1)

TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam)

SKRIPSI

Oleh :

Ana Tri Setyowatik NPM : 0633010042

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR


(2)

PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGERINGAN TERHADAP KADAR β-KAROTEN,DAN VITAMIN C, SERTA AKTIFITAS ANTIOKSIDAN TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam)

Disusun Oleh :

ANA TRI SETYOWATIK

NPM : 0633010042

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Pada tanggal 25 Februari 2011

Tim Penguji : 1.

Ir. Latifah, MS

NIP. 19570307 198603 2001

Pembimbing : 1.

Ir. Rudi Nurismanto, Msi NIP. 196109051 199203 1001

2.

Dr. Dedin F.R., STP,Mkes NIP. 37012 970159 1

2.

Ir. Ulya Sarofah, MM NIP. 19630516 198803 2001

3.

Ir. Rudi Nurismanto, Msi NIP. 196109051 199203 1001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Teknologi Industri

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Ir. Sutiyono, MT NIP. 030 191 025


(3)

(4)

PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGERINGAN TERHADAP KADAR β-KAROTEN,DAN VITAMIN C, SERTA AKTIFITAS ANTIOKSIDAN TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam)

SKRIPSI

Oleh :

ANNA TRI SETYOWATIK NPM : 0633010042

Surabaya, Februari 2011 Disetujui untuk diseminarkan oleh

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ir. Rudi Nurismanto, Msi_ Ir. Ulya Sarofa, MM____ NIP. 19610905 199203 1001 NIP. 19630516 198803 2001


(5)

(6)

Alhamdulillahirobbil alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya selama pelaksanaan penyusunan skripsi dengan judul “Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan terhadap Kadar β- karoten, dan Vitamin C, serta Aktifitas Antioksidan Tepung Daun kelor (Moringga Oleifera Lam)” hingga terselesaikannya pembuatan laporan skripsi ini. Skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan.

Kemudahan dan kelancaran pelaksanaan skripsi serta penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini dengan penuh rasa hormat dan rendah hati, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada :

1. Bapak Ir. Sutiyono, MT., selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jatim.

2. Ibu Ir. Latifah, MS., selaku Ketua Program Studi Teknologi Pangan UPN “Veteran” Jatim.

3. Bapak Ir.Rudi Nurismanto, Msi., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan serta memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.

4. Ibu Ir.Ulya Sarofa, MM., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan serta memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.


(7)

seminar proposal dan hasil penelitian, yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan serta memberikan saran dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh Dosen dan Staf di Prpgram Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jatim.

7. Keluargaku Tercinta Bapak dan Ibu, kakak serta Keponakan atas segala dorongan, kesabaran, dukungan material dan spiritual yang diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

8. Buat teman-teman seperjuangan The Lucky Seven (Ganis, Dewi, Reni, Dina, Atika, Azzami) dan semua teman-teman angkatan 2006,2005,2007 terimakasih atas semangat yang diberikan selama ini.

9. Buat teman-teman Kost Kartika, teman-teman UKM terimakasih atas dukungan dan bantuan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya mahasiswa di Program Studi Teknologi Pangan pada khususnya dan bagi pihak-pihak yang memerlukan pada umumnya. Skripsi ini masih jauh dari sempurna serta banyak kekurangan, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat obyektif dan membangun guna kesempurnaan skripsi ini.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ...iii

DAFTAR TABEL ...v

DAFTAR GAMBAR ...vi

DA FTAR LAMPIRAN ...vii

INTISARI………viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C. Manfaat Peneltian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kelor (Moringga Oleeifera Lam)... 4

B. Kelor Sebagai Komoditas Pangan ... 5

C. Nutrisi Kelor ... 5

D. Proses Pengeringan ... 8

E. Pengaruh Suhu Udara Pada proses Pengeringan ... 9

F. Pengaruh Pengeringan Terhadap Bahan ... 10

F.1 Pengaruh Pengeringan Terhadap Zat Warna... 11

G. Beta-karoten... ... 11

H. Vitamin C... ... 15

I. Anti Oksidan... ... 18

J. Aktivitas Antioksidan ... 19

K. Tepung...21

L. Protein...22

M. Kalsium...23


(9)

Q. Landasan Teori... 30

R. Hipotesis ... 32

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 33

B. Bahan Penelitian ... 33

C. Alat Penelitian ... 33

D. Metode Penelitian ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Bahan Baku ... 39

B. Hasil Pengamatan Terhadap Tepung Kelor ... 40

1. Kadar air ... 40

2. Rendemen ... 42

3. Kadar Vitamin C ... 44

4. β- karoten ………. ... 46

5. Aktivitas Antioksidan (DPPH) …….. ... 48

6. Kalsium ……..………...…. 50

7. Protein ………... 51

8. Klorofil... 53

9. Fenol... 55

10. Uji Organoleptik ... 57

a. Warna ... 57

b. Aroma... 58

C. Analisis Keputusan ... 60

D. Analisis Finansial ... ……….. 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 65


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kandungan energi dan zat gizi daun kelor per 100 g ... 9

Tabel 2. Hasil analisis daun kelor segar... 39

Tabel 3. Nilai rata-rata kadar air tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan ... 40

Tabel 4. Nilai rata-rata rendemen tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan ... 42

Tabel 5. Nilai rata-rata vitamin C tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan ... 44

Tabel 6. Nilai rata-rata β- karoten tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan ... 46

Tabel 7. Nilai rata-rata DPPH tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan ... 48

Tabel 8. Nilai rata-rata kalsium tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan ... 50

Tabel 9. Nilai rata-rata protein tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan...………...…….….. 51

Tabel 10. Nilai rata-rata klorofil tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan...53

Tabel 11 Nilai rata-rata fenol tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan ... 55

Tabel 12. Nilai rata-rata tingkat kesukaan warna tepung kelor... 57

Tabel 13. Nilai rata-rata tingkat kesukaan aroma tepung kelor ... 58


(11)

Halaman

Gambar 1. Tanaman Kelor ( Moringa Olifera Lam)... 5

Gambar 2. Perbandingan nutrisi anatara daun kelor dengan beberapa bahan pangan lain... 8

Gambar 3. Degradasi beta- karoten ... 16

Gambar 4. Reaksi Perubahan vitamin C... 18

Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung daun kelor... 38

Gambar 6. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap kadar air tepung daun kelor... 41

Gambar 7. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap rendemen tepung daun ke ... 43

Gambar 8. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap vitamin C tepung daun kelor... 45

Gambar 9. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap β- karoten tepung daun kelor... 47

Gambar 10. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar DPPH pada tepung daun kelor...49

Gambar 11. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar kalsium pada tepung daun kelor...51

Gambar 12. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar protein pada tepung daun kelor...52

Gambar 13. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar klorofil pada tepung daun kelor...54

Gambar 14. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar fenol pada tepung daun kelor...46


(12)

Lampiran 1. Prosedur Analisa

Lampiran 2. Lembar kuisioner (Uji Skoring) Lampiran 3. Data Analisis Ragam Kadar Air Lampiran 4. Data Analisis Ragam Rendemen Lampiran 5. Data Analisis Ragam Vitamin C Lampiran 6. Data Analisis Ragam β- karoten

Lampiran 7. Data Analisis Aktivitas Antioksidan (DPPH) Lampiran 8. Data Analisis Ragam total kalsium

Lampiran 9. Data Analisis Ragam Protein Lampiran 10. Data Analisis Ragam Uji klorofil Lampiran 11. Data Analisis Ragam Uji fenol Lampiran 12. Uji Organoleptik Warna

Lampiran 13. Uji Organoleptik Aroma Lampiran 14. Hasil Analisis Finansial


(13)

VITAMIN A ,DAN VITAMIN C, SERTA AKTIVITAS ANTIOKSIDAN TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam)

Ana Tri Setyowatik NPM. 0633010042

INTISARI

Kelor ( Moringa oleifera Lam) merupakan famili Moringaceae yang tumbuh di daerah tropis, tanaman kelor memiliki tinggi sekitar 7 shingga 12 m, daunnya majemuk, dan membundar kecil-kecil. Kelor memiliki kandungan vitamin C ( 220 mg), β-karoten 6,78 mg sehingga tanaman kelor ini dapat dikonsumsi sebagai sayuran dan dijadikan tanaman obat.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu pengeringan terhadap kualitas tepung daun kelor.Metode penelitian ini disusun secara faktorial dalam rancangan acak lengkap (RAL) dengan 2 faktor dan 3 ulangan.faktor pertama adalah suhu pengeringan ( 50oC, 60oC, 70oC) dan faktor kedua adalah lama pengeringan (4 jam, 5 jam, 6 jam) dengan parameter yang diamati adalah kadar air, rendemen,vitamin C, β-karoten,Aktivitas antioksidan, protein, kalsium, klorofil,fenol dan uji organoleptik pada tepung daun kelor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan suhu pengeringan 60 oC, dan lama pengeringan 5 jam yang menghasilkan kadar air 11,029 %, rendemen 25,394%,vitamin C 15,025mg/g, β-karoten47,110, fenol 6.945,121 ppm, protein 20,502%,aktivitas antioksidan 28,373, kalsium 409,044(mg/g),klorofil 0,526 (mg/g), uji organoleptik warna 4,67, uji organoleptik aroma 4,54.

Hasil analisa finansial pada perlakuan terbaik menunjukan nilai BEP sebesar 22,38% dari total produksi, NVP sebesar Rp. 68.924.423 dan payback period 3,3 tahun dengan Benefit Cost Ratio sebesar 1,0408 dan IRR 23,144%( dengan tingkat suhu bungga 20%).


(14)

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat berlimpah. Banyak tanaman yang tumbuh dan dibudidayakan karena memiliki manfaat dan nilai ekonomis yang tinggi bagi masyarakat, terutama masyarakat petani. Beberapa tanaman yang secara alami mengandung bahan-bahan yang bermanfaat baik sebagai bahan-bahan pangan maupun sebagai bahan-bahan obat-obatan, seperti rempah-rempah. Salah satu tanaman yang memiliki manfaat ganda, baik sebagai bahan pangan yang bernilai gizi tinggi dan juga memiliki khasiat sebagai obat adalah tanaman kelor (Moringa oleifera Lam.)

Tanaman kelor pada umumnya ditanam hanya sebagai tanaman pagar atau tanaman makanan ternak. Hanya sedikit yang mengkonsumsi sebagai sayuran. Disamping itu, tanaman kelor ini lebih banyak dikaitkan dengan dunia mistis. Sehingga budidaya secara intensif belum banyak dilakukan oleh masyarakat. Tanaman kelor kaya akan pro vitamin A dan C, khususnya β-karoten, yang akan diubah menjadi vitamin A dalam tubuh dan secara nyata berpengaruh terhadap hepatoprotective (Bharali, 2003). Daun kelor juga merupakan sumber vitamin B. Dan memiliki kandungan lemak yang rendah (Fahey, 2005). Oleh karena itu, daun kelor dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kekurangan vitamin A dan malnutrisi.

Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit),


(15)

diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno, 2000).

Keuntungan lain dari pengolahan produk setengah jadi yaitu, bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi, serta menghemat ruangan dan biaya penyimpanan. Teknologi ini mencakup teknik pembuatan sawut/chip/granula/grits, teknik pembuatan tepung, teknik separasi atau ekstraksi, dan pembuatan pati(Widowati, 2000).

Bahan pangan alami merupakan system hayati yang cepat rusak sesudah panen atau mengalami pemotongan.kebutuhan manusia akan makanan biasanya tidak terjadi pada waktu bersamaan dengaan saat panen atau pemotongan, maka bahan pangan tersebut perlu diawetkan melalui pengolahan ( Karmas, 1989).

Pengeringan bertujuan untuk mengurangi air dari bahan sampai kadar air yang dikehendaki yang berarti mengurangi ketersediaan air untuk pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim ( Winarno, 1984).

Suhu pengeringan kelor akan mempengaruhi kualitas akhir tepung daun kelor, untuk itu diperlukan penelitian untuk mengetahui suhu terbaik dalam pengeringan daun kelor. Menurut (Oliviana, 2008 ) pengeringan cabinet dryer mengunakan suhu 600C selama 6 jam akan menghasilkan kandungan nutrisi , dan kenampakan fisik yang baik pada pengeringan sayuran hijau. Pada pembuatan tepung pandan menggunakan suhu pengeringan 50,60,700C, dan lama pengeringan 4,6,8 jam ( Hafiz,2008).


(16)

B. TUJUAN

1. Mengetahui pengaruh suhu dan waktu pengeringan terhadap kualitas tepung daun kelor.

2. Mengetahui perlakuan terbaik dari pengaruh suhu dan waktu pengeringan terhadap tepung daun kelor yang bermutu tinggi dan disukai konsumen.

C. MANFAAT

1. Meningkatkan pemanfaatan dan nilai ekonomis daun kelor.

2. Menjadikan daun kelor sebagai bahan alternatif untuk pembuatan tepung. 3. Meningkatkan aplikasi pada penggunaan produk pangan.


(17)

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kelor (Moringa oleifera Lam.)

Kelor (Moringa oleifera Lam.) merupakan famili Moringaceae yang tumbuh di

daerah tropis, berasal dari India bagian barat dan tersebar di wilayah Pakistan, Bangladesh and Afghanistan. Tanaman kelor memiliki tinggi sekitar 7 hingga 12 m, akar berumbi, batang berkayu, berongga dan lunak, batang pendek ( 25 cm) dan cabang mudah patah, digunakan untuk tanaman pagar (Reyes, 2006). Daunnya majemuk, menyirip ganda, dan berpinak daun membundar kecil-kecil. Bunganya berwarna putih kekuningan. Buahnya panjang dan bersudut-sudut pada sisinya. Kelor dibudidayakan sebagai tanaman sayuran, pendukung tanaman lada atau sirih, tanaman makanan ternak (Winarno, 2003)

Gambar 1. (a) Tanaman Kelor (Moringa oleifera Lam.) dan bunga (b) Batang dan buah Kelor

(c) daun Kelor (Sumber : http://www.mobot.org/gradstudents/olson/moringahome.html)

a c


(18)

B. Kelor Sebagai Komoditas Pangan

Daun kelor dapat dikonsumsi manusia sebagai sayur. Salah satu yang sangat menguntungkan adalah daunnya dapat dipanen pada musim kering, di mana tidak lagi dapat dijumpai sayuran segar di sekitarnya. Saat ini semakin berkembang sayuran moringa (kelor) di pasar internasional baik dalam kaleng maupun dalam bentuk segar, serta keadaan beku atau "chilled" (Winarno, 2003).

Sepintas daun kelor mirip dengan daun katuk, bentuknya bulat dan berwarna hijau. Tanaman kelor merupakan pohon berkayu yang tingginya bisa mencapai 6 meter. Biji tanaman yang sudah tua bisa dimanfaatkan sebagai penjernih air sumur yang keruh. Sedangkan daunnya enak dimakan menjadi beragam masakan. Keunggulan daun kelor terletak pada kandungan nutrisinya, terutama golongan mineral dan vitamin. Aroma daun kelor agak langu, namun aroma berkurang ketika daun mudanya diolah menjadi sayur bening atau sayur bobor. Aroma langu pada daun kelor disebabkan karena adanya senyawa fenol, ( Budi Sutomo, 2008).

C. Nutrisi Kelor

Kelor telah digunakan untuk mengatasi malnutrisi, terutama untuk balita dan ibu menyususi. Daun dapat dikonsumsi dalam kondisi segar, dimasak, atau disimpan dalam bentuk tepung selama beberapa bulan tanpa pendinginan dan dilaporkan tanpa terjadi kehilangan nilai nutrisi. Kelor merupakan bahan pangan yan sangat menjanjikan terutama untuk daerah tropis karena pada musim kering masih dapat tumbuh subur.


(19)

Daun kelor mengandung Vitamin A yang lebih tinggi dibanding wortel, kandungan kalsium lebih tinggi dari susu, zat besi lebih tinggi dibanding bayam, vitamin C lebih tinggi dibanding jeruk, dan potassium lebih banyak dibanding pisang. Sedangkan kualitas protein daun kelor setara dengan susu dan telur.

Enam sendok makan penuh dapat memenuhi kebutuhan zat besi dan kalsium

wanita hamil dan menyusui. -carotene yang ditemukan dalam kelor merupakan

prekursor retinol (Vitamin A). Terdapat sekitar 25 jenis -carotene, tergantung dari

varietas (Price, 2000).

Gambar 2. Perbandingan nutrisi antara daun kelor dengan beberapa bahan pangan lain (Anonim,2008)

Tiap bagian dari tanaman kelor memiliki kandungan bahan yang berbeda. Proses pembuatan tepung daun kelor akan dapat meningkatkan nilai kalori, kandungan protein, karbohidrat, serat . Hal ini disebabkan karena pengurangan kadar air yang terdapat dalam daun kelor.

Kandungan kimia yang dimiliki daun kelor antara lain asam amino yang berbentuk asam aspartat, asam glutamat, alanin, valin, leusin, isoleusin, histisdin,


(20)

lisin, arganin,venelalanin, triftopan, sistein dan methionin (Simbolan et al.

2007).Selain itu daun kelor juga mengandung makro elemen seperti potasium, kalsium,magnesium, sodium, dan fosfor, serta mikro elemen seperti mangan, seng, dan besi. Daun kelor merupakan sumber provitamin A, vitamin B, vitamin C, mineral terutama zat besi. Fuglie (2001) menyebutkan kandungan kimia daun kelor per 100 g adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Kandungan energi dan zat gizi daun kelor per 100 g

Komponen Komposisi

Air 75 g

Energi 92 kal

Lemak 1.7 g

Karbohidrat 12.5 g

Serat 0.9 g

Kalsium 440 mg

Potasium 259 mg

Fosfor 70 mg

Besi 7 mg

Zinc 0.16 mg

β – karoten 6.78 mg

Tiamin ( vitamin B1) 0.06 mg

Ribovlavin ( vitamin B2) 0.05 mg

Niacin ( vitamin B3) 0.8 mg

Vitamin C 220 mg

Sumber : Fuglie 2001

Senyawa antinutrisi yang banyak terkandung dalam daun kelor antara lain saponin, tanin dan fenol. Saponin adalah glikosida dalam tanaman dan terdiri atas gugus sapogenin (steroid) atau (triterpenoid) , gugus heksosa,pentosa, atau asam- uronat. Senyawa ini mempunyai rasa pahit dan berbusa biladilarutkan dalam air. Saponin dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah,dan sangat beracun terhadap hewan berdarah dingin, sedangkan terhadaphewan berdarah panas daya toksisitasnya berbeda-beda (Winarno 1992). Saponin pada daun kelor tidak menimbulkan efek


(21)

yang berbahaya bagi manusiayang telah mengkonsumsinya. Menurut Duke (1983), saponin hadir dalam duabentuk yaitu steroid dan triterpenoids saponin yang terdapat dalamdaun kelor bersifat non hemolitik. Perlakuan panas dalam keadaan basah atau

pemisahan dengan ekstraksi alkohol dapat mengurangi saponin. Menurut Foild etal.

(2007) daun kelor segar mengandung 5% saponin sedangkan daun kelor yang telah diekstraksi dengan alkohol mengandung saponin sebesar 0,2%. Tanin banyak dijumpai dialam dan terdapat pada tiap-tiap bagian tumbuhan khususnya tanaman di daerah tropis pada daun dan kulit kayu. Tanin dapat menyebabkan rasa sepat karena saat dikonsumsi akan terbentuk ikatan silang antara tanin dengan protein atau glikoprotein di rongga mulut sehingga menimbulkan perasaan kering dan berkerut

(Jamriati 2008). Foild et al. (2007), menambahkan bahwa kandungan tanin dalam

daun kelor sebanyak 1.4%. Fenol banyak terdapat dalam tanaman dan biasanya pada

saat diekstraksi dapat bersifat larut dalam alkohol (Foild et al. 2007).

D. Proses Pengeringan

Bahan pangan yang dikeringkan umumnya mempunyai nilai gizi yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan segarnya. Selama pengeringan juga dapat terjadi perubahan warna, aroma, tekstur dan vitamin-vitamin menjadi rusak atau berkurang.

Perubahan warna tersebut disebabkan oleh reaksi-reaksi browning, baik enzimatik

maupun non enzimatik. Jika proses pengeringan dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi, maka dapat menyebabkan kerusakan vitamin C (Muchtadi R, 1997).

Bahan pangan dapat dikeringkan dengan cara :


(22)

dengan dijemur (sun drying) atau diangin-anginkan

- Buatan (artificial drying), yaitu menggunakan panas selain sinar

matahari dilakukan dalam suatu alat pengering, misalnya spraydrier, oven,

cabinet drier.

Keuntungan dan kerugian pengeringan buatan 1. Keuntungan pengeringan buatan :

o Suhu dan aliran udara dapat diatur

o Waktu pengeringan dapat ditentukan dengan tepat o Kebersihan dapat diawasi

2. Kerugian pengeringan buatan :

o Memerlukan panas selain sinar matahari berupa bahan bakar, sehingga biaya pengeringan menjadi mahal

o Memerlukan peralatan yang relatif mahal harganya

o Memerlukan tenaga kerja dengan keahlian tertentu

E. Pengaruh Suhu Udara Pada Proses Pengeringan

Laju penguapan air bahan dalam pengeringan sangat ditentukan oleh

kenaikan suhu. Bila suhu pengeringan dinaikkan maka panas yang dibutuhkan untuk penguapan air bahan menjadi berkurang. Pada proses pengeringan diperlukan adanya pergerakan udara, dimana udara berfungsi sebagai penghantar panas kedalam bahan yang dikeringkan dan untuk mengambil uap air di sekitar tempat penguapan (Setijahartini, 1980). Pada proses pengeringan harus diperhatikan suhu udara pengering. Semakin besar perbedaan antara suhu media pemanas dengan bahan yang


(23)

dikeringkan, semakin besar pula kecepatan pindah panas ke dalam bahan pangan sehingga penguapan air dari bahan akan lebih banyak dan cepat.

F. Pengaruh Pengeringan Terhadap Bahan

Muchtadi (1989), mengatakan bahan pangan yang dikeringkan umumnya mempunyai nilai gizi yang lebih rendah dibandingkan bahan segarnya. Selama pengeringan terjadi perubahan warna, tekstur, aroma, dll. Pada umumnya bahan pangan yang dikeringkan akan berubah warnanya menjadi coklat. Perubahan warna ini disebabkan oleh reaksi-reaksi baik enzimatis maupun non enzimatis. Apabila suhu pengeringan yang terlalu tinggi akan menyebabkan bagian permukaan cepat mengering dan menjadi keras sehingga menghambat pengupan air selanjutnya.Akibat lainnya dari pengeringan adalah awetnya bahan dari proses kerusakan. Hal ini disebabkan karena aktivitas air yang terdapat pada bahan mengalami penurunan sehingga mikroorganisme sebagai sumber penyebab kerusakan bahan tidak dapat hidup (Buckle, dkk., 1985). Menurut Susanto (1994) sisi kerugian dari pengeringan antara lain terjadinya perubahan-perubahan sifat fisis seperti pengerutan,perebahan warna, kekerasan dan sebagainya. Perubahan kualitas kimia,antara lain penurunan kandungan vitamin C maupun terjadi pencoklatan.

Pengeringan yang terlalu cepat dapat merusak bahan, oleh karena permukaan bahan terlalu cepat kering sehingga bisa diimbangi dengan kecepatan gerakan air bahan menuju permukaan yang menyebabkan pengerasan pada permukaan bahan, selanjutnya air dalam bahan tidk lagi menguap karena terhambat (Suharto,1992).


(24)

F. 1. Pengaruh Pengeringan Terhadap Zat Warna Dalam Bahan Pangan

Warna bahan pangan bergantung pada kenampakan bahan pangan tersebut,

dan kemampuan dari bahan pangan untuk memantulkan, menyebarkan, menyerap, atau meneruskan sinar tampak. Bahan pangan dalam bentuk asli biasanya berwarna terang.

Pengeringan bahan pangan akan mengubah sifat-sifat fisis dan kimianya, dan

diduga dapat mengubah kemampuannya memantulkan, menyebarkan, menyerap dan meneruskan sinar sehingga mengubah warna bahan pangan.

Zat warna cholorofil akan mengalami kerusakan dengan perlakuan

pengeringan. Pemberian belerang cenderung memucatkan zat warna antosianin. Disamping memberikan penghambatan yang kuat terhadap pencoklatan oksidatif. Pencoklatan jaringan tanaman yang hancur dipengaruhi oleh sistem enzim oksidase didalam jaringan. Perubahan oksidatif akan menurunkan kualitas bahan pangan yang dikeringkan. Perubahan warna dapat dicegah dengan cara inaktivasi enzim menggunakan panas (Desrosier, 2008).

G. β- KAROTEN

Vitamin A pada umumnya stabil terhadap panas, asam, dan alkali. Sayangnya mempunyai sifat yang sangat mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara,sinar, dan lemak yang sudah tengik (Winarno,1992).


(25)

Sebagian besar sumber vitamin A adalah karoten yang banyak terdapat dalam bahan-bahan nebati. Tubuh manusia mempunyai kemapuan mengibah sejumlah besar karoten menjadi vitamin A. Dalam tanaman terdapat beberapa jenis karoten, namun

yang lebih banyak ditemui adalah ά-,β-, dan - karoten ; mungkin juga terdapat

kriptoxantin. Karoten merupakan sumber utama provitamin A yang banyak terdapat dalam bahan-bahan nabati terutama sayur-sayuran dan buah-buahan yang berwarna hijau atau kuning. Terdapat hubungan langsung antara derajat kehijauan sayuran dengan karoten. Semakin hijau daun tersebut semakin tinggi karotennya (Winarno,1992).

Dalam bahan makanan terdapat vitamin A dalam bentuk karoten sebagai ester dari vitamin A yang bebas. Keaktifan biologis karoten jauh lebih rendah dibandingkan dengan vitamin A, maka absorpsi dan ketersediaan karoten perlu diketahui (Winarno, 2002). Menurut hasil penelitian, betakaroten sangat mungkin memiliki manfaat menghambat kanker.Terutama kanker pada saluran pernapasan dan saluran pencernaan sebagai jenis kanker serviks. Disamping itu, betakaroten juga dapat berfungsi sebagai penangkal radikal bebas karena peran antioksidannya. Radikal bebas merupakan senyawa yang dapat merusak sel, bahkan dapat memacu timbulnya kelainan minimal pada tingkat sel yang selanjutnya berubah menjadi pre-kanker. Betakaroten memberikan perlindungan pada tingkat seluler dimana DNA

(deoxyribonukeic acid) yang merupakan suatu inti genetic pembawa sifat keturunan diproteksi terhadap berbagai gangguan sehingga dapat terlindung dari bahan asing yang mengacaukan kode genetiknya.


(26)

Provitamin A lebih stabil dibandingkan dengan vitamin A selama pengolahan pangan. Hal ini mungkin disebabkan oleh keberadaan kerotenoidbdalam lokasi yang terhindar dari O2 dalam bahan pangan, misalnya dalam bentuk dispersi koloid pada media lemak atau bentuk kompleks dengan protein (Andarwulan & Koswara 1992). Karoten yang berasosiasi dengan lipid/protein akan terlindungi dari oksidasi (Damayanthi,1997).

Pengeringan dengan sinar matahari mengakibatkan karoten ( pro vitamin A) pada buah-buahan hilang. Jaringan sayuran yang dikeringkan dengan cara pengeringan buatan atau alami cinderung mengalami kehilangan zat gizi dalam jumlah yang relatife sama dengan buah-buahan. Metode pengeringan terbaik hanya akan menyebabkan kehilangan karoten sebesar lima persen ( Desrosier, N.W., 1988).

Vitamin A dan karoten stabil terhadap panas, tetapi akan terdegredasi pada temperature tinggi dengan adanya oksigen. Menurut fennema (1976) kerusakan pro vitamin A (karoten) pada pemasakan atau pengawetan bahan pangan tanpa adanya oksigen, hanya menyebabkan transformasi cis-trans-isomer ke bentuk neo-beta karoten yang masih mempunyai aktifitas vitamin A 38%. Selanjutnya dikatakan bahwa pemasakan dengan adanya oksigen, beta karoten akan pecah membentuk komponen yang bisa menguap, sehingga mengakibatkan kehilangan seluruh aktifitas vitaminA.

Pengolahan pangan dengan pemanasan akan mempengaruhi kandungan karoten pada sayuran. Lebih lanjut (Bauernfeid, 1981), menyatakan besar kecilnya pengaruh pemanasan terhadap karoten sayuran dipengaruhi oleh: (1) waktu dan temperatur pengolahan; (2) jumlah O2 yang tersedia selama proses; (3) pHdari bahan


(27)

yang diolah; (4) tersedianya logam-logam yang bersifat dan prooksidan yang terdapat dalam bahan yang diolah; (5) sinar matahari; (6) tersedianya antioksidan dalam bahan yang diolah. (Damayanti, 1997).

Kerusakan yang berarti pada karoten terjadi karena proses pengeringan(dehidrasi). Monica dan Dowell (1985) dalam Andarwulan dan Koswara

(1992), melaporkan bahwa kehilangan β-karoten pada wortel yang dikeringkan

dengan menggunakan pengeringan kabinet, pengeringan dengan udara panas dan pengeringan beku (freeze drying) berturut-turut adalah 26%, 19%, dan 15%. Mekanisme lebih lanjut dapat dilihat digambar 3.

Polymers, Volatile compounds, short-chain water soluble

O2

Β-karoten 5,6- epoxide Mutakhrome

Chemical oxidation Light-catalyzed oxidation

Cooking and canning higt temperatur

Neo-β-karoten and U e.g fragmentary ( cis forms, 38% vitamin A activity) product Ionone

m-Xylene

Toluena, 2,6- Dimethylnaphtalena

Gambar .3. Degradasi beta- karoten (Andrawulan dan Koswara,1992)


(28)

H. Vitamin C

Vitamin yang tergolong larut dalam air adalah vitamin C dan vitamin-vitamin B kompleks. Vitamin C dapat terbentuk sebagai asam askorbat dan asam L-dehidroaskorbat; keduanya mempunyai keaktifan sebagai vitamin C. Dari semua vitamin yang ada, vitamin C merupakan vitamin yang paling mudah rusak. Disamping sangat larut dalam air, vitamin C mudah teroksidasi dan proses tersebut dipercepat oleh panas, sinar, alkali, enzim, oksidator, serta oleh katalis tembaga dan besi. Oksidasi akan terhambat bila vitamin C dibiarkan dalam keadaan asam, atau pada suhu rendah (Winarno,2002). Vitamin C merupakan antioksidan yang tangguh. Yang membantu menjaga kesehatan sel, meninggkatkan penyerapan asupan zat besi, dan memperbaiki sistem kekebalan tubuuh. Disamping berfungsi sebagai antioksidan, vitamin C membantu penyerapan zat besi dan dapat menghambat produksi nitrosamin, zat pemicu kanker. Vitamin C juga membantu penyembuhan luka (Sri Kumalaningsih,2006).

Vitamin C dapat terserap sanagat cepat dari alat pencernaan kita masuk ke dalam saluran darah dan dibagikan ke seluruh jaringan tubuh. Kelenjar adrenalin mengandung vitamin C sangat tinggi, pada umumnya tubuuh menahan vitamin C sangat sedikit. Kelebihan vitamin C dibuang melalui air kemih. Karena itu bila

seseorang mengkonsumsi vitamin C dalam jumlah besar (megadose), sebagian besar

akan dibuang keluar, terutama bila orang tersebut biasa mengkonsumsi makanan yang bergizi tinggi. Tetapi sebaliknya, bila sebelumnya orang tersebut jelek keadaan


(29)

gizinya, maka sebagaian besar dari jumlah itu dapat ditahan oleh jaringan tubuh (winarno,2002).Vitamin C adalah suatu turunan heksosa dan diklasifikkasikan sebagai karbohidrat yang erat barkaitan dengan monosakarida. Vitamin C cukup stabil dalam keadaan kering, tetapi dalam keadaan larut mudah rusak karena bersentuhan dengan udara terutama bila terkena panas (Almatsier,2002).

Asam askorbat sangat mudah teroksidasi secara reversible menjadi asam L-dehidroaskorbat.Asam L-dehidroaskorbat secara kimia sangat labil dan mengalami perubahan lebih lanjut menjadi asam L-diketogulonat yang tidak memiliki keaktifan vitamin C lagi.Secara lengkap reaksi perubahan vitamin C dapat dilihat pada gambar 4.

O O O

C C HO C

HO C O C O C

HO C -2H O C OH

-

O C

H C +2H H C H C OH

HO C H HO C H OH C H

H C OH H C O H C OH

H H H

as. L-askorbat as. L-dehidroaskorbat as. L-diketogulonat Gambar 4. Reaksi perubahan vitamin C (Sumber : Winarno, 1984)

Suhu berpengaruh terhadap resistensi vitamin C, resitensi vitamin C berkurang dengan bertambahnya suhu perlakuan. Pada proses pengeringan pengeluaran udara


(30)

merupakan sesuatu yang penting , karena bahan (buah-buahan) yang mengandung udara di dalamnya dan di proses pada suhu tinggi akan merusakkan seluruh vitamin

C-nya. Pada pemrosesan dengan suhu rendah dimana suhu kurang dari 60 oC, vitamin

C tidak akan terlalu banyak mengalalami kerusakan. Waktu pengeringan yang singkat juga akan memperkecil laju oksidasi vitamin C.

CH2OH N (C6H5)2

HC OH NO2 N NO2

+

O:H O:H NO2

Asam Askorbat DPP hidrazil CH2OH N (C6H5)2 CH OH N

NO2 NO2 o-

+

NO2 DPP Hidrazil CH2OH N (C6H5)2 HC OH O2N N:H NO2

O +

Asam dehidroskorbat DPP hidrazin ( Bentuk reduksi) Gambar 5. Mekanisme penangkap radikal Vitamin C dengan metode DPPH


(31)

I. Antioksidan

Antioksidan adalah suatu senyawa kimia yang dalam kadar tertentu mampu menghambat atau memperlambat kerusakan lemak dan minyak akibat proses oksidasi. Berdasarkan kerja antioksidan dapat digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer (pemberi atom hidrogen) adalah suatu zat yang dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal yang melepaskan hidrogen. Antioksidan sekunder (memperlambat laju autooksidasi) adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja prooksidan sehingga dapat digolongkan sebagai sinergis.

Mekanisme antioksidan primer (Shahidi dan Wanasundara, 2002) adalah:

ROO* + AH ROOH + A*

RO* + AH ROH + A*

R* + AH RH + A*

Radikal bebas dan radikal peroksi yang terbentuk selama tahap propagasi pada proses autooksidasi ditangkap oleh antioksidan primer. Antioksidan kemungkinan yang bereaksi langsung dengan radikal lemak. Hasil radikal antioksidan oleh donasi hidrogen mempunyai reaksi sangat rendah terhadap lemak. Reaksi yang rendah akan mengurangi laju tahap propagasi. Radikal antioksidan mempunyai kemampuan dalam reaksi terminasi dengan peroksi dan radikal antioksidan yang lainnya. Pembentukan dimerisasi antioksidan yang menonjol dalam lemak dan minyak yang mengindikasi bahwa kecepatan radikal antioksidan (AH) primer dengan


(32)

konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak.

Oksidasi merupakan proses degeneratif yang dipacu oleh radikal bebas dan

menyebabkan ketengikan dan penurunan nutrisi produk pangan (Kim et al., 2001;

Watanabe et al., 2005). Untuk mencegah proses oksidasi tersebut diperlukan

senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi (Kochhar dan Rossell, 1990). Peningkatan kesadaran konsumen akan kesehatannya telah mendorong mereka untuk mengkonsumsi bahan-bahan alami yang berkhasiat untuk kesehatan.

Antioksidan merupakan senyawa penting dalam menjaga kesehatan tubuh karena berfungsi sebagai penangkap radikal bebas yang banyak terbentuk dalam tubuh. Fungsi antioksidan digunakan sebagai upaya untuk memperkecil terjadinya oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam makanan, serta memperpanjang massa pemakaian bahan dalam industri makanan. Lipid peroksidase merupakan salah satu faktor yang cukup berperan dalam kerusakan selama dalam penyimpanan dan pengolahan makanan. (Raharjo, dkk,. 2005).

J. Aktivitas Antioksidan

Pengujian pencegahan pembentukan peroksida biasa diuji dalam sistem

emulsi asam linoleat dalam air (Duh et al., 1999). Pengujian ini menunjukkan

aktivitas antioksidan total (Kim, 2005). Menurut Cuvelier et al. (2003) dalam sistem

emulsi kecepatan oksidasi dan peran antioksidan dipengaruhi oleh kemampuan partisi pada fase minyak, air, atau antar permukaan. Pengujian aktivitas antioksidan total


(33)

biasa menggunakan metode ferri-tiosianat yang mengukur jumlah peroksida yang

terbentuk dalam sistem emulsi selama inkubasi (Singh et al., 2005).

Pengujian kapasitas penangkapan radikal biasa diukur dengan menggunakan

suatu senyawa radikal DPPH (1,1-Diphenyl-2-picrylhydrazyl) yang bersifat stabil dan

dapat menerima elektron atau radikal hidrogen menjadi suatu senyawa yang secara

diamagnetik stabil (Soares et al., 1997). Lebih lanjut Duh et al., (1999) menyatakan

bahwa kemampuan radikal DPPH untuk direduksi atau distabilisasi oleh antioksidan diukur dengan mengukur penurunan absorbansi pada panjang gelombang 517 nm. Oleh karena itu DPPH biasa digunakan untuk mengkaji kapasitas penangkapan radikal.

Daya reduksi merupakan indikator potensi suatu senyawa sebagai antioksidan

(Kim, 2005). Dalam sistem dimana terdapat ion ferri (Fe3+) daya reduksi

menunjukkan sifat sebagai prooksidan. Ion ferri (Fe3+) dapat diubah oleh suatu

antioksidan menjadi ion ferro (Fe2+) melalui reaksi reduksi. Ion ferro merupakan

prooksidan yang aktif dengan mengkatalisis dekomposisi hidroperoksida menjadi

radikal bebas (Paiva-Martins dan Gordon, 2002; Cuvelier et al., 2003).

Flavonoid dan derivat polofenol merupakan senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan karena ketiga senyawa tersebut adalah senyawa-senyawa fenol, yaitu senyawa dengan suatu gugus –OH yang terikat pada karbon cincin aromatik, produk radikal bebas senyawa-senyawa ini terstabilkan secara resonansi dan karena itu tak reaktif dibandingkan dengan kebanyakan radikal bebas lain sehingga dapat berfungsi sebagai antioksidan yang efekif (Fessenden,1994) Mekanisme lebih lanjut dapat dilihat digambar 5.


(34)

H DPPH + DPPH

Fenol Radikal bebas Tertangkap Bentuk reduksi dari DPPH Gambar 6. Struktur resonasi radikal bebas fenol

K. Tepung

Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno, 2000).

Pembuatan tepung dapat dilakukan dengan berbagai cara. Tepung adalah bahan padatan yang diperoleh dari proses penggilingan suatu bahan dalam bentuk butiran-butiran halus yang mengandung kadar air 10-13% (www.ajcn.org,2003).

Penepungan (miling) adalah cara pengolahan biji-bijian atau daging buah kering yang dihaluskan sehingga menjadi tepung atau bubuk misalnya tepung beras, tepung tapioka, tepung terigu, dll. ( Sugito, 1995).Pembuatan tepung / bubuk bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan bahan yang bersifat fisik maupun kualitatif (mutu). Berkurangnya kualitas adalah satu-satunya bentuk kerusakan yang harus dihindari namun, dalam kenyataan dua bentuk kerusakan ini saling berkait dan


(35)

sering mempengaruhi sehingga akan membentuk kerusakan tepung yang lebih serius seperti biji-bijian.( Purwanto, 1995).

L. Protein

Protein merupakan senyawa-senyawa polimer yang dibangun dari sejumlah asam-asam amoni sebagai unit-unit monomernya. Protein pada umumnya mengandung 50-100 residu asam amino tipa rantai peptida. Protein dibentuk melalui kondensasi molekul-molekul protein yang besarnya 100-1000 kali dari sukrosa (Lapedes, 1977).

Walaupun telah diketahui ada lebih dari 150 macam asam amino, namun hanya 20 buah yang selalu ditemukan didalam protein. Tujuh diantaranya adalah asam amino esensial, artinya harus ada dalam bahan pangan, karena tidak dapat disintesa didalam tubuh (sulaiman, 1996).

Dalam tanaman, molekul protein sebagian besar disusun dari karbohidrat dan hanya kira-kira 15-17% dari beratnya merupakan nitrogen. Protein merupakan konsisten dari protoplasma dan sebagian dari padanya merupakan mekanan cadangan. Adanya yang dapat larut dan ada yang tidak larut. Protein dibentuk melalui kondensasi molekul-molekul protein yang besarnya 100-1000 kali dari sukrosa (chandler,1958).

Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali aatau enzim akan dihasilkan campuran asam-asam amino. Sebuaah asam amino terdiri dari sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen, dan gugus R yang


(36)

cabang semua asam amino berkonfigurasi L, kecuali glisin yang tidak mempunyai asam aamino asemetris (Winarno, 1997).

M. Kalsium

Kalsium adalah mineral yang amat penting bagi manuisa, antara lain bagi metabolisme tubuh, penghubung antar saraf, kerja jantung, dan pergerakan otot, daya tahan tubuh, dan mempertahankan struktur normal sel.

Sumber kalsium terbagi dua, yaitu hewani dan nabati. Bahan makanan hewani mengandung kalsium antara lain adalah ikan, udang, susu, kuning telur, dan daging sapi, akan tetapi jika dikonsumsi berlabihan bahan hewani ini terutama daging sapi, bisa menghambat penyerapan kalsium, karena kadar proteinnya tinggi. Kandungan proteinnya yang tinggi akan meningkatkan keasamam (pH) darh. Guna menjaga agar keasaman darah tetap normal, tubuh terpaksa menarik deposit kalsium (yang bersifat basa) dari tulang, sehingga kepadatan tulang berkurang. Sedangkan bahan makanan yang mengandung kalsium nabati bisa diperoleh dari sayuran daun hijau seperti sawi, bayam, brokoli, daun pepaya, dan daun singkong, daun labu. Selain itu biji-bijian (kenari, wijen,almond) dan kacang-kacangan serta hasil olahanya Sebagian besar produk makanan yang mengandung kalsium tinggi tidak tahan terhadap pemanasan, dan jika kalsium terlepas menjadi unsur bebas yakni Ca(II) maka penyerapan kalsium oleh tubuh tidak efektif Anonim, (2007).


(37)

N. Blanching

Blanching adalah proses pemanasan bahan pangan dengan uap air panas

secara langsung pada suhu 71oC dan kurang dari 100oC selama 5 menit. Meskipun

bukan untuk tujuan pengawetan, proses thermal ini merupakan suatu tahap proses yang sering dilakukan pada bahan pangan sebelum bahan pangan tersebut dikeringkan, dikalengkan, atau dibekukan ( Suksmadji, 1988)

Tujuan blanching dapat berbeda-beda, di dalam proses pengeringan blanching bertujuan untuk menginaktifkan enzim yang tidak diinginkan yang mungkin tidak merubah warna, tekstur, cita rasa, maupun nilai nutrisi selama penyimpanan (muchtadi, 1989)

Susanto dan saneto (1994) menyatkan bahwa pengunaan suhu tinggi selama waktu tertentu dapat menginkatifkan fenolase dan semua enzim yang ada dalam bahan pangan

Didalam bahan mentah yang akan diolah juga terdapat enzim sebagaimana diketahui bahwa enzim adalah suatu biokatalisatir yang bertanggung jawab terhadap proses oksidasi maupun hidrolisa didalam bahan mentah, adanya proses-proses tersebut maka akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan, baik yang dapat merusak maupun tidak.

Perubahan-perubahan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan jelas tidak dikehendaki, sebab akan menyebabkan turunnya kualitas produk akhir pada pengolahan enzim ini harus diinaktifkan. Perlu diketahui bahawa system enzim ini


(38)

sangat kompleks dan bervariasi sesuai dengan macam dan jenis komoditi bahan mentahnya.

Menurut suksmadji (1988), semua komoditi yang akan dikeringkan harus dilakukan blanching, atau perlakuan panas yang lain selama dalam proses pengolahan. Bahan mentah yang akan diolah bilamana masih dalam keadaan mentah, sifat-sifatnya adalah teksturnya masih keras dan tegar, proses voluminasi dan tidak permeable terhadap air. Memberikan flavor, bau, dan aroma yang masih mentah. Memberikan kenampakan yang bersifat segar. Sehingga dalam keadaan yang demikian tidak dapat langsung diawetkan. Dalam hubunganya dengan pengolahan maka dengan diberikan perlakuan blanching justru akan memperbaiki sifat-sifatnya.

Untuk bahan pangan yang kan dikeringkan, mempercepat proses pengeringan karenaa membuat membrane sel permeable terhadap perpindahan air. Disamping itu blanching dapat diangap sebgai usaha “pemasakan” untuk produk kering yang langsung dikonsumsi ( muchtadi dan sugiyono, 1992).

O. Analisa keputusan

Menurut Siagian (1987), analisa keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk memilih yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Tujuan dari analisa keputusan adalah untuk menemukan keputusan yang secepat-cepatnya. Ketepatan keputusan bergantung dari informasi yang dapat dikumpulkan dan diolah dalam analisa. Mengambil keputusan berarti menjatuhkan pilihan pada salah satu alternatif yang paling baik.


(39)

permasalahan, alternatif-alternatif yang ada serta kriteria untuk mengukur atau membandingkan setiap alternatif yang memberikan hasil atau keuntungan paling besar dengan resiko paling kecil serta paling efektif. jadi masalah yang mempersulit adalah adanya alternatif yang harus dipilih sebagai landasan atas tindakan yang harus dilaksanakan (Assauri, 1980).

P. Analisa Finansial

Analisa kelayakan adalah analisa yang dilanjutkan untuk meneliti suatu proyek layak atau tidak layak untuk proses tersebut harus dikaji, diteliti dari beberapa aspek tertentu sehingga memenuhi syarat untuk dapat berkembang atau tidak. Analisa kelayakan tersebut dibagi menjadi 5 tahap yaitu dengan persiapan, tahap penelitian, tahap penyusunan, tahap evaluasi proyek. Data harga-harga bahan baku dan bahan penunjang lainya dapat digunakan sebagai dasar perhitungan kelayakan finansial pada produk dekstrin. Analisa finansial yang dilakukan meliputi : analisa nilai uang dengan

metode Net Present Value (NPV), Rate Of Return (ROR) dengan metode Internal

Rate Of Return (IRR), Break Event Point (BEP) dan Payback Period (PP) (Susanto dan Saneto, 1994).

1.Break Event Point (BEP) (Susanto dan Saneto, 1994)

Studi kelayakan merupakan pekerjaan membuat ramalan atau tafsiran yang didasarkan atas anggapan-anggapan yang tidak selalu bisa dipenuhi. Konsekuensinya adalah bisa terjadi penyimpangan- penyimpangan. Salah satu


(40)

penyimpangan itu ialah apabila pabrik berproduksi di bawah kapasitasnya. Hal ini menyebabkan pengeluaran yang selanjutnya mempengaruhi besarnya keuntungan

Suatu analisa yang menunjukan hubungan antara keuntungan, volume

produksi dan hasil penjualan adalah penentuan Break Event Point (BEP). BEP

adalah suatu keadaan tingkat produksi tertentu yang menyebabkan besarnya biaya produksi keseluruhan sama dengan besar nilai atau hasil penjualan atau laba. Jadi pada keadaan tertentu tersebut perusahaan tidak dapat keuntungan dan juga tidak mengalami kerugian.

Untuk memperoleh keuntungan maka usaha tersebut harus ditingkatkan dari penerimaanya harus berada di atas titik tersebut. Penerimaan dari penjualan dan ditingkatkan melalui 3 cara. Yaitu menaikkan harga jual per unit, menaikkan volume penjualan, menaikkan volume penjualan dan menaikkan harga jualnya. Rumus untuk mencari titik ampas adalah sebagai berikut :

a. Biaya Titik Impas

BEP (Rp) = Biaya Tetap

1- (biaya tidak tetap/pendapatan)

b. Unit Titik Impas

BEP (Unit) = Biaya Tetap


(41)

2. Net Present Value (NPV) (Tri dan Budi, 1994)

Net Present Value (NPV) adalah selisih antara nilai penerimaan sekarang dengan nilai sekarang. Bila dala analisa diperoleh nilai NPV lebih besar dari 0 (nul), berarti proyek layak untuk dilaksanakan, jika dalam perhitungan diperoleh dari NPV lebih kecil dari 0, maka proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan

Rumus NPV adalah:

n

NPV =

Bt - Ct t=1 (1+i)t

Keterangan :

Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t

Ct = Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t

n = Umur ekonomis dari suatu proyek i = Suku bunga bank

3.Payback Periode (PP) (Susanto dan Saneto, 1994)

Merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk pengambilan modal yang ditanam pada proyek. Nilai tersebut dapat berupa prosentase maupun waktu (baik tahun maupun bulan). Payback Periode tersebut (<) nilai ekonomis proyek. Untuk industri pertanian diharapkan nilai tersebut lebih kecil 10 tahun


(42)

atau sedapat mungkin kurang dari 5 tahun. Rumus penentuan adalah sebagai berikut:

I

Payback Periode = Ab

Keterangan :

I = biaya investasi yang diperlukan

Ab = Benefit bersih yang dapat diperoleh pada setiap tahunnya

4.Internal Rate Of Return (IRR) (Susanto dan Saneto, 1994)

Internal Rate Of Return merupakan tingkat bunga yang menunjukan persamaan antar interval penerimaan bersih sekarang dengan jumlah investasi (modal) awal dari suatu proyek yang dikerjakan. Kriteria ini memberika pedoman bahwa proyek akan dipilih apabila nilai IRR lebih besar dari suku bunga yang berlaku, sedangkan bila IRR lebih kecil dari suku bunga yang berlaku maka proyek tersebut dinyatakan tidak layak untuk dilaksanakan.

NPV

IRR = 1 + ( i’ - i )

NPV + NPV’ Keterangan :

NPV = NPV positif hasil percobaan nilai NPV’ = NPV negatif hasil percobaan nilai


(43)

5.Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/C Ratio) (Susanto dan Saneto, 1994)

Merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan biaya kotor yang di present valuenkan (dirupiahkan sekarang ).

n Bt

Gross B / C =

t=1 (1+i )t

Keterangan :

Bt = Benefit sosial kotor sehubungan dengan suatu proyek pada tahun t

C= Biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t

n = Umur ekonomis dari suatu proyek i = Suku bunga bank

Q. Landasan Teori

Daun kelor mengandung Vitamin A yang lebih tinggi dibanding wortel, kandungan kalsium lebih tinggi dari susu, zat besi lebih tinggi dibanding bayam, vitamin C lebih tinggi dibanding jeruk, dan potassium lebih banyak dibanding pisang. Sedangkan kualitas protein daun kelor setara dengan susu dan telur (Fahey, 2005).

Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarakan atau menghilangkan kandungan air yang berada dalam suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air


(44)

yang terkandung di dalam bahan tersebut. Metode yang sering digunakan dengan bantuan panas sampai diperoleh kadar air tertentu (kurang dari 10 %) sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya. Salah satu jenis alat pengering

yang menggunakan bantuan panas dan mudah dioperasikan adalah cabinet

dryer.(Brown,1950)

Muchtadi (1989), mengatakan bahan pangan yang dikeringkan umumnya mempunyai nilai gizi yang lebih rendah dibandingkan bahan segarnya. Selama pengeringan terjadi perubahan warna, tekstur, aroma, dll. Pada umumnya bahan pangan yang dikeringkan akan berubah warnanya menjadi coklat. Apabila suhu pengeringan yang terlalu tinggi akan menyebabkan bagian permukaan cepat mengering dan menjadi keras sehingga menghambat pengupan air selanjutnya.Akibat lainnya dari pengeringan adalah awetnya bahan dari proses kerusakan.

Vitamin A bersifat tidak larut dalam air dan pada pemanasan biasa relatif stabil, oleh karena itu hanya sedikit terjadi susut vitamin A selama pengolahan bahan pangan. Susut yang cukup besar terjadi jika terdapat oksigen ( udara) serta adanya produk hasil oksidasi lemak. ( Deddy muchtadi, 1992).

Suhu berpengaruh terhadap resistensi vitamin C, resitensi vitamin C berkurang dengan bertambahnya suhu perlakuan. Pada proses pengeringan pengeluaran udara merupakan sesuatu yang penting , karena bahan (buah-buahan) yang mengandung udara di dalamnya dan di proses pada suhu tinggi akan merusakkan seluruh vitamin

C-nya. Pada pemrosesan dengan suhu rendah dimana suhu kurang dari 600 oC,

vitamin C tidak akan terlalu banyak mengalalami kerusakan. Waktu pengeringan yang singkat juga akan memperkecil laju oksidasi vitamin C. ( Winarno,1984)


(45)

Antioksidan sebenarnya didefinisikan sebagai inhibitor yang bekerja menghambat oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas reaktif membentuk radikal bebas tak reaktif yang relatif stabil. Tetapi mengenai radikal bebas yang berkaitan dengan penyakit, akan lebih sesuai jika antioksidan didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang melindungi sel dari efek berbahaya radikal bebas oksigen reaktif. Antioksidan akan rusak karena adanya cahaya, panas dan ion logam. (Fery, 2007)

Dengan adanya pemrosesan penepungan maka butiran-butiran tepung yang sangat halus, permukaan bidangnya menjadi sangat lebar. Pada dasarnya penepungan itu sendiri juga menyebabkan bahan menjadi bersifat higrokroskopis, yaitu bahan halus mudah sekali menjadi lembab karena sangat mudah menyerap uap air namun keuntungan dari penepungan yang palling tampak adalah aroma dan cita rasa bahan yang ditepungkan mencolok. Dari situlah pengaruh positif yang ditimbulkan oleh penepungan tersebut (Sugito,1995). Pembuatan tepung / bubuk bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan bahan yang bersifat fisik maupun kualitatif ( Purwanto, 1995).

Q. Hipotesis

Diduga terdapat pengaruh nyata suhu dan lama pengeringan terhadap kandungan vitamin (provitamin A dan C) dan aktivitas antioksidan pada tepung daun kelor.


(46)

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisa Pangan, Kimia Pangan, dan laboratorium Uji Inderawi program studi Teknologi Pangan UPN “Veteran” Jatim Surabaya dan Laboratorium Universitas muhamadiyah malang dilakukan pada bulan Juli 2010 – januari2011.

B. Bahan-Bahan

Daun kelor yang diperoleh dari kebun daerah Gunung Anyar Rungkut

Surabaya. Larutan Amilum, larutan Iodine, H2SO4, Na2SO4–HgO, Aquades, HCL,

indikator PP, NaOH, Petroleum eter, petroleum – aceton, aceton 80%, radikal bebas

2,2-diphenil picrylhydrasil (DPPH)

C. Alat – alat

Peralatan yang digunakan untuk pembuatan tepung daun kelor meliputi :

cabinet dryer, loyang, wadah, rak pengering, timbangan, blender, sendok, ayakan (80 mesh), oven

Alat-alat untuk analisa meliputi : alat titrasi, pipet, gelas ukur, dan peralatan gelas


(47)

D. Metode Penelitian

1. Rancangan Percobaan

Dalam penelitian ini digunakan Rancangan Acak Lengkap pola faktorial dengan dua faktor dan tiga kali ulangan, selanjutnya dilakukan analisis ragam, bila terdapat perbedaan maka dilakukan uji lanjut yaitu uji Duncan.

Menurut Gasperz (1994), model matematika untuk percobaan faktorial yang terdiri dari dua faktor dengan menggunakan dasar Rancangan Acak Lengkap adalah sebagai berikut :

Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij +

ε

ij ;i = 1,...a

j = 1,...b k = 1,...c Dimana :

Yijk : Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang

memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-I dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B).

μ : Nilai tengah populasi (rata-rata sesungguhnya)

αi : Pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor A

βj : Pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor B

(αβ)ij : Pengaruh interaktif taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j

dari faktor B

ε

ij : Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang


(48)

2. Peubahan yang digunakan

a. Peubah Berubah

Faktor I. Suhu pengeringan (oC)

A1 = 50

A2 = 60

A3 = 70

Faktor II. Waktu pengeringan ( jam )

B1 = 4

B2 = 5

B3 = 6

Dari 2 faktor diatas di dapat 9 kombinasi B

A

B1 B2 B3

A1 A1B1 A1B2 A1B3

A2 A2B1 A2B2 A2B3

A3 A3B1 A3B2 A3B3

Keterangan :

A1B1 = Suhu pengeringan 50oC dan Waktu pengeringan 4 jam

A1B2 = Suhu pengeringan 50 oC dan Waktu pengeringan 5 jam

A1B3 = Suhu pengeringan 50 oC dan Waktu pengeringan 6 jam

A2B1 = Suhu pengeringan 60 oC dan Waktu pengeringan 4 jam

A2B2 = Suhu Pengeringan 60 oC dan Waktu pengeringan 5 jam

A2B3 = Suhu pengeringan 60 oC dan Waktu pengeringan 6 jam

A3B1 = Suhu pengeringan 70 oC dan Waktu pengeringan 4 jam

A3B2 = Suhu pengeringan70 oC dan Waktu pengeringan 5 jam


(49)

b. Peubah Tetap

1. Berat sampel awal 300 g

2. Pengayakan 80 mesh

3. Parameter yang diamati

Parameter yang diukur meliputi

1. Kadar air (Soedarmadji, dkk., 1989)

2. Kadar protein (Soedarmadji, dkk., 1989)

3. Kadar vitamin A (AOAC, 2001)

4. Kadar vitamin C (Soedarmadji, dkk., 1989)

5. DPPH (Cheung , 2003)

6. Khlorofil (Yoshida,1976)

7. Rendemen (Sudarmadji dkk, 1997)

8. kalsium ( Sudarmadji dkk, 1984)

9. fenol ( Shetty, 1999)

4. Prosedur Penelitian

1. Bahan Baku

Daun kelor yang diperoleh dari kebun disekitar kebun Gunung Anyar Rungkut Surabaya daun yang dipakai adalah daun dari tangkai ke-2 dari pucuk daun kelor, dicuci bersih menggunakan air bersih.


(50)

2. sortasi

Untuk sample digunakan daun kelor yang baik dan dengan kondisi utuh. Daun kelor yang telah dicuci dan dipilih untuk sampel kemudian ditiriskan.

3. Blanching

Blanching dengan uap air selama 5 menit dengan suhu 70°C.

4. Sampel yang digunakan adalah sebanyak 4 (empat) kilogram daun kelor,

Selanjutnya Sampel dibagi empat bagian (masing 1 kg), dan masing-masing diberi perlakuan sebagai berikut :

- Satu bagian daun kelor dibiarkan tetap segar untuk kemudian dianalisis

nilai nutrisi yang terkandung dalam daun kelor segar.

- 3 tiga bagian sampel dikeringkan menggunakan cabinet dryer dengan suhu

dan waktu masing-masing 50oC selama 4 jam, 60oC selama 5 jam dan

70oC selama 6 jam.

- Setelah kering sampel dihaluskan untuk kemudian dianalisis kandungan


(51)

Pembuatan Tepung Daun Kelor

Analisis Kadar air

Analisis Vit C

Analisis ß- karoten Analisis DPPH

Analisis kalsium

Analisis klorofil

Analisis fenol

Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung daun kelor

Daun kelor (Moringa Oleifera Lam)

Pengeringan

( Cabinet Drying )

Sortasi

Pengahalusan (Grinding)

Pengayakan 80 mesh

Tepung Daun Kelor Lama

Pengeringan B1 = 4 jam B2 = 5 jam B3 = 6 jam

Suhu pengeringan

A1 = 50 oC

A2 = 60 oC

A3 = 70 oC

Analisa : Kadar air Kadar protein,

Kadar β- karoten

Kadar vitamin C DPPH

Kalsium Clorofil h Rendemen fenol Blancing (uap air)


(52)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Bahan Baku

Hasil analisis bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung ini adalah daun kelor segar, meliputi kadara air, protein, vitamin C, aktivitas anti

oksidan, β-karoten, kalsium, khlorofil, fenol. Komposisi hasil analisis daun

kelor segar setelah dianalisa disajikan dalam tabel 2.

Tabel 2. Hasil analisis daun kelor segar

Parameter Hasil Analisa Literatur1) Literatur2)

Kadar air (%) Protein (%) Vitamin C (mg/g) DPPH (%)

β-karoten (μg/g)

Kalsium (mg/g) Klorofil (mg/g) Fenol (ppm) 73 4,3 35,12 20 48,72 487,44 0,213 5363,540 75 6,8 220 - 6,78 440 - - 82,6 6,4 22 - - 2,48 - -

1) Fuglie 2001

2) Daftar komposisi bahan pangan 1995

Hasil analisa terhadap daun kelor segar didapatkan kadar air sebesar 73 %,

protein sebesar 4,3%, DPPH 20%, vitamin C sebesar 35.12 mg, β-karoten

48,72, kalsium sebesar 4877,44 mg, klorofil sebesar 0,213mg, dan fenol 5363,540ppm . Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa kadar air, dan kalsium mempunyai nilai yang hampir sama dengan literatur. Protein, vitamin C, mempunyai nilai yang lebih kecil, sedangkan betakaroten mempunyai nilai yang lebih tinggi dari literature yang ada (Fuglie,2001)


(53)

B.Hasil Pengamatan Terhadap Tepung Kelor

1. Kadar Air

Berdasarkan hasil analisis ragam kadar air (lampiran 3) menunjukkan bahwa antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terdapat

interaksi yang nyata (p≤0,05). Nilai rata-rata kadar air tepung daun kelor dari

perlakuan suhu pengeringan dapat di lihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai rata – rata kadar air tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan.

Suhu Waktu

(jam)

Kadar air (%)

Notasi DMRT (%)

500C

600C

700C

4 5 6 4 5 6 4 5 6 15,431 14,315 13,756 12,444 11,029 10,128 10,059 9,676 8,533 e e e d c b b b a 0,516 0,513 0,510 0,504 0,497 0,488 0,474 0,451

Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar air tepung daun kelor dengan perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan adalah berkisar antara 15,431 – 8,533 %. Perlakuan suhu pengeringan 50°C dan waktu pengeringan 4 jam menunjukkan kadar air yang paling tinggi yaitu 15,431 %, sedangkan perlakuan dengan menggunakan suhu pengeringan 70°C dan waktu pengeringan 6 jam menunjukkan kadar air yang paling rendah pada tepung daun kelor ini yaitu sebesar 8,533%. Hal ini disebabkan karena penguapan air dari bahan lebih banyak dan cepat pada saat pemanasan Menurut Setijahartini (1980), Semakin besar perbedaan antara suhu media pemanas dengan bahan yang


(54)

dikeringkan, semakin besar pula kecepatan pindah panas ke dalam bahan pangan sehingga penguapan air dari bahan akan lebih banyak dan cepat.

Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar air pada tepung daun kelor dapat dilihat pada Gambar 6

Gambar 6. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap kadar Air tepung Daun Kelor

Gambar 6. menunjukkan seiring dengan meningkatnya suhu pengeringan dengan lama pengeringan maka kadar air akan semakin menurun. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi suhu pengeringan dan lama pengeringan, maka kadar air semakin rendah. Sesuai pernyataan Desrosier (1988), bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pengeringan yang digunakan untuk mengeringkan suatu bahan, maka air yang menguap dari bahan akan semakin banyak.


(55)

2. Rendemen

Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terdapat interaksi yang

nyata (p≤0,05). Nilai rata-rata rendemen tepung daun kelor dari perlakuan suhu

pengeringan dapat di lihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai rata – rata rendemen tepung daun kelor dari suhu pengeringan dan lama pengeringan.

Suhu Pengeringan (°C) Waktu Pengeringan (jam) Rendemen (%)

Notasi DMRT (5%)

500C

600C

700C

4 5 6 4 5 6 4 5 6 30,661 30,033 29,911 27,366 25,394 24,722 22,877 21,611 20,832 a b c d e f g h i 0,088 0,092 0,095 0,097 0,098 0,100 0,100

Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai rata-rata rendemen tepung daun kelor dengan perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan adalah berkisar antara 20,832 – 30,661 %. Perlakuan suhu pengeringan 50°C dan waktu pengeringan 4 jam menunjukkan kadar rendemen yang paling tinggi yaitu 30,661 %, sedangkan perlakuan dengan menggunakan suhu pengeringan 70°C dan waktu pengeringan 6 jam menunjukkan kadar rendemen yang paling rendah pada tepung daun kelor ini yaitu sebesar 20,832%.

Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap rendemen pada tepung daun kelor dapat dilihat pada Gambar 7.


(56)

Gambar 7. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap rendemen tepung Daun Kelor

Gambar 7 menunjukkan seiring dengan meningkatnya suhu pengeringan dengan lama pengeringan maka rendemen akan semakin menurun, hal ini disebabkan karena rendemen sangat berkaitan dengan kandungan air yang menguap akibat adanya pemanasan. Semakin besar perbedaan antara suhu media pemanas dengan bahan yang dikeringkan, semakin besar pula kecepatan pindah panas ke dalam bahan pangan sehingga penguapan air dari bahan akan lebih banyak dan cepat (Setijahartini, 1980). Peryataan Dersosier,(1988), bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pengeringan yang digunakan untuk mengeringkan suatu bahan, maka air yang menguap dari bahan akan semakin banyak,dengan demikian maka bobot bahan menjadi berkurang dan menghasilkan rendemen yang rendah.


(57)

3. Kadar Vitamin C

Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terdapat interaksi yang

nyata (p≤0,05).

Nilai rata – rata penurunan kadar vitamin C tepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan waktu pengeringan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai rata – rata kadar vitamin C tepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan.

Perlakuan Suhu Pengeringan (°C) Waktu Pengeringan (Jam) Kadar vitamin C (mg/g)

Notasi DMRT 5%

50 60 70 4 5 6 4 5 6 4 5 6 20,914 19,364 17,875 15,909 15,025 13,636 13,148 12,376 10,596 i h f g e d c b a 0,127 0,126 0,125 0,124 0,122 0,120 0,116 0,111

Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar vitamin C tepung daun kelor dengan perlakuan suhu pengeringan dengan waktu pengeringan adalah berkisar antara 10,596 – 20,914 mg/g. Perlakuan suhu pengeringan 50°C dan waktu pengeringan 4 jam menunjukkan kadar vitamin C yang paling tinggi yaitu 20,914 mg/g, sedangkan perlakuan dengan menggunakan suhu pengeringan 70°C dan lama pengeringan 6 jam menunjukkan kadar vitamin C yang paling rendah pada tepung daun kelor ini yaitu sebesar 10,596 mg/g


(58)

Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar vitamin C pada tepung daun kelor dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar vitamin C pada tepung daun kelor.

Gambar 8 menunjukkan seiring dengan meningkatnya suhu pengeringan dengan lama pengeringan maka kadar vitamin C akan semakin menurun, hal ini disebabkan karena vitamin C merupakan vitamin yang paling mudah teroksidasi oleh karena adanya panas. Waktu pengeringan yang lama juga akan mempercepat laju oksidasi vitamin C.

Menurut Winarno (2002), bahwa dari semua vitamin yang ada, vitamin C merupakan vitamin yang paling mudah rusak. Disamping mudah larut dalam air, vitamin C mudah teroksidasi dan proses tersebut dipercepat oleh panas, alkali, sinar, enzim dan oksidator, serta oleh katalis tembaga dan besi. Waktu pengeringan yang singkat juga akan memperkecil laju oksidasi vitamin C (Winarno, 1992).


(59)

4. Kadar β- karoten

Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan suhu pengeringan dengan waktu pengeringan terdapat interaksi yang

nyata (p≤0,05).

Nilai rata – rata penurunan kadar β- karoten tepung daun kelor dari

perlakuan suhu pengeringan dengan waktu pengeringan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai rata – rata kadar β- karotentepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan.

Perlakuan Suhu Pengeringan (°C) Waktu Pengeringan (Jam) Kadar

β- karoten

(μg/g)

Notasi DMRT 5%

50 60 70 4 5 6 4 5 6 4 5 6 45,890 43,318 40,529 50,072 47,110 45,867 37,074 34,345 30,072 f e d h g f c b a 0,544 0,530 0,520 0,551 0,548 0,538 0,505 0,481

Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar β- karoten tepung daun

kelor dengan perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan adalah

berkisar antara 30.072 – 47,110 μg/g dan β- karoten yang paling tinggi yaitu

47,110 μg/g, sedangkan perlakuan dengan menggunakan suhu pengeringan 70°C

dan lama pengeringan 6 jam menunjukkan kadar β- karoten yang paling rendah

pada tepung daun kelor ini yaitu sebesar 30.072 μg/g.

Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan


(60)

Gambar 9. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar β- karotenpada tepung daun kelor.

Gambar 9. Menunjukkan bahwa kadar β- karoten meningkat pada suhu

600C namun mengalami penurunan pada suhu 700C. peningkatan kadar β- karoten

pada suhu 500C ke 600C disebabkan karena penurunan kadar air tepung daun

kelor yaitu dari suhu 500C (15,431-13,756) sampai suhu 600C (12,444-10,128).

Pada suhu 700C terjadi penurunan kadar β- karoten, kemungkinan hal ini

disebabkan oleh rusaknya kadar β- karoten karena pemanasan. Kerusakan karoten

terjadi selama pengeringan yang disebabkan oleh reaksi oksidasi akibat adanya

panas dan oksigen. Menurut Muctadi (1989), betakaroten dapat mengalami kerusakan akibat pengeringan, susut yang cukup besar terjadi jika terdapat oksigen (udara). Peryataan Winarno (2002), Vitamin A pada umumnya stabil terhadap panas, asam, dan alkali. Sayangnya mempunyai sifat yang sangat mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara,sinar, dan lemak yang sudah tengik.


(61)

5. Aktivitas antioksidan (DPPH)

Berdasarkan hasil analisis ragam aktivitas antioksidan (DPPH) (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan

terdapat interaksi yang nyata (p≤0,05).

Nilai rata – rata penurunan kadar DPPH tepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan waktu pengeringan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Nilai rata – rata DPPH tepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan.

Perlakuan Suhu Pengeringan (°C) Waktu Pengeringan (Jam) DPPH (%)

Notasi DMRT 5%

50 60 70 4 5 6 4 5 6 4 5 6 33,829 35,777 31,103 27,238 28,373 26,183 24.349 25.431 23.651 f g e c d b a b a 1,072 1,066 1,047 1,060 1,031 1,012 0,984 0,937

Tabel 7 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar DPPH tepung daun kelor dengan perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan adalah berkisar antara 23,561 – 35,777 % dan DPPH yang paling tinggi yaitu 35,777%, sedangkan perlakuan dengan menggunakan suhu pengeringan 70°C dan lama pengeringan 6 jam menunjukkan kadar DPPH yang paling rendah pada tepung daun kelor ini yaitu sebesar 23,561%.

Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar DPPH pada tepung daun kelor dapat dilihat pada Gambar 10.


(62)

Gambar 10. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar DPPH pada tepung daun kelor.

Gambar 10 menunjukkan seiring dengan meningkatnya suhu pengeringan dengan lama pengeringan maka aktivitas antioksidan akan semakin menurun, hal ini disebabkan karena terjadinya reaksi oksidasi. Antioksidan yang terkandung dalam daun kelor adalah vitamin C, betakaroten, dan fenol. Daun Kelor merupakan salah satu dari 9 jenis sayur yang memiliki nilai aktivitas antioksidan yang kuat dan kandungan asam askorbat serta total phenol yang cukup tinggi

yaitu 115 % Nagata dan Engle (2002). Pada suhu pengeringan 50oC dengan lama

pengeringan 5 jam aktivitas antioksikdan tertinggi karena pada saaat pengeringan dengan perlakuan tersebut tidak banyak kandungan vitamin yang mengalami kerusakan,sehingga aktivitas antioksidan tepung daun kelor tinggi. Semakin tinggi suhu pengeringan mempercepat terjadinya oksidasi dari vitamin C ataupun enzim fenolase (Holil Sutrapadja,2006).


(63)

6. Kalsium

Berdasarkan hasil analisis ragam kalsium (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terdapat interaksi

yang nyata (p≤0,05).

Nilai rata – rata penurunan kadar kalsium tepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Nilai rata – rata kalsium tepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan.

Perlakuan Suhu Pengeringan (°C) Waktu Pengeringan (Jam) kalsium (mg/g)

Notasi DMRT 5%

50 60 70 4 5 6 4 5 6 4 5 6 310,172 327,534 389,217 400,264 409,044 460,565 506,184 514,402 552,776 a a b c c c d e f 10,929 10,404 11,455 11,245 11,630 11,770 11,840 11,910 Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar kalsium tepung daun kelor dengan perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan adalah berkisar antara 310,172 – 552,776 mg dan kalsium yang paling tinggi yaitu suhu pengeringan 70 °C dengan lama pengeringan 6 jam yaitu 552,776mg, sedangkan perlakuan dengan menggunakan suhu pengeringan 50°C dan waktu pengeringan 4 jam menunjukkan kadar kalsium yang paling rendah pada tepung daun kelor ini yaitu sebesar 310,172 mg.

Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan waktu pengeringan terhadap kadar kalsium pada tepung daun kelor dapat dilihat pada Gambar 11.


(64)

Gambar 11. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar kalsiumpada tepung daun kelor.

Gambar 11. menunjukan bahwa semakin tinggi suhu pengeringan dan

lama pengeringan maka kandungan kalsimunya semakin naik, ini tidak sesuai dengan literatur yang ada karena kalsium jika terkena panas akan mengalami terdesorpsi.Sebagian besar makanan yang mengandung kalsium tinggi umumnya tidak tahan terhadap pemanasan, dan jika dilakukan pemanasan, maka kalsium akan terdesorpsi kembali Anonim, (2009).

7. Protein

Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 9) menunjukkan bahwa perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terdapat interaksi yang

nyata (p≤0,05).

Nilai rata – rata penurunan kadar protein tepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan dapat dilihat pada Tabel 9.


(65)

Tabel 9. Nilai rata – rata penurunan kadar protein tepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan.

Perlakuan Suhu Pengeringan (°C) Waktu Pengeringan (Jam) Kadar Protein (%)

Notasi DMRT 5%

50 60 70 4 5 6 4 5 6 4 5 6 19,485 19,371 17,368 17,925 20,502 16,011 12,751 12,309 11,260 e e d d f c b b a 0,618 0,615 0,598 0,607 0,622 0,587 0,571 0,543

Tabel 9 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar protein tepung daun kelor dengan perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan adalah berkisar antara 11,260 – 20,502 % dan protein yang paling tinggi yaitu 20,502 %,menggunakan suhu pengeringan 60°C, dan waktu 5 jam, sedangkan perlakuan dengan menggunakan suhu pengeringan 70°C dan lama pengeringan 6 jam menunjukkan kadar Protein yang paling rendah pada tepung daun kelor ini yaitu sebesar 11,260 %.

Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar protein pada tepung daun kelor dapat dilihat pada Gambar 12.


(66)

Gambar 12. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan waktu pengeringan terhadap kadar proteinpada tepung daun kelor.

Gambar 12. menunjukkan seiring dengan meningkatnya suhu pengeringan dengan lama pengeringan maka kadar proterin akan semakin menurun, hal ini

disebabkan karena terjadinya denaturasi protein jika terkena pemanasan 60-70oC.

Menurut Winarno (2002), denaturasi dapat diartikan suatu proses terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam, dan terbukanya lipatan atau wiru molekul. Denaturasi protein dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu oleh panas, pH, bahan kimia, mekanik, dan sebagainya.

8. Klorofil

Berdasarkan hasil analisis ragam analisa klorofil (Lampiran 10) menunjukkan bahwa perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan

terdapat interaksi yang nyata (p≤0,05).

Nilai rata – rata penurunan kadar klorofil tepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan waktu pengeringan dapat dilihat pada Tabel 10.


(67)

Tabel 10. Nilai rata – rata penurunan klorofil tepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan.

Perlakuan Suhu Pengeringan (°C) Waktu Pengeringan (Jam) Kadar klorofil (mg/g)

Notasi DMRT 5%

50 60 70 4 5 6 4 5 6 4 5 6 0,760 0,664 0,607 0,576 0,526 0,494 0,381 0,360 0,305 e d cd c bc b a a a 0,024 0,024 0,024 0,023 0,023 0,023 0,022 0,021

Tabel 10 menunjukkan bahwa nilai rata-rata kadar klorofil tepung daun kelor dengan perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan adalah berkisar antara 0,305 – 0,769 mg dan klorofil yang paling tinggi yaitu 0,769 mg, sedangkan perlakuan dengan menggunakan suhu pengeringan 70°C dan lama pengeringan 6 jam menunjukkan kadar klorofil yang paling rendah pada tepung daun kelor ini yaitu sebesar 0,305 mg

Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar klorofil pada tepung daun kelor dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Hubungan antara perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan terhadap kadar klorofilpada tepung daun kelor.


(68)

Gambar 13. menunjukkan seiring dengan meningkatnya suhu pengeringan dengan lama pengeringan maka kadar klorofil akan semakin menurun, hal ini disebabkan karena klorofil mengalami disintegrasi pada suhu yang tinggi. Seperti yang diungkapkan oleh Masdin (2009) pemanasan akan memicu terhentinya produksi auksin, sehingga memungkinkan lapisan absisi tumbuh dan menghambat sirkulasi air. Ketika ini terjadi, klorofil mengalami disintegrasi dengan cepat, sehingga membiarkan karoten menampakan warnanya. Semakin tinggi suhu mempercepat terjadinya reaksi oksidasi dari vitamin C ataupun enzim fenolase yang ada pada permukaan daun selama pengeringan. Reaksi oksidasi tersebut menghasilkan melanoidin dan furfural yang berwarna coklat (Sutapradja,2006).

9. Fenol

Berdasarkan hasil analisis ragam analisa fenol (Lampiran 11) menunjukkan bahwa perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan

terdapat interaksi yang nyata (p≤0,05).

Nilai rata – rata penurunan kadar fenol tepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan waktu pengeringan dapat dilihat pada Tabel

Tabel 11. Nilai rata – rata penurunan fenol tepung daun kelor dari perlakuan suhu pengeringan dengan lama pengeringan.

Perlakuan Suhu Pengeringan (°C) Waktu Pengeringan (Jam) Kadar fenol (ppm)

Notasi DMRT 5%

50 60 70 4 5 6 4 5 6 4 5 6 6.808,688 6.630,120 6.506,964 6.733,490 6.945,121 6.055,791 5.490,466 5.337,136 5.151,586 g f e fg h d c b a 114,349 112,319 110,628 113,673 115,026 108,598 105,553 100,479


(1)

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan

sebagai berikut :

1. Terdapat interaksi yang nyata antara perlakuan suhu pengeringan dan lama

waktu pengeringan terhadap kadar air, rendemen, β-karoten, vitamin C, aktivitas antioksidan (DPPH), Protein, klorofil, total fenol dan kalsium uji

organoleptik aroma dan uji organoleptik warna.

2. Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan terbaik pengeringan suhu 60 0C

,dan waktu 5 jam menghasilkan total fenol 6.945,121ppm, protein 20,502%.

sedangkan suhu 500C menghasilkan vitamin C 15,025 mg/g

B. Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut pengolahan tepung daun kelor yang


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia.

Andarwulan, N., S Koswara. 1992. Kimia Vitamin. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Anonim, 2001. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I), jilid 2. Departemen Kesehatan danKesejahteraan social Republik Indonesia, Badan Penelitian dan Pengembnagan Kesehatan,Jakarta, hal 37-38.

Anonim,2002. http://en.wikipedia.org/wiki/Moringaoleifera.column-one. Diakses tanggal 3 maret 2009.

Anonim. 2003. Pandamus amarylifolius. http://www.ajcn.org/. Diakses tanggal 9 februari 2011

Anonim. 2004. Cegah Gizi Buruk dengan Konsumsi Daun Kelor. http//:www.portal.com. [25 September 2007]

Anonim. 2007. Kelor.http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?mnu=2& id=144.Diakses tanggal 26 januari 2010

Anonim, 2008. Moringa oleifera.http://www.echotech.org/technical/technotes/ moringabiomasa.pdf).Diakses tanggal 7 mei 2010.

Anonim. 2008. Mineral. http;// id.wikipedia.org/wiki/mineral. Diakses pada 4 Desember 2010.

AOAC, 1975. Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists, 12th edition, Washington, D.C.

Bauerfeind, J,C. 1981. Carotenoids as Colorants and Vitamin A Precursors. New York: Academic Press.

Buckle, K. A, R.A. Edwards, D.H. Fleet, dan M.Wootton. 1985. Ilmu Pangan (terjemahan). UI Press. Jakarta

Chandler, H.M, 1958.Evergreen Orchard Lea and Febiger. Philadelpia.

Cheung, Sung keun, 2003. Bioactivity of selected plant essential oils against the yellow fever mosquito Aedes aegypti larvae. Bioresource Technology, 89, 99–102


(3)

Damayanthi E, SA Marliyati, H Syarief & D Sukandar. 1997. Percobaan Makanan. [Diktat]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Desrosier, N.W. 2008. Elemen Of Technology.AVI Publishing. Co., Inc. Wesport Connecticut

Desrosier, N.W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah : Muchji Mulyohardjo. UI press. Jakarta.

Duh, P., Y. Tu, and G. Yen. 1999. Antioxidant activity of water extract of Harng Iyur (Chrysanthemum morifolium Ramat). Lebensm Wiss U Technol 32: 269-277.

Duke. 1983. Moringa Oleifera Lamk. http//www.hort.purdue.edu/newcrop/duke. energi/htm. (5 Nopember 2007)

Gampang, K., 1979. Analisa Provitamin A Pada Buah dan Sayuran. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Foild N, Makkar HPS & Becker. 2007. The Potential Of Moringa Oleifera for Agricultural and Industrial Uses. Mesir: Dar Es Salaam.

Fuglie, Lowell J, ed. The Miracle Tree: Moringa oleifera: Natural Nutrition for the Tropics. Training Manual. 2001. Church World Service, Dakar,

Senegal.www.moringatrees.org/moringa/miracletree.htm. (5 November 2007)

Hafiz, I., 2008. Pengaruh Lama Dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Tepung Pandan. Departemen Teknologi Pertanian. Universita Sumatra Utara.

Histifarina, D. dan R.M. Sinaga, 1996. Pengaruh perendaman dan suhu pengeringan terhadap mutu tepung bawang putih. Editor: Ati Srie Duriat, Rofik Sinung Basuki, R.M. Sinaga, Yusdar Hilman, dan Zainal Abidin.

Prosiding Seminar Ilmiah Nasional Komoditas Sayuran 24 Oktober 1995.

Hlm:603-608.

Kim, O.S. 2005. Radical scavenging capacity and antioxidant activity of the E vitamer fraction in rice bran. J. Food Sci. 70(3): 208-213.

Khan, F. W., Gul, P.; Malik, M. N., 1975: Chemicalcomposition of oil from Moringa oleifera. Pakistan J.Forestry 25, 2, 100–102.

Kochar, S.P. dan B. Rossell. 1990. Detection estimation and evaluation of antioxidants in food system. In B.J.F. Hudson (ed.). Food Antioxidants.


(4)

Elsevier Applied Science. London

Lapedes, N.D.,1977.Encyclopedia of food Agricultural and Nutrion Mc. Graw Hill book Company, New York.

Mursaha, Masdin, 2009. Mengapa Daun Berubah Warna. Sciencedaily.com diakses tanggal 2 Desember 2010

Muchtadi, T.R, 1989. Petunjuk Laboratorium Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor

Muchtadi dan Gambira. 1973. Pengolahan Hasil Pertanian II Nabati. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. Fateta. Bogor.

Muchtadi, Deddy. dan Sri Palupi. 1992. Metoda Kimia Biokimia dan Biologi dalam Evaluasi Nilai Gizi Pangan Olahan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.

Oliviana, A. 2008. Effect Of Blanching and Dehydration Methods On The Quality Of Moringa Leaf Powder Used As Herbal Gren Tea. A Thesis Submitted To The Departement of Biochemistry and Biotechnologi. The University of Science and Technoloogi

Paiva-Martins, F. and M.H. Gordon. 2002. Effects of pH and ferric ions on the antioxidant activity of olive polyphenols in oil-in-water emulsions. JAOCS 79(6): 571-576.

Price,2000.Perbandingan nutrisi antara daun kelor. http://www.treesforlife.org/treesforlife.asp.Diakses tanggal 7 mei 2010. Pokorny, J., Yanishlieva, and M. Gordon. 2001. Antioksidants in Food. Woodhead

Publishing Ltd.England.

Rahayu, W. 2001. “ Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik”. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Raharjo, M dkk., 2005. Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Penebar Suradaya. Jakarta.

Setijahartini, S. 1980. Pengeringan. Jurusan Teknologi Industri. Fateta. Institut Pertanian Bogor.

Soares, J.R., T.C.P. Dins, A.P. Cunha, and L.M. Ameida. 1997. Antioxidant activity of some extract of Thymus zygis. Free Rad. Res. 26: 469-478.


(5)

Shahidi F, Naczk m. 2004. Phenolics in Food and Nutraceuticals. New York CRC Press LLC.

Shetty,1999. Metde kimia Faktor Dan Metode Kimiawi. http://www.scribd.com/doc/17089305/Pengaruh-Dekafeinasi-Terhadap-an.

Diakses 20 februari 2011

Siagian. 1987. Penelitian Opperasional. Lembaga Penerbit FE UI. Jakarta.

Singh, D., P. Marimuthu, C.S. de Heluani, and C. Catalan. 2005. Antimicrobial and antioxidant potentials of essential oil and acetone extract of Myristica fragrans Houtt. (aril part). J.of Food Sci. 70(2): M141-M148.

Simbolan JM, M Simbolan, N Katharina. 2007. Cegah Malnutrisi dengan Kelor. Yogyakarta: Kanisius.

Suharto, 1992. Teknologi Pengawetan Pangan.Rineka Cipta.Jakarta Sulaiman, A.H,1996. Biokimia Untuk Pertanian. USU-Press, Medan.

Susanto, T dan Saneto. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina Ilmu Surabaya.

Suksmadji, B. 1988. Pengalengan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, UGM. Yogyakarta.

Sutapradja, H., 2006. Tehnik Mempertahankan Mutu Lobak Dengan Menggunakan Alat Pengering Vakum. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang. Bandung

Sutomo,Budi.2002.Daun Kelor Ratunya Vitamin A .

http://budiboga.blogspot.com/2008/06/daun-kelor-ratunya-vitamin.html. Diakses tanggal 07 juni 2010

Sutomo,Budi.2002. Gizi dan kuliner. PT Prima Media Pustaka. Jakarta. Winarno, F.G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka. Jakarta Winarno, FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka . Jakarta Winarno, F.G. 1994. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka. Jakarta Winarno, F.G. 2000. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka. Jakarta Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka. Jakarta Winarno, F.G. 2003. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka. Jakarta


(6)

Wirakartakusumah,M.A., Hermanianto djoko., Andrawulan, N.1989. Prinsip Teknik Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.


Dokumen yang terkait

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor (Moringa Oleifera Lam) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa, Morfologi Spermatozoa, Dan Diameter Tubulus Seminiferus Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley

4 34 116

Analisis α-Tokoferol (vitamin E) Pada Minyak Biji Kelor (Moringa oleifera Lam.) Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

3 15 84

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN TEH KOMBINASI DAUN KATUK DAN DAUN KELOR DENGAN VARIASI SUHU PENGERINGAN Aktivitas Antioksidan Teh Kombinasi Daun Katuk Dan Daun Kelor Dengan Variasi Suhu Pengeringan.

0 2 16

UJI KADAR PROTEIN DAN ORGANOLEPTIK BISKUIT TEPUNG TERIGU DAN TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera) DENGAN Uji Kadar Protein Dan Organoleptik Biskuit Tepung Terigu Dan Tepung Daun Kelor (Moringa oleifera) Dengan Penambahan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus)

0 2 14

ANALISIS KADAR α-TOKOFEROL (VITAMIN E) DALAM DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam) DARI DAERAH PESISIR DAN PEGUNUNGAN SERTA POTENSINYA SEBAGAI ANTIOKSIDAN | Mubarak | KOVALEN 8236 27045 1 PB

0 3 11

TANAMAN KELOR (Moringa oleifera Lam)

0 0 30

Aktivitas Anti Artritis Ekstrak Hidroalkohol dari Bunga Moringa oleifera Lam. pada tikus Wistar

1 3 44

KADAR KLOROFIL DAN VITAMIN C DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam) DARI BERBAGAI KETINGGIAN TEMPAT TUMBUH

0 0 7

PENGARUH SUHU DAN LAMA PENGERINGAN TERHADAP KADAR VITAMIN A , DAN VITAMIN C, SERTA AKTIVITAS ANTIOKSIDAN TEPUNG DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam) SKRIPSI

0 1 16

PENGARUH DRYING AGENT TERHADAP WAKTU PENGERINGAN, AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN WARNA PADA MINUMAN SEDUHAN DAUN KELOR (Moringa oleifera)

0 0 12