MENGEMBANGKAN MORAL MELALUI PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN DI KELOMPOK BERMAIN NURUL HIKMAH SUROBAYAN ARGOMULYO SEDAYU BANTUL.

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa pertumbuhan dan perkembangan anak-anak saat ini perlu diperhatikan oleh orang tua. Perhatian yang diberikan sangat baik dilakukan sejak anak masih usia dini. NAEYC (National Assosiation Education For Young Children) mengemukakan bahwa anak usia dini adalah sekelompok individu yang berada pada rentang usia antara 0-8 tahun (Sofia Hartati, 2005: 7). Menurut definisi ini anak usia dini merupakan kelompok manusia yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Ernawulan Syaodih (2005: 10) menyatakan bahwa bila dilihat dari jenjang pendidikan yang berlaku di Indonesia, maka yang termasuk dalam kelompok anak usia dini adalah anak usia Sekolah Dasar (SD) kelas rendah (kelas 1-3), Taman Kanak-kanak (kindergarten), kelompok bermain (play group) dan anak masa sebelumnya (masa bayi). Pada usia-usia inilah anak masih membutuhkan bimbingan dan pendidikan untuk bekal masa depannya kelak.

Pembelajaran dan pendidikan untuk anak usia dini sangat penting diberikan sebelum anak masuk ke Sekolah Dasar. Melalui pendidikan sejak dini anak dapat belajar sesuatu yang belum mereka ketahui sebelumnya di lingkungan sekitar mereka.Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 angka 14 menyatakan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian


(2)

rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Hal ini menyadarkan para pendidik bahwa pentingnya anak diberikan pendidikan sejak dini.

Pendidikan yang ditujukan untuk anak usia dini sangat erat kaitannya dengan bagaimana orangtua mendidik anak mereka. Melalui kegiatan bermain dan bimbingan orang tua, anak dapat mengembangkan aspek-aspek perkembangannya. Menurut Slamet Suyanto (2005: 49), aspek-aspek perkembangan anak adalah aspek-aspek yang dikembangkan dalam diri anak melalui PAUD, yaitu meliputi fisik-motorik, intelektual, moral, emosional, sosial, bahasa dan kreativitas.

Aspek perkembangan yang menjadi salah satu faktor dalam mengembangkan kepribadian anak menjadi pribadi yang lebih baik yaitu aspek perkembangan moral. Kehidupan setiap orang tidak lepas dari nilai-nilai moral dan etika bermasyarakat. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak juga perlu diajarkan bagaimana beretika kepada orang lain baik itu dengan orang tua, dengan teman sebaya maupun dengan saudara mereka. Anak-anak mudah belajar dari apa yang telah diberikan kepada mereka sejak dini karena pendidikan yang diterima akan direkam sampai anak dewasa. Hal ini mendukung perlunya mengajarkan dan mengenalkan nilai-nilai moral sejak anak masih kecil.

Pengembangan moral pada anak itu penting dan perlu diberikan sejak dini. Hal ini dikarenakan pada usia dini anak mengalami masa the golden age (usia emas) yang merupakan masa di mana perkembangan anak sangat cepat dan pesat


(3)

pada berbagai aspek (Sofia Hartati, 2005: 10). Seharusnya pada perkembangan moral Anak Usia Dini yaitu usia 3-4 tahun anak sudah dapat memahami perilaku berlawanan dan memahami arti kasihan dan cinta terhadap ciptaan Tuhan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 58 Tahun 2009 yaitu mulai memahami pengertian perilaku yang berlawanan meskipun belum selalu dilakukanseperti pemahaman perilakubaik-buruk, benar-salah, sopan tidak sopan dan mulai memahami arti kasihan dan sayang kepada ciptaan Tuhan.

Faktanya pada observasi yang dilakukan di KB Nurul Hikmah dapat dilihat bahwa perkembangan moral anak belum dikembangkan secara optimal. Hal initerlihat ketika bermain masih ada anak yang membuang sampah tidak pada tempat yang sudah disediakan (plastik sisa makanan ditinggalkan di karpet). Ketika anak diminta mengambil plastik dan dibuang di tempat sampah, anak hanya tersenyum dan pergi untuk bermain di luar. Pada kegiatan berlangsung anak masih memilih-milih teman saat kegiatan bermain. Ketika guru meminta anak belajar bersama berkelompok anak mengatakan “Aku tidak mau sama Manda, Bunda!”, ada juga yang mengatakan sambil bisik-bisik kepada teman lainnya “Eh rasah dolan ro kui ya!”,dan ada juga yang mengatakan “Aku wegah nek dolan e bareng Koe. Aku gur pengen karo Dina. Dina ki kancaku. Koe ki udu kancaku”. Saat kegiatan membereskan mainan yaitu akan istirahat makan snack, ada anak yang membereskan mainan tetapi teman lainnya hanya melihat dan pergi untuk cuci tangan sambil berkata “Ditinggal wae yok Alea, ben dhewe”. Anak berbicara dengan berbicara keras dengan membentak saat berbicara dengan orang lain. Pembicaraan saat anak berbicara dengan mengancam anak adalah ketika anak


(4)

akan dibagikan kertas yaitu anak berkata kepada temannya “Heh, tak kandakke kakangku lho Koe, ben diantil!”, “Wah jan nggonamu elek”, ada lagi saat anak berbicara pada guru dengan mengatakan “Koe ki piye e Bunda kok suwe ki. Ini adalah kegiatan saat anak yang satu dibagikan lembar kegiatan terlebih dahulu dari pada anak yang lainnya. Anak naik kursi saat kegiatan duduk melingkar di karpet, yaitu kegiatan berdoa. Anak makan menggunakan tangan kiri, dan anak makan sambil berlari-lari.

Metode yang digunakan guru dalam mengembangkan moral belum menerapkan kegiatan secara langsung dan nyata. Pengembangan moral perlu dilakukan oleh orang dewasa/pendidik salah satunya adalah melalui pendidikan atau pembelajaran di sekolah. Pembelajaran yang dapat menjadi rekomendasi kegiatan secara langsung untuk menerapkan perkembangan moral anak yaitu denganmetode bermain peran. KB Nurul Himah belum menggunakan bermain peran dalam pengembangan moral anak. Kegiatan bermain peran di KB Nurul Hikmah diterapkan dalam kegiatan sentra peran. Hanya saja dalam kegiatannya belum menunjang kegiatan yang mengembangkan perkembangan moral anak. Hal ini dibuktikan melalui observasi yang dilakukan yaitu kegiatan bermain peran yang dilakukan hanya ditujukan untuk menunjang perkembangan sosial emosional anak saja. Kegiatan bermain peran di KB Nurul Hikmah dilakukan untuk bersosialisasi anak melalui kegiatan jual beli di pasar.

Metode bermain peran merupakan metode pembelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan anak didik dengan cara anak didik memerankan suatu tokoh baik tokoh hidup atau benda mati (Sugihartono dkk.,


(5)

2007: 83). Metode ini dapat mengembangkan penghayatan, tanggungjawab, dan terampil dalam memaknai materi yang dipelajari. Kegiatan bermain peran memiliki beberapa kelebihan (Winda Gunarti dkk., 2008: 10.17) yaitu melibatkan anak secara aktif dalam suatu pembelajaran. Anak juga akan memperoleh umpan balik yang cepat/segera. Kegiatan bermain peran juga dapat menarik minat dan antusias anak yang mendukung anak untuk berpikir kritis dan analisis serta anak dapat mempraktikkan keterampilan berkomunikasi.

Kegiatan bermain peran dapat dilakukan secara aktif oleh anak dan secara langsung anak bermain dengan teman sebayanya sesuai keadaan yang pernah anak alami atau yang pernah anak lihat. Anak akan memperoleh umpan balik tentang apa yang mereka lakukan itu baik atau tidak dengan cepat melalui kegiatan bermain peran. Anak juga dapat bermain secara nyata dalam mengembangkan moralnya. Hal ini didukung pernyataan dari Asri Budiningsih (2008: 7) bahwa tindakan moral merupakan kemampuan untuk melakukan keputusan dan perasaan moral ke dalam perilaku-perilaku nyata. Anak sangat tertarik dan mudah mengikuti pembelajaran secara langsung dalam kegiatan bermain.

Bermain drama melatih anak mengekspresikan diri dan memerankan orang lain. Melalui kegiatan ini diharapkan anak tidak lagi melakukan perbuatan menyimpang seperti menggangu teman lainnya yaitu menendang, dan memukul, duduk di atas meja. Penggunaan metode bermain peran telah terbukti dapat mengembangkan perilaku dan kemampuan dasar anak usia 3-4 tahun sesuai pernyataan dari Winda Gunarti dkk. (2008: 10.1) bahwa bermain peran merupakan metode pengembangan yang efektif di mana seseorang memerankan


(6)

karakter orang lain dan mencoba berpikir/berbuat dengan cara/sudut pandang sosok yang diperankannya. Bermain peran memberikan contoh alamiah terhadap perilaku manusia yang riil dan dapat digunakan oleh anak untuk menyadari perasaan mereka dan membangun sikap menuju nilai-nilai dan pemahaman mereka sendiri.

Berdasarkan permasalahan di atas, diperlukan upaya untuk mengatasi masalah pengembangan moral anak, sehingga diharapkan moral anak akan mengalami perkembangan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang pengembangan moral anak melalui metode bermain peran di Kelompok Bermain Nurul Hikmah Surobayan Argomulyo Sedayu Bantul.

B. Identifikasi Masalah

1. Moral anak di Kelompok Bermain Nurul Hikmah belum dioptimalkan dengan baik karena saat pembelajaran berlangsung anak masih memilih teman yang disukai dan tidak mau bermain bersama teman yang lain.

2. Masih ada beberapa anak berteriak saat berbicara kepada guru yang dinilai kurang sopan dalam menghormati orang lain

3. Rasa tanggung jawab anak kaitannya dalam berperilaku baik yaitu saling menolong dan menjaga lingkungan juga masih kurang.

C. Batasan Masalah

Skripsi yang diajukan memiliki batasan masalah yaitu pada penerapan kegiatan bermain peran untuk mengembangkan moral anak usia 3-4 tahun di Kelompok Bermain Nurul Hikmah.


(7)

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang didapat dari batasan masalah yang sudah ada yaitu akan merumuskan tentang “Bagaimana Mengembangkan Moral Anak Usia 3-4 tahun di Kelompok Bermain Nurul Hikmah melalui Kegiatan Bermain Peran?”. E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan moral anak usia 3-4 tahun di Kelompok Bermain Nurul Hikmah dengan kegiatan bermain peran.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat terhadap pengembangan keilmuan, yaitu sebagai berikut:

1. Bagi Anak

a. Mengembangkan moral anak.

b. Melatih anak dalam menentukan perilaku baik-buruk, benar-salah, dan sopan-tidak sopan.

2. Bagi Guru

a. Menjadi masukan yang berati untuk mengembangkan metode pembelajaran yang efektif.

b. Dapat digunakan sebagai metode untuk mengembangkan moral anak. 3. Bagi Sekolah

Meningkatkan kualitas proses belajar sehingga tujuan pendidikan yang digunakan dapat tercapai.


(8)

G. Definisi operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Moral

Moral dalam penelitian ini adalah perkembangan moral anak yaitu kemampuan anak dalam menentukan perilaku baik yang boleh dilakukan dan perilaku buruk yang tidak boleh dilakukan anak. Perkembangan moral yang dimaksud dalam penelitian ini juga diartikan sebagai bertambahnya kemampuan anak dalam menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan atau kaidah-kaidah dan nilai-nilai moral yang telah disepakati bersama. Moral anak yang dikembangkan setelah melihat observasi di KB Nurul Hikmah. Moral dalam penelitian ini yaituberdoa sebelum dan setelah melakukan suatu kegiatan, sikap hormat dan berbuat baik terhadap orang lain, lingkungan sekitar, dan teman sebaya, serta sikap hormat kepada guru dengan berbicara sopan dan tidak berteriak saat meminta sesuatu.

2. Metode Bermain Peran

Metode bermain peran merupakan metode pembelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan anak didik dengan cara anak memerankan suatu tokoh baik tokoh hidup atau benda mati. Metode ini dapat mengembangkan penghayatan, tanggungjawab, dan terampil dalam memaknai materi yang dipelajari. Dalam penelitian ini bermain peran yang dilakukan yaitu anak melakukan kegiatan pura-pura yang sudah disiapkan oleh guru untuk dipraktikkan.Anak menirukan sesuatu atau seseorang yang pernah ia lihat dan mereka temui di kehidupan sehari-hari. Melalui kegiatan bermain peran anak


(9)

dapat memahami perilaku yang baik dan yang buruk secara langsung seperti keadaan yang pernah terjadi pada anak. Anak secara nyata dapat menemukan konflik moral yang dilakukan pada teman sebayanya dan dapat secara cepat menganalisa perilakunya apakah benar atau salah dan apakah baik atau buruk untuk dilakukan.


(10)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Moral pada Anak Usia Dini 1. Pengertian Moral

Nilai (value) dan moral atau sejenisnya merupakan wujud dari ranah afektif (affective domain) serta berada dalam diri seseorang (Yudha M. Saputra dan Rudyanto, 2005: 175). Secara utuh dan bulat nilai merupakan suatu sistem di mana aneka jenis nilai (nilai, keagamaan, sosial budaya, ekonomi, hukum, dan etika) berpadu menjadi satu kesatuan serta saling meradiasi (mempengaruhi secara kuat) sebagai suatu kesatuan yang utuh. Sikap nilai sangat menentukan perilaku dan kepribadian seseorang. Jadi, anak yang disebut bermoral itu adalah apabila tingkah lakunya sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Nilai-nilai moral seperti menghargai kehidupan dan kemerdekaan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keadilan, toleransi, penghormatan, disiplin diri, integritas, kebaikan, belas kasihan, dan dorongan atau dukungan mendefinisikan seluruh cara tentang menjadi pribadi yang baik (Lickona, 2012: 87).

Robert J. Havighurst (Abu Ahmadi dan Munawar Sholeh, 2005: 104) mengemukakan bahwa moral yang bersumber dari adanya suatu tata nilai adalaha value is an obyect estate or affair wich is desired (tata nilai adalah suatu objek rohani atas suatu keadaan yang diinginkan). Maka kondisi atau potensi internal kejiwaan seseorang untuk dapat melakukan hal-hal yang baik, sesuai dengan nilai-nilai (value) yang diinginkan itu disebutnya sebagai moral. Dengan demikian


(11)

perkembangan moral seseorang itu berkaitan erat dengan perkembangan sosial anak, di samping pengaruh kuat dari perkembangan pikiran, perasaan serta kemauan atas hasil tanggapan dari anak.

Norma-norma moral adalah tolak ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas (Maria J. Wantah, 2005: 46). Norma-norma dalam kehidupan perlu ditaati agar tidak terjadi hal-hal yang menyimpang yang merugikan masyarakat. Nilai-nilai moral seperti kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan adalah hal-hal yang dituntut dalam kehidupan (Lickona, 2012: 61).

Kaitannya moral dengan perkembangan anak yakni anak sudah memiliki kemampuan dalam membedakan perilaku baik-buruk atau benar-salah. Slamet Suyanto (2005: 67) menyatakan bahwa perkembangan moral anak dapat dilihat dengan kemampuan anak memahami aturan, norma, dan etika yang berlaku. Hal ini selaras dengan pendapat Singgih D. Gunarsa & Yulia Singgih D. Gunarsa (2006: 195) bahwa perkembangan moral ada hubungannya dengan bertambahnya kemampuan menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan atau kaidah-kaidah yang ada dalam lingkungan hidupnya atau dalam masyarakatnya. Seseorang dikatakan telah memperkembangkan aspek moral, bilamana ia telah menginternalisasikan atau telah mempelajari aturan-aturan atau kaidah-kaidah kehidupan di dalam masyarakat dan bisa memperlihatkan dalam perilaku yang terus-menerus atau menetap.

Desmita (2007: 149) menjabarkan tentang perkembangan moral anak menurut beberapa teori menurut tokohnya. Teori pertama adalah Teori


(12)

Psikoanalisa dari Freud yaitu menggambarkan perkembangan moral dengan membagi struktur kepribadian menjadi tiga bagian yaitu id, ego, dan superego. Menurut teori ini pada usia sekitar 5 tahun orang sudah menyelesaikan pengembangan moralnya (Lerner & Hultsch, 1983). Teori selanjutnya adalah Teori Belajar-Sosial tentang perkembangan moral yaitu melihat tingkah laku moral sebagai respon atas stimulus. Dalam hal ini, proses-proses penguatan, penghukuman, dan peniruan digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak. Teori selanjutnya yaitu Teori Kognitif Piaget. Menurut teori kognitif Piaget mengenai perkembangan moral melibatkan prinsip-prinsip dan proses-proses yang sama dengan pertumbuhan kognitif yang ditemui dalam teorinya tentang perkembangan intelektual. Bagi Piaget, perkembangan moral digambarkan melalui aturan permainan. Karena itu, hakikat moralitas adalah kecenderungan untuk menerima dan menaati sistem peraturan. Sedangkan teori menurut tokoh yang terakhir yaitu teori perkembangan moral Kohlberg. Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga tingkatan (level) yaitu Prakonvensional, Konvensional, dan Pascakonvensional. Anak-anak memang berkembangan melaui interaksi sosial, namun interaksi ini memiliki corak khusus, di mana dalam pikiran dan yang dibedakan dengan tingkah laku moral dalam arti perbuatan nyata.

Menurut paparan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa moral merupakan suatu nilai yang berhubungan dengan baik buruknya tingkah laku manusia di kehidupan bermasyarakat. Moral merupakan etika baik atau aturan yang perlu dimiliki oleh setiap orang untuk beradaptasi di lingkungan sekitarnya.


(13)

Perilaku baik-buruknya seseorang dapat dinilai oleh orang lain dari kehidupan sehari-hari. Perilaku moral juga dapat diartikan tindakan seseorang mengenai perbuatan terpuji terhadap orang lain yang tidak menyalahi aturan atau adat setempat. Penanaman nilai-nilai moral akan lebih sulit masuk ke dalam hati nurani sesorang yang sudah memiliki kebiasaan buruk terutama orang dewasa. Berbeda dengan orang dewasa, pembiasaan berlanjut mengenai nilai moral untuk anak-anak dapat ditanamkan sejak dini dengan sesuai perkembangannya. Penalaran moral anak-anak yang ada pada mereka adalah saat belajar apa yang dapat dianggap sebagai alasan moral yang baik dan alasan moral yang buruk (Dharma Kesuma, Cepi Triatna & Johar Permana, 2013: 73).

Santrock (Desmita, 2007: 149) menyatakan bahwa perkembangan moral merupakan yang berkaitan dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Perkembangan moral tidak akan berjalan dengan baik apabila hanya dengan melihat dan tidak diterapkan secara langsung. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Asri Budiningsih (2008: 7) bahwa tindakan moral merupakan kemampuan untuk melakukan keputusan dan perasaan moral ke dalam perilaku-perilaku nyata. Tindakan-tindakan moral ini perlu difasilitasi agar muncul dan berkembang dalam pergaulan sehari-hari. Tindakan-tindakan nyata inilah yang perlu diterapkan dengan pembiasaan agar menghasilkan perilaku yang baik pula.

Perkembangan anak sekarang ini lebih diutamakan untuk ditanamkan nilai-nilai moral sejak dini. Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral untuk (imoral) (Desmita, 2007: 149). Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang


(14)

siap untuk dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (dengan orang tua, saudara dan teman sebaya), anak belajar memahami tentang perilaku mana yang baik, yang boleh dikerjakan dan tingkah laku mana yang buruk, yang tidak boleh dikerjakan.

Implikasi moral pada anak dalam penelitian ini adalah perilaku baik seseorang dalam memahami dasar nilai-nilai moral yaitu benar-salah, baik-buruk serta sopan-tidak sopan kepada orang lain, teman sebaya dan lingkungan sekitar. Moral yang dimaksud adalah suatu perilaku baik dalam menaati peraturan yang berlaku untuk tidak dilanggar. Etika baik atau aturan yang berlaku tersebut perlu dipahami dan dimiliki oleh setiap orang untuk beradaptasi di lingkungan sekitarnya.

Prinsip pengembangan perilaku anak usia 3-4 tahun yang dapat membantu mengembangkan nilai moralnya (Winda Gunarti, dkk., 2008: 3.5) yaitu yang pertama dapat dilakukan apabila merawat anak dengan kasih sayang. Anak diperlakukan dengan penuh kasih sayang dan dengan ketulusan. Prinsip kedua yaitu memberikan banyak kesempatan pada anak untuk berdiskusi dan bernegosiasi. Dalam melakukan negosiasi, anak akan belajar mengakui kesalahan, mencoba mengungkapkan perasaannya, sabar dalam bertindak dan belajar mengakui dan meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya. Prinsip ketiga adalah menjelaskan suatu hal, maka anak perlu dibantu untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya tentang berbagai macam persoalan dan peristiwa yang dihadapinya. Prinsip selanjutnya yaitu yang keempat, mendukung anak untuk bergabung dengan penuh arti dengan anak-anak lainnya. Kelima yaitu


(15)

memberikan kesempatan kepada anak untuk bermain bebas karena akan mendorong anak melihat segala sesuatu dari sudut pandang orang lain. Keenam yaitu perlu memberikan penghargaan terhadap tingkah laku yang baik.

2. Tahapan Perkembangan Moral Anak Usia Dini

Perkembangan moral merupakan sebuah bagian integral dari perkembangan seorang anak (Daniel Fung & Cai Yi-Ming, 2003: 70). Tahapan perkembangan moral menurut Kohlberg ada tiga tingkat perkembangan moral, dan masing-masing tingkat mempunyai dua tahap. Berikut tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg (Maria J. Wantah, 2005:84-89):

a. Tingkat Prakonvensional

Pada tingkat yang pertama ini, seorang anak akan begitu responsif terhadap norma-norma budaya atau label-label kultural lainnya, seperti persoalan-persoalan yang berkaitan dengan norma baik, buruk, benar, salah, dan sebagainya. Dalam tingkatan prakonvensional terdapat dua tahap yang meliputi: tahap 1 yaitu, tahap orientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Pada tahap ini anak-anak umumnya beranggapan bahwa akibat-akibat dari suatu tindakan akan sangat menentukan baik buruknya sesuatu tindakan yang dapat dilakukan tanpa melihat unsur manusianya. Tahap 2, yaitu tahap orientasi instrumental atau hedonistik. Dalam tahap ini tindakan yang benar atau baik dibatasi sebagai tindakan yang mampu memberikan kepuasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya atau dalam beberapa hal juga adalah kebutuhan orang lain.


(16)

b. Tingkat Konvensional

Pada tingkat perkembangan konvensional, upaya untuk memenuhi harapan-harapan keluarga, kelompok, atau masyarakat bangsa dianggap sebagai sesuatu yang terpuji.Tingkat konvensional ini mencakup dua tahap perkembangan moral yaitu tahap ke-3, kesesuaian antar pribadi. Dalam pandangan anak-anak yang masih berada di tahap ketiga menurut skema Kohlberg, yang dimaksud dengan tingkah laku bermoral adalah semua tingkah laku yang menyenangkan, membantu, atau yang diakui dan diterima oleh orang lain. Tahap ke-4 yaitu orientasi hukum dan aturan. Dalam tahap ke-4 menurut skhema Kohlberg, orientasi seorang anak akan senantiasa mengarah kepada otoritas, pemenuhan aturan-aturan, dan sekaligus upaya pemeliharaan tata tertib sosial.

c. Tingkat Pascakonvensional, Moralitas Dewasa

Pada moralitas Pascakonvensional atau moralitas dewasa, moralitas tidak lagi tergantung pada faktor-faktor dari luar. Bukan orang lain atau kelompok yang harus mengambil keputusan mengenai apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, melainkan anak sendirilah yang harus mengambil keputusan itu. Tingkat Pascakonvensional terdiri atas dua tahap perkembangan moral yaitu tahap 5, kontrak sosial, orientasi legalistik. Pada tahap ke-5 dalam perkembangan moral menurut skema Kohlberg ini merupakan tingkat perkembangan yang sudah melewati kesadaran moral konvensional. Orientasi moral bukan lagi kepada hukum dan aturan, melainkan kepada kontrak-kontrak sosial yang bersifat legalistik. Tahap 6 yaitu orientasi prinsip-prinsip etik-universal. Menurut Kohlberg tahap paling tinggi dalam perkembangan kesadaran moral seseorang


(17)

adalah ketika individu tidak lagi dibatasi oleh hukum-hukum dan aturan-aturan dari suatu tertib sosial.

Piaget mengamati anak-anak dari usia yang berbeda dalam bermain kelereng (Maria J. Wantah, 2005: 80). Pada pengamatan yang dilakukan untuk anak usia 2-6 tahun, mulai terlihat kecenderungan ke arah permainan kelompok baru. Anak mengamati teman yang lebih tua saat bermain dan meniru bagaimana mereka bermain menurut atura-aturan yang disepakati. Pada saat ini anak sadar bahwa aturanlah yang menuntun aktivitasnya dalam bermain. Meskipun dalam penerapan aturan-aturan permainan mereka masih bersifat egosentris dalam arti menganggap pendapat atau pendiriannya yang paling benar, namun mereka mulai menaati aturan-aturan, dalam kegiatan bermain. Kaitannya dengan tahapan perkembangan pada nilai moral yaitu anak pada usia 3-4 tahun termasuk tahapan sudah dapat menaati peraturan yang berlaku untuk mereka.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa tahapan perkembangan moral seseorang akan lebih matang ketika dewasa. Seperti yang dinyatakan oleh Yudrik Jahya (2011: 425) bahwa perkembangan moral bergantung dari perkembangan kecerdasan. Pada waktu perkembangan kecerdasan mencapai tingkat kematangannya, perkembangan moral juga harus mencapai tingkat kematangannya. Bila hal ini tidak terjadi, individu dianggap sebagai orang yang “tidak matang secara moral”. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dari Desmita (2007: 151) bahwa semakin tinggi tahap perkembangan moral seseorang, akan semakin terlihat moralitas yang lebih mantap dan bertanggung jawab dari perbuatan-perbuatannya.


(18)

Implikasi tahapan perkembangan moral dalam penelitian iniyakni anak kelompok bermain usia 3-4 tahun dapat menentukan perilaku baik-buruk dan benar-salah. Anak usia 3-4 tahun dapat mengenal baik-buruk, benar-salah suatu perbuatan, dari sudut konsekuensi (dampak/akibat) menyenangkan (ganjaran) atau menyakiti (hukuman) secara fisik, atau enak tidaknya akibat perbuatan yang diterima (Syamsu Yusuf LN, 2004: 134). Dibuktikan pada pengamatan yang dilakukan Piaget untuk anak usia 2-6 tahun bahwa anak sudah dapat menaati aturan yang disepakati. Maka pada tahapan Kohlberg anak usia 3-4 dapat disimpulkan bahwa anak usia 3-4 tahun termasuk pada tahapanpraconvensional.

Crain, William (2007: 239) menyatakan di tahap Praconvensional anak-anak memikirkan apa yang benar dan menghindari hukuman. Anak melihat masalah untuk tidak dilakukan apabila itu buruk karena akan mendapat hukuman yang merugikannya. Pada level ini anak mengenal moralitas berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh suatu perbuatan, yaitu menyenangkan (hadiah) atau menyakitkan (hukuman). Anak tidak melanggar aturan karena takut akan ancaman dari otoritas (Desmita, 2007: 152).

Perkembangan moral anak terbentuk melalui fase-fase atau periode-periode seperti halnya perkembangan aspek-aspek lain (Winda Gunarti, dkk., 2008: 1.8-1.9). Perkembangan moralitas pada anak usia 3-6 tahunterhadap kelompok sosial harus sudah terbentuk. Kepada si anak tidak lagi terus-menerus diterangkan mengapa perbuatan ini salah atau benar, tetapi ia ditunjukkan bagaimana ia harus bertingkah laku dan bilamana hal ini tidak dilakukan maka ia dihukum.


(19)

3. Pentingnya Moral untuk Anak Usia Dini

Perkembangan moral mengarah kepada terciptanya pengalaman moral yang semakin besar dalam interaksi antara remaja dengan lingkungannya (Asri Budiningsih, 2008: 10). Untuk mengembangkan pendidikan moral bagi anak-anak dan remaja, diperlukan modifikasi unsur-unsur moral dengan faktor-faktor budaya di mana anak tinggal. Program pembelajaran moral seharusnya disesuaikan dengan karakteristik siswa tersebut, kaitannya dengan keempat unsur di atas, yaitu penalaran moral, perasaan, dan perilaku moral, serta kepercayaan eksistensial/iman.

Prinsip-prinsip psikologi dan etika dapat membantu sekolah untuk meningkatkan seluruh tugas pendidikan dalam membangun kepribadian siswa yang kuat. Bagi seorang anak pengembangan moral itu akan dikembangkan melalui pemenuhan kebutuhan jasmaniah (dorongan nafsu fisiologi) untuk selanjutnya dipolakan melalui pengalaman dalam lingkungan keluarga, sesuai dengan nilai-nilai yang diberlakukannya (Abu Ahmadi & Munawar Sholeh, 2005: 104). Orangtua dan pendidik hendaknya telah memiliki seperangkat etika atau kebiasaan baik dan benar yang ingin dimiliki oleh anak-anak, sebelum mengadakan pendidikan dan pembinaan watak pada mereka (Yudrik Jahja, 2011: 436).

Lickona dalam bukunya Educating for Character (Asri Budiningsih, 2008: 6) menekankan pentingnya memperhatikan tiga unsur dalam menanamkan nilai moral, yaitu pengertian atau pemahaman moral, perasaan moral, dan tindakan moral. Ketiga unsur ini dapat dituliskan dengan bahasa asing yaitu moral


(20)

knowing, moral feeling, dan moral action. Melalui pemahaman moral anak diberikan kesadaran atau alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu, suatu pengambilan keputusan berdasarkan nilai-nilai moral. Perasaan moral lebih pada kesadaran akan hal-hal yang baik dan tidak baik. Perasaan moral ini sangat mempengaruhi seseorang untuk berbuat baik sehingga perlu diajarkan dan dikembangkan dengan memupuk perkembangan hati nurani dan sikap empati. Tindakan moral yaitu kemampuan untuk melakukan keputusan dan perasaan moral ke dalam perilaku-perilaku nyata. Tindakan-tindakan moral ini perlu difasilitasi agar muncul dan berkembang dalam pergaulan sehari-hari.

Dari pernyataan di atas dapat dilihat bahwa pengertian atau pemahaman moral merupakan pengenalan kepada anak untuk melakukan perbuatan baik. Anak dijelaskan mengapa anak boleh atau tidak boleh melakulan suatu perbuatan dan mengapa anak perlu mengetahui perilaku yang baik untuk dilakukan dan tidak baik dilakukan. Perasaan moral yang dimaksud dalam Lickona di atas adalah kesadaran akan hal-hal baik yang dikembangkan melalui hati nurani. Maka pengaruh dari lingkungan sekitar anak perlu diberikan. Anak perlu diberikan suatu pujian ataupenghargaan agar anak mau melakukan perbuatan baik. Sehingga anak akan mengambil keputusan tentang apa yang akan dia lakukan. Tindakan ini dilakukan anak pada tindakan moral. Anak mau melakukan perbuatan baik dikarenakan dari apa yang mereka lakukan, anak akan mendapat pujian atau penghargaan. Oleh karena itu nila-nilai moral ini perlu dikembangkan di dalam dunia pendidikan.


(21)

Dunia pendidikan penting untuk memberikan nilai-nilai moral pada anak seperti pernyataan dari Sumadi Suryabrata (Yudrik Jahja, 2011: 421) bahwa moral dapat membentuk watak seseorang. Seseorang yang dikatakan memiliki watak jika seseorang tersebut melakukan perbuatan yang memiliki norma-norma sosial. Pembentukan watak seorang anak akan berpengaruh terhadap akhlak, moral budi pekerti, etika, dan estetik orang tersebut ketika berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari dimanapun ia berada. Nilai-nilai juga akan berguna untuk perkembangan pribadi yang sehat, menjaga perhubungan antar pribadi, menjadi sebuah masyarakat manusia yang demokratik dan menjadi sebuah dunia yang adil dan damai (Dharma Kesuma, Cepi Triatna & Johar Permana, 2013: 65).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan moral anak ditujukan untuk mengembangkan nilai-nilai etika pada anak agar anak memiliki akhlak yang baik serta membantu anak dalam bersosialisasi di lingkungan sekitarnya sesuai aturan etika yang berlaku. Hal ini selaras dengan pernyataan Maria J. Wantah (2005: 123) bahwa tujuan pembelajaran moral pada anak adalah membantu anak mengembangkan kemampuan belajar menginternalisasikan prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai yang menuntun perilaku dan pengambilan keputusan. Moral yang dikembangkan anak adalah dari pemahaman anak atau kesadaran anak untuk melakukan perbuatan baik, selanjutnya adalah perasaan yang dikembangkan dengan memupuk perkembangan hati dan sikap empati anak, serta tindakan moral dalam pengambilan keputusan.


(22)

Implikasi tujuan pendidikan moral dalam penelitian ini adalah membantu anak dalam mengenal perilaku yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan oleh anak. Pendidikan moral yang diberikan untuk anak dimaksud dapat mengembangkan kemampuan belajar anak dalam beretika baik, berperilaku sopan, dan dapat mengambil keputusan dengan benar sesuai aturan yang berlaku. Pendidikan moral bertujuan membantu anak bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya dengan benar dan tidak menyalahi aturan norma di lingkungannya. 4. Nilai Moral Anak Usia Dini yang Diajarkan di Sekolah

Upaya untuk pengembangan sikap dan perilaku moral anak usia dini dapat dilakukan melalui strategi pembelajaran moral (moral education) (Maria J. Wantah, 2005: 123). Pendidikan moral dapat disamakan dengan pembelajaran nilai-nilai dan pengembangan watak yang diharapkan dapat dimanifestasikan dalam diri dan perilaku seseorang seperti kejujuran, keberanian, persahabatan dan penghargaan. Dalam mempelajari sikap moral, terdapat empat pokok utama, mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial anggotanya sebagaimana dicantumkan dalam hukum yaitu kebiasaan dan peraturan, mengembangkan hati nurani, belajar mengalami perasaan bersalah dan rasa malu jika perilaku individu tidak sesuai dengan harapan kelompok, dan mempunyai kesempatan interaksi sosial untuk belajar apa saja yang diharapkan anggota kelompok (Yudrik Jahja, 2011: 426).

Peran yang dimainkan masing-masing pokok di atas adalah peran hukum, kebiasaan, dan peraturan dalam perkembangan moral. Peran ini adalah pokok pertama yang penting dalam pelajaran menjadi pribadi bermoral ialah apa yang


(23)

diharapkan kelompok dari anggotanya. Harapan ini diperinci bagi seluruh anggota kelompok dalam bentuk hukum, kebiasaan. Peraturan berfungsi sebagai sumber motivasi untuk bertindak sesuai dengan harapan sosial, sebagaimana hukum dan kebiasaan menjadi pedoman dan sumber motivasi bagi anak remaja dan orang dewasa.

Kedua adalah peran hati nurani dalam perkembangan moral. Peran ini merupakan wujud dari pemahaman bahwa tidak seorang anak pun dilahirkan dengan hati nurani dan bahwa setiap anak tidak saja harus belajar apa yang benar dan salah, tetapi juga harus menggunakan hati nurani sebagai pengendali perilaku. Ketiga yaitu peran rasa bersalah dan rasa malu dalam perkembangan moral. Bila perilaku anak tidak memenuhi standar yang ditetapkan hati nurani, anak merasa bersalah, malu, atau keduanya. Peran terakhir adalah peran interaksi sosial dalam perkembangan sosial. Interaksi sosial memegang peran penting dalam perkembangan moral.

Pembelajaran moral yang diajarkan di sekolah akan lebih baik apabila diterapkan untuk memberikan kebebasan pada anak. Guru dalam membelajarkan siswa perlu memberi kebebasan guna menempuh sebuah jalan hidup yang memungkinkan mereka menjadi pribadi yang utuh (Sjarkawi, 2006: 60). Anak yang diberikan kebebasan dalam pembelajaran tidak akan merasa tertekan apabila berangkat ke sekolah. Di sekolah, guru dan anak berinteraksi dengan menerapkan kaidah moral, petunjuk moral seperti berlaku jujur, tidak boleh bohong, tidak boleh mengambil barang orang lain, kebiasaan mengucapkan terima kasih pada orang lain, dan melakukan kebiasaan baik yang lain (Yudrik Jahja, 2011: 425).


(24)

Maria J. Wantah (2005: 123) menyatakan bahwa pembelajaran moral adalah suatu sistem aktivitas pembelajaran moral yang dirancang untuk suatu institusi pendidikan anak usia dini dengan tujuan-tujuan yang didasarkan pada karakteristik perkembangan moral anak. Nilai-nilai yang diberikan pun perlu sesuai kaidah yang berlaku dalam pendidikan.

Para pendidik dapat membantu anak mengembangkan pemahaman moral dengan memberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan kelompok sebayanya, juga dengan mendorong anak untuk mendiskusikan serta melakukan negosiasi tentang masalah-masalah yang terjadi antar mereka karena dengan bernegosiasi, akan mendorong anak mengambil sudut pandang orang lain (Rita Eka Izzaty, dkk., 2008: 97). Pemahaman moral untuk anak didasari agar anak dapat menyesuaikan nilai-nilai yang perlu diserap dalam kehidupannya. Melalui pembelajaran di sekolah anak dapat mengembangkan nilai-nilai moral agar anak dapat beradaptasi dengan aturan yang berlaku di masyarakat.

Program pendidikan moral yang berdasarkan pada dasar hukum moral dapat dilaksanakan dalam dua nilai moral yang utama, yaitu sikap hormat dan bertanggungjawab (Lickona, 2012: 60). Nilai-nilai tersebut mewakili dasar moralitas utama yang berlaku secara universal. Mereka memiliki tujuan, nilai yang nyata, di mana mereka mengandung nilai-nilai baik bagi semua orang baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat. Pada dasarnya adalah pembuktian oleh diri sendiri (self-evident) (Linda & Richard Eyre, 1997: 113). Hormat adalah dasar (dan sering menjadi penggerak) untuk beberapa nilai dasar lain. Anak-anak yang belajar menerapkan dan memahami prinsip ini akan menjadi


(25)

anggota masyarakat, teman, dan pemimpin yang lebih baik. Rasa hormat berati menujukkan penghargaan kita terhadap harga diri orang lain selain diri kita (Lickona, 2012: 70).

Terdapat tiga hal yang menjadi pokok yaitu penghormatan terhadap diri sendiri, penghormatan terhadap orang lain dan penghormatan terhadap semua bentuk kehidupan dan lingkungan yang saling menjaga satu sama lain. Sedangkan tanggungjawab, tampaknya anak-anak yang diberi segala sesuatu kecuali tanggung jawab tidak hanya menjadi anak-anak yang manja tetapi juga cenderung kehilangan perasaan dan kepedulian mereka kepada orang lain (Linda & Richard Eyre, 1997: 138). Tanggung jawab merupakan suatu bentuk lanjutan dari rasa hormat (Lickona, 2012: 72). Jika kita menghormati orang lain, berati kita menghargai mereka. Jika kita menghargai mereka, berati kita merasakan sebuah ukuran dari rasa tanggung jawab kita untuk menghormati kesejahteraan hidup mereka.

Kemampuan anak dalam pembelajaran moral berbeda-beda sesuai tingkat perkembangannya. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2009, tingkat perkembangan moral anak yaitu yang pertama adalah mulai memahami pengertian perilaku yang berlawanan meskipun belum selalu dilakukan seperti pemahaman perilaku baik-buruk, benar-salah, sopan tidak sopan. Kedua adalah mulai memahami arti kasih dan sayang kepada ciptaan Tuhan.

Sesuai dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 58 Tahun 2009 tersebut, dalam kaitannya pengembangan moral anak yaitu anak sesuai dengan


(26)

nilai rasa hormat dan tanggungjawab untuk diajarkan di sekolah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lickona (2012: 70) bahwa hormat dan tanggung jawab yang menjadi dasar landasan sekolah yang tidak hanya diperbolehkan, tetapi mengharuskan para guru untuk memberikan pendidikan tersebut untuk membangun manusia-manusia yang secara etis berilmu dan dapat memposisikan diri mereka sebagai bagian dari masyarakat yang bertanggungjawab.

Dari paparan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran moral di sekolah penting bagi perkembangan anak setelah dewasa kelak. Anak akan belajar melalui pengalaman moralnya di kehidupan masyarakat guna menjadi pribadi yang baik dan beretika yang baik pula. Rasa hormat kepada orang lain dan diri sendiri perlu dipupuk sejak dini agar berlangsung di kehidupan anak secara spontan tanpa memperhatikan pujian yang akan didapat apabila memiliki nilai tersebut. Tanggung jawab kepada sesama, lingkungan sekitar dan diri sendiri juga perlu diajarkan sejak dini sesuai tingkatan perkembangan anak. Tingkat perkembangan anak dalam perkembangan moral pun perlu diperhatikan agar pengajaran yang diberikan sesuai kemampuan masing-masing individu.

Implikasi pembelajaran moral di sekolah dalam penelitian ini adalah mengembangkan rasa hormat dan rasa tanggung jawab kepada sesama dan lingkungan sekitar anak. Penelitian ini menargetkan pembelajaran moral untuk anak usia 3-4 tahun. Rasa hormat yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu rasa hormat kepada orang tua, teman sebaya dan Tuhan Yang Maha Esa. Rasa hormat kepada orang tua dengan berbicara dan bertutur kata dengan baik tanpa harus dengan berteriak. Rasa hormat kepada teman sebaya yaitu menghormati teman


(27)

tanpa pilih kasih. Sedangkan rasa hormat kepada Tuhan yaitu menghargai dan menikmati karuniaNya dengan bersyukur. Kemudian rasa tanggungjawab yang dimaksud adalah anak dapat bertanggungjawab ketika atau setelah makan. Anak membuang sampah di tempatnya dan membantu teman yang membutuhkan. 5. Metode-metode untuk Mengembangkan Moral

Metode pembelajaran untuk mengembangkan moral dapat diterapkan pada pembelajaran untuk anak usia dini. Karena penelitian ini difokuskan dalam mengembangkan moral anak, maka penataan kegiatan pembelajaran pun dibuat dengan suasana yang dapat mengembangkan moral anak. T.N. Turner menemukan lima kategori utama metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan moral anak dalam artikelnya How do We Develop Values? (2010) sebagai berikut:

a. Teaching values through pronouncement, rules, and warning.

Pembelajaran dengan pengumuman, penyampaian aturan dan peringatan. Sebagai contoh di sekolah, anak diberikan aturan untuk dipatuhi anak. Aturan ini memberikan pemahaman kepada anak apa yang benar, apa yang salah, apa yang membuat pujian. Memberikan pengumumann atau informasi kepada anak untuk tidak melakukan perbuatan yang menyimpang dari nilai moral, misalnya anak dijelaskan untuk berbagi kepada temannya. Memberikan aturan kepada anak misalnya, anak perlu diberikan aturan bahwa anak perlu berbagi kepada temannya saat memiliki makanan/snack.Apabila tidak mau berbagi maka anak tidak boleh membawa makanan ke sekolah. Diberikan peringatan berati anak diberikan peringatan apabila anak sudah melanggar aturan yang berlaku.


(28)

b. Teaching values through examples and models.

Pembelajaran moral dengan contoh dan model. Anak-anak menirukan tokoh yang disukainya seperti pahlawan atau bintang idola di TV. Pahlawan yang dimaksud adalah pahlawan yang anak kenal, seseorang yang mereka lihat dari film atau TV, atau seseorang yang pernah anak lihat dan dengar. Hanya saja pahlawan yang dikenal anak cenderung fiktif dan tidak nyata. Sehingga pembelajaran yang diberikan perlu adanya kombinasi antara pahlawan sejarah jaman dulu dan pahlawan fiktif yang dikenal anak, mengajarkan anak untuk memberikan pujian secara positif dari pahlawan mereka bahwa mereka lemah dan hanya sebentar atau tidak bertahan lama.

c. Teaching values through stories with morals or lesson.

Pembelajaran moral menggunakan cerita atau mata pelajaran. Cara untuk mengembangkan moral lainnya dapat menggunakan kisah cerita/dongeng yang mengandung nilai-nilai moral. Anak dapat belajar dari kisah cerita yang dibacakan, melihat motivasi tokoh dalam cerita, dan poin penting yang ada di dalam cerita.

d. Teaching values through examining personal actions of self and others.

Pembelajaran moral menggunakan pengujian terhadap aksi/tindakan-tindakan diri sendiri dan orang lain. Salah satu cara bahwa guru dapat membantu anak dalam mengembangkan moralnya yaitu memberikan pengalaman di mana mereka dapat menjadi lebih menerima dan menganalisa apa yang mereka sendiri lakukan dan apa yang mereka lihat.


(29)

e. Teaching values through problem solving.

Pembelajaran moral menggunakan pemecahan masalah. Pembelajaran yang dilakukan yaitu anak ditemui suatu konflik untuk diselesaikan atau mencari solusi. Yusuf (Yudha M. Saputra dan Rudyanto, 2005: 180) menyatakan bahwa pembelajaran yang dilakukan untuk perkembangan nilai dan moral pada anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, sebagai berikut:

1. Pendidikan Langsung

Pendidikan langsung dilakukan melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah, atau baik dan buruk oleh orang tua, guru atau orang dewasa lainnya. Penanaman nilai dan moral akan berdampak efektif manakala orangtua di rumah dan guru sekolah memberi keteladanan kepada anak baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.

2. Identifikasi

Mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang lebih dewasa sering menjadikan anak lebih cepat tumbuh dan berkembang dewasa dalam hal perilakunya.

3. Proses coba-coba (trial and error)

Dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan akan dihentikannya.

Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa metode pembelajaran ditujukan dalam interaksi yang dilakukan oleh anak dan orang lain. Interaksi yang dibangun


(30)

tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi tercapainya tujuan pembelajaran. Hal ini disebabkan interaksi tersebut mencerminkan suatu hubungan di mana akan memperoleh pengalaman yang bermakna, sehingga proses belajar dapat berlangsung dengan lancar. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Gulo yang mendefinisikan pembelajaran sebagai usaha untuk menciptakan sistem lingkungan yang mengoptimalkan kegiatan belajar (Sugihartono dkk., 2007: 80). Pada prinsipnya anak dapat belajar apa saja, yang penting adalah bagaimana cara mengajarkannya dan kesiapan anak (Slamet Suyanto, 2005: 8).

Implikasi pembelajaran moral pada penelitian ini adalah pembelajaran yang menggunakan pengujian aksi/tindakan-tindakan diri sendiri dan orang lain. Pembelajaran moral yang dapat digunakan yaitu dengan pendidikan secara langsung. Guru memberikan pengalaman kepada anak melalui kegiatan yang nyata yaitu seperti keadaan yang pernah anak alami atau anak lihat. Kemudian menata suasana kelas untuk membangun dan mengembangkan moralnya. Misalnya anak membuang sampah tidak pada tempatnya, maka guru memberikan pertanyaan pada anak “Perilaku membuang sampah sembarangan itu baik atau tidak?”. Guru juga tidak lupa menjelaskan secara rinci mengapa anak perlu membuang sampah pada tempatnya dan nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Ketika anak-anak menjadi sadar akan sudut pandang orang lain, dan pengaruh mereka sendiri yang kuat dalam berbagai situasi, mereka akan memiliki kesempatan lebih banyak untuk menjadi semakin sadar akan hukum dan adat tentang apa yang dikehendaki masyarakat dalam interaksi mereka dengan orang lain (RitaEka Izzaty dkk., 2008: 97). Kesadaran ini digambarkan sebagai basis


(31)

bagi perkembangan moral. Anak belajar menjadi orang yang sudah bermasyarakat di lingkungannya. Melalui metode kegiatan bermain peran anak dapat menjadi tokoh masyarakat atau tokoh lainnya memerankan suatu kegiatan yang berlangsung di lingkungan sekitarnya.

B. Karakteristik Anak Usia Dini

NAEYC (National Assosiation Education For Young Children) mengemukakan bahwa anak usia dini adalah sekelompok individu yang berada pada rentang usia antara 0-8 tahun (Sofia Hartati, 2005: 7). Menurut definisi ini anak usia dini merupakan kelompok manusia yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Usia dini (0-8 tahun) juga disebut usia emas atau the golden age (Slamet Suyanto, 2005: 6). Ernawulan Syaodih (2005: 10) menyatakan bahwa bila dilihat dari jenjang pendidikan yang berlaku di Indonesia, maka yang termasuk dalam kelompok anak usia dini adalah anak usia Sekolah Dasar (SD) kelas rendah (kelas 1-3), Taman Kanak-kanak (kindergarten), kelompok bermain (play group) dan anak masa sebelumnya (masa bayi). Pada usia-usia inilah anak masih membutuhkan bimbingan dan pendidikan untuk bekal masa depannya kelak.

Berdasarkan paparan para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa anak usia dini merupakan sekelompok individu yang dilihat dari anak sejak lahir sampai anak awal sekolah dasar yaitu pada rentang usia 0-8 tahun. Pada masa ini anak memerlukan bimbingan dan simulus yang baik sehingga anak dapat menjadi pribadi yang baik pula. Pada masa ini juga merupakan masa di aman anak dapat mengembangkan berbagai aspek yang dimiliki. Hal ini selaras dengan pendapat


(32)

Slamet Suyanto (2005: 6) bahwa pada masa the golden age anak stimulus yang diberikan pada anak perlu dikembangkan dan digunakan secara optimal. Pada usia ini otak anak dapat berkembang dan belajar dengan lebih tajam dari orang dewasa. Maksudnya adalah anak dapat menggunakan kecerdasannya dengan baik karena pada usia ini anak akan dapat merekam apa yang mereka temui, lihat, dengar, rasa dan yang dialami sampai ia dewasa kelak. Kecerdasan anak dapat dikembangkan dengan baik melalui pembelajaran yang baik pula.

Menurut pandangan psikologis yang dikemukakan oleh Richard D. Kellough, anak usia dini memiliki karakteristik sebagai berikut (Sofia Hartati, 2005: 8-11):

1. Anak itu bersifat egosentris

Pada umumnya anak masih bersifat egosentris. Ia cenderung melihat dan memahami sesuatu dari sudut pandang dan kepentingannya sendiri. Dalam memahami sebuah fenomena, anak sering memahami sesuatu dari sudut pandangnya sendiri sehingga seringkali ia merasa asing dalam lingkungannya. Oleh karena tugas guru adalah membantu anak dalam memahami dan menyesuaikan diri dengan dunianya dengan cara positif. Keterampilan yang sangat diperlukan dalam mengurangi egosentris diantaranya adalah dengan mengajarkan anak untuk mendengarkan orang lain, serta dengan cara memahami dan berempati pada anak.

2. Anak memiliki rasa ingin tahu yang besar

Menurut anak, dunia ini dipenuhi dengan hal-hal yang menarik dan menakjubkan sehingga menimbulkan rasa keingintahuan anak yang tinggi. Brooks


(33)

bersaudara mengemukakan bahwa keuntungan yang dapat diambil dari rasa keingintahuannya adalah dengan menggunakan fenomena atau kejadian yang tidak biasa. Untuk mengembangkan kemampuan anak dalam mengelompokkan dan memahami dunianya sendiri, guru perlu untuk membantu menemukan masalah.

3. Anak adalah makhluk sosial

Anak senang diterima dan berada dengan teman sebayanya. Ia akan membangun kepuasan melalui penghargaan diri ketika diberikan kesempatan untuk bekerja sama dengan temannya. Untuk itu pembelajaran dilakukan untuk membantu anak dalam perkembangan penghargaan diri. Hal ini dapat dilaksanakan dengan cara menyatukan strategi pembelajaran sosial seperti bekerja sama, simulasi guru dari teman sebaya, dan pembelajaran silang usia.

4. Anak bersifat unik

Anak merupakan individu yang unik di mana masing-masing memiliki bawaan, minat, kapabilitas, dan latar belakang kehidupan yang berbeda satu sama lain. Meskipun terdapat pola urutan umum dalam perkembangan anak yang dapat diprediksi, namun pola perkembangan dan belajarnya tetap memiliki perbedaan satu sama lain.

5. Anak umumnya kaya dengan fantasi

Anak senang dengan hal-hal yang bersifat imajinatif, sehingga pada umumnya ia kaya dengan fantasi. Imajinasi anak berkembang melebihi apa yang dilihatnya. Sebagi contoh, ketika anak melihat gambar sebuah robot itu berjalan dan bertempur. Jika dibimbing dengan beberapa pertanyaan, maka ia dapat


(34)

menceritakan melebihi apa yang mereka dengar dan lihat sesuai dengan imajinasi yang sedang berkembang pada pikirannya. Dengan bercerita anak melatih mengembangkan imajinasi dan kemampuan bahasa anak.

6. Anak memiliki daya konsentrasi yang pendek

Daya perhatian anak yang pendek membuat anak masih sangat sulit untuk duduk dan memperhatikan sesuatu untuk jangka waktu yang lama, kecuali terhadap hal-hal yang menyenangkan. Pembelajaran dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang bervariasi dan menyenangkan, sehingga tidak membuat anak terpaku di tempat dan menyimak dalam jangka waktu lama.

7. Anak merupakan masa belajar yang paling potensial

Masa anak usia dini disebut sebagai masathe golden age ataumagic years. Selama rentang waktu usia dini, anak mengalami berbagai pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat dan pesat pada berbagai aspek. Berbagai perkembangan anak usia dini perlu dipahami oleh pendidik untuk memudahkan dalam pendampingan perkembangan anak usia dini sebagai anak didik (M. Ramli, 2005: 68).

Dari paparan di atas dapat terlihat jelas bahwa karakteristik anak usia dini setiap anak berbeda-beda. Anak merupakan pribadi yang perlu diperhatikan secara intim dalam perkembangannya. Pendidik tidak seharusnya menyamakan kemampuan anak antara anak yang satu dengan anak yang lain saat pembelajaran di sekolah. Hal ini dikarenakan pencapaian perkembangan anak tidak sama. Menurut Hurlock (Syamsu Yusuf LN, 2004: 140), pengaruh sekolah terhadap


(35)

perkembangan kepribadian anak sangat besar, karena sekolah merupakan substitusi dari keluarga dan guru-guru substitusi dari orangtua.

Pengalaman karakteristik anak dalam perkembangan moralnya berbeda-beda. Tahap usia 3-6 tahun menurut Singgih D. Gunarsa & Yulia Singgih D. Gunarsa (2006: 68), anak sudah memiliki dasar-dasar dari sikap-sikap moralitas terhadap kelompok sosialnya. Kalau sebelumnya anak selalu diajarkan tentang apa yang salah, maka pada masa ini anak harus lebih ditunjukkan mengenai bagaimana ia harus bertingkahlaku. Anak harus dapat merasakan akibat yang menyenangkan dari tingkahlakunya yang sesuai dengan harapan kelompok sosial, demikian pula akibat yang tidak menyenangkan apabila ia tidak berlaku demikian. Lingkungan yang ada di sekitar anak baik lingkungan keluarga, masyarakat maupun di sekolah memiliki suasana yang berbeda-beda. Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Sugihartono dkk., 2007: 74). Proses belajar anak usia dini tidak dapat disamakan dengan orang dewasa. Anak usia dini belajar melalui kegiatan yang mereka senangi yaitu bermain. Hal ini sesuai dengan pendapat Slamet Suyanto (2005: 102) bahwa bermain bukan bekerja, bermain adalah pura-pura, bermain bukan suatu yang sungguh-sungguh, dan bermain bukan suatu kegiatan yang produktif.

C. Pembelajaran untuk Anak Usia Dini

Setiap anak terlahir dengan potensi yang berbeda-beda, memiliki kelebihan, bakat, dan minat sendiri (Slamet Suyanto, 2005: 5). Maka cara belajar anak juga berbeda-beda. Sofia Hartati (2005: 80) menyatakan bahwa tipe belajar anak usia


(36)

dini berkaitan dengan pemikiran, konsep, informasi, dan pilihan seseorang yang diekspresikan melalui cara belajar. Tipe-tipe belajar anak terdiri dari:

1. Pembelajar visual (visual learner)

Anak yang termasuk tipe pembelajar ini memiliki rasa ingin tahu yang besar. Ia senang dengan hal-hal yang baru dan berbeda serta hal-hal nyata yang dapat menimbulkan pemikiran baru.

2. Pembelajar auditori (auditory learner)

Pembelajar auditori pada umumnya dapat dengan mudah menyerap informasi dengan cara mendengarkan. Tipe belajar ini lebih cepat memahami informasi yang dikomunikasikan secara verbal.

3. Pembelajar taktil/kinestetik(tactile/kineshtetic learner).

Pembelajar taktil biasanya dapat menyerap informasi dengan cara merasakan fenomena melalui sentuhan. Secara alamiah pada umumnya anak usia dini senang menyentuh benda untuk mengeksplorasi apa yang terkandung di dalamnya.

4. Pembelajar global(global learner)

Anak tipe pebelajar global lebih tertarik untuk melihat hasil akhir. Ia akan tertari pada bentuk yang sesungguhnya sebelum menyelidiki bagian-bagian yang lebih rinci.

Belajar merupakan proses internal yang kompleks dan melibatkan proses internal seluruh mental seseorang yaitu meliputi ranah-ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik (Dimyati dan Mudjiono, 2002: 18). Hal ini selaras dengan Sofia Hartati (2005: 28) bahwa pembelajaran pada anak usia dini merupakan proses


(37)

interaksi antara anak, orang tua atau orang dewasa lainnya dalam suatu lingkungan untuk mencapai tugas perkembangan. Pembelajaran menurut Sudjana (Sugihartono dkk., 2007: 80) merupakan setiap upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik yang dapat menyebabkan peserta didik melakukan kegiatan belajar. Melalui kegiatan belajar yang ditata dengan baik akan mendapatkan hasil yang baik pula untuk perkembangan anak.

Pada hakikatnya anak belajar sambil bermain. Oleh karena itu pembelajaran anak usia dini pada dasarnya adalah bermain (Sofia Hartati, 2007: 29). Melalui kegiatan bermain anak dapat mengembangkan segala aspek perkembangan yang dimiliki anak sesuai dengan apa yang dirasakan oleh anak itu sendiri. Hal ini selaras dengan pernyataan Mayke S. Tedjasaputra (2001: 20) bahwa melalui bermain anak merasakan berbagai pengalaman emosi, senang, sedih, bergairah, kecewa, bangga, dan marah. Slamet Suyanto (2005: 7) menyatakan bahwa bermain sambil belajar merupakan esensi bermain yang menjiwai setiap kegiatan pembelajaran bagi PAUD.

Esensi bermain pada anak usia dini yaitu: (1) anak aktif dalam kegiatan bermain baik secara fisik maupun psikis. Anak melakukan eksplorasi, investigasi, eksperimentasi, dan ingin tahu tentang orang, benda, ataupun kejadian, (2) kegiatan bermain bertujuan untuk bersenang-senang, (3) kegiatan bermain memiliki motivasi internal di dalamnya. Anak ikut dalam suatu kegiatan permainan secara sukarela, (4) permainan untuk anak memiliki aturan, dan (5) kegiatan permainan bersifat simbolis dan berati. Pada saat bermain anak menghubungkan antara pengalaman lampaunya yang tersimpan dengan kenyataan


(38)

yang ada. Pada saat bermain anak bisa berpura-pura menjadi orang lain dan menirukan karakternya.

Kegiatan bermain akan dapat dilaksanakan apabila dalam keadaan kelas menyenangkan. Anak dengan mudah belajar melalui kegiatan bermain yang nyaman bagi anak. Hal ini diperkuat dengan pinsip-prinsip belajar melalui bermain menurut Bredekamp dan Copple (Sofia Hartati, 2005: 77) yang baik bagi anak:

a. Anak belajar melalui keterlibatannya secara langsung dan aktif dalam pengalaman bermain,

b. Dalam perencanaan permaian bagi anak, guru harus mempertimbangkan umur dan tingkat perkembangan anak,

c. Materi-materi permainan adalah materi konkret, nyata, dan relevan dengan kehidupan anak,

d. Lingkungan belajar yang diciptakan guru memungkinkan anak belajar melalui eksplorasi aktif,

e. Guru bertanggung jawab terhadap perencanaan, pengaturan, dan penciptaan pengalaman-pengalaman yang berubah dan bertambah kompleks membantu, dan mendukung permainan anak, dan

f. Guru mengikutsertakan anak dalam permainan dengan mengajukan pertanyaan dan dengan membantu anak untuk mengembangkan atau memperluas permainan mereka.

Bermain dalam tatanan sekolah dapat digambarkan sebagai suatu rentang rangkaian kesatuan yang berujung pada bermain bebas, bermain dengan bimbingan dan berakhir pada bermain dengan diarahkan.Soemiarti Patmonodewo (2000: 102) menyatakan bahwa dalam bermain bebas dapat didefinsikan sebagai suatu kegiatan bermain di mana anak mendapat kesempatan melakukan berbagai pilihan alat dan mereka dapat memilih bagaimana menggunakan alat-alat tersebut. Sedangkan kegiatan bermain dengan bimbingan, guru memilih alat permainan dan diharapkan anak-anak dapat memilih guna menemukan suatu konsep (pengertian)


(39)

tertentu. Dalam bermain yang diarahkan, guru mengajarkan bagaimana cara menyelesaikan suatu tugas yang khusus.

Dari paparan-paparan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran untuk anak usia dini adalah pembelajaran yang dilakukan tanpa adanya tekanan dan ancaman bagi anak. Anak belajar dari apa yang mereka lakukan di kehidupan sehari-hari yaitu bermain. Melalui kegiatan bermain anak dapat mengembangkan segala aspek perkembangan yang dimilikinya. Hal ini selaras dengan pernyataan dari Moeslichatoen R. (2004: 32) bahwa melalui bermain anak akan dapat memuaskan tuntutan dan kebutuhan perkembangan dimensi motorik, kognitif, kreativitas, bahasa, emosi, sosial, nilai, dan sikap hidup.

Bermain selain berfungsi bagi perkembangan pribadi, juga memiliki fungsi sosio moral. Kaitannya dengan perkembangan moral anak, Slamet Suyanto (2005: 125) berpendapat bahwa setiap permainan memiliki aturan. Aturan akan diperkenalkan oleh teman bermain sedikit demi sedikit, tahap demi tahap sampai setiap anak memahami aturan mainnya. Oleh karena itu bermain akan melatih anak dalam menyadari akan adanya aturan dan pentingnya mematuhi aturan. Hal itu merupakan tahap awal dari perkembangan moral.

D. Metode Pembelajaran

1. Pengertian Metode Pembelajaran

Metode adalah suatu cara yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan (Dwi Siswoyo dkk., 2011: 142). Metode pembelajaran berati cara yang dilakukan dalam proses pembelajaran sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal


(40)

(Sugihartono, 2007: 81). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah metode pembelajaran yang dilakukan untuk anak merupakan suatu cara yang digunakan dalam kegiatan belajar anak untuk mendapatkan suatu hasil dalam pencapaian perkembangan anak. Kegiatan pembelajaran ini dilakukan agar perkembangan anak dapat sesuai dengan kurikulum yang digunakan untuk mengukur pencapaian perkembangan anak.

Dengan memanfaatkan metode secara akurat, guru akan mampu mencapai tujuan. Tujuan dirumuskan agar anak didik memiliki kemampuan tertentu, maka metode yang digunakan harus disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Metode harus menunjang pencapaian tersebut. Jadi menggunakan metode pembelajaran perlu dibuat untuk dapat menunjang anak belajar dan membantu proses belajar-mengajar, sehingga dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran. Adapun macam-macam metode pembelajaran menurut Conny Semiawan (1992: 76-87) ada tiga yaitu yang pertama adalah metode diskusi. Metode diskusi ialah suatu cara penyampaian pelajaran melalui sarana pertukaran pikiran untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Metode yang kedua adalah metode karyawisata. Metode karyawisata ialah suatu cara menyajikan bahan pelajaran dengan membawa siswa langsung, kepada obyek yang akan dipelajari di luar kelas. Ketiga adalah metode bermain peran. Unsur yang menonjol dalam bermain peran adalah unsur hubungan sosial.

Pernyataan Conny Semiawan mengenai metode pembelajaran hampir sama dengan metode pembelajaran Sugihartono (2007: 81) tentang berbagai metode


(41)

pembelajaran yang dapat dipilih oleh pendidik. Hanya saja metode pembelajaran milik Sugihartono lebih banyak macamnya yaitu:

1. Metode ceramah

Metode ceramah merupakan metode penyampaian materi dari guru kepada siswa dengan cara guru menyampaikan materi melalui bahasa lisan baik verbal maupun nonverbal. Metode ceramah murni cenderung pada bentuk komunikasi satu arah. Dalam hal ini anak adalah sebagai penerima materi dan guru sebagai sumber belajar.

2. Metode latihan

Metode latihan merupakan metode penyampaian materi melalui upaya penanaman terhadap kebiasaan-kebiasaan tertentu. Melalui penanaman terhadap kebiasaan-kebiasaan tertentu ini diharapkan anak dapat menyerap materi secara optimal.

3. Metode tanya jawab

Metode tanya jawab merupakan cara penyajian materi pelajaran melalui bentuk pertanyaan yang harus dijawab oleh anak didik. Metode ini bertujuan untuk memotivasi anak mengajukan pertanyaan selama proses pembelajaran atau guru mengajukan pertanyaan dan anak didik menjawab.

4. Metode karyawisata

Metode karyawisata merupakan metode penyampaian materi dengan cara membawa langsung anak didik langsung ke objek di luar kelas atau di lingkungan kehidupan nyata agar siswa dapat mengamati atau mengalami langsung.


(42)

5. Metode demonstrasi

Metode demonstrasi merupakan metode pembelajaran dengan cara memperlihatkan suatu proses atau cara kerja suatu benda yang berkaitan dengan bahan pelajaran.

6. Metode sosiodrama

Metode sosiodrama merupakan metode pembelajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk melakukan kegiatan memainkan peran tertentu yang terdapat dalam kehidupan sosial. Anak mendramatisasikan atau mengekspresikan sesuatu yang dihayati.

7. Metode bermain peran

Metode bermain peran merupakan metode pembelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan anak didik dengan cara anak didik memerankan suatu tokoh baik tokoh hidup atau benda mati.

8. Metode diskusi

Metode diskusi merupakan metode pembelajaran melalui pemberian masalah kepada siswa dan siswa diminta memecahkan masalah secara kelompok. 9. Metode pemberian tugas dan resitasi

Metode pemberian tugas dan resitasi merupakan metode pembelajaran melalui pemberian tugas kepada siswa.

10. Metode eksperimen

Metode eksperimen merupakan metode pembelajaran dalam bentuk pemberian kesempatan kepada siswa untuk melakukan suatu proses atau percobaan.


(43)

11. Metode proyek

Metode proyek merupakan metode pembelajaran berupa penyajian kepada siswa materi pelajaran yang bertitik tolak dari suatu masalah yang selanjutnya dibahas dari berbagai sisi yang relevan sehingga diperoleh pemecahan secara menyeluruh dan bermakna.

Berdasarkan beberapa metode di atas guru hendaknya memilih metoode yang dipandang tepat dalam kegiatan pembelajarannya, sehingga tujuan pembelajaran yang diinginkan dapat dicapai. Melalui metode bermain peran, anak dapat menempatkan dia seperti orang lain, sehingga menumbuhkan sikap saling menolong, mau bermain bersama, dan menghormati sesama makhluk hidup. 2. Metode Bermain Peran

Bermain peran adalah suatu metode untuk menyelidiki isu-isu yang terdapat dalam situasi sosial kompleks (Muhammad Yaumi, 2012: 116). Slamet Suyanto (2005: 84) berpendapat bahwa bermain peran pada dasarnya adalah bermain dengan mengkhayal, seperti anak mengkhayalkan dirinya sebagai pilot dengan menggunakan kursi sebagai pesawat yang dikemudikannya, anak mengkhayal dirinya sebagai dokter yang sedang memeriksa pasiennya dan sebagainya. Manfaat yang bisa dipetik oleh anak dari kegiatan bermain peran adalah membantu penyesuaian diri anak dalam menghadapi kehidupannya kelak. Hal ini selaras dengan pernyataan Sofia Hartati (2005: 89) bahwa bermain peran adalah bermain yang menggunakan daya khayal yaitu dengan memakai bahasa atau berpura-pura bertingkah laku seperti benda tertentu, situasi tertentu, atau orang


(44)

tertentu, dan binatang tertentu, yang dalam dunia nyata tidak dilakukan. Anak akan berpura-pura menjadi seseorang, binatang atau sesuatu yang dapat ia tiru.

Di samping itu, kegiatan bermain peran akan memberikan kesenangan yang dapat memuaskan dirinya baik yang dilakukan atas usahanya sendiri maupun menjadi pengikut dari aturan yang ditetapkan temannya. Dengan demikian kegiatan bermain peran akan merangsang lebih lanjut kemampuan anak dalam berbahasanya. Dengan sendirinya juga akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan kreatifitas anak. Kegiatan bermain peran memiliki beberapa kelebihan (Winda Gunarti dkk., 2008: 10.17) yaitu melibatkan anak secara aktif dalam suatu pembelajaran. Anak juga akan memperoleh umpan balik yang cepat/segera. Kegiatan bermain peran juga dapat menarik minat dan antusias anak yang mendukung anak untuk berpikir kritis dan analisis serta anak dapat mempraktikkan keterampilan berkomunikasi.

Kegiatan bermain yang dilakukan oleh anak pada dasarnya mencerminkan tingkat perkembangan mereka (Sofia Hartati, 2005: 92). Sejalan dengan kognitif anak, Piaget mengungkapkan tahapan bermain sebagai berikut:

1. Sensori Motor Play(± ¾ bulan – ½ tahun)

Sebelum 3-4 bulan, gerakan atau kegiatan anak belum dapat dikategorikan sebagai bermain. Kegiatan anak semata-mata merupakan kelanjutan kenikmatan yang diperolehnya.

2. Symbolic atau Make Believe Play(±2-7 tahun)

Usia 2-7 tahun ini ditandai dengan bermain khayal dan bermain pura-pura. Anak juga lebih banyak bertanya dan menjawab pertanyaan. Anak sudah mulai


(45)

dapat menggunakan berbagai benda sebagai simbol atau representasi benda lain.

3. Social Play Games with Rules(±8 tahun – 11 tahun)

Dalam bermain tahap yang tertinggi, penggunaan simbol lebih banyak diwarnai oleh nalar, logika yang bersifat obyektif. Kegiatan anak lebih banyak dikendalikan oleh aturan permainan.

4. Games With Rules & Sports(11 tahun ke atas)

Kegiatan bermain ini masih menyenangkan dan dinikmati anak-anak, meskipun aturannya jauh lebih ketat dan diberlakukan secara kaku dibandingkan dengan permainan yang tergolong games seperti kasti atau kartu.

Dari tahapan bermain di atas dapat dilihat bahwa kelompok bermain terdapat pada tahapan bermain simbolik atau bermain peran. Anak usia dini lebih menikmati kegiatan bermain yang dapat diperankan seperti tokoh-tokoh atau pengalaman yang pernah anak lihat atau alami. Kegiatan bermain peran hampir sama dengan metode sosiodrama (Winda Gunarti dkk., (2008: 10.18). Sosiodrama dan bermain peran sama-sama menempatkan anak sebagai pemain, namun apabila tema atau jalan cerita pada bermain peran dapat bersifat umum/luas, atau bahkan bersifat imajinatif, sedangkan pada sosiodrama jalan cerita mengandung konflik sosial yang terselesaikan di akhir cerita. Sosiodrama mempersyaratkan adanya kerja sama yang sinergis, memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi sehingga sesuai untuk anak usia 4-5 tahun (bermain bekerja sama), sedangkan bermain peran lebih bersifat spontan, imajinatif dan singkat, memiliki tingkat kesulitan yang lebih rendah sehingga sesuai untuk usia 3-4 tahun (bermain berama).


(46)

Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa bermain peran merupakan kegiatan yang dilakukan dengan anak memerankan sesuatu atau seseorang baik itu benda hidup maupun benda mati, yang dalam kegiatannya mengembagkan daya khayal dan imajinatif. Bermain peran merupakan salah satu metode pembelajaran untuk anak usia dini yang biasa dilakukan anak dalam kelompok banyak. Melalui kegiatan ini anak dapat mengembangkan berbagai aspek perkembangan seperti kogmitif, sosial emosional, motorik, nilai agama dan moral serta bahasa. Selaras dengan pendapat Winda Gunarti dkk., (2008: 10.9) bahwa metode bermain peran ini dikategorikan sebagai metode belajar yang berumpun kepada metode perilaku yang diterapkan dalam kegiatan pengembangan. Karakteristiknya adalah adanya kecenderungan memecahkan tugas belajar dalam sejumlah perilaku yang berurutan, konkret, dan dapat diamati. 3. Metode Bermain Peran dalam Mengembangkan Moral

Slamet Suyanto (2005: 126) menyatakan bahwa bermain peran sangat baik untuk mengembangkan kemampuan bahasa, komunikasi, dan memahami peran-peran masyarakat. Sama halnya dengan pendapat Harun Rasyid, Mansyur, Suratno (2012: 85) bahwa bermain peran dapat mengembangkan kemampuan daya imajinatif anak, dan berbagai ekspresi psikologis mereka. Mengenai manfaat metode bermain peran,Fledmanmengatakan:

“in the dramatic play area children have the opportunity to role-play real-life situations, release emotions, practice lenguage, develop social skills, and express themselves creatively.” Fliedman, J.R. (Winda Gunarti, dkk, 2008: 10.10-10.11)


(47)

Fledman berpendapat bahwa di dalam area drama, anak-anak memiliki kesempatan untuk bermain peran dalam situasi kehidupan yang sebenarnya, melepaskan emosi, mempraktikkan kemampuan berbahasa, membangun keterampilan sosial dan mengekspresikan diri dengan kreatif. Bermain peran dapat menjadi sarana belajar anak dalam kegiatan belajar.

Melalui kegiatan bermain peran, anak dapat mengembangkan berbagai aspek perkembangan dan kemampuan diri anak. Hal ini selaras dengan pendapat Harun Rasyid, Mansyur, Suratno (2012: 85) bahwa bermain peran ialah model bermain yang mengarah pada pembentukan kemampuan diri untuk hidup mandiri, memilih sendiri dan berbuat atas kemauan diri sendiri.

Pembelajaran bermain peran bukan hanya menjadi kegiatan belajar yang mengembangkan imajinasi anak untuk bersosialisasi. Bermain peran juga dapat mengembangkan kemampuan diri anak dalam berbagai hal. Menurut Winda Gunartidkk., (2008: 10.37) bermain peran dapat juga mengembangkan hal-hal seperti perkembangan bahasa, seni, fisik, dan moral-agama. Pada perkembangan bahasa bermain peran, anak berlatih menggunakan bahasa ekspresif (berbicara) dan bahasa reseptif (mendengarkan), berkomunikasi dan berbicara lancar, mengenal kosa kata, mendukung kesiapan membaca (dengan huruf, simbol dan angka yang terdapat pada mainan, buku, gambar, lagu yang digunakan). Perkembangan yang kedua yaitu perkembangan seni. Dalam kegiatan bermain peran, terdapat nyanyian-nyanyian, musik latar, rekaman dan bunyi dari alatmusik yang dimainkan (misalnya perkusi), hal ini membutuhkan minat anak pada seni musik. Ketiga adalah perkembangan fisik. Kegiatan bermain peran mendukung


(48)

perkembangan motorik kasar, misalnya anak harus melompat, berlari, berputar dan motorik halus, misalnya mengancingkan baju boneka, memasang sesuatu, membedong boneka bayi. Perkembangan yang keempat yaitu Moral-agama. Moral dan agama merupakan nilai-nilai dan pesan yang tercermin dalam kegiatan bermain peran. Misalnya, saling menyayangi antarsesama makhluk Tuhan, berbakti kepada orang tua, dan bersikap jujur.

Slamet Suyanto (2005: 126) menyatakan bahwa bermain drama melatih anak mengekspresikan diri dan memerankan orang lain. Vygotsky (Winda Gunarti, dkk., 2008: 10.11) bermain peran juga mendukung munculnya dua kemampuan penting, yaitu kemampuan untuk memisahkan pikiran dari kegiatan dan benda serta kemampuan menahan dorongan hati dan menyusun tindakan yang diarahkan sendiri dengan sengaja dan fleksibel.

Manfaat penggunaan metode bermain peran dalam penelitian ini adalah Anak dapat mempraktikkan kegiatan baik dan yang boleh dilakukan dalam bermasyarakat dari pengalaman yang sudah dilalui anak melalui kegiatan bermain pura-pura.Anak dapat menganalisa bagaimana perilaku yang mereka lakukan apakah itu baik atau tidak dan benar atau salah. Melalui kegiatan ini anak dapat memahami bagaimana anak menaati aturan yang berlaku di kehidupan bermasyarakat.

E. Pembelajaran Bermain Peran

Langkah pembelajaran bermain peran (Winda Gunarti dkk., 2008: 10.52-10.53) secara umum yaitu sebagai berikut:


(49)

1. Guru memilih ssebuah tema yang akan dimainkan (mendiskusikan kemungkinan dan urutan waktunya dengan anak).

2. Guru membuat rencana/skenario/naskah jalan cerita.

3. Guru membuat skenario kegiatan yang fleksibel, dapat diubah sesuai dengan dinamika yang terjadi dan mencakup berbagai ragam aspek perkembangan anak (keaksaraan, matematis, sains terpadu, sosial dan kesehatan).

4. Guru menyediakan media, alat dan kostum yang diperlukan dalam kegiatan. 5. Apabila memungkinkan guru membuat media/alat dari bahan daur ulang,

guru menjadi guru yang kreatif.

6. Guru menerangkan teknik bermain peran yang disukainya.

7. Jika bermain peran untuk pertama kali dilakukan, sebaiknya guru sendirilah memilih siswa yang kiranya dapat melaksanakan peran-peran itu.

8. Guru menetapkan peran pendengar (anak didik yang tidak turut bermain peran).

9. Dalam diskusi perencanaan, guru memberikan kesempatan pada anak (dengan teknik curah pendapat/brainstorming) untuk merancang jalan cerita.

10. Guru menyarankan kalimat pertama yang baik diucapkan oleh pemain untuk memulai.

11. Anak bermain peran.

12. Di akhir kegiatan, adakan diskusi untuk mengulas kembali nilai-nilai dan pesan yang terkandung dalam bermain peran untuk diteladani anak.

13. Khusus di sentra drama, buatlah pra-rencana dan setting tempat yang mendukung untuk kegiatan 2-4 minggu.


(50)

14. Guru menata tempat bermain peran dengan gambar-gambar dan dekorasi yang mendukung jalan cerita.

Memperhatikan langkah-langkah dalam bermain peran di atas, jelas bahwa untuk mengembangkan moral anak pembelajaran yang dilakukan perlu disiapkan secara matang oleh guru agar dapat membantu penyampaian makna yang terkandung didalamnya. Anak juga akan dapat memahami pembelajaran dengan mudah. Karena nilai moral merupakan suatu sistem di mana aneka jenis nilai (nilai, keagamaan, sosial budaya, ekonomi, hukum, etika dan lain-lain) berpadu menjadi satu kesatuan serta saling meradiasi (mempengaruhi secara kuat) sebagai suatu kesatuan yang utuh (Yudha M.Saputra dan Rudyanto, 2005: 175) maka pembelajaran yang mengutamakan nilai-nilai moral untuk anak sangat dianjurkan. Langkah pembelajaran untuk kegiatan bermain peran tersebut disiapkan guru untuk mengembangkan moral anak. Kegiatan bermain peran dirancang sesuai dengan tema yang mengandung nilai-nilai moral.

F. Kerangka Pikir

Anak usia dini merupakan usia emas/the golden age(Slamet Suyanto, 2005: 6) yang perlu dikembangkan dan digunakan secara optimal. Pada usia ini otak anak dapat berkembang dan belajar dengan lebih tajam dari orang dewasa. Maksudnya adalah anak dapat menggunakan kecerdasannya dengan baik karena pada usia ini anak akan dapat merekam apa yang mereka temui, lihat, dengar, rasa dan yang dialami sampai ia dewasa kelak. Kecerdasan anak dapat dikembangkan dengan baik melalui pembelajaran yang baik pula.


(51)

Masalah yang ditemukan dalam penelitian ini yaitu anak masih memukul teman lainnya saat ingin meminjam alat bermain, menginjak pekerjaan teman karena tidak suka dengan temannya, berjalan-jalan ketika makan/istirahat, keluar kelas saat diminta berdoa sebelum dan sesudah makan, tidak mau berbagi mainan dan bermain bersama. Maka dari itu perlunya kegiatan pembelajaran yang dapat diterapkan anak berdasarkan kegiatan nyata yang berhubungan langsung dengan anak atau pengalaman yang pernah anak lihat dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Anak dapat belajar pura-pura dengan teman sebayanya seperti kehidupan sehari-hari dengan moral yang baik. Salah satu pembelajaran yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan moral anak yaitu kegiatan bermain peran. Kegiatan bermain peran dapat mengembangkan moral anak dengan kegiatan pura-pura yang sudah disiapkan dengan matang. Melalui kegiatan ini anak dapat mencapai perkembangan yang diharapkan yaitu dapat memahami pengertian perilaku yang berlawananmeskipun belum selalu dilakukanseperti pemahaman perilakubaik-buruk, benar-salah, sopantidaksopan dan mulai memahami arti kasihandan sayang kepada ciptaan Tuhan.

Dari uraian di atas tentang penerapan kegiatan bermain peran dalam mengembangkan moral anak dapat digambarkan sebagai berikut :


(52)

G. Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu perkembangan moral anak usia 3-4 tahun dapat dikembangkan melalui penggunaan metode bermain peran.

Anak usia dini merupakan masa di mana anak dapat meningkatkan segala aspek perkembangannya dengan pesat

(golden age)

Anak usia dini masih memerlukan pembelajaran yang dapat

membantu anak dalam mengembangkan moralnya

Nilai moral perlu diberikan dengan kegiatan pembelajaran secara

langsung dan nyata

Anak memiliki keunikan sendiri-sendiri untuk

mencapai perkembangannya

Metode bermain peran

Moral anak berkembang dengan baik Memberikan metode pembelajaran yang dapat

mengembangkan moral anak

Dalam perkembangannya anak masih sering memukul, anak masih suka berteriak saat berbicara dengan orang lain, anak masih suka memilih teman

yang disukai, anak belum mau bermain bersama, anak belum mau berdoa sebelum dan sesudah kegiatan


(53)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Secara umum metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2010: 3). Cara ilmiah yang dimaksud berati kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris, dan sistematis. Salah satu jenis penelitian yang digunakan dalam pendidikan yaitu Penelitian Tindakan kelas (PTK).

Jasa Ungguh Muliawan (2010: 1) menyatakan bahwa PTK merupakan salah satu bentuk penelitian yang dilakukan di kelas yang pada umumnya dilakukan oleh guru bekerjasama dengan peneliti atau ia sendiri sebagai guru berperan ganda melakukan penelitian individu di kelas, di sekolah dan atau di tempat ia mengajar untuk tujuan ‘penyempurnaan’ atau ‘peningkatan’ proses pembelajaran. Penelitian tindakan kelas sesuai namanya bersifat “terbatas” dalam arti keluasan objek dan sasaran yang menjadi pusat perhatian penelitiannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sesuatu yang terjadi di dalam kelas.

Kegiatan penelitian yang digunakan untuk penelitian ini yaitu jenis penelitian PTK kolaborasi. Kolaborasi artinya peneliti berkolaborasi dengan guru di dalam kelas. Guru sebagai pengajar dan pembimbing di kelas sedangkan peneliti berperan sebagai pengamat. Penelitian tindakan kelas berasal dari suatu masalah di dalam kelas yang ditemukan untuk dikembangkan menuju ke arah positif.


(54)

B. Subjek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah anak kelompok B usia 3-4 tahun KB Nurul Hikmah yang berjumlah 14 anak, terdiri dari 6 anak perempuan dan 8 anak laki-laki.

C. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Kelompok Bermain Nurul Hikmah yang berlokasi di Surobayan Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2015 pada semester genap tahun ajaran 2014/2015.

D. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini mengacu pada penelitian tindakan kelas (PTK) model penelitian Kemmis dan Mc. Taggart yaitu penelitian Siklus yang dilakukan secara berulang dan berkelanjutan (Siklus spiral) artinya proses pembelajaran yang semakin lama semakin meningkat (Suharsimi Arikunto, 2006: 92) yang dilaksanakan dalam beberapa Siklus di mana Siklus kedua merupakan perbaikan dari Siklus pertama dan seterusnya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Terdapat empat langkah dalam satu Siklus nya yaitu, perencanaan (plan), tindakan (act), pengamatan (observe), dan refleksi (reflect) (Rochiati Wiriaatmadja, 2006: 66). Keempat komponen tersebut menunjukkan sebuah Siklus atau kegiatan berkelanjutan berulang seperti pada gambar berikut:


(55)

Keterangan: Siklus I:

1. Perencanaan I

2. Tindakan I dan Observasi I 3. Refleksi I

Siklus II:

1. Revisi Perencanaan I dan Perencanaan II 2. Tindakan II dan Observasi II

3. Refleksi II,dst

Gambar 2. Desain penelitian menurut Kemmis dan Mc. Taggart (Wijaya Kusumah dan Dedi Dwitagama, 2011: 21)

Prosedur penelitian ini terdapat empat langkah dalam satu Siklus nya yaitu, perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi (Suharsimi Arikunto, 2010: 17). Dari desain penelitian diatas maka empat komponen tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Perencanaan

Perencanaan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Menyusun sebuah rancangan kegiatanharian (RKH) tentang materi yang diajarkan sesuai dengan model pembelajaran yang digunakan. RKH ini berguna sebagai pedoman guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran.

b. Menyusun dan mempersiapkan lembar observasi mengenai moral anak. c. Mempersiapkan alat untuk mendokumentasikan kegiatan pembelajaran

yang dilakukan berupa foto dan video.

d. Mempersiapkan sarana dan media pembelajaran yang akan digunakan dalam pembelajaran.


(56)

2. Pelaksanaan

Pelaksanaan tindakan yaitu sesuai prosedur perencanaan yang telah dibuat dan dalam pelaksanaannya bersifat terbuka apabila ada perubahan. Selama proses pembelajaran guru sebagai kolaborator dan peneliti sebagai pengamat jalannya kegiatan. Peneliti mengamati perubahan dan perkembangan anak yang berhubungan dengan moral anak.

3. Pengamatan

Pengamatan dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung menggunakan lembar observasi yang telah dibuat sebelumnya. Observasi dilakukan dengan mengamati keadaan anak yang berhubungan dengan moral anak.

4. Refleksi

Refleksi yang dilakukan guru dan peneliti ini berupa diskusi dan perenungan atas apa yang telah dilakukan dalam pembelajaran dan setelah pembelajaran. Guru bersama peneliti mengadakan penilaian terhadap moral anak dan kendala yang didapat selama melakukan pelaksanaan penelitian yang kemudian dilanjutkan untuk merencanakan kembali tindakan apabila penilaian yang diharapkan belum tercapai.

E. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi dan dokumentasi. 1. Observasi

Observasi merupakan teknik mengumpulkan data dengan cara mengamati setiap kejadian yang sedang berlangsung dan mencatatnya dengan alat observasi


(57)

tentang hal-hal yang akan diamati atau diteliti (Wina Sanjaya, 2009: 86). Teknik pengumpulan data observasi dilakukan dalam penelitian ini merupakan teknik untuk pengumpulan data tentang bagaimana anak bermain secara langsung di tempat kejadian. Kegiatan yang diamati saat observasi adalah kegiatan anak saat melakukan perbuatan yang mengandung nilai moral melalui kegiatan bermain peran di dalam kelas.

Tabel 1. Kisi-kisi Observasi Moral Anak Usia 3-4 Tahun

Variabel Sub Variabel Indikator

Perkembangan Moral

Anak mampu bersikap baik

1. Membantu teman yang membutuhkan bantuan

2. Mau bermain bersama Anak mampu bersikap

sopan

3. Berbicara lembut dengan orang lain Cinta ciptaan Tuhan

terhadap lingkungan

4. Membuang sampah pada tempatnya Membaca doa sebelum

dan sesudah melakukan sesuatu 5. Mengucapkan bismillahsebelum melakukan sesuatu 6. Mengucapkan alhamdulillahsetelah selesai melakukan sesuatu 2. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2009: 329). Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu menggunakan dokumentasi yang digunakan untuk memperlihatkan gambar kegiatan anak bermain, proses anak belajar, bagaimana kondisi anak saat bermain peran, perilaku anak dalam mencapai aspek perkembangan moral anak. Gambar juga ditujukan untuk bukti bahwa observasi telah dilakukan.


(58)

F. Instrumen Penelitian

Instrumen merupakan alat untuk memantau berbagai perkembangan anak yang harus tercatat secara autentik (Harun Rasyid, Mansyur & Suratno, 2012: 161). Variasi instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Instrumen Perkembangan Moral Anak

No Nama Indikator Skor anak M em ba nt u te m an ya ng m em bu tu h ka n ba nt ua n M au be rm ai n be rs am a B er bi ca ra le m bu td en ga n or an g la in M em bu an g sa m pa h pa da te m pa tn ya M en gu ca pk an b is m ill a h se be lu m m el ak uk an se su at u M en gu ca p ka n a lh a m d u lil la h se te la h se le sa i m el ak uk an se su at u

3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1 3 2 1

T S R T S R T S R T S R T S R T S R

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12, 13. 14. Jumlah Rata-rata Persentase Kriteria


(59)

Rubrik Penilaian Perkembangan Moral Anak

Indikator Kriteria

Penilaian Skor Deskriptor

Membantu teman yang membutuhkan bantuan

Tinggi 3

Anak dapat membantu teman yang membutuhkan pertolongan dengan inisiatif sendiri sampai selesai

Sedang 2

Anak mampu membantu teman yang membutuhkan dalam kegiatan pembelajaran

Rendah 1

Anak sudah mulai mampu membantu temannya hanya saja masih membutuhkan bimbingan dan perlu diingatkan

Mau bermain bersama

Tinggi 3

Anak mau bermain bersama tanpa membeda-bedakan anak mana yang akan diajak bermain

Sedang 2

Anak mau bermain bersama dalam satu kelompok tanpa membedakan teman

Rendah 1

Anak sudah mulai mampu bermain bersama temannya hanya saja masih perlu diingatkan

Membuang sampah pada tempatnya

Tinggi 3

anak mampu membuang sampah pada tempat yang

disediakanmenurut bendanya (plastik, kertas, dan botol). Sedang 2 anak mampu membuang sampah

pada tempat yang disediakan

Rendah 1

anak masih perlu diberi contoh saat membuang sampah pada tempatnya

Berbicara lembut dengan orang lain

Tinggi 3

Anak mampu berbicara dengan bahasa yang tepat kapada orang lain yang diajak bicara

Sedang 2 anak mampu berbicara tanpa berteriak

Rendah 1

anak sudah mulai mampu bebicara lembut dengan orang lain tetapi masih perlu dibimbing bahwa tidak sopan apabila berbicara keras atau berteriak kepada orang lain


(60)

G. Teknik Analisis Data

Teknis analisis data adalah dimana pengamatan dilanjutkan melalui praktik pembelajaran (melaksanakan kegiatan) dalam kerangka untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran di kelas. Analisis data penelitian ada dua macam yaitu analisis deskriptif kuantitatif dan deskriptif kualitatif. Dari hasil observasi yang dilakukan dengan mengamati anak dalam bermain peran di dalam kelas, juga dokumentasi pembelajaran yang diterapkan, maka yang dilakukan selanjutnya adalah memaparkan dan melakukan analisis data secara deskriptif. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Adapun rumus yang digunakan dalam analisa data

Indikator Kriteria

Penilaian Skor Deskriptor

Mengucapkan bismillah sebelum melakukan sesuatu Tinggi 3

Anak dapat mengucapkan

bismillah dengan spontan sebelum melakukan sesuatu

Sedang 2

Anak dapat mengucapkan

bismillahsaat akan melakukan sesuatu

Rendah 1

Anak mulai mampu

mengucapkanbismillahhanya saja masih membutuhkan bimbingan dan masih perlu diingatkan Mengucapkan alhamdulillah setelah selesai melakukan sesuatu Tinggi 3

Anak dapat mengucapkan

alhamdulillahdengan spontan setelah melakukan sesuatu

Sedang 2

Anak dapat mengucapkan

alhamdulillahsaat akan melakukan sesuatu

Rendah 1

Anak mulai mampu mengucapkan

alhamdulillahhanya saja masih membutuhkan bimbingan dan masih perlu diingatkan


(1)

Suasana saat kegiatan pembelajaran di kelas (duduk melingkar)


(2)

(3)

anak bermain bersama saat main peran dokter-dokteran yang dalam adegan ini anak (dokter) dan (perawat) memeriksa anak lainnya (paisen)

Anak membantu temannya memotong pohon (kegiatan gotong royong) agar tidak menggangu jalan


(4)

anak membuang sampah pada tempat sampah saat menjaga lingkungan sekolah agar tetap bersih


(5)

Lampiran 14

Surat Keterangan Melakukan

Penelitian


(6)

KELOMPOK BERMAIN NURUL HIKMAH

IZIN DINAS PENDIDIKAN NO. 587/V/2013

AKTA NO : 28 TANGGAL : 24 NOPEMBERR 2011

Alamat : Surobayan Argomulyo Sedayu Bantul – Yogyakarta No.Hp 08522821719

SURAT KETERANGAN NO:

Yang bertandatangan di bawah ini: Nama : Sri Muryati, S.Pd.I

Jabatan : Kepala Kelompok Bermain Nurul Hikmah

menerangkan dengan sesungguhnya bahwa mahasiswa tersebut di bawah ini: Nama : Nurul Fatimah Umairoh

NIM : 11111244032 Jurusan/Prodi : PPSD/ PG PAUD

Fakultas : Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas : Universitas Negeri Yogyakarta

adalah benar-benar telah melaksanakan penelitian di KB Nurul Hikmah pada semester genap tahun ajaran 2014/2015 dalam rangka tugas akhir skripsi yang berjudul “MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN MORAL ANAK MELALUI PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN DI KELOMPOK BERMAIN NURUL HIKMAH SUROBAYAN ARGOMULYO SEDAYU BANTUL” pada bulan April-Mei.

Demikian surat ini kami buat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Yogyakarta, 11 Mei 2015 Kepala KB Nurul Hikmah


Dokumen yang terkait

UPAYA MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN BERBAHASA MELALUI METODE BERMAIN PERAN PADA ANAK Upaya Mengembangkan Kemampuan Berbahasa Melalui Metode Bermain Peran Pada Anak Didik Kelompok B Semester Gasal TK PERTIWI 1 Dawung K

0 1 16

MENGEMBANGKAN KECERDASAN INTERPERSONAL MELALUI METODE BERMAIN PERAN Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Melalui Metode Bermain Peran Di Paud Citra Bunda Bayemharjo Tahun Pelajaran 2013/2014.

0 2 15

MENGEMBANGKAN KECERDASAN INTERPERSONAL MELALUI METODE BERMAIN PERAN Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Melalui Metode Bermain Peran Di Paud Citra Bunda Bayemharjo Tahun Pelajaran 2013/2014.

0 1 9

UPAYA MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN EMOSIONAL MELALUI METODE BERMAIN PERAN MAKRO PADA KELOMPOK B Upaya Mengembangkan Kemampuan Emosional Melalui Metode Bermain Peran Makro Pada Kelompok B Di TK Indriyasana 08 Klaten Kabupaten Klaten Tahun 2013 / 2014.

0 2 14

UPAYA MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN EMOSIONAL MELALUI METODE BERMAIN PERAN MAKRO Upaya Mengembangkan Kemampuan Emosional Melalui Metode Bermain Peran Makro Pada Kelompok B Di TK Indriyasana 08 Klaten Kabupaten Klaten Tahun 2013 / 2014.

0 1 16

MENGEMBANGKAN KECERDASAN INTERPERSONAL MELALUI METODE BERMAIN Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Melalui Metode Bermain Peran Pada Kelompok B TK Al Irsyad Tawangmangu Karanganyar Tahun Ajaran 2012 / 2013.

0 0 15

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERKOMUNIKASI MELALUI METODE BERMAIN PERAN DI KELOMPOK BERMAIN Upaya Meningkatkan Kemampuan Berkomunikasi Melalui Metode Bermain Peran Di Kelompok Bermain Islam Terpadu Az-Zahra Sragen Tahun Pelajaran 2012/2013.

0 1 15

UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERKOMUNIKASI MELALUI METODE BERMAIN PERAN DI KELOMPOK BERMAIN Upaya Meningkatkan Kemampuan Berkomunikasi Melalui Metode Bermain Peran Di Kelompok Bermain Islam Terpadu Az-Zahra Sragen Tahun Pelajaran 2012/2013.

0 0 12

UPAYA MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KEMANDIRIAN ANAK MELALUI METODE BERMAIN PERAN DI KELOMPOK A TK BA Upaya Mengembangkan Kemampuan Kemandirian Anak Melalui Metode Bermain Peran Di Kelompok A TK Ba Aisyiyah Karangdowo Kecamatan Karangdowo Kabupaten Klaten Tah

0 1 14

UPAYA MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN KEMANDIRIAN ANAK MELALUI METODE BERMAIN PERAN DI KELOMPOK A TK BA Upaya Mengembangkan Kemampuan Kemandirian Anak Melalui Metode Bermain Peran Di Kelompok A TK Ba Aisyiyah Karangdowo Kecamatan Karangdowo Kabupaten Klaten Tah

0 0 23