HUBUNGAN CERITA FABEL DENGAN PENGETAHUAN MORAL ANAK KELOMPOK B TK PKK 106 MERTEN KECAMATAN SANDEN BANTUL.

(1)

HUBUNGAN CERITA FABEL DENGAN PENGETAHUAN MORAL ANAK KELOMPOK B TK PKK 106 MERTEN KECAMATAN

SANDEN BANTUL

TUGAS AKHIR SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh Esti Yuliati NIM 13111244005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI JURUSAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

MOTTO

“Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama buta dan agama tanpa ilmu lumpuh” (Albert Einstein)

“Tut Wuri Handayani” (Ki Hadjar Dewantara)

“Anak ibarat seperti bayangan, tempat dimana kita bersikap dan berkata ” (Penulis)


(6)

PERSEMBAHAN

Dengan menyebut nama Allah SWT dan dengan mengucap syukur alhamdulillah atas karunia Allah SWT serta sholawat dan salam kepada Nabi

Muhammad SAW, karya ini penulis persembahkan kepada: 1. Kedua orang tua penulis.

2. Almamater tercinta, Universitas Negeri Yogyakarta. 3. Agama, Nusa, Bangsa, dan Negara Indonesia.


(7)

HUBUNGAN CERITA FABEL DENGAN PENGETAHUAN MORAL ANAK KELOMPOK B TK PKK 106 MERTEN KECAMATAN

SANDEN BANTUL

Oleh Esti Yuliati NIM 13111244005

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan cerita fabel yang diceritakan oleh guru dengan pengetahuan moral anak kelompok B di TK PKK 106 Merten. Cerita fabel penting untuk diteliti karena isi cerita tersebut mengandung manfaat dalam perkembangan dan pembentukan pribadi anak. Selain itu, pengetahuan moral anak dapat menambah nilai-nilai moral anak.

Pendekatan penelitian ini adalah kombinasi atau gabungan antara metode kuantitatif dan kualitatif dengan analisis korelasional. Subjek penelitian adalah 13 anak kelompok B TK PKK 106 Merten kecamatan Sanden Bantul. Pengambilan data dilakukan dengan teknik nontes yaitu menggunakan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Sebelum digunakan, instrumen diuji dengan uji validitas konstruksi. Teknik analisis data yang digunakan adalah korelasi product moment Kendall dan Spearmanuntuk pengujian hipotesis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rs 0,716, maka Hi diterima dan Ho ditolak artinya ada hubungan positif cerita fabel dan pengetahuan moral anak kelompok B dapat dilihat dari saat peserta didik dapat menceritakan kembali isi cerita fabel dari tema cerita, judul cerita, alur cerita tokoh cerita, dan pesan moral cerita. Pengetahuan moral anak kelompok B dilihat dari tiga nilai moral yang diambil yaitu kejujuran, kedisiplinan dan tanggungjawab, anak kelompok B telah dapat mengetahui tiga nilai moral dalam pengetahuan moral.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya, Tugas Akhir Skripsi dalam rangka untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan dengan judul “Hubungan Cerita Fabel Dengan Pengetahuan Moral Anak Kelompok B TK PKK 106 Merten Kecamatan Sanden Bantul” dapat disusun sesuai dengan harapan. Tugas Akhir Skripsi ini dapat diselesaikan tidak lepas dari bantuan dan kerjasama dengan pihak lain. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang memberikan persetujuan pelaksanaan Tugas Akhir Skripsi.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Anak Usia Dini dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini beserta dosen dan staf yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama proses penyusunan pra proposal sampai dengan selesainya TAS ini.

3. Bapak Dr. Amir Syamsudin, M.Ag. selaku Dosen Pembimbing TAS I dan Ibu Ika Budi Maryatun, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing TAS II yang telah banyak memberikan semangat, dorongan, dan bimbingan selama penyusunanTugas Akhir Skripsi.

4. Bapak Dr. Amir Syamsudin, M.Ag. selaku validator instrumen penelitian TAS yang memberikan saran/masukan perbaikan sehingga penelitan TAS dapat terlaksana sesuai dengan tujuan.

5. Dr. Amir Symsudin, M.Ag., Rina Wulandari, M.Pd., Dr. Dwi Siswoyo, M.Hum., dan Ika Budi Maryatun, M.Pd. selaku Ketua Penguji, Sekretaris Penguji, Penguji Utama dan Penguji Pendamping yang sudah memberikan koreksi perbaikan secara komprehensif terhadap TAS ini.

6. Ibu Wuri Hastuti, S.Pd. selaku kepala sekolah TK PKK 106 Merten yang telah memberi ijin dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian Tugas Akhir Skripsi ini.


(9)

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

SURAT PERNYATAAN... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C.Pembatasan Masalah ... 8

D.Rumusan Masalah ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 9

F. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Kajian Teori ... 11

1. Cerita Untuk Anak Usia Dini ... 11

a. Pengertian Cerita ... 11

b. Karakteristik Cerita Anak Usia Dini ... 13

c. Manfaat Cerita Untuk Anak Usia Dini ... 17

d. Aspek Yang Dikembangkan Melalui Cerita ... 21

e. Jenis Dan Sumber Cerita ... 23

f. Cerita Fabel ... 25

2. Pengetahuan Moral ... 28

a. Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini ... 28

b. Skema Pengetahuan Piaget ... 30

c. Teori Perkembangan Moral ... 30

d. Nilai-Nilai Moral ... 32

e. Pengetahuan Moral ... 33

f. Karakteristik Anak Usia Dini ... 38


(11)

B. Hasil Penelitian Yang Relevan ... 44

C.Kerangka Pikir ... 45

D.Pernyataan dan Hipotesis Penelitian ... 46

BAB III METODE PENELITIAN A.Jenis Penelitian ... 48

B.Tempat Penelitian ... 49

C.Subjek Penelitian ... 49

D.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 50

1. Variabel Penelitian ... 50

2. Definisi Operasional ... 52

E. Teknik Pegumpulan Data ... 52

F. Insrumen Penelitian ... 55

G.Validitas Instrumen ... 57

H.Teknik Analisis Data ... 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian ... 65

1. Deskripsi Hasil Penelitian ... 65

a. Lokasi Penelitian ... 65

b. Profil TK PKK 106 Merten ... 66

c. Potensi Peserta Didik ... 67

d. Potensi Guru Dan Karyawan ... 67

e. Fasilitas KBM Dan Media ... 68

2. Hasil Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif ... 69

a. Data Kualitatif ... 69

1) Variabel Cerita Fabel ... 69

a) Menceritakan Kembali Isi Cerita ... 69

b) Mengetahui Pesan Moral Cerita ... 73

2) Variabel Pengetahuan Moral ... 79

a) Kejujuran ... 79

b) Kedisiplinan ... 81

c) Tanggungjawab ... 84

b. Data Kuantitatif ... 87

1) Variabel Cerita Fabel ... 87

2) Variabel Pengetahuan Moral ... 90

3) Uji Normalitas ... 92

4) Uji Hipotesis ... 96

B.Pembahasan ... 97


(12)

1) Menceritakan Kembali Isi Cerita ... 98

2) Mengetahui Pesan Moral ... 101

b. Pengetahuan Moral ... 104

1) Kejujuran ... 104

2) Kedisiplinan ... 108

3) Tanggungjawab ... 109

2. Data Kuantitatif ... 111

a. Cerita Fabel ... 111

b. Pengetahuan Moral ... 113

c. Hubungan Cerita Fabel Dengan Pengetahuan Moral Anak Kelompok B TK PKK 106 Merten ... 114

C.Keterbatasan Penelitian ... 117

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A.Simpulan ... 118

B.Saran ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 120


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Perkembangan Kognitif Piaget ... 30

Tabel 2. Tingkatan Moralitas Menurut Jean Piaget (Piaget Via Koyan, 2002) dalam Tadkiroatun (2005: 15) ... 31

Tabel 3. Kisi-Kisi Instrumen Cerita Fabel ... 56

Tabel 4. Kisi-Kisi Instrumen Pengetahuan Moral ... 57

Tabel 5. Penggolongan Interval ... 59

Tabel 6. Patokan Hasil Koefisien Korelasi ... 60

Tabel 7. Daftar peserta didik kelopok B TK PKK 106 Merten ... 67

Tabel 8. Data guru TK PKK 106 Merten ... 68

Tabel 9. Distribusi Frekuensi Data Cerita Fabel ... 88

Tabel 10. Kategori Data Cerita Fabel ... 89

Tabel 11. Distribusi Frekuensi Data Pengetahuan Moral ... 90

Tabel 12. Kategori Data Pengetahuan Moral ... 92

Tabel 13. Hasil Uji Normalitas Kolmorogorov-Smirnov Variabel Cerita Fabel dan Pengetahuan Moral ... 93

Tabel 14. Hasil Uji Normalitas Shapiro-Wilk Variabel Cerita Fabel dan Pengetahuan Moral ... 93

Tabel 15. Korelasi Product Moment Kendall dan Spearman Hubungan Cerita Fabel Dengan Pengetahuan Moral Anak Kelompok B TK PKK 106 Merten Kecamatan Sanden ... 96


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Skema Kerangka Pikir Hubungan Cerita Fabel Dengan

Pengetahuan Moral Anak Kelompok B ... 46 Gambar 2. Skema Metode Kombinasi Model Concurrent Triangulation ... 48 Gambar 3. Hubungan Antara Variabel X dan Variabel Y ... 51 Gambar 4. Analisis Data Kualitatif Model Miles and Huberman ... 61 Gambar 5. Guru Menceritakan Cerita Fabel “Bola Epan Hilang” Kepada

Peserta Didik Di Depan Kelas ... 77 Gambar 6. Salah Satu Peserta Didik Sedang Diwawancarai Oleh Peneliti

Pada Cerita Fabel “Bola Epan Hilang” ... 77 Gambar 7. Guru Sedang Menceritakan Cerita Fabel “Raja Abi Si Lebah”

Kepada Peserta Didik di Depan Kelas ... 77 Gambar 8. Salah Satu Peserta Didik Sedang Diwawancarai Oleh Peneliti

Pada Cerita Fabel “Raja Abi Si Lebah” ... 77 Gambar 9. Guru sedang Menceritakan Cerita Fabel “Berkemah Di

Sekolah” Kepada Peserta Didik di Depan Kelas ... 77 Gambar 10. Salah Satu Kelompok Yang Berdiskusi Sebelum Maju ke

Depan Kelas Untuk Bercerita ... 77 Gambar 11. Salah Satu Kelompok Yang Mempresentasikan Salah Satu

Cerita Fabel ... 78 Gambar 12. Salah Satu Kelompok Yang Sedang Membuat Gambar Sesuai

Dengan Cerita Fabel Yang Akan Dipresentasikan ... 78 Gambar 13. Salah Satu Kelompok Yang Mempresentasikan Salah Satu

Cerita Fabel Dengan Hasil Gambaran ... 78 Gambar 14. Hasil Gambaran Cerita Fabel Ketiga Kelompok Yang Telah

Didengarkan Peserta Didik ... 78 Gambar 15. Cerita Fabel Berseri Yang Digunakan Guru Saat Bercerita ... 78 Gambar 16. Ag Melakukan Penerapan Sikap Kejujuran Dengan Meminjam

Pastel Teman Kemudian Mengembalikan Ke Tempatnya

Kembali ... 81 Gambar 17. Peserta Didik Ls Masuk Ke dalam Kelas Dengan Tertib Dan

Disiplin ... 83 Gambar 18. Mn Melakukan Penerapan Sikap Kedisiplinan Dengan


(15)

Gambar 19. Peserta Didik Melakukan Penerapan Sikap Kedisiplinan

Dengan Mencuci Tangan Setelah Beristirahat Dengan Tertib ... 83

Gambar 20. Gl Mengungkapkan Bahwa Di Sekolah Itu Mencuci Tangan Bentuk Disiplinnya ... 83

Gambar 21. Il Melakukan Penerapan Kedisiplinan Bergantian Mengambil Air Wudhu Saat Akan Praktek Sholat ... 84

Gambar 22. Ag, Rj, Mn, Nw, Fs dan Ls Melakukan Penerapan Sikap Tanggungjawab Dengan Membereskan Mainan Dalam Kelas Tanpa Diminta Oleh Guru ... 86

Gambar 23. Hasil Dari Pemberesan Mainan Beberapa Peserta Didik Dalam Penerapan Sikap Tanggungjawab ... 86

Gambar 24. Beberapa Peserta Didik Melakukan Penerapan Sikap Tanggungjawab Dengan Membereskan Mainan Dalam Kelas Kelompok Bermain Tanpa Diminta Oleh Guru ... 86

Gambar 25. Ad Melakukan Penerapan Sikap Tanggungjawab Dengan Mengembalikan Gunting Setelah Dipakai Ke Tempatnya ... 86

Gambar 26. Nw Membantu Gl Memakai Alat Permainan Untuk Bermain Tari Jatilan ... 87

Gambar 27. Peserta Didik Membantu Guru Memebereskan Peralatan Setelah Kegiatan Pembelajaran ... 87

Gambar 28. Histogram Frekuensi Data Cerita Fabel ... 88

Gambar 29. Pie Kategori Data Cerita Fabel ... 90

Gambar 30. Histogram Frekuensi Data Pengetahuan Moral ... 91

Gambar 31. Pie Kategori Data Pengetahuan Moral ... 92

Gambar 32. Grafik Normal Q-Q Plot Of Cerita Fabel ... 94

Gambar 33. Grafik Deterned Normal Q-Q Plot Of Cerita Fabel ... 95

Gambar 34. Grafik Normal Q-Q Plot Of Pengetahuan Moral ... 95


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Izin Penelitian ... 125

Lampiran 2. Lembar Observasi Hubungan Cerita Fabel Dengan Pengetahuan Moral Anak Kelompok B ... 130

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Observasi ... 131

Lampiran 4. Instrumen Wawancara Hubungan Cerita Fabel Dengan Pengetahuan Moral Anak Kelompok B ... 132

Lampiran 5. Pedoman Wawancara Hubungan Cerita Fabel Dengan Pengetahuan Moral Anak Kelompok B TK PKK 106 Merten kecamatan Sanden Bantul ... 133

Lampiran 6. Tabel Jadwal Kegiatan Penelitian ... 134

Lampiran 7. Hasil Observasi Cerita Fabel ... 136

Lampiran 8. Hasil Observasi Pengetahuan Moral ... 139

Lampiran 9. Contoh Hasil Wawancara Ketiga Cerita Fabel ... 142

Lampiran 10. Contoh Catatan Lapangan ... 155

Lampiran 11. Tabel Reduksi, Display, dan Kesimpulan Wawancara dengan Peserta Didik dalam Ketiga Cerita Fabel ... 163

Lampiran 12. Tabel Reduksi, Display, dan Kesimpulan Wawancara dengan Peserta Didik Tentang Pengetahuan Moral Anak dalam Ketiga Cerita Fabel ... 177

Lampiran 13. Tabel Triangulasi dan Cross Check Hasil Wawancara Ketiga Cerita Fabel ... 185

Lampiran 14. Tabel Triangulasi dan Cross Check Hasil Wawancara Pengetahuan Moral Anak Dalam Ketiga Cerita Fabel ... 188

Lampiran 15. Display, Reduksi, dan Kesimpulan Hasil Observasi ... 191

Lampiran 16. Tabel Triangulasi Data ... 208

Lampiran 17. Data Variabel Cerita Fabel dan Pengetahuan Moral ... 213

Lampiran 18. Analisis Deskriptif Variabel Cerita Fabel dan Pengetahuan Moral ... 214


(17)

Lampiran 20. Hasil Uji Korelasi Product Moment Kendall dan Spearman Hubungan Cerita Fabel Dengan Pengetahuan Moral Anak Kelompok B TK PKK 106 Merten kecamatan Sanden


(18)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Pendidikan diibaratkan suatu wilayah yang luas. Banyak berbagai macam lingkupnya yaitu mencangkup pembelajaran, pengalaman, dan pemikiran manusia. Pendidikan merupakan suatu usaha sadar dan sengaja dilakukan untuk membantu manusia mengubah tingkah laku baik secara individual maupun kelompok sebagai upaya pendewasaan melalui pengajaran dan pembelajaran yang berdasarkan landasan pemikiran tertentu. Selanjutnya, dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya di masyarakat, bangsa, dan negara.

Langeveld dalam Uyoh Sadulloh, dkk (2010: 3) menegaskan bahwasannya pendidikan secara spesifik adalah bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Lebih jelasnya, pendidikan menjadi suatu jembatan ilmu antara orang dewasa dan anak agar anak mencapai kedewasaan yang mampu mengembangkan potensi diri dan mengubah tingkah laku. Pendidikan dapat pula menjadi suatu investasi bagi bangsa sendiri. Melalui pendidikan dapat membekali seseorang berbagai pengetahuan keterampilan, nilai, dan sikap yang diperlukan untuk bekerja secara produktif sesuai tuntutan perkembangan zaman.


(19)

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan salah satu bagian tidak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional yang pada saat ini telah mendapatkan perhatian cukup besar dari pemerintah. PAUD dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan perkembangan yang pesat, dapat dilihat dari adanya peningkatan jumlah satuan PAUD yang cukup signifikan dan diprakarsai oleh masyarakat sekitar secara mandiri diseluruh pelosok negeri. Perkembangan ini menjadi bagian penting dari program utama pembangunan pendidikan nasional.

Pada perkembangan PAUD saat ini, masyarakat telah menunjukkan kepedulian terhadap masalah pendidikan, pengasuhan dan perlindungan anak. Bentuk layanan yang dilakukan oleh masyarakat disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi yang ada. PAUD terdiri dari jalur formal, informal dan non formal. Dalam upaya PAUD, tidak terlepas dari standar tingkat pencapaian perkembangan anak (STPPA) yang telah ditetapkan pemerintah melalui Kemendikbud bagian Ditjen PAUD-DIKMAS. Standar tingkat pencapaian perkembangan anak (STPPA) berisi tentang kaidah pertumbuhan dan perkembangan yang dicapai sebagai aktualisasi potensi semua aspek perkembangan yang diharapkan dapat dicapai anak pada setiap tahap perkembangannya, bukan hanya suatu tingkat pencapaian perkembangan kecakapan secara akademik.

Standar tingkat pencapaian perkembangan menggambarkan pertumbuhan dan perkembangan yang diharapkan akan dicapai anak pada rentang usia tertentu. Standar perkembangan ini telah diatur dalam Permendikbud 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini. Anak usia dini memiliki


(20)

pola pertumbuhan dan perkembangan (koordinasi motorik halus dan kasar), daya cipta, bahasa dan komunikasi. Pola pertumbuhan dan perkembangan ini tercakup dalam kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ) atau kecerdasan agama atau religius (RQ) sesuai dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini perlu diarahkan pada peletakan dasar-dasar yang tepat bagi pertumbuhan dan perkembangan manusia seutuhnya.

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) bertujuan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh dalam seluruh aspek perkembangan agar kelak dapat menjadi manusia yang seutuhnya dan mempersiapkan anak untuk lebih mandiri dan berkarakter dalam memasuki jenjang sekolah dasar. Anak dapat dipandang sebagai individu yang baru mengenal dunia. Anak belum mengetahui tata krama, sopan santun, aturan, norma, etika dan berbagai hal tentang dunia. Anak juga sedang belajar berkomunikasi dengan orang lain dan belajar memahami orang lain. Anak perlu dibimbing agar mampu memahami berbagai hal tentang dunia dan isinya. Anak juga perlu dibimbing agar memahami berbagai fenomena alam dan dapat melakukan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup di masyarakat. Interaksi anak dengan benda dan orang lain diperlukan agar anak mampu mengembangkan kepribadian, dan akhlak yang mulia. Usia dini merupakan usia yang sangat berharga untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme, agama, etika, moral serta untuk mengembangkan aspek-aspek perkembangan anak.


(21)

Asep Umar Fakhrudin (2009: 1) menjelaskan bahwa tujuan pendidikan anak usia dini berbeda dari pendidikan anak usia sekolah dasar awal. Jika pendidikan bagi anak usia pra sekolah bertujuan mengoptimalkan tumbuh kembang anak, maka konsep pendidikan di awal sekolah dasar bertujuan mengarahkan anak agar dapat mengikuti tahapan-tahapan pendidikan sesuai jenjangnya. Selain itu, pendidikan di awal sekolah dasar bertujuan untuk mengembangkan berbagai kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan guna mengoptimalkan kecerdasannya. Disinilah perbedaan antara pendidikan usia dini dengan pendidikan di sekolah dasar. Dapat dikatakan bahwa pendidikan anak usia dini dilakukan untuk memberi stimulasi perkembangan seluruh aspek perkembangan anak. Salah satu bentuk pendidikan anak usia dini dapat diwujudkan dalam pendidikan formal ditingkat Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA).

Anak dalam sebuah negara adalah agent of change yaitu agen perubahan bagi bangsanya. Anak dapat dikatakan sebagai generasi penerus bangsa yang memegang peran yang penting bagi kelangsungan hidup negara. Oleh sebab itu, anak perlu dibina dan didik sejak dini agar menjadi generasi masa depan yang diharapkan bangsa. Anak usia dini memiliki umur yang krusial untuk tumbuh dan berkembang secara pesat pada semua aspek perkembangannya. Perkembangan pesat akan mempengaruhi tahap perkembangan selanjutnya. Usia dini atau “early childhood” berada pada rentang usia 0-8 tahun menurut NAECY (National Association for the Education Young Children) dalam Tadkiroatun (2005: 1). Usia ini disebut dengan masa golden age atau masa keemasan. Masa keemasan


(22)

merupakan masa ketika anak memiliki potensi yang sangat baik untuk dikembangkan, tepatnya pada usia 0-4 tahun. Dalam tahap perkembangan anak usia dini perlu pengoptimalan semua aspek perkembangan baik aspek nilai agama dan moral, aspek fisik motorik, aspek kognitif, aspek bahasa, aspek sosial emosional, dan aspek seni. Oleh karena itu, masa usia dini merupakan masa paling potensial untuk belajar dan mendapat pengalaman.

Pada perkembangan anak usia dini juga dapat mengembangkan pengetahuan moral anak sejak dini. Diharapkan pada tahap perkembangan selanjutnya anak akan mampu membedakan baik buruk, benar salah, sehingga ia dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Webster New World Dictionary (1981) dalam Maria (2005: 45) moral adalah sesuatu yang berkaitan atau hubungannya dengan kemampuan menentukan benar salah dan baik buruknya suatu tingkah laku. Pengetahuan moral juga berkaitan dengan tingkat kecerdasan seseorang. Sekitar usia 6 tahun mulai menginternalisasi kaidah moral dari perilaku hingga memperoleh suatu kata hati dan mulai merepresentasikan dunianya dengan kata-kata, gambar dan bayangan. Pada usia ini anak mulai dapat membuat pertimbangan yang akurat mengenai salah dan benar dan mulai memegang teguh pemahaman barunya mengenai kaidah (Elkind, 1981 via Bredekamp, 1992: 65) dalam Tadkiroatun (2005: 16). Moral anak usia dini tidak akan jauh dari tingkah laku lingkungan dimana anak tersebut tumbuh dan berkembang. Jika lingkungan anak baik, maka anak akan menjadi baik maupun sebaliknya. Untuk mengetahui seberapa pesat pengetahuan moral anak usia dini dapat dilakukan melalui kegiatan cerita. Kegiatan cerita yang dibuat disesuaikan


(23)

dengan tahap usia anak. Hal tersebut harus diperhatikan agar tidak menjadi salah instal dikemudian hari.

Pada dasarnya anak usia dini merasa senang jika orang disekitarnya bercerita tentang hal yang disukai anak. Stewigh (1980) dalam Zuchdi (Mustakim, 2005: 1) menyatakan bahwa anak senang pada cerita karena terdapat sejumlah manfaat bagi anak dalam perkembangan dan pembentukan pribadi anak. Cerita merupakan hasil karya sastra yang dapat membentuk sikap positif pada anak, seperti (1) kesadaran akan harga diri (self esteem), (2) toleransi terhadap orang lain, (3) keingintahuan tentang kehidupan, (4) menyadari hubungan manusiawi (Sawyer dan Commer, 1991 dalam Zuchdi 1996/1997: 76-79) dalam Mustakim (2005: 3). Dari sebuah cerita, sikap positif anak akan terbentuk dengan sendirinya. Cerita yang sering disajikan oleh anak usia 4-6 tahun salah satunya adalah cerita fabel. Dalam cerita ini menggambarkan peran tokoh binatang yang mengandung unsur imajinasi dan nilai-nilai moral.

Seorang guru dalam menyampaikan cerita juga harus mampu mengekspresikan dan menyampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami anak sehingga esensi nilai cerita dapat tersampaikan pada anak. Cerita juga mempunyai peran penting dalam perkembangan anak. Peran tersebut menjadi bekal yang bermanfaat untuk anak pada tahap perkembangan selanjutnya. Kebiasaan cerita ini akan mempunyai hubungan dengan aspek perkembangan anak salah satunya dalam pengetahuan moral anak.

Berdasarkan observasi yang telah dilakukan pada saat kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di salah satu TK kelurahan Gadingharjo Sanden


(24)

Bantul, anak-anak TK senang mendengarkan cerita yang dibacakan oleh guru. Kegiatan bercerita di TK kelurahan Gadingharjo Sanden Bantul dilaksanakan selama satu minggu sekali pada hari Jum’at. Anak-anak TK lebih suka pada cerita yang mangandung unsur cerita binatang dan berisi pengalaman yang ada dikehidupan sehari-hari. Ketika guru belum selesai maupun selesai membacakan sebuah cerita, anak selalu ingin bertanya tentang hal yang sedang diceritakan dan bercerita kepada teman tentang hal yang mirip dengan isi cerita.Kondisi pada saat guru bercerita, ada beberapa anak yang tidak memperhatikan dan memperhatikan. Guru dalam menceritakan cerita dengan menyesuaikan kondisi dalam alur cerita. Ketika selesai membacakan cerita guru bertanya akan pesan yang ada dalam cerita dan sebagain besar anak sudah mampu menangkap pesan moral yang disampaikan dalam cerita. Jika ada yang belum bisa menangkap pesan guru menjelaskan kembali. Keunikan dalam bercerita ini, pada suatu kejadian anak benar-benar dapat mengaplikasikan pesan moral yang ada dalam cerita. Pada saat peneliti mengobservasi kelompok B, terdapat anak yang spontan menerapkan pesan moral yang ada dalam cerita tentang tolong menolong. Ketika anak ditanya akan cerita yang telah diceritakan guru, anak dapat menjawab dan menyampaikannya.

Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada permasalahan dimana sebuah cerita dapat menambah pengetahuan moral anak TK di salah satu TK kelurahan Gadingharjo Sanden Bantul. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai efektivitas cerita fabel terhadap pengetahuan moral anak TK disalah satu TK kelurahan Gadingharjo Sanden Bantul. Hubungan pengetahuan moral dengan beberapa


(25)

cerita fabel akan dicari hubungan keduanya. Kegiatan ini, akan dilakukan di lembaga pendidikan TK PKK 106 Merten kelompok B. Kegiatan penelitian ini akan dilakukan secara kontinyu di TK PKK 106 Merten kelompok B.

Dari uraian masalah di atas, perlu diadakannya penelitian ini sebagai penunjang penambahan pengetahuan peneliti. Dalam kesempatan ini, peneliti ingin mengetahui hubungan isi cerita fabel dengan pengetahuan moral anak usia dini. Penelitan yang akan dilakukan mengenai hubungan cerita fabel dengan pengetahuan moral anak kelompok B TK PKK 106 Merten kecamatan Sanden Bantul.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka didapatkan beberapa identifikasi masalah, yaitu:

1. Cerita yang disajikan adalah cerita berulang.

2. Belum adanya penganalisisan isi cerita pada cerita yang akan dibacakan ke anak.

3. Esensi nilai dalam cerita seringkali belum terdapat pengetahuan moral. 4. Belum diketahuinya hubungan cerita dengan pengetahuan moral anak.

C.Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah, terfokus, dan tidak meluas, penulis membatasi penelitian pada hubungan cerita fabel dengan pengetahuan moral kelompok B. Adapun untuk menganalisis hubungan kedua variabel yaitu cerita fabel dengan pengetahuan moral menggunakan observasi, wawancara, dan studi


(26)

dokumentasi. Penelitian ini difokuskan pada peserta didik kelompok B TK PKK 106 Merten.

D.Rumusan Masalah

Untuk memperjelas masalah yang akan diteliti, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut apakah ada hubungan antara cerita fabel yang diceritakan oleh guru dengan pengetahuan moral anak kelompok B di TK PKK 106 Merten?

E.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan cerita fabel yang diceritakan oleh guru dengan pengetahuan moral anak kelompok B di TK PKK 106 Merten.

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran tentang perkembangan anak khususnya hubungan cerita fabel yang diberikan kepada anak usia dini dengan pengetahuan moral anak.


(27)

2. Manfaat Praktis a. Bagi peserta didik

Melalui penelitian ini, peserta didik diharapkan sebagai berikut:

1) Dapat menambah ilmu peserta didik dalam aspek perkembangan kognitif anak dibidang pengetahuan moral kelompok B TK PKK 106 Merten.

2) Peserta didik kelompok B TK PKK 106 Merten dapat mengambil nilai moral dari cerita yang diberikan pendidik.

b. Bagi Pendidik

Penelitian ini diharapkan menjadi sebuah referensi bagi pendidik ketika akan memberikan cerita pada anak. Penelitian ini juga dapat mengetahui kemampuan kelompok B TK PKK 106 Merten dalam pengetahuan moral peserta didik.

c. Bagi Sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan mutu sekolah dalam kemampuan perkembangan kognitif peserta didik dalam pengetahuan moral melalui cerita. d. Bagi peneliti

Melalui penelitian ini, peneliti dapat menambah pengetahuan dan pengalaman tentang perkembangan anak khususnya dalam mengetahui hubungan cerita yang diberikan kepada anak usia 5-6 tahun dengan pengetahuan moral anak usia dini.


(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A.Kajian Pustaka

1. Cerita Untuk Anak Usia Dini

Cerita untuk anak usia dini sebaiknya dikemas dengan menarik agar anak merasa senang ketika mendengarkan cerita yang diberikan oleh orang dewasa. Melalui kegiatan bercerita anak akan mengalami transfer ilmu salah satunya sebagai pembentuk kepribadian anak.

a. Pengertian Cerita

Cerita sering digunakan orang dewasa sebagai saran mendidik dan membentuk kepribadian anak melalui pendekatan transmisi budaya atau cultural trasmission approach (Suyanto & Abbas, 2001) dalam Tadkiroatun (2005: 23). Cerita merupakan hasil karya sastra yang dapat membentuk sikap positif pada anak, seperti: (1) kesadaran akan harga diri (self esteem), (2) toleransi terhadap orang lain, (3) keingintahuan tentang kehidupan, (4) menyadari hubungan manusiawi (Sawyer dan Commer, 1991 dalam Zuchdi 1996/1997: 76-79) dalam Mustakim (2005: 3). Bercerita mempunyai peran penting untuk anak, hal ini terjadi karena:

1) Bercerita merupakan alat pendidikan budi pekerti yang paling mudah dicerna anak disamping teladan yang dilihat anak setiap hari.

2) Bercerita merupakan metode dan materi yang dapat diintegrasikan dengan dasar keterampilan lain, yakni berbicara “membaca”, “menulis”, dan menyimak tidak terkecuali anak Taman Kanak-Kanak.


(29)

3) Bercerita memberi ruang lingkup yang bebas untuk mengembangkan kemampuan simpati dan berempati terhadap peristiwa yang dialami orang lain. 4) Bercerita memberi contoh cara menyikapi suatu permasalahan dengan baik, sekaligus memberi “pelajaran” pada anak tentang mengendalikan keinginan. 5) Bercerita memberi barometer pada anak.

6) Bercerita memberikan pelajaran budaya dan budi pekerti yang memiliki retensi lebih kuat daripada “pelajaran” budi pekerti melalui penuturan dan perintah langsung.

7) Bercerita memberi ruang gerak pada anak dan nilai yang didapat akan diaplikasikan.

8) Bercerita memberikan efek psikologis yang positif bagi anak dan pencerita. 9) Bercerita membangkitkan rasa tahu anak akan peristiwa, alur, plot, dan menumbuhkan kemampuan merangkai hubungan sebab akibat dalam suatu peristiwa.

10) Bercerita memberikan daya tarik bersekolah karena ada efek rekreatif dan imajinatif yang dibutuhkan anak Taman Kanak-Kanak.

11) Bercerita mendorong anak memberikan “makna” bagi proses belajar terutama mengenai empati.

Arti pentingnya cerita bagi pendidikan anak usia dini tidak dapat dilepaskan dari kemampuan guru dalam menstrasmisikan nilai luhur kehidupan dalam bentuk cerita atau dongeng. Cerita dalam kurikulum memperoleh perhatian yang serius seperti pembelajaran yang dilakukan dengan pembelajaran tematik.


(30)

b. Karakteristik Cerita Anak Usia Dini

Hakikat cerita adalah dulce et utile yang berarti menyenangkan dan bermanfaat menurut Horatius dalam Tadkiroatun (2005: 37). Hal ini terjadi karena cerita memberikan bahan lain dari sisi kehidupan manusia, pengalaman hidup bagi manusia. Cerita untuk anak dapat dikategorikan sebagai karya sastra. Cerita yang baik apabila memiliki alur berirama yang alami (natural rhythmic flow) pada awal, tengah, dan akhir cerita. Selain itu, plot dan alur cerita dikembangkan sesuai karakter tokohnya. Di bawah ini adalah karakteristik cerita menurut Cullinan, 1989: 392-393 dalam Mustakim (2005: 20-30) sebagai berikut:

1) Tema

Tema merupakan makna yang terkandung dalam sebuah cerita (Pickering & Hoeper, 1981: 61; Stanton, 1965:20; Kenney, 1966: 88) dalam Tadkiroatun (2005: 39). Mengenai tema Kenney (1966: 89) dalam Tadkiroatun (2005: 39) mengatakan Theme is not the moral of story. The theme of a story is not identical with subject of the story at least, not as we’ll us the term “theme” in our discussion. Tema juga dapat diklasifikasikan menurut subjek pembicaraan suatu cerita, yaitu tema fisik, tema organik, tema sosial, tema egoik dan tema ketuhanan. Stanton (1964: 19) dalam Heru Kurniawan (2013: 75) tema dalam cerita berhubungan dengan pengalaman hidup. Untuk konsumsi Taman Kanak-Kanak, cerita yang disuguhkan memiliki tema tunggal, berupa tema sosial maupun tema ketuhanan. Tema yang disajikan adalah tema moral dan kemanusiaan dengan penyajian tradisional, karena anak sangat gemar dengan cerita tersebut.


(31)

2) Amanat

Amanat merupakan ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam karyanya (Sudjiman, 1992: 57) dalam Tadkiroatun (2005: 42). Amanat dalam cerita biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang, pandangan hidup tentang nilai-nilai kebenaran. Amanat yang disampaikan melalui cerita bersifat eksplisit. Apabila anak-anak dapat menangkap isi cerita, maka disampaikan secara langsung. Amanat dapat dimunculkan melalui pertanyaan, jawaban, nasihat pencerita yang sejenak keluar dari cerita.

3) Sarana cerita

Sarana cerita merupakan cara-cara yang digunakan pengarang dalam menyeleksi dan menyusun bagian-bagian cerita, sehingga akan tercipta karya sastra yang bermakna. Tujuannya adalah agar pembaca melihat fakta cerita melalui sudut pandang pengarang; melihat arti fakta cerita sehingga dapat bertukar pendapat tentang pengalaman yang dilukiskan (Stanton, 1964: 23) dalam Heru Kurniawan (2013: 77). Yang termasuk sarana cerita adalah judul, sudut pandang, gaya bahasa dan nada, simbolisme dan ironi.

4) Plot atau alur cerita

Plot merupakan peristiwa-peristiwa naratif yang disusun dalam serangkaian waktu. Plot yang ditampilkan dalam cerita untuk anak Taman Kanak-Kanak cenderug lebih sederhana, tidak terlalu rumit. Peristiwa demi peristiwa disusun secara urut atau progresif. Hubungan sebab-akibat dalam alur cerita anak adalah sederhana, tidak membutuhkan analisis kognitif tinggi. Cerita yang disampaikan harus memiliki tiga bagian, yaitu awal, tengah, dan akhir.


(32)

5) Tokoh dan penokohan

Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, akan tetapi pada cerita anak tokoh dapat berupa binatang atau benda-benda. Anak usia Taman Kanak-Kanak memerlukan tokoh yang jelas dan sederhana (flat character). Tokoh tersebut membantu anak dalam mengidentifikasi tokoh jahat dan tokoh baik. Tokoh sederhana ini hanya memiliki satu sifat saja. Tokoh yang demikian membantu anak dalam mengidentifikasi tokoh dan sifat yang dimiliki tokoh. Anak usia Taman Kanak-Kanak masih memiliki perspektif diri atau egosentrisme, sehingga mereka mampu melihat permasalahan dari perspektif tunggal. Tokoh dan penokohan dalam cerita anak bersifat familiar, mudah dikenali oleh anak dan jumlah tokoh yang terlibat harus dibatasi sesuai pemahaman anak.

6) Sudut pandang

Sudut pandang atau point of view merupakan salah satu sarana cerita (literacy devices) (Stanton, 1973) dalam Tadkiroatun (2005: 48). Sudut pandang mempermasalahkan siapa yang menceritakan atau dari kacamata siapa cerita dikisahkan. Secara garis besar, sudut pandang dapat dikategorikan menjadi dua, yakni persona pertama (first person) atau gaya aku dan persona gaya ketiga (third person) gaya diam. Sudut yang diberikan kepada anak dengan sudut pandang diaan mahatahu (author omniscient), karena sudut pandang ini memudahkan anak dalam mengidentifikasi, menginterpretasi, dan memahami cerita. Dalam bercerita, pencerita harus paham akan tokoh dan penokohan yang ada dalam cerita tersebut.


(33)

7) Latar

Latar adalah unsur cerita yang menunjukkan kepada penikmatnya dimana dan kapan kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung. Latar dibedakan menjadi latar netral merupakan latar yang tidak memiliki sifat khas tertentu yang menonjol, sesuatu yang membedakannya dengan latar yang lain. Sedangkan, latar tipikal bersifat umum terhadap hal sejenis. Cerita anak boleh terjadi di dalam latar atau setting apa pun, asal sesuai dengan perkembangan kognisi dan moral anak. Adapun setting waktu yang tepat merupakan yang sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa anak seperti besok dan sekarang. Rincian waktu sebaiknya dihindari agar anak tidak terbebani mengingat detail waktu sehingga melupakan amanat cerita.

8) Sarana kebahasaan

Bahasa sastra memiliki ciri tersendiri, begitu pula cerita untuk anak. Pada dongeng, sebagai bagian dari cerita rakyat, sarana kebahasaan cenderung tetap pada bagian awal dan akhir. Bahasa yang digunakan dalam cerita untuk anak Taman Kanak-Kanak ditandai dengan sifat sebagai berikut:

a) Kosakata sesuai tahap perkembangan bahasa anak

(1) Cerita untuk anak usia 5 tahun didasarkan pada sekitar 3000 kata dan untuk usia 6 tahun didasarkan pada sekitar 6000 kata yang terakuisisi anak.

(2) Berisi beberapa konsep numerik dasar, beberapa adjektiva (kata sifat), adverb pronoun atau kata rujukan orang, dan konjungsi (kata sambung).

(3) Kosakata yang digunakan tidak bermakna ganda atau konotatif (4) Kata yang penting diulang-ulang.


(34)

(5) Berisi kata-kata yang mudah dicerna dan dianggap penting. b) Struktur kalimat sesuai tingkat perolehan anak

(1) Cerita untuk anak yang berumur 5 tahun kira-kira berisi 5 kata dan anak 6 tahun berisi 6 kata.

(2) Kalimat panjang dipecah menjadi beberapa kalimat. (3) Terkadang berisi kalimat negatif.

(4) Berisi banyak kalimat aktif daripada kalimat pasif. (5) Berisi sedikit kalimat majemuk bertingkat.

(6) Berisi kalimat literal dan langsung. c. Manfaat Cerita Untuk Anak Usia Dini

Cerita merupakan kebutuhan universal manusia dari anak hingga orang dewasa. Bagi anak cerita tidak sekedar memberi pengaruh emotif tetapi juga mengembangkan berbagai aspek perkembangan. Ditinjau dari berbagai aspek manfaat cerita untuk anak menurut Tadkiroatun (2005: 95-115) adalah sebagai berikut:

1) Membantu pembentukan pribadi dan moral anak

Cerita sangat efektif untuk mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku anak, karena anak senang mendengarkan cerita walaupun dibacakan secara berulang. Cerita mendorong perkembangan moral anak karena beberapa sebab. Pertama, menghadapkan pada kondisi yang mengandung “konsiderasi” yang sedapat mungkin mirip dengan yang dihadapi anak. Kedua, cerita dapat memancing anak dalam menganalisis situasi. Ketiga, cerita mendorong anak untuk menelaah pesan sebelum mendengar respon. Keempat, cerita


(35)

mengembangkan rasa “tepo seliro” (Nasution, 1981: 162-163) dalam Tadkiroatun (2005: 96).

2) Menyalurkan kebutuhan imajinasi dan fantasi

Masa usia pra sekolah merupakan masa aktif anak berimajinasi. Anak membutuhkan cerita karena berbagai hal. Pertama, membangun gambaran mental yang melukiskan kejadian. Kedua, anak memperoleh gambaran yang beragam sesuai dengan latar belakang pengetahuan dan pengalaman. Ketiga, anak memperoleh kebebasan untuk melakukan pilihan secara mental. Keempat, anak memperoleh kesempatan menangkap imaji dari citraan cerita. Kelima, anak memiliki tempat untuk “melarikan” permasalahan. Keenam, anak memperoleh kesempatan merangkai-rangkai hubungan sebab akibat secara imajinatif. Imajinasi yang dibangun anak saat menyimak cerita memberi pengaruh positif terhadap kemampuan anak menyelesaikan masalah secara kreatif.

3) Memacu kemampuan verbal anak

Mendengar cerita yang bagus berarti melakukan serangkaian kegiatan fonologis, sintaksis, semantik dan pragmatik. Kemampuan verbal anak akan terstimulasi secara efektif pada saat pendidik melakukan semacam tes untuk menceritakan kembali isi cerita. Memacu kemampuan verbal anak adalah hal penting. Hal tersebut mempengaruhi penyesuaian sosial dan pribadi anak sehingga merangsang minat menulis anak.

Pengaruh cerita terhadap kecerdasan bahasa anak diakui oleh Leonhardt. Cerita memancing rasa kebahasaan anak (Leonhardt, 1997: 27) dalam


(36)

Tadkiroatun (2005: 103). Ini berarti selain merangsang minat membaca dan menyimak cerita juga merangsang minat menulis anak.

4) Merangsang minat baca anak

Anak berbicara dan mendengar sebelum anak belajar membaca. Bercerita dengan media buku menjadi stimulasi yang efektif bagi anak Taman Kanak-kanak karena pada waktu itu, minat baca anak mulai tumbuh. Menstimulasi minat baca lebih penting daripada mengajar membaca. Menstimulasi memberi efek yang yang menyenangkan sedangkan mengajarkan seringkali membunuh minat baca anak apalagi secara paksa.

5) Membuka cakrawala pengetahuan anak

Baker dan Greene (1977 via Lenox, 2000) dalam Tadkiroatun (2005: 113) mengatakan bahwa bercerita dapat membawa anak pada sikap yang lebih baik, mempertinggi rasa ingintahu, kemisterian dan sikap menghargai kehidupan. Manfaat cerita sebagai pengembang cakrawala anak tampak dari cerita yang memiliki karakteristik budaya.

Moeslichatoen (1999: 26) dalam Bactiar (2005: 11) menjelaskan bahwa bercerita memiliki makna penting bagi perkembangan anak Taman Kanak-Kanak. Melalui kegiatan bercerita dapat memberi manfaat, yakni:

a) Dapat mengkomunikasikan nilai-nilai budaya b) Dapat mengkomunikasikan nilai-nilai sosial c) Dapat mengkomunikasikan nilai-nilai keagamaan d) Menanamkan etos kerja, etos waktu dan etos alam e) Membantu mengembangkan fantasi anak


(37)

f) Membantu mengembangkan dimensi kognitif anak g) Membantu mengembangkan dimensi bahasa anak h) Membantu mengembangkan dimensi moral anak

Anak di Taman Kanak-Kanak memiliki kemampuan apersepsi reseptif menyimak dan apersepsi produktif berbicara. Hal tersebut sangat penting dikembangkan dalam cerita agar kesadaran dan pembentukan kepribadian anak dapat terstimulasi. Dalam cerita yang disajikan dapat memberi manfaat cerita anak menurut Mustakim (2005: 72-89), yakni:

a) Manfaat pendidikan

Melalui cerita pendidikan budi pekerti yang ditanamkan pada anak harus sesuai dengan perilaku baik. Cerita yang disajikan kepada anak harus mengandung nilai-nilai yang berkarakter baik dari segi isi cerita. Cerita ini juga tidak jauh dari kehidupan lingkungan sosial anak, cita-cita anak karena untuk memberikan gambaran tentang kehidupan yang sesungguhnya.

b) Manfaat hiburan

Hal yang menarik dalam cerita adalah berakhir dengan happy ending yang membuat tokoh-tokoh dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Manfaat hiburan dalam cerita ini ada penyebabnya. Penyebabnya lahir dari ucapan-ucapan atau dialog pelaku dari gambar maupun ilustrasi yang menonjol atau dari pencerita yang bertingkah berlebihan sehingga anak tahu kapan dan dimana tumbuh kegembiraan dan hiburan anak.


(38)

c) Manfaat pengembangan imajinasi

Cerita untuk anak memberi imajinasi yang kompleks terhadap pembentukan cerita. Kata imajinasi bermakna suatu proses menciptakan sesuatu objek atau kejadian tanpa didukung oleh data yang nyata (Ayahbunda, 1994: 64) dalam Mustakim (2005: 84). Perkembangan imajinasi anak didukung oleh topik dan kreativitas orang yang melakukan kegiatan. Tema cerita yang disajikan untuk anak harus bervariasi dan tema ini dapat membangkitkan imajinasi anak.

d) Manfaat gemar bercerita

Anak sering mendapat cerita dari orang tua maupun pendidik. Anak akan merasa antusias ketika jalan cerita dalam cerita itu menarik maupun penyampaiannya menarik. Dari hal tersebut timbulah anak memiliki sikap gemar bercerita. Kegiatan yang menumbuhkan gemar bercerita dengan kebiasaan membaca dan menyimak cerita. Model membaca anak dianjurkan dengan model Top Down dan Bottom Up.

d. Aspek Yang Dikembangkan Melalui Cerita

Banyak orang tidak menyadari bahwa cerita berpengaruh besar terhadap perilaku manusia, bahkan sampai membentuk budaya. Oleh karena itu, aspek-aspek perkembangan anak perlu dikembangkan melalui cerita, yaitu:

1) Aspek perkembangan bahasa

Aspek perkembangan bahasa meliputi berbagai aspek linguistik. Dan dalam perkembangan aspek bahasa memiliki beberapa unsur antara lain sebagai berikut: a) Perkembangan kosakata


(39)

b) Perkembangan struktur

Pekembangan ini mengikuti usia pertumbuhannya. Pada saat memasuki usia Taman Kanak-Kanak mulai menggunakan struktur kalimat yang kompleks.

c) Perkembangan pragmatik

Berarti mengajarkan tentang konvensi bertutur pada anak. 2) Aspek perkembangan sosial

Menstimulasi perkembangan sosial anak dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan memberi konsekuensi dari setiap perilaku sosial. Aspek sosial yang dikembangkan melaui cerita adalah kecakapan berbuat baik, dan kecakapan berteman dan berbelas kasih.

3) Aspek perkembangan emosi

Keluasan bersosialisasi meberikan pengalaman pada anak harus mengasosiasikan emosi dasar, memahami perasaan, dan mulai menyadari konsekuensi dari setiap tindakan yang dilakukannya. Hal tersebut dapat dilakukan melalui penyajian cerita untuk anak. Kemampuan memahami emosi merupakan tugas penting pada masa kanak-kanak, karena anak dapat memanfaatkan perasaan dan membantu untuk membedakan perasaan orang lain dan berkaitan keduanya.

4) Aspek perkembangan kognitif

Cerita dibangun atas peristiwa yang menjali secara kausal. Perkembangan kognitif melalui cerita difokuskan pada anak memahami cerita yang berkaitan dengan aspek perkembangan bahasa dan emosi. Isi cerita yang disampaikan harus runtut dan masuk akal. Dalam perkembangan ini, anak mempunyai kemampuan retelling yang membuat anak mampu memaknai sebuah cerita.


(40)

5) Aspek perkembangan moral

Perkembangan moral dipengaruhi oleh perkembangan penalaran dan intelektual. Penanaman moral melalui cerita dilakukan sesuai dengan taraf perkembangan anak. Pada hakikatnya perkembangan moral dapat dirangsang melalui otoritas cerita. Perkembangan moral anak harus: (1) berupa nilai etika dasar, (2) menyentuh aspek pikiran, perasaan dan perilaku, (3) memiliki tempat untuk mempraktikkan, (4) operasional untuk diterapkan dalam kehidupan nyata anak, (5) memperoleh dukungan dari rumah dan sekolah, (6) sejalan dengan motivasi peserta didik, dan (7) terdukung secara akademis melalui kurikulum.

e. Jenis Dan Sumber Cerita 1) Jenis cerita

Cerita untuk Taman Kanak-Kanak terbagi atas tiga jenis, yaitu:

a) Cerita rakyat, dalam bahasa Inggris disebut floktale adalah narasi pendek dalam bentuk prosa yang tidak diketahui penciptanya dan tersebar dari mulut ke mulut (Abrams, 1981: 66-67) dalam Tadkiroatun (2005: 81). Cerita rakyat berkaitan dengan lingkungan. Cerita rakyat adalah cermin budaya. Cerita rakyat terdiri dari cerita sebagai berikut:

(1) Mite

Merupakan cerita yang dianggap benar-benar terjadi dan sakral oleh pendukungnya. Mite melukiskan kelahiran bangsa, pertemuan orang tua dan dewa, karunia atau sengsara dan sebagainya.


(41)

(2) Legenda

Legenda merupakan cerita yang dianggap benar-benar terjadi tetapi dianggap sakral oleh pemilik cerita. Legenda sering disebut cerita kuno yang setengah sejarah setengah angan-angan. Legenda ini juga cerita yang turun temurun. Untuk anak legenda ini memerlukan penyesuaian bahasa.

(3) Dongeng

Dongeng merupakan cerita khayal yang dianggap tidak benar-benar terjadi, baik penutur maupun pendengarnya. Dongeng adalah cerita rakyat yang dapat dijadikan sumber cerita anak usia dini terutama dongeng binatang atau fabel. b) Cerita fiksi modern

Cerita ini dianggap sebagai sastra hipotesis dan sesuai untuk model belajar anak. Cerita ini merupakan cerita imajinatif yang diciptakan oleh seseorang berdasarkan problematika kehidupan sehari-hari.

c) Cerita faktual

Merupakan cerita yang didasarkan pada peristiwa faktual yang dialami oleh seseorang maupun sekelompok orang. Cerita ini berisi peristiwa penting yang dialami tokoh.

2) Sumber dan bahan cerita

Cerita untuk anak berasal dari berbagai sumber. Pertama, sumber lisan merupakan sumber yang berasal dari cerita mulut ke mulut yang didengar pada masa lalu. Kedua, sumber tertulis merupakan sumber yang ditemukan diberbagai teks tercetak. Ketiga, buku cerita modern berorientasi pada bahasa, cerita dan


(42)

gambar. Keempat, cerita ciptaan guru merupakan sumber yang berasal dari kreativitas guru.

f. Cerita Fabel

Cerita fabel sering disebut dengan cerita anak tradisonal yang merupakan cerita yang tokoh-tokohnya diperankan oleh binatang sebagai perumpamaan karakter dan watak manusia. Indikator penilaian yang akan diteliti dalam penelitian ini mencangkup tema, amanat, tokoh dan penokohan (Heru Kurniawan, 2013: 51). Cerita fabel menurut cerita lama diciptakan oleh Aesop yang berasal dari Yunani dalam tulisan William Caxton (1484). Cerita fabel ini merupakan salah satu bagian dari sastra anak yang penulisannya didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman anak.

Cerita fabel banyak seri di dalam ceritanya. Setiap cerita fabel memiliki pesan-pesan moral sendiri. Seperti, cerita yang akan digunakan peneliti yaitu menggunakan seri fabel Abi yang terdiri atas sembilan seri. Karakter dalam cerita fabel ini terdapat Abi si lebah, Ucil si kancil, Epan si gajah, Musmus si musang, dan Dogi si anjing. Cerita fabel dalam seri Abi yaitu Bola Epan Hilang (Kejujuran), Saat Dogi Sakit (Tolong Menolong), Kue Coklat Abi (Kemandirian), Balap Makan Kerupuk (Keadilan), Rumah Pohon (Bekerja Keras), Mobil-Mobilan Dogi (Sederhana), Raja Abi Si Lebah (Kedisiplinan), Ulang Tahun Musang (Keberanian), dan Berkemah Di Sekolah (Tanggungjawab). Dari kesembilan cerita tersebut peneliti mengambil tiga buah cerita yang akan diberikan kepada anak yaitu Bola Epan Hilang (Kejujuran), Raja Abi Si Lebah (Kedisiplinan), dan Berkemah Di Sekolah (Tanggungjawab).


(43)

Pada cerita fabel pertama dengan tema Kejujuran. Berjudul “Bola Epan Hilang”. Cerita pertama ini menceritakan tentang Epan yang sedang kehilangan bola kesayangan yang diberikan ayahnya. Epan mencari bola tersebut dengan bertanya pada setiap temannya yaitu Abi, Dogi, Musmus, dan Ucil. Akan tetapi, semua temannya tidak tahu keberadaan bola Epan. Abi sebagai teman Epan kemudian membantu mengingat terakhir memakai bola Epan untuk bermain. Setelah Abi ingat kemudian mengajak Epan mencari bola dan ternyata bola yang ditemukan adalah bola Musmus dan Epan bersedih. Epan dan Abi melihat Musmus bermain bola dengan bola baru yang mirip punya Epan. Malam harinya Musmus bermimpi buruk, bola Epan menjadi besar dan mengejarnya. Musmus dibangunkan ibu dan menceritakan kejadian kemudian ibu menasehati Musmus Keesokan harinya Musmus menghampiri teman-temannya dan membawa bola Epan serta mengakui kesalahan dan meminta maaf telah mengambil bola Epan. Epan dan teman-teman tidak marah dan akhirnya mereka bermain dengan bola Epan. Pesan moral yang didapatkan dalam cerita ini adalah kita harus jujur pada setiap perilaku dan perbuatan karena jujur membawa berkah dan mendapat teman banyak.

Cerita fabel kedua bertema tentang Kedisiplinan. Berjudul “Raja Abi Si Lebah”. Cerita ini menceritakan ada sebuah kerajaan Madu dengan rajanya bernama Raja Abi, raja yang bijaksana. Raja Abi memiliki sepupu Dogi, Menteri Epan, dan prajurit gagah yaitu Ucil dan Musmus. Akan tetapi, prajuritnya tersebut jarang mandi dan gosok gigi. Raja Abi ingin mereka kuat, sehat, dan mencoba menyusun rencana dengan membuat perlombaan untuk prajurit, jika badan paling


(44)

wangi dan gigi putih maka akan diberi hadiah pedang sakti dan kereta emas. Semua penghuni kerajaan ingin mengikuti termasuk sepupu raja dan menteri. Prajurit pun ikut berlomba, prajurit Ucil mencoba berlomba sesuai dengan perintah raja maka dia mandi dan gosok gigi. Sedangkan, prajurit Musmus tetap tidak mandi dan gosok gigi tetapi membeli banyak parfum untuk pewangi badan dan membeli terigu untuk membuat putih gigi. Setelah tiba hari pengumuman lomba, yang berhasil menjadi juara adalah Ucil karena Raja Abi tahu mana prajurit yang disiplin atau tidak. Akhirnya, Ucil mendapatkan hadiah dari Raja Abi. Pesan moral yang didapatkan dalam cerita ini adalah kita harus berdisiplin dimanapun berada atau taat aturan yang ada, karena disiplin adalah kunci kesuksesan dan membuat hidup teratur.

Cerita fabel ketiga, bertema Tanggungjawab. Berjudul “Berkemah Di Sekolah”. Cerita fabel ini menceritakan bahwa Abi, dan teman-temannya akan berkemah. Mereka membawa peralatan kemah masing-masing. Musmus meminta kepada ayahnya ingin ikut kemah, walaupun kaki masih sakit karena jatuh. Dalam acara berkemah dibagi kelompok, Abi mendapat kelompok Epan dan Ucil serta Abi menjadi ketua. Kelompok selanjutnya adalah Musmus dan Dogi, kemudian Musmus mencalonkan ketua. Acara kemah selanjutnya adalah penjelajahan, kemudian setiap kelompok mencari jalan menuju sekolah mengikuti anak panah dan sandi. Ketika melewati jembatan bambu, Abi membantu anggota kelompoknya menyeberang. Akan tetapi, Musmus meninggalkan anggota kelompok dan tiba-tiba kaki Musmus masuk ke celah bambu dan kesakitan. Anggota Musmus tidak mau membantu karena Musmus meninggalkan mereka.


(45)

Selanjutnya Musmus minta maaf karena tidak bertanggungjawab terhadap kelompok dan akhirnya mereka menuju ke sekolah bersama dan membantu Musmus berjalan. Pesan moral yang didapatkan dalam cerita ini adalah setiap pemimpin harus bertanggungjawab akan anggotanya, mau berbuat sesuai dengan tugas dan kewajiban dan mampu bertanggungjawab pada diri sendiri. Sebagai pelajar harus belajar sungguh-sungguh karena itu merupakan sebuah tanggungjawab.

2. Pengetahuan Moral Anak

a. Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini

Setiap anak yang dilahirkan selalu memiliki kemampuan belajar. Kemampuan ini dapat berkembang dengan baik dengan cara menstimulasi perkembangan anak. Dunia kognitif anak pra sekolah bersifat kreatif, bebas, dan fantastis. Menurut (Martini Jamaris, 2006) kemampuan kognitif merupakan salah satu aspek yang berpengaruh terhadap munculnya kreativitas seseorang. Menurut (Santrock, 2007 (dalam Piaget, 1954) perkembangan kognitif berkaitan dengan mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman, menyesuaikan pemikiran terhadap suatu objek dengan ide-ide baru. Dari beberapa pengertian perkembangan kognitif di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan kognitif merupakan perkembangan yang berhubungan dengan pemikiran seseorang dimana dapat mengorganisasikan pengamatan dan pengalaman, serta menyesuaikan pemikiran terhadap suatu objek dengan ide-ide baru.

Piaget (1971) dalam Paul Suparno (2001: 112) menyatakan bahwa teori pengetahuannya adalah teori adaptasi pikiran ke dalam suatu realistis. Piaget juga


(46)

membedakan antara dua aspek berpikir yang saling melengkapi: yaitu aspek figuratif yang merupakan tiruan (imitasi) dan aspek operatif yang berkaitan dengan transformasi dari level pemikiran tertentu ke level yang lain. Aspek berpikir figuratif memunculkan pengetahuan yang figuratif yaitu pengetahuan hafalan atau pengetahuan representatif yang disebut pengetahuan pasif. Aspek operatif berperan penting dalam pembentukan pengetahuan atau pengetahuan sesungguhnya sehingga anak mengerti konsep-konsep dan strukturnya yang lebih umum dan senada. Piaget menyimpulkan bahwa pengetahuan pada dasarnya aktif dan merupakan abstraksi atas suatu objek atau hal. Pengetahuan yang akurat tidak dapat diturunkan secara langsung dari membaca maupun dari mendengarkan orang berbicara tetapi pembentukannya didapat dari tindakan maupun interaksi dengan orang lain sehingga dapat mengahasilkan sebuah pengetahuan.

Piaget dalam John W. Santrock (2007: 251-255) menyatakan bahwa perkembangan kognitif anak usia dini pada usia Taman Kanak-Kanak masih berada pada tahap pra-operasional berkisar antara usia 2-7 tahun. Pada tahap ini anak mulai merepresentasikan dunianya dengan kata-kata, bayangan, dan gambar-gambar maupun simbol-simbol. Konsep stabil simbolik mulai terbentuk, pemikiran-pemikiran mental muncul, egosintrisme tubuh dan keyakinan magis mulai terkonstruksi dari informasi sensori dan tindakan fisik. Pemikiran anak pada tahap ini bertumpu pada persepsi langsung akan dunia luar tetapi tanpa penalaran dahulu. Oleh karena itu, perkembangan kognitif anak pra sekolah ini dapat membantu perkembangan moral yang mengahasilkan sebuah pengetahuan moral anak kedepannya.


(47)

Berikut ini adalah perkembangan kognitif menurut Piaget sebagai berikut: Tabel 1. Perkembangan Kognitif Piaget

Tahap

Sensori-Motor Pra-operasional Oprasi Konkret Oprasi Formal

Umur 0-2 tahun 2-7 tahun 7-11 tahun 11 tahun ke atas

Dasar Pemikiran

Tindakan dan meniru

Simbolis/bahasa dan intuitif, imaginal

Transformasi reversibel dan kekekalan, masih konkret

Deduktif hipotesis dan induktif, abstrak

Saat

Pemikiran Sekarang

Mulai yang

“tidak-sekarang”

Masih terbatas kekonkretan

Meninggalkan yang sekarang dan memulai yang mendatang. Ciri-Ciri Lain Refleks, kebiasaan, pembedaan sara dan hasil

Egosentris

Decentering, seriasi, klasifikasi, konsep bilangan, waktu, probabilitas, kausalitas.

Kombinasi

proporsi, referensi

ganda, dua

reversibel, fleksibel

b. Skema Pengetahuan Piaget

1) Asimilasi merupakan proses menambahkan informasi baru kedalam skema yang telah ada. Proses ini bersifat subjektif, karena akan cenderung memodifikasi pengalaman atau informasi yang diperolehnya agar masuk ke dalam skema yang telah ada sebelumya.

2) Akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang ada.

3) Ekuilibrium merupakan keadaan seimbang antara struktur kognisi dan pengalamannya di lingkungan.

Dengan demikian, kognisi seseorang berkembang bukan karena menerima pengetahuan dari luar secara pasif tetapi aktif mengkonstruksi pengetahuan. c. Teori Perkembangan Moral

Piaget menyatakan bahwa perkembangan moral terjadi dalam dua tahapan, yaitu tahap pertama adalah ”tahap realisme moral” atau ”moralitas oleh


(48)

pembatasan” dan tahap kedua ”tahap moralitas otonomi‟ atau ”moralitas kerjasama atau hubungan timbal balik” dalam Hurlock (1998: 79). Dalam tahap pertama, perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Anak menganggap orang tua dan semua orang dewasa yang berwenang sebagai maha kuasa dan mengikuti peraturan yang diberikan pada mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya. Dalam tahap ini anak menilai tindakannya benar atau salah berdasarkan konsekuensinya dan bukan berdasarkan motivasi dibelakangnya. Anak sama sekali mengabaikan tujuan tindakannya tersebut. Dalam tahap kedua, anak menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 tahun dan berlanjut hingga usia 12 tahun atau lebih. Gagasan yang kaku dan tidak luwes tentang benar salah perilaku mulai dimodifikasi. Anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran moral. Kedua tahapan tersebut dipertanggungjawabkan melalui cerita atau kisah baik dan buruk untuk menjadi dasar tahap moral kognitifnya. Selanjutnya, anak diminta untuk mengatakan benar atau salah cerita yang diberikan tersebut.

Jean Piaget juga membagi moralitas anak ke dalam 3 tingkatan yang masing-masing dibagi menjadi dua stadium, adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Tingkatan moralitas menurut Jean Piaget (Piaget via Koyan, 2002), Tadkiroatun (2005:15).

Tingkat Moralitas Stadium Moralitas Uraian

Tingkatan I Stadium 1 Orientasi patuh dan takut hukuman Stadium 2 Orientasi naif egoistis/hedonis instrumental Tingkatan II Stadium 3 Orientasi pada person yang baik

Stadium 4 Orientasi pelestarian otoritas dan aturan sosial Tingkatan III Stadium 5 Orientasi kontrol legalitas


(49)

d. Nilai-Nilai Moral

Sjarkawi (2005: 29) menjelaskan bahwa nilai moral diartikan sebagai isi mengenai keseluruhan tatanan yang mengatur perbuatan, tingkah laku, sikap dan kebiasaan manusia dalam masyarakat berdasarkan pada ajaran nilai, prinsip dan norma. Sedangkan, menurut Syaiful Bahri Djamarah (2000: 52-55) nilai moral memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Berkaitan dengan tanggungjawab kita

Nilai moral berkaitan dengan pribadi manusia. Yang khusus menandai nilai moral ialah bahwa nilai ini berkaitan dengan pribadi manusia yang bertanggungjawab. Nilai-nilai moral mengakibatkan seseorang bersalah atau tidak bersalah karena punya tanggungjawab. Dalam nilai moral kebebasan dan tanggungjawab merupakan syarat mutlak.

2) Berkaitan dengan hati nurani

Semua nilai diminta untuk diakui dan diwujudkan, tetapi pada nilai-nilai moral tuntutan ini lebih mendesak dan lebih serius. Mewujudkan nilai-nilai moral merupakan "imbauan" dan hati nurani. Salah satu ciri khas nilai moral adalah bahwa hanya nilai ini menimbulkan "suara" dari hati nurani yang menuduh kita bila meremehkan atau menentang nilai-nilai moral dan memuji kita bila mewujudkan nilai-nilai moral.

3) Mewajibkan

Nilai-nilai moral mewajibkan secara absolute dan dengan tidak bisa ditawar-tawar. Kewajiban absolute yang melekat pada nilai-nilai moral berasal dari kenyataan bahwa nilai-nilai ini berlaku bagi manusia sebagai manusia. Karena itu


(50)

nilai moral berlaku juga untuk setiap manusia. Orang yang tidak mengakui nilai moral mempunyai cacat sebagai manusia.

4) Bersifat formal

Nilai-nilai moral tidak memiliki isi tersendiri, terpisah dari nilai-nilai lain. Tidak ada nilai-nilai moral yang murni, terlepas dari nilai-nilai lain. Hal itulah yang dimaksudkan bahwa nilai moral bersifat formal.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa di dalam moral yang menjadi tolak ukur suatu perbuatan itu bernilai baik atau buruk adalah adat istiadat yang berlaku di dalam masyarakat tertentu. Nilai-nilai moral yang bersifat objectivistic dikategorikan sebagai moral kesusilaan, seperti kejujuran, keadilan, keikhlasan, tanggungjawab dan lain-lain. Adapun nilai-nilai moral yang bersifat relativistic dikategorikan sebagai moral kesopanan, seperti berbicara secara sopan, hormat kepada orang yang lebih tua, tidak bertamu pada jam istirahat dan sebagainya. Didalam nilai moral juga terdapat batasan-batasan berlakunya nilai tersebut. Batasan-batasan tersebut diantaranya nilai universal, berlaku bagi seluruh umat manusia bilamana dan dimanapun seperti hak asasi manusia. Nilai abadi, yakni berlaku kapan pun dan dimana pun seperti kebebasan beragama. e. Pengetahuan Moral

Pengetahuan moral pada dasarnya hanya sebatas mengetahui perilaku tentang moral. Perilaku tersebut berwujud nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral yang akan digunakan untuk mengetahui pengetahuan moral dalam cerita adalah nilai moral yang bersifat objectivistic dikategorikan sebagai moral kesusilaan, seperti kejujuran, keadilan, keikhlasan, tanggungjawab, kedisiplinan dan lain-lain.


(51)

Peneliti dalam mengambil nilai moral untuk mengetahui pengetahuan moral anak menggunakan tiga nilai yaitu:

1. Kejujuran

Euis Sunarti (2005: 13) menjelaskan bahwa kejujuran merupakan penyampaian sesuatu maupun tindakan sesuai dengan kenyataan yang dilakukan dengan tulus, terbuka dan dapat dipercaya. Jujur juga berarti tidak bohong dan mengatakan sesuai kebenaran dalam keadaan apapun. Sedangkan, Muhaimin Azzet (2011: 89) dalam Yusti (2015: 30) menegaskan bahwa kejujuran adalah hal paling mendasar dalam kepribadian seorang anak manusia. Hal ini didasarkan pada upaya menjadikan diri anak sebagai orang yang dapat dipercaya, baik terhadap dirinya maupun orang lain.

Azizah Munawaroh (2012: 15) dalam Yusti (2015: 30) menyatakan bahwa jujur adalah akhlak utama yang terbagi menjadi beberapa bagian. Dari sifat jujur tersebut tercabang menjadi beberapa bagian sifat, yaitu sabar, qana’ah, zuhud, dan ridha. Selain itu, kejujuran terdiri dari tiga bagian, yaitu kejujuran hati dengan iman secara benar, niat yang benar dalam perbuatan, dan kata-kata yang benar dalam ucapan.

Dari hasil pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kejujuran sangat penting dalam kehidupan seseorang dan berkaitan dengan dirinya. Selain itu, kejujuran adalah salah satu akhlak dasar manusia untuk menjadi berani, berpendirian dan tidak ragu-ragu. Oleh karena itu, kejujuran harus dibangun sejak usia dini melalui proses pendidikan.


(52)

2. Kedisiplinan

Kedisiplinan pada anak usia dini merupakan cara orang dewasa dalam mendidik anak tentang perilaku moral dan etika dimana anak pada akhirnya dapat berlaku tertib dan patuh terhadap peraturan-peraturan yang ada berdasarkan kesadaran diri. Menurut Hurlock (1978: 82) kedisiplinan merupakan kebutuhan perkembangan serta upaya pengembangan perilaku anak yang dilakukan orang dewasa agar sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Hal tersebut mewujudkan lima unsur kedisiplinan menurut Kurtinez & Grief (1974) dalam Hurlock (1978: 84-92), yaitu: (1) aturan sebagai pedoman tingkah laku, (2) kebiasaan, (3) hukuman untuk pelanggaran aturan, (4) penghargaan untuk perilaku yang baik, dan (5) konsistensi dalam menjalankan aturan baik.

Menurut Maria (2005: 139) istilah disiplin diturunkan dari kata Latin disiplina yang berkaitan dengan dua istilah lain, yaitu: discere (belajar) dan discipulus (murid). Sehingga kedisiplinan dapat diartikan apa-apa yang disampaikan oleh seorang guru kepada peserta didik. Sedangkan, Hurlock (1978: 82) mengungkapkan bahwa kedisiplinan berasal dari kata disciple yakni seorang yang belajar dari atau secara suka rela mengikuti seorang pemimpin. Kedisiplinan merupakan salah satu cara untuk membantu anak agar dapat mengembangkan pengendalian diri. Pengendalian diri yang dimaksud yaitu: dengan mengukuti peraturan dan norma yang ada. Kedisiplinan mengajarkan kepada anak cara berpikir secara teratur (Anonimous, 2003) dalam Maria (2005: 140). Artinya kedisiplinan itu berbicara tentang sopan santun dan adab yang berlaku dalam masyarakat.


(53)

Berdasarkan beberapa paparan pengertian kedisiplinan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedisiplinan adalah taat perilaku, waktu dan aturan dalam berbagai situasi dan kondisi. Dengan kedisiplinan diharapkan peserta didik mampu mengendalikan diri dan bersikap sesuai dengan norma dan adab yang berlaku.

3. Tanggungjawab

Tanggungjawab merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Allah Yang Maha Esa. Untuk dapat memiliki sikap tanggungjawab tidak diperoleh begitu saja. Tanggungjawab sosial pada anak usia dini belum bisa disamakan dengan tanggungjawab sosial orang dewasa. Judith Van Hook, dkk (Van Hoorn, 1999: 26-27) dalam Suryati Sidharto (2007: 28) mengemukakan bahwa permasalahan sosial masih cukup abstrak bagi anak usia dini. Anak usia dini mempunyai tiga macam pemahaman, yaitu: pengetahuan tentang kemampuan fisiknya, kemampuan tentang logika/nalar-matematika dan pengetahuan interaksi sosial. Dalam pendekatan pada anak usia dini tentang penerapan tanggungjawab masih perlu pembiasaan kepada anak sehingga sedikit demi sedikit akan terbiasa.

Tanggungjawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Selain itu, menurut (Jacob Azerrad, 2005; 186) dalam Rohyati (2015: 11) perilaku bertanggungjawab adalah hasil dari pujian dan dorongan semangat terhadap pertumbuhan menjadi dewasa, serta terhadap perbuatan yang menunjukkan kemandirian. Menurut


(54)

Fadilah dan Lilif dalam buku (Pendidikan Karakter Anak Usia Dini; 2013) tanggungjawab yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya yang seharusya dilakukan terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), Negara dan Allah Yang Maha Esa. Euis Sunarti (2005: 14) menjelaskan bahwa tanggungjawab adalah melakukan sesuatu hal atas keinginan sendiri dan mampu melakukannya. Menurut Anita Lie dan Sarah Prasasti (2004: 3) dalam Rohyati (2015: 12) sikap tanggungjawab anak dapat dimulai dari yang sederhana. Mulai dari menjaga barang miliknya sendiri, merapikan kamar tidur dan kemudian merapikan alat-alat permainan yang telah digunakan. Pendidik dan orangtua perlu menjadi contoh, karena anak-anak belajar dari apa yang anak lihat disekitarnya terutama keluarga. Selain itu, anak-anak juga perlu diberikan penguatan oleh orangtua dan pendidik untuk memotivasi anak agar dapat lebih bertanggungjawab terhadap perilakunya sendiri.

Sylvia Rimm (2003: 34) dalam Rohyati (2015: 12) menyatakan bahwa anak-anak mulai belajar tanggungjawab pada saat usia dua tahun. Anak-anak belajar merapikan permainan, menggantungkan tas pada tempatnya, meletakkan sepatu pada tempatnya dan anak membantu tugas orangtua dengan cara membagi tugas. Misalnya, ketika ibu sedang memasak, anak bisa memberi makan hewan peliharaan.

Faktor-faktor yang mendorong timbulnya tanggungjawab pada anak yakni faktor internal dan faktor eksternal. Indikator yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan dengan Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak (STPPA) kurikulum 2013, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik


(55)

Indonesia. Menurut kurikulum 2013 lingkup perkembangan anak terhadap rasa tanggungjawab untuk diri sendiri dan orang lain pada usia 5-6 tahun adalah sebagai berikut: 1) tahu akan haknya, 2) mentaati aturan kelas (kegiatan, aturan), 3) mengatur diri sendiri, dan 4) bertanggungjawab atas perilakunya untuk kebaikan diri sendiri.

Dari pengertian para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tanggungjawab merupakan sikap yang harus dilaksanakan diri sendiri sesuai dengan tugas. Tanggungjawab berkaitan dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya. Memegang tanggungjawab pada sesuatu atau seseorang berarti bahwa kita dapat mempertanggungjawabkan tindakan kita. Sikap tanggungjawab anak meliputi anak dapat menghargai waktu, anak mengerjakan tugas yang telah diberikan kepadanya, menjaga barang-barang miliknya sendiri, dan meletakkan barang sesuai dengan tempatnya. Anak dapat berlatih tanggungjawab dengan cara memberikannya suatu tugas dimana anak diharuskan untuk bertanggungjawab dengan tugas tersebut. Selain itu, pendidik dan orangtua harus percaya bahwa anak dapat bertanggungjawab akan tugasnya. Pendidik dan orangtua hanya perlu memberikan motivasi, membimbing, dan memberikan pujian untuk anak.

f. Karakteristik Anak Usia Dini

Seorang anak adalah sesosok individu yang sedang menjalani perkembangan pesat bagi kehidupan selanjutnya, memiliki karakteristik sendiri dan jauh berbeda dari dunia dan karakteristik orang dewasa. Anak sangat aktif, dinamis, antusias, dan hampir selalu ingin tahu terhadap hal yang dilihat dan didengarnya, serta dapat dikatakan tidak pernah berhenti belajar. Anak usia dini


(56)

dilihat dari pandangan psikologis memiliki karakteristik yang khas. Karakteristik anak ini dikemukakan oleh D. Kellough (1996) dalam Sofia Hartati (2005: 8-11) adalah sebagai berikut:

1) Bersifat egosentris

Anak pada umumnya masih memiliki sifat egosentris yang cenderung melihat dan memahami seuatu dari sudut pandang dan kepentingannya sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku berebut mainan, memaksakan sesuatu terhadap orang lain dan sebagainya. Karakteristik ini berkaitan dengan perkembangan kognitif yang menurut Piaget anak sedang berada pada fase transisi dari pra-operasional ke fase operasional kongkrit. Berk (1988) dalam Sofia Hartati (2005: 9) menjelaskan bahwa anak berada pada masa transisi masih berpikir menurut pola pra-operasional ke pola operasional kongkrit secara bergantian atau secara stimultan.

2) Rasa ingintahu yang besar

Melihat dari segi persepsi anak, dunia dipenuhi dengan hal-hal menarik dan menakjubkan. Hal ini menimbulkan rasa ingin tahu yang tinggi. Rasa keingintahuan anak ini sangatlah bervariansi tergantung sesuatu fenomena yang menarik pehatian anak. Fenomena yang menarik ini adalah fenomena yang tidak biasa anak temui, sehingga dapat menimbulkan ketidaksesuaian kognitif yang memancing keingintahuan anak dalam memecahkan masalah maupun ketidaksesuaian kognitif.


(57)

3) Mahluk sosial

Anak akan merasa senang diterima dan berada dengan teman sebayanya. Anak juga senang dalam bekerjasama dalam membuat rencana dan menyelesaikan pekerjaan. Anak membangun konsep diri melalui interaksi sosial di sekolah dan membangun kepuasan melalui penghargaan diri ketika diberi kesempatan bekerjasama dengan teman.

4) Bersifat unik

Anak dikatakan unik karena setiap anak memiliki bawaan, minat, kapabilitas, dan latar belakang kehidupan yang berbeda satu sama lain. Walaupun perkembangan anak dapat diprediksi, namun pola perkembangan dan pembelajarannya juga berbeda satu sama lainnya.

5) Kaya dengan fantasi

Pada umumnya, anak menyukai hal yang bersifat imajinatif, sehingga kaya dengan fantasi. Ketika anak bercerita, anak dapat bercerita melebihi pengalaman yang didapatnya atau aktualnya dan bertanya tentang hal-hal gaib sekalipun. Hal tersebut disebabkan oleh imajinasi anak yang berkembang melebihi apa yang dilihatnya. Jika anak dibimbing dengan beberapa pertanyaan maka akan bercerita melebihi hal yang dilihat. Kegiatan cerita merupakan kegiatan yang banyak digemari oleh anak dan melatih imajinasi dan kemampuan bahasa anak.

6) Daya konsentrasi pendek

Anak pada umumnya sulit berkonsentrasi pada suatu kegiatan dalam jangka waktu yang lama dan anak akan cepat mengalihkan perhatian pada kegiatan lain. Daya perhatian anak yang pendek membuat anak kesulitan untuk duduk dan


(58)

memperhatikan sesuatu dengan jangka waktu lama. Agar anak tidak cepat bosan, maka pembelajaran dibuat secara bervariansi dan menyenangkan, sehingga tidak membuat anak terpaku di tempat dan menyimak dalam jangka waktu lama.

7) Masa belajar paling pontesial

Selama rentang waktu usia dini, anak mengalami berbagai pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat dan pesat pada berbagai aspek. Pada periode ini hampir seluruh potensi anak mengalami masa peka untuk tumbuh dan berkembang secara cepat dan hebat. Oleh karena itu, masa ini anak sangat membutuhkan stimulasi dan rangsangan dari lingkungan, serta merupakan wahana yang memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak guna mencapai tahapan sesuai dengan tugas perkembangannya.

3. Hubungan Cerita Dengan Pengetahuan Moral

Pada dasarnya anak usia dini merasa senang jika orang disekitarnya bercerita tentang hal yang disukai anak. Stewigh (1980) dalam Zuchdi (Mustakim, 2005: 1) menyatakan bahwa anak senang pada cerita karena terdapat sejumlah manfaat bagi anak dalam perkembangan dan pembentukan pribadi anak. Cerita merupakan hasil karya sastra yang dapat membentuk sikap positif pada anak, seperti (1) kesadaran akan harga diri (self esteem), (2) toleransi terhadap orang lain, (3) keingintahuan tentang kehidupan, (4) menyadari hubungan manusiawi (Sawyer dan Commer, 1991 dalam Zuchdi 1996/1997: 76-79) dalam Mustakim (2005: 3).


(59)

Bercerita mempunyai peran penting untuk anak, hal ini dapat terjadi karena beberapa hal sebagai berikut:

1) Bercerita merupakan alat pendidikan budi pekerti yang paling mudah dicerna anak disamping teladan yang dilihat anak setiap hari.

2) Bercerita merupakan metode dan materi yang dapat diintegrasikan dengan dasar keterampilan lain, yakni berbicara “membaca”, “menulis”, dan menyimak tidak terkecuali anak Taman Kanak-Kanak.

3) Bercerita memberi ruang lingkup yang bebas untuk mengembangkan kemampuan simpati dan berempati terhadap peristiwa yang dialami orang lain.

4) Bercerita memberi contoh cara menyikapi suatu permasalahan dengan baik, sekaligus memberi “pelajaran” pada anak tentang mengendalikan keinginan. 5) Bercerita memberi barometer pada anak.

6) Bercerita memberikan pelajaran budaya dan budi pekerti yang memiliki retensi lebih kuat daripada “pelajaran” budi pekerti melalui penuturan dan perintah langsung.

7) Bercerita memberi ruang gerak pada anak dan nilai yang didapat akan diaplikasikan.

8) Bercerita memberikan efek psikologis yang positif bagi anak dan pencerita. 9) Bercerita membangkitkan rasa tahu anak akan peristiwa, alur, plot, dan

menumbuhkan kemampuan merangkai hubungan sebab akibat dalam suatu peristiwa.


(1)

Lampiran 17. Data Variabel Cerita Fabel dan Pengetahuan Moral

Data Variabel Cerita Fabel

No Subjek Cerita 1 Cerita 2 Cerita 3 Jumlah

1 Gl 18 19 18 87

2 Sl 17 16 19 83

3 Rf 10 13 13 57

4 Mn 17 17 18 83

5 Fs 19 18 20 90

6 Rj 16 19 20 87

7 Nw 18 18 19 87

8 Ls 17 20 18 87

9 Ag 17 19 21 90

10 Ad 13 13 16 67

11 Ln 19 16 17 83

12 Il 17 16 19 83

13 Ty 17 17 19 84

Data Variabel Pengetahuan Moral

No Subjek Cerita 1 Cerita 2 Cerita 3 Jumlah

1 Gl 9 8 8 93

2 Sl 7 7 7 78

3 Rf 4 5 5 52

4 Mn 8 7 5 74

5 Fs 9 7 9 93

6 Rj 8 7 8 85

7 Nw 8 8 6 81

8 Ls 7 9 5 78

9 Ag 8 8 6 81

10 Ad 8 7 5 74

11 Ln 6 8 5 70

12 Il 6 7 5 67


(2)

Lampiran 18. Analisis Deskriptif Variabel Cerita Fabel dan Pengetahuan Moral

Analisis Deskriptif Variabel Cerita Fabel dan Pengetahuan Moral Statistik Deskriptif

Fabel Moral

N Valid 13 13

Missing 0 0

Mean 82,1734 77,4929

Std. Error of Mean 2,67276 3,00836

Median 84,1270 77,7778

Std. Deviation 9,63676 10,84681

Variance 92,867 117,653

Skewness -1,950 -,852

Std. Error of Skewness ,616 ,616

Kurtosis 3,469 1,622

Std. Error of Kurtosis 1,191 1,191

Range 33,33 40,74

Minimum 57,14 51,85

Maximum 90,48 92,59

Percentiles 10 60,9524 57,7778

25 82,5397 72,2222

50 84,1270 77,7778

75 87,3016 83,3333

90 90,4762 92,5926

Statistik Deskriptif Frekuensi Cerita Fabel Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 57,14 1 7,7 7,7 7,7

66,67 1 7,7 7,7 15,4

82,54 4 30,8 30,8 46,2

84,13 1 7,7 7,7 53,8

87,30 4 30,8 30,8 84,6

90,48 2 15,4 15,4 100,0

Total 13 100,0 100,0

Penentuan Kategorisasi Cerita Fabel µ = ½ x (nilai maksimum + nilai minimum)


(3)

Kategori Data Cerita Fabel

Interval Kategori Frekuensi Persentase

X < 11,39 Rendah 0 0%

11,39 ≤ X < 66,5 Sedang 1 7,7%

66,5 ≤ X Tinggi 12 92,3%

Jumlah 13 100%

Statistik Deskriptif Frekuensi Pengetahuan Moral Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 51,85 1 7,7 7,7 7,7

66,67 1 7,7 7,7 15,4

70,37 1 7,7 7,7 23,1

74,07 2 15,4 15,4 38,5

77,78 2 15,4 15,4 53,8

81,48 3 23,1 23,1 76,9

85,19 1 7,7 7,7 84,6

92,59 2 15,4 15,4 100,0

Total 13 100,0 100,0

Penentuan Kategorisasi Pengetahuan Moral µ = ½ x (nilai maksimum + nilai minimum) µ = ½ x (100+33)

= 66,5

� = 1/6 x (nilai maksimum - nilai minimum) = 1/6 x (100-33)

= 11,39

Kategori Data Pengetahuan Moral

Interval Kategori Frekuensi Persentase

X < 11,39 Rendah 0 0%

11,39 ≤ X < 66,5 Sedang 1 7,7%

66,5 ≤ X Tinggi 12 92,3%


(4)

Lampiran 19. Hasil Uji Normalitas Cerita Fabel dan Pengetahuan Moral

Hasil Uji Normalitas Cerita Fabel Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Fabel 13 100,0% 0 0,0% 13 100,0%

Descriptives

Statistic Std. Error

Fabel Mean 82,1734 2,67276

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 76,3499 Upper Bound 87,9968

5% Trimmed Mean 83,1027

Median 84,1270

Variance 92,867

Std. Deviation 9,63676

Minimum 57,14

Maximum 90,48

Range 33,33

Interquartile Range 4,76

Skewness -1,950 ,616

Kurtosis 3,469 1,191

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic Df Sig.

Fabel ,361 13 ,000 ,730 13 ,001

a. Lilliefors Significance Correction

Hasil Uji Normalitas Pengetahuan Moral Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Fabel 13 100,0% 0 0,0% 13 100,0%


(5)

Descriptives

Statistic Std. Error

Fabel Mean 82,1734 2,67276

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 76,3499 Upper Bound 87,9968

5% Trimmed Mean 83,1027

Median 84,1270

Variance 92,867

Std. Deviation 9,63676

Minimum 57,14

Maximum 90,48

Range 33,33

Interquartile Range 4,76

Skewness -1,950 ,616

Kurtosis 3,469 1,191

Moral Mean 77,4929 3,00836

95% Confidence Interval for Mean

Lower Bound 70,9382 Upper Bound 84,0475

5% Trimmed Mean 78,0785

Median 77,7778

Variance 117,653

Std. Deviation 10,84681

Minimum 51,85

Maximum 92,59

Range 40,74

Interquartile Range 11,11

Skewness -,852 ,616

Kurtosis 1,622 1,191

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

Fabel ,361 13 ,000 ,730 13 ,001

Moral ,146 13 ,200* ,933 13 ,378

*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction


(6)

Lampiran 20. Hasil Uji Korelasi Product Moment Kendall dan Spearman Hubungan Cerita Fabel Dengan Pengetahuan Moral Anak Kelompok B TK PKK 106 Merten Kecamatan Sanden Bantul

Hasil Uji Korelasi Product Moment Kendall dan Spearman Hubungan Cerita Fabel Dengan Pengetahuan Moral Anak Kelompok B TK PKK 106 Merten

Kecamatan Sanden Bantul Correlations

Fabel Moral Kendall's tau_b Fabel Correlation Coefficient 1,000 ,716**

Sig. (2-tailed) . ,002

N 13 13

Moral Correlation Coefficient ,716** 1,000

Sig. (2-tailed) ,002 .

N 13 13

Spearman's rho Fabel Correlation Coefficient 1,000 ,842**

Sig. (2-tailed) . ,000

N 13 13

Moral Correlation Coefficient ,842** 1,000

Sig. (2-tailed) ,000 .

N 13 13

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).