Regulasi emosi pada ibu bekerja yang mengalami konflik peran ganda

(1)

REGULASI EMOSI PADA IBU BEKERJA YANG MENGALAMI KONFLIK PERAN GANDA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Angela Lintang Maharani 129114038

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

ii

REGULASI EMOSI PADA IBU BEKERJA YANG MENGALAMI KONFLIK PERAN GANDA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Angela Lintang Maharani 129114038

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(3)

(4)

(5)

v

HALAMAN MOTTO

“Serahkanlah kuatirmu kepada Tuhan, maka Ia akan merangkul engkau!

Tidak untuk selama-lamanya dibiarkan-Nya orang benar itu goyah”

– Mazmur 55:23

“Jangan pernah menyerah jika kamu masih ingin mencoba. Jangan biarkan penyesalan datang karena kamu selangkah lagi untuk menang”

–R.A Kartini

“You have to fight to reach your dreams, you have to sacrifice and work hard for it”

–Lionel Messi

“Orang tidak akan meraih fajar tanpa melalui perjalanan malam” –Kahlil Gibran


(6)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini aku persembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus

Bapak dan Ibu yang selalu mendukung dan bersedia menunggu dengan sabar

hingga karya ini selesai dibuat

dan


(7)

(8)

viii

REGULASI EMOSI PADA IBU BEKERJA YANG MENGALAMI KONFLIK PERAN GANDA

Angela Lintang Maharani Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran regulasi emosi pada ibu bekerja yang mengalami konflik peran ganda. Penelitian ini berfokus pada regulasi emosi yang dilakukan ibu bekerja dalam menangani emosi negatif yang muncul sebagai akibat dari konflik peran ganda yang dialaminya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan analisis isi kualitatif. Penelitian ini menggunakan tiga partisipan yang merupakan seorang ibu dan juga berstatus sebagai pekerja di sebuah perusahaan atau instansi. Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara semi-terstruktur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap ibu yang menjalani peran ganda dalam hidupnya kemungkinan besar mengalami konflik peran ganda. Konflik peran ganda yang dialami membuatnya merasakan emosi negatif yang menyebabkan ketidakmaksimalan dalam menjalani peran gandanya. Oleh sebab itu, para ibu yang bekerja melakukan regulasi emosi untuk mengatasi emosi negatif yang muncul karena adanya konflik peran ganda yang dialami. Bentuk regulasi emosi yang dilakukan ada lima, yaitu situastion selection, situation modification, attention deployment, cognitive change dan response modulation. Regulasi emosi yang dilakukan oleh ibu yang bekerja dipengaruhi oleh adanya dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional, dukungan information, dukungan finansial dan dukungan instrumental. Dukungan sosial ini diberikan oleh suami, orangtua, mertua, sanak saudara serta rekan kerja. Selain itu, religiusitas dan budaya yang dimiliki tiap ibu mempengaruhi regulasi emosi yang dilakukannya. Serta proses kognitif individu itu sendiri juga memegang pengaruh yang besar dalam mempengaruhi ibu ketika melakukan regulasi emosi.


(9)

ix

EMOTION REGULATION ON WORKING MOTHERS WHO HAVE A DUAL ROLE CONFLICT

Angela Lintang Maharani Faculty of Psychology Sanata Dharma University

ABSTRACT

This study aims to describe emotional regulations of working mothers who have a dual role conflict. This research focuses on emotion regulations of working mothers dealing with negative emotions that arise as a result of the such a dual role. The method used in this research is qualitative with a qualitative content analysis approach. There are three participants who helped the researchers to conduct this research, they are all mothers who also struggling as employees in a company or agency. This study used semi-structured interviews in data collection. The results show that each mother who has undergone a dual role in her life most likely is experiancing a dual role conflict. Such a conflict experienced by the mothers triggers negative emotions that makes them not optimal in living their dual role. Therefore, working mothers create emotional regulations to overcome the negative emotions that emerge from their dual role conflict. There are five forms of emotional regulations used; situaltion selection, situation modification, attention deployment, cognitive change and response modulation. The regulation of emotions that are used by working mothers are influenced by their social support in the form of emotional support, informational support, financial support and instrumental support. The social support is given by the husband, parents, relatives and colleagues. In addition, religiosity and culture also take a part in affecting emotion regulation. The working mothers also are influenced by their own cognitive processes.


(10)

(11)

xi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penyertaan-Nya selama penulisan, pelaksanaan, hingga terselesaikannya skripsi ini. Pengerjaan skripsi ini juga tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, peneliti hendak mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus atas segala penyertaanNya yang berlimpah sehingga peneliti mampu menyusun skripsi ini sampai akhir.

2. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,

3. P. Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,

4. M.L. Anantasari, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi peneliti yang telah menerima dan bersedia membimbing peneliti. Terimakasih Bu Ari atas segala kesempatan, kesediaan menerima peneliti menjadi anak bimbingan Ibu. Peneliti memohon maaf jika selama proses bimbingan terdapat banyak kesalahan yang disengaja ataupun yang tidak sengaja peneliti lakukan dan hal tersebut melukai perasaan Ibu. Terimakasih atas kesabaran, waktu, tenaga yang ibu luangkan untuk membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini. Terimaksih dan Tuhan memberkati 

5. Sylvia Carolina MYM., M. Si. selaku Dosen yang pernah menjadi Dosen Pembimbing Skripsi kedua peneliti yang telah membimbing, serta memberi


(12)

xii

kritik dan saran selama proses penulisan skripsi hingga bab tiga (3). Terimakasih Bu Sylvi atas masukan dan kritiknya demi kemajuan skripsi ini. Terimakasih dan sukses selalu 

6. Alm. Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.Si. selaku Dosen yang pernah menjadi Dosen Pembimbing Skripsi pertama peneliti. Terimakasih Bu atas segala pembelajan, saran, kritik untuk kemajuan skripsi ini. Meskipun hanya sebentar Ibu sempat membimbing, tetapi segala pesan Ibu diterakhir pertemuan masih teringat hangat dalam ingatan. Terimakasih dan selamat jalan Bu Lusi  7. Ratri Sunar Astuti, M, Si. selaku DPA peneliti selama menempuh kuliah.

Terimakasih atas masukan dan saran Ibu ketika proses perkualiahan berlangsung,

8. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan banyak pelajaran, pengetahuan, dan pengalaman hidup selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,

9. Staf Sekretariat Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membantu melancarkan proses pembelajaran selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta,

10.Kedua orang tua peneliti, Yoanes Windardi dan Anastasia Nuri Wahyuningsih. Terimakasih atas doa, cinta, dukungan, semangat, dan kesabaran yang sudah diberikan pada peneliti,

11.Keluarga Besar dari Angela Lintang Maharani yang senantiasa memberikan semangat, doa dan bantuan kepada peneliti ketika menulis skripsi ini,


(13)

xiii

12.Partisipan peneliti, Ibu P1, Ibu P2 dan Ibu P3. Terimakasih atas kesediaan, waktu dan sharing yang sangat berharga bagi peneliti,

13.FREAKY, Scholastika Mega, Maria Adisti, Komang Mahadewi, Amarendra Syantikaratna, Gabriella Natasha, Gabriella Astrid, Eva Yosephine, dan Yemima Vanessa. Terimakasih untuk kegilaan, kebodohan, waktu, nasehat yang sekilas terdengar seperti cacian tapi peneliti sadar itu semua adalah bentuk perhatian, penguatan dan dukungan tulus tulus kalian yang diberikan selama ini kepada peneliti,

14.D’PONGZ, Stefani Vidia G, Stefani Adriani, Olga Aurora, Aniela Evodie, Lovian Hutapea, terimakasih karena sudah meninggalkan peneliti sebagai mahasiswa terakhir diantara kalian yang lulus terakhir, tak apa laah ini jadi penyemangat untuk segera menyusul kalian,

15.COBRA a.k.a Keluarga Cemara, Klaudia Ilona, Chatarina Dwi, Sonia CK, Komang Mahadewi, Grasia Deivi, Agnes F. Bella, Gede Sudana, Yosua Cahyo, Wisnu Cahya, dan Chrisna Yuda. Terimakasih atas segala penerimaan, cinta, dukungan, perhatian, waktu, nasehat dan ketulusan yang tak henti-hentinya kalian berikan kepada “bocah SD” kalian ini selama perkuliahan dan pembuatan skripsi ini,

16.TERANCAM S.PSI, Rosalia Wenita, Seprina Hutahae dan Meilan Anggraini. Terimakasih atas penerimaan, waktu, semangat, kebersamaan dan kata-kata mutiara kalian yang SUPEEEER sehingga peneliti mampu bangkit dikala peneliti merasakan kemalasan, ketidak percayaan diri dan keputus asaan.


(14)

xiv

Semoga segala keluh kesah dan pengorbanan kita berbuah manis ya, goodluck and god bless 

17.UYE, Andira Kristia, Aurelia Laksmi, Yohana Maryeni, Valentina Widya, Daniel Krisna dan Riris Ch. Terimakasih atas kesediaan kalian menjadi testee yang siap diundang kapan saja dibutuhkan ketika peneliti akan melaksanakan praktikum, bersedia membantu peneliti mentranslate jurnal-jurnal untuk skripsi, dukungan dan perhatian juga tak henti-hentinya kalian berikan sejak SD hingga saat ini pada peneliti,

18.Penyemangat dan pendukung peneliti, Yohanes Nomi Ardi Raharjo. Terimakasih sudah bersedia mendengarkan keluh kesah dan tak henti-hentinya terus memberikan perhatian, kasih sayang, dukungan serta cintanya kepada peneliti dalam bentuk-bentuk yang tak terduga,

19.Muji Squad, Ema, Clara, Maurren, Grego, Teteh dan Mas Muji. Terimakasih atas segala pengalaman, pembelajaran, suka, duka, tawa, canda, susah dan senang yang menemani selama peneliti bekerja sebagai staf Lab. Psikologi dan menyusun penelitian ini,

20.Teman-teman Psikologi Sanata Dharma 2012, mari bersama berjuang ke tahap selanjutnya. See you on top!

21.Pihak-pihak lain yang terkait selama proses penulisan dan pelaksanaan penelitian yang tidak bisa peneliti sebutkan satu persatu,


(15)

xv

Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Yogyakarta, 9 April 2017 Peneliti,


(16)

xvi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN JUDUL ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRAK ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

1. Manfaat Teoretis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Emosi ... 10

1. Definisi emosi ... 10

2. Macam-macam emosi ... 10

B. Regulasi Emosi ... 13

1. Definisi regulasi emosi ... 13

2. Bentuk regulasi emosi ... 14

3. Faktor yang mempengaruhi regulasi emosi ... 16

C. Konflik Peran Ganda Pada Ibu Bekerja ... 19

D. Regulasi Emosi Pada Ibu Bekerja Yang Mengalami Konflik Peran Ganda ... 21


(17)

xvii

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 26

A. Jenis Penelitian ... 26

B. Fokus Penelitian ... 27

C. Partisipan Penelitian ... 27

D Metode Pengambilan Data ... 28

E. Proses Pengumpulan Data ... 30

F. Analisis Data... 32

G. Kredibilitas dan Dependabilitas Data Penelitian ... 34

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 36

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian ... 36

1. Persiapan penelitian dan perijinan ... 36

2. Pelaksanaan penelitian ... 37

B. Partisipan Penelitian ... 38

1. Data partisipan ... 38

2. Latar belakang partisipan ... 38

a. Partisipan 1 ... 38

b. Partisipan 2 ... 41

c. Partisipan3 ... 42

C. Analisis Data Penelitian... 43

1. Analisis P1 ... 43

a.Konflik peran ganda ... 43

b.Emosi negatif yang timbul ... 46

c.Regulasi emosi ... 48

d.Faktor yang mempengaruhi regulasi emosi ... 52

2. Analisis 2 ... 54

a.Konflik peran ganda ... 54

b.Emosi negatif yang timbul ... 56

c.Regulasi emosi ... 58

d.Faktor yang mempengaruhi regulasi emosi ... 63

3. Analisis 3 ... 64


(18)

xviii

b.Emosi negatif yang timbul ... 66

c.Regulasi emosi ... 67

d.Faktor yang mempengaruhi regulasi emosi ... 71

4. Integrasi Hasil Analisis Tiga Partisipan ... 73

D. Pembahasan ... 86

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 98

A. Kesimpulan ... 98


(19)

xix

DAFTAR GAMBAR

Skema 1. Regulasi Emosi Pada Ibu Bekerja Yang Mengalami Konflik Peran Ganda ... 25


(20)

xx

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Panduan Pertanyaan Umum ... 30

Tabel 2. Indikator Pengkategorian ... 34

Tabel 3. Waktu dan Tempat Penelitian ... 38


(21)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Tabel Panduan Wawancara ... 104

Tabel Analisis Verbatim P1 ... 108

Tabel Analisis Verbatim P2 ... 148

Tabel Analisis Verbatim P3 ... 219

Tabel Integrasi ... 242

Inform Consent P1 ... 276

Inform Consent P2 ... 277


(22)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Adanya perubahan zaman membuat perempuan tak hanya melakukan pekerjaan rumah tangga melainkan mulai berkarir dan mencapai kesuksesan. Hal ini terlihat dari jumlah perempuan yang melakukan pekerjaan di sektor publik. Hasil data Badan Pusat Statistik pada tahun 2012 di Jawa dan Bali menunjukkan adanya peningkatan sebesar 0,11% pada jumlah perempuan yang melakukan pekerjaan di sektor publik (Kusumasmara, Widyawan, Wibowo & Hapsari, 2016). Hal ini sejalan dengan adanya pergeseran peran pada perempuan yang tak lagi hanya berperan pada sektor rumah tangga namun sudah mulai merambah dunia kerja (Ramadani, 2016). Perempuan yang memiliki pendidikan tinggi mulai diberi kesempatan dalam mengaplikasikan, mengembangkan ilmu serta kemampuan yang dimilikinya di dunia kerja. Keadaan ini diperkuat dengan adanya gerakan emansipasi perempuan yang semakin gencar disuarakan di Indonesia. Selain gerakan emansipasi, kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu semakin membuka pemikiran serta pandangan masyarakat mengenai peran serta perempuan dalam dunia kerja (Apollo & Cahyadi, 2012).

Seorang perempuan yang menikah secara otomatis akan menjadi seorang ibu, baik ibu rumah tangga ataupun ibu bagi anak-anaknya. Seorang ibu yang memutuskan untuk berkarir selain didorong adanya pemenuhan berkarir dan mencapai prestasi pada fase perkembangannya, juga didorong oleh kebutuhan


(23)

ekonomi. Kebutuhan sandang, pangan dan papan yang semakin tinggi memaksa ibu untuk ikut berkontribusi menambah penghasilan bagi keluarganya. Kebutuhan ekonomi bukan satu-satunya pendorong seorang ibu untuk mengambil keputusan berkarir. Kebutuhan untuk aktualisasi diri, memperluas wawasan dan pertemanan juga menjadi motif lain yang mendorong seorang ibu untuk berkarir (Hermayanti, 2014).

Ibu yang bekerja diharapkan tidak meninggalkan peran utamanya sebagai istri dan ibu, akan tetapi di sisi lain ibu juga dituntut untuk bersikap profesional dengan pekerjaannya. Vinokur, Pierce & Buck (dalam Triyanti, 2003) mengatakan bahwa perempuan profesional yang telah menikah dan memilih untuk berkarir akan menghadapi pola tradisional yang tidak seimbang dengan suami dalam tugas mengasuh anak dan pekerjaan rumah tangga sehari-hari. Dua peran yang diemban ibu yang bekerja secara bersamaan menuntut adanya keseimbangan. Jika ibu yang bekerja tidak dapat melakukan peran yang satu karena pemenuhan peran yang lain akan memunculkan konflik peran ganda. Greenhous & Beutell (1985) menjelaskan bahwa konflik peran ganda merupakan bentuk konflik antar peran, di mana tekanan peran pekerjaan dan peran keluarga saling bertentangan. Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Thompson & Walker (dalam Santrock, 2002) menyatakan bahwa konflik peran ganda pada ibu yang bekerja diakibatkan oleh adanya tuntutan waktu dan tenaga yang ekstra pada ibu dalam pemenuhan kedua peran yang diembannya

Greenhous & Beutell (1985) mengatakan ada tiga pemicu munculnya konflik peran ganda, diantaranya masalah waktu, ketegangan dan penyesuaian


(24)

peran. Pertama adalah waktu, ibu yang bekerja mengalami kesulitan untuk memenuhi peran lainnya jika waktu yang dimilikinya telah habis digunakan untuk pemenuhan satu peran. Al Shofa dan Kristianan (2015) menyatakan bahwa terjadi pergolakan emosi pada ibu bekerja yang mengalami konflik peran ganda. Hal ini terjadi karena satu peran menghambat peran lainnya yang mengakibatkan ibu bekerja mengalami permasalahan waktu, energi dan emosi. Susanto (2010) menyatakan hal serupa bahwa konflik peran ganda yang dialami ibu bekerja menimbulkan emosi negatif seperti, perasaan bersalah, munculnya kegelisahan, kecemasan dan frustasi.

Pemicu munculnya konflik peran ganda yang kedua menurut Greenhous & Beutell (1985) adalah ketegangan. Adanya ketegangan yang muncul dari satu peran akan mempersulit pemenuhan peran lainnya. Ketiga, ketidakmampuan ibu yang bekerja dalam menyesuaikan perilaku pada peran satu dengan lainnya akan memicu munculnya konflik peran ganda. Misalnya, seorang ibu ketika bekerja dituntut untuk tegas, bertanggung jawab dan mampu mengarahkan bawahannya untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan ketentuan yang ada. Namun, ketika di rumah ibu tersebut harus tetap bisa memiliki perilaku yang hangat, penuh kasih sayang, perhatian dan kelemah lembutan dalam berinteraksi dengan keluarga (Greenhous & Beutell, 1985).

Adapun Prihanto & Lasmono (dalam Apollo & Cahyadi, 2012) serta Yuarsi (dalam Apollo & Cahyadi, 2012), menyatakan bahwa ibu yang bekerja dalam menjalankan peran gandanya juga memiliki dua faktor pemicu konflik peran ganda, diantaranya faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal


(25)

adalah faktor dari dalam diri ibu yang bekerja, meliputi ketakutan akan konsekuensi negatif dari kesuksesan yang dicapainya dalam pekerjaan, kesulitan mendapatkan perhatian dan perlindungan dari lawan jenis, takut tidak dapat mengurus anak dan suami serta tidak adanya dukungan suami atau anggota keluarga lain dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Banyak jasa tempat penitipan anak atau asisten rumah tangga dalam memecahkan masalah pengasuhan anak dan membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Tetapi sepertinya hal tersebut tidak dapat membantu ibu yang bekerja dalam menangani pengasuhan anak atau menyelesaikan pekerjaan rumah dengan maksimal dan terkadang malah berdampak negatif. Nilai negatif yang ditimbulkan dari tempat penitipan anak adalah, biaya yang mahal, anak akan cenderung mengembangkan rasa tidak percaya serta peningkatan agresivitas pada sesama maupun orang dewasa (Supsiloani dkk, 2015). Faktor eksternal pemicu konflik peran ganda adalah pandangan sebagaian masyarakat yang masih beranggapan bahwa tugas mengasuh anak dan mengurus rumah tangga adalah tugas utama seorang ibu.

Dapat ditarik benang merah dari penjelasan sebelumnya bahwa konflik peran ganda yang dialami pada ibu yang bekerja membawa dampak negatif dalam kehidupannya sehari-hari. Dampak negatif dari konflik peran ganda pada ibu yang bekerja, diantaranya adanya tuntutan waktu dan tenaga yang ekstra karena harus melakukan dua pekerjaan secara bersamaan, adanya konflik pekerjaan atau konflik keluarga yang sekiranya dapat mempengaruhi satu dengan lainnya dan mulai berkurangnya perhatian pada anak juga merupakan dampak


(26)

negatif yang terlihat bila ibu yang bekerja tidak dapat menjalankan peran gandanya secara efektif dan efisien.

Berbagai masalah, beban tanggung jawab maupun konflik peran ganda pada ibu yang bekerja dapat menyebabkan ibu yang bekerja mudah menderita keletihan fisik maupun psikis. Shaevitz (1989) memberikan beberapa gejala fisik dan psikis yang dialami oleh ibu yang bekerja dalam melakukan peran gandanya. Keletihan fisik yang dirasakan adalah lesu, sakit kepala, sakit dibagian leher, bahu, punggung dan perut, jantung berdebar lebih cepat, dan menstruasi menjadi tidak teratur. Keletihan psikis yang dialami diantaranya ketenangan terganggu, tegang, cemas, merasa terancam, ingin menghindar, sulit berkonsentrasi, sulit tidur, kehilangan minat seks, mudah marah dan melampiaskannya melalui tindakan kekerasan verbal maupun non-verbal, merasa sedih sehingga ingin menangis atau melarikan diri pada rokok dan minuman keras hingga pada tingkat ekstrim ingin bunuh diri. Frone (dalam Triaryati, 2003) mendukung pernyataan Shaevitz bahwa konflik peran ganda berhubungan sangat kuat dengan depresi dan kecemasan yang dialami oleh ibu yang bekerja dibandingkan dengan suami.

Emosi negatif yang dirasakan merupakan manifestasi dari konflik peran ganda yang tidak teratasi dengan baik oleh ibu yang bekerja. Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2013) menunjukkan bahwa perawat yang mengalami konflik peran ganda akan merasakan emosi negatif, seperti; mudah marah, tersinggung dan stress sehingga mempengaruhi pelayanan yang tidak maksimal dan cenderung kurang peduli pada pasien di rumah sakit.


(27)

Emosi adalah suatu perasaan atau pikiran, suatu keadaan biologis dan psikologis individu yang khas yang mengarahkan individu pada kecenderungan untuk bertindak (Goleman, 1995). Emosi terdiri dari emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif dapat memberikan efek menyenangkan dan menenangkan pada diri seseorang. Emosi negatif adalah emosi yang tidak menyenangkan, sering dihindari dan berusaha dikendalikan oleh sebagian individu (Safira & Saputra, 2009). Penjelasan sebelumnya menegaskan bahwa emosi dapat mempengaruhi seseorang dalam bertindak. Hal ini lah yang dialami oleh ibu yang bekerja, jika ibu yang bekerja merasakan emosi negatif maka sangat dimungkinkan hal tersebut mendorong terjadinya tindakan yang berdampak negatif bagi diri dan lingkungan sekitarnya.

Emosi negatif yang tidak terkelola dengan baik selain memberikan dampak negatif pada diri sendiri maupun lingkungan sekitar, juga dapat mengganggu pemenuhan peran ganda di kehidupan sehari-hari pada ibu yang bekerja. Oleh sebab itu, perlu adanya pengetahuan ataupun kesadaran dalam diri ibu yang bekerja untuk melakukan pengolahan emosi negatif. Pengelolaan emosi atau yang biasa disebut dengan regulasi emosi adalah kemampuan individu untuk memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosional individu untuk mencapai tujuannya (Thompson, 1994). Regulasi emosi lebih menekankan pada kemampuan seseorang dalam mengatur dan mengekspresikan emosi serta perasaannya dalam kehidupan sehari-hari (Widuri, 2012). Dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi adalah kemampuan seseorang dalam memonitor dan mengevaluasi emosinya dalam rangka mencapai keseimbangan emosi serta


(28)

memodifikasi reaksi emosi individu sehingga dapat mengekspresikan emosinya secara tepat dalam kehidupan sehari-hari guna meningkatkan efisiensi peran ganda ibu yang bekerja.

Regulasi emosi dapat memberikan dampak positif pada ibu yang bekerja. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pedagang di pasar Klewer merasakan dampak positif dari regulasi emosi yang dilakukannya. Dampak positif yang muncul diantaranya merasakan ketenangan, munculnya emosi positif dan mampu mengurangi emosi negatif dalam diri, selain itu para pedagang lebih bahagia dan emosi positif yang dirasakan membuatnya menjadi lebih positif dalam bertindak ketika menghadapi persoalan sehari-hari. Regulasi emosi tidak sepenuhnya dapat dilakukan oleh semua orang. Beberapa orang yang tidak melakukan regulasi emosi akan cenderung merasa sedih dan senang yang bergantian tak menentu, selain itu dirinya lebih dikuasai emosi negatif yang berdampak pada pelampiasan emosi negatif pada orang sekitarnya (Yusuf, 2015). Regulasi emosi negatif pada ibu bekerja yang mengalami konflik peran ganda menjadi menarik untuk diteliti karena penelitian bertujuan untuk menggambarkan regulasi emosi yang dilakukan oleh ibu bekerja yang mengalami konflik peran ganda. Beberapa penelitian sebelumnya, yaitu hubungan antara regulasi emosi dengan kecemasan pada ibu hamil (Aprisandityas & Elfida, 2012), regulasi emosi odapus (Fitri, 2012) serta hubungan regulasi emosi dan penerimaan kelompok teman sebaya pada remaja (Nisfiannoor & Kartika, 2004). Ketiga penelitian terdahulu memberikan hasil bahwa semakin baik kemampuan regulasi emosi yang dilakukan dapat mengurangi kecemasan serta dapat pula


(29)

meningkatkan penerimaan kelompok teman sebaya. Selain itu, regulasi emosi dapat meningkat karena pengaruh dari dukungan sosial dan adanya hubungan transcendental dengan Tuhan.

Penelitian yang berpusat pada regulasi emosi yang dialami oleh ibu yang bekerja dalam sektor publik perlu dilakukan mengingat mulai meningkatnya jumlah pekerja perempuan di Indonesia. Partisipan pada penelitian ini adalah ibu yang bekerja di sebuah instansi dan perusahaan. Hal ini dipilih peneliti karena ibu yang bekerja di sebuah perusahaan atau instansi cenderung memiliki konflik peran ganda yang lebih terlihat (Triaryati, 2003) serta dapat menggambarkan regulasi emosi yang dilakukannya. Penelitian ini akan menggunakan design penelitian kualitatif, karena penelitian kualitatif dapat mengungkap regulasi emosi pada perempuan menikah yang bekerja secara utuh (holistic). Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan wawancara semi terstruktur melalui pertanyaan-pertanyaan terbuka. Metode ini dipilih peneliti untuk mengungkap regulasi emosi pada ibu yang bekerja yang mengalami konflik peran ganda.

B.Rumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian ini adalah: Bagaimana gambaran regulasi emosi yang dilakukan oleh ibu bekerja yang mengalami konflik peran ganda?

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menggambarkan bagaimana regulasi emosi yang dilakukan oleh ibu bekerja yang mengalami konflik peran ganda.


(30)

D.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam bentuk pengetahuan di lingkup Psikologi Keluarga dan Psikologi Perempuan, khususnya mengenai ibu bekerja yang mengalami konflik peran ganda serta regulasi emosi yang dilakukan oleh ibu bekerja yang mengalami konflik peran ganda.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai bahan reflektif bagi ibu bekerja agar dapat mengetahui cara meregulasi emosi ketika mengalami atau menghadapi konflik peran ganda atau konflik pekerjaan atau konflik keluarga. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi bahan refleksi bagi keluarga atau lingkungan sekitar ibu bekerja dalam mendampingi, mendukung dan membantu melewati masa sulit ibu bekerja yang mengalami konflik peran ganda.


(31)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Emosi 1. Definisi emosi

Teori James-Lange (dalam Sobur, 2003) merumuskan bahwa emosi adalah hasil penilaian atau persepsi individu pada perubahan tubuhnya sebagai respon terhadap stimulus. Travis & Wade (2007) mengemukakan bahwa emosi adalah reaksi terhadap stimulus yang melibatkan perubahan pada tubuh, wajah, aktivitas otak, penilaian kognitif, perasaan subjektif dan kecenderungan melakukan tindakan yang dibentuk oleh peraturan-peraturan yang terdapat di suatu kebudayaan.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa emosi adalah respon yang terbentuk karena adanya rangsangan yang kemudian dipersepsikan oleh individu. Persepsi ini akan mengarahkan individu untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan peraturan pada suatu kebudayaan.

2. Macam-macam emosi

Wade & Travis (2007) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa individu memiliki dua bentuk emosi, yaitu primer dan sekunder. Emosi primer, sudah ada dalam diri individu sejak lahir, sedangkan emosi sekunder akan berbeda antar individu tergantung kemampuan pengembangan dan berfikirnya. Emosi primer pada individu, meliputi rasa


(32)

takut (fear), marah (anger), sedih (sadness), senang (joy), terkejut (surprise), jijik (disgust), dan sebal (contempt). Emosi sekunder meliputi keberagaman kebudayaan dengan berbagai emosi yang akan berkembang berdasarkan tingkat pemikiran setiap individu.

Adapun Lazarus (dalam Salamah, 2012) mengklasifikasikan emosi, sebagai berikut: marah (anger) adalah perasaan yang timbul atas penghinaan terhadap diri sendiri. Cemas (anxiety) adalah perasaan yang timbul karena merasa tidak mampu terhadap suatu hal tertentu. Takut (fright) adalah perasaan yang timbul dalam diri individu ketika menghadapi suatu keadaan yang berbeda dari biasanya atau keadaan berbahaya. Rasa bersalah (guilt) adalah perasaan yang ada pada individu ketika melakukan pelanggaran terhadap aturan yang berlaku. Sedih (sadness) adalah perasaan yang muncul sebagai akibat kehilangan sesuatu yang tidak tergantikan. Iri (envy) adalah perasaan yang muncul saat mengetahui milik orang lain melebihi milik pribadi atau kemampuan yang dimiliki tidak lebih baik dari kemampuan orang lain. Cemburu (jealousy) adalah perasaan yang timbul saat kehilangan kasih sayang akibat hadirnya orang ketiga. Senang (happiness) adalah perasaan yang muncul saat berhasil mencapai suatu tujuan. Bangga (pride) adalah perasaan yang muncul saat pencapaian individu akan suatu hal diakui oleh lingkungan sekitar. Lega (relief) adalah perasaan yang timbul ketika tekanan pada individu menghilang. Harapan (hope) adalah kemungkinan untuk menjadi lebih baik ketika menghadapi kemungkinan terburuk. Kasih sayang (love)


(33)

adalah tindakan yang ditunjukkan dengan selalu memberikan kebahagiaan kepada orang disekitarnya. Iba/ kasihan (compassion) adalah perasaan yang muncul ketika melihat penderitaan orang lain dan ingin menolong orang tersebut.

Selain itu, emosi menurut Gohm & Clore (dalam Safaria dan Saputra, 2009 ) dibedakan dalam dua kategori berdasarkan dampaknya, yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi Positif dapat memberikan efek menyenangkan dan menenangkan pada diri individu. Emosi positif membuat individu merasakan ketenang, santai, rileks, gembira, lucu dan senang. Emosi Negatif adalah emosi yang sering dihindari dan berusaha dikendalikan oleh sebagian besar individu. Emosi negatif memberikan dampak tidak menyenangkan, menyusahkan serta membuat individu merasakan, sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustasi, marah, dan dendam.

Kesimpulan dari penjelasan tersebut bahwa emosi menurut Wade & Travis (2007) dibedakan menjadi emosi primer dan emosi sekunder. Emosi primer adalah emosi yang sudah dimiliki setiap individu sejak lahir sedangkan emosi sekunder adalah emosi yang dimiliki individu tergantung pengembangan dan kemampuan berpikir individu tersebut. Selain itu, emosi menurut Gohm & Clore (dalam Safaria dan Saputra, 2009) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif dapat membuat individu yang merasakannya merasa tenang dan menenangkan serta menimbulkan perasaan santai, rileks, gembira, lucu


(34)

dan gembira. Sedangkan emosi negatif membuat individu yang merasakannya menjadi merasa tidak senang dan menyusahkan serta merasakan perasaan sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, marah dan dendam.

B. Regulasi Emosi 1. Definisi regulasi emosi

Frijda (dalam Nisfiannoor dan Kartika, 2004) mendefinisikan regulasi emosi sebagai salah satu bentuk kontrol individu terhdap emosi yang dimilikinya. Bentuk kontrol terhadap emosi ini dapat membantu individu untuk bertahan pada situasi yang tidak menyenangkan. Pernyataan tersebut sejalan dengan pengertian regulasi emosi menurut Reivich dan Shatee (dalam Handayani, 2016) yaitu kemampuan individu untuk dapat tenang dibawah tekanan. Individu yang memiliki regulasi emosi yang baik akan mampu bertahan pada situasi yang kurang atau bahkan tidak menyenangkan dan mampu mengendalikan emosi negatifnya sehingga mendapatkan emosi positif yang dibutuhkan individu.

Widuri (2012) mendefinisikan regulasi emosi sebagai suatu kemampuan individu dalam mengatur dan mengekspresikan emosi serta perasaannya dalam kehidupan sehari-hari. Sejalan dengan pengertian sebelumnya, Thompson (1994) menyatakan bahwa regulasi emosi sebagai proses pertanggung jawaban individu dalam memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosi secara intensif dan khusus untuk mencapai tujuannya. Gross (dalam Gross, 2014) juga melengkapi pengertian regulasi


(35)

emosi sebagai sebuah proses yang dilakukan individu untuk membentuk emosinya, mengetahui bagaimana individu mengalaminya dan bagaimana individu mengekspresikan emosinya.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka peneliti mengambil benang merah bahwa regulasi emosi merupakan sebuah bentuk kontrol dimana didalamnya terdapat proses pengaturan emosi, memonitor, mengevaluasi dan memodivikasi reaksi emosi secara intensif dan khusus agar dapat bertahan dalam situasi tidak menyenangkan.

2. Bentuk regulasi emosi

Regulasi emosi memiliki beberapa bentuk seperti yang diungkapkan oleh Gross (2014), diantaranya:

a. Situation Selection (Seleksi Situasi)

Situation selection adalah usaha yang dilakukan individu untuk mendekati, menjauhi atau bahkan menghindari seseorang, tempat, objek ataupun situasi yang dapat menimbulkan emosi. Situation selection biasa dilakukan oleh diri sendiri (intrinsik).

b. Situation Modification (Modifikasi Situasi)

Situation modification merupakan usaha yang dilakukan individu untuk memodifikasi situasi secara langsung yang mendatangkan situasi baru. Proses regulasi emosi ini lebih menekankan pada memodifikasi situasi agar emosi negatif yang dirasakan dapat teralihkan. Situation modification yang dimaksudkan


(36)

adalah dengan melakukan modifikasi lingkungan fisik dan eksternal perempuan menikah yang bekerja.

c. Attention Deployment (Penyebaran Atensi)

Attention deployment merupakan usaha individu untuk mengarahkan perhatiannya di dalam sebuah situasi untuk mengatur emosinya. Ada dua strategi yang dapat digunakan individu pada proses regulasi emosi ini, yaitu distraksi dan konsentrasi. Distraksi adalah memfokuskan perhatian pada aspek berbeda dari sebuah situasi, atau memindahkan perhatian jauh dari situasi yang tidak menyenangkan secara bersamaan. Attention deployment dalam bentuk konsentrasi adalah ketetarikan atau perhatian individu pada keistimewaan emosi yang ditimbulkan akibat sebuah situasi. Apabila perhatian secara berulang diarahkan pada perasaan individu dan konsekuensinya, maka hal inilah yang dinamakan perenungan. Attention deployment memiliki banyak bentuk, seperti distraksi yang melibatkan fisik misalnya menutup mata, menutup telinga, dan mengarahkan kembali perhatian internal melalui konsentrasi.

d. Cognitive Change (Perubahan Kognitif)

Cognitive change adalah usaha individu dengan merubah cara pandangnya dalam menilai situasi ketika individu tersebut mengalami situasi yang tidak menyenangkan. Hal ini dilakukan individu untuk mengubah signifikansi emosinya, baik dengan


(37)

mengubah cara berpikir mengenai situasi tersebut atau mengenai kemampuan individu dalam mengatur tuntutan-tuntutannya.

e. Response Modulation (Modulasi Respon)

Response modulation merupakan sebuah usaha yang dilakukan individu untuk mengatur dan menampilkan respon emosi yang tidak berlebihan. Response Modulation dilakukan pada aspek pengalaman, perilaku dan fisiologis, seperti olahraga, relaksasi atau bahkan dengan menggonsumsi makanan secara berlebihan, alkohol, rokok dan penggunaan obat-obatan narkotika.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bentuk regulasi emosi adalah situation selection (seleksi situasi), situation modification (modifikasi situasi), attention deployment (penyebaran atensi), cognitive change (perubahan kognitif), dan response modulation (modulasi respon).

3. Faktor yang mempengaruhi regulasi emosi

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan regulasi emosi individu, diantaranya:

a. Jenis kelamin

Berdasarkan hasil penelitian Ratnasari & Seleeman (2017) menunjukkan adanya perbedaan regulasi emosi pada laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan Salovey & Sluyter (dalam Nisfiannoor & Kartika, 2004) yang menyatakan bahwa dalam meregulasi emosinya, perempuan menggunakan dukungan


(38)

sosial dan perlindungan yang diberikan orang lain. Sedangkan laki-laki lebih memilih melakukan kegiatan fisik, seperti olahraga dalam meregulasi emosinya.

b. Kognitif

Kognitif dapat membantu individu dalam mengatur dan menjaga emosi yang dirasakan agar tidak berlebihan (Nisfiannoor & Kartika, 2004). Selain itu, Gross menjelaskan bahwa emosi yang dirasakan individu merupakan hasil dari pemberian nilai individu pada situasi yang dialami atau dihadapinya. Individu yang memberikan penilaian positif cenderung akan mengembangkan reaksi emosi yang positif dan begitu juga sebaliknya (dalam Utomo, 2015)

c. Dukungan sosial

Cohen & Syme (dalam Apollo & Cahyadi, 2012) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah sumber-sumber yang disediakan orang lain terhadap individu yang dapat mempengaruhi kesejahteraan individu. Dukungan sosial efektif dalam mengatasi tekanan psikologis pada masa sulit dan menekan yang dialami individu. Selain itu, Sarason, Sarason & Gurung (dalam Taylor, Shelley., ET AL., 2009) dalam kajian psikologi menunjukkan bahwa hubungan yang supportif secara sosial mampu meredam efek stress, membantu mengatasi stress dan menambah kesehatan.


(39)

d. Budaya

Budaya adalah perilaku, gagasan, sikap dan tradisi yang berlangsung terus menerus serta pada sekelompok besar manusia dan disebarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Myers, 2012). Budaya yang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu dapat mempengaruhi cara individu menerima dan menilai suatu pengalaman emosi, dan menampilkan suatu respon emosi (Ellisyani & Setiawan, 2016). Aspek budaya ini menjadi berhubungan dengan regulasi emosi karena adanya motivasi di dalam budaya itu sendiri. Budaya mempengaruhi regulasi emosi karena di dalamnya ada motivasi untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain (Kusumaningrum, 2012). e. Usia

Usia turut berpengaruh dalam mempengaruhi regulasi emosi individu. Brener dan Salovey (dalam) mengungkapkan semakin bertambahnya usia individu maka kemampuan meregulasi emosinya akan semakin relative baik. Pernyataan tersebut selaras dengan Calkins (dalam Kusumaningrum, 2012) bahwa lobus frontal memiliki peran penting dalam mengatur perilaku individu untuk menghindar atau mendekati stimulus yang menimbulkan emosi. Kemampuan ini semakin berkembang seiring bertambahnya usia individu.

Kesimpulan dari pemaparan tersebut, bahwa regulasi emosi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis kelamin, kognitif, dukungan sosial, budaya serta usia individu. Faktor jenis kelamin dan usia


(40)

digunakan peneliti untuk mereprentasikan kondisi dari partisipan yang diteliti, yakni ibu bekerja yang ada dalam tahap perkembangan dewasa awal. Faktor kognitif, dukungan sosial dan budaya digunakan sebagai acuan dalam mengkoding data.

C. Konflik Peran Ganda Pada Ibu Bekerja

Netemeyer, McMurrian & Boles (dalam Meilani, Sunarti & Krisnatuti, 2014) menyatakan bahwa konflik peran ganda adalah keinginan yang berbeda atau berlawanan antara pekerjaan dan keluarga dimana peran yang satu menuntut lebih sehingga menimbulkan gangguan terhadap peran lainnya. Melengkapi pengertian sebelumnya, Kahn (Al Shofa & Kristiana, 2015) mendifinisikan konflik peran ganda sebagai suatu keadaan dimana adanya perbedaan harapan peran yang menimbulkan ketidakselarasan tekanan peran sehingga mengakibatkan munculnya konflik psikologis pada individu yang menjalani peran ganda.

Netemeyer (1996) dalam penelitiannya menunjukkan adanya hubungan dua arah antara peran keluarga dan peran pekerjaan dalam konflik peran ganda. Ada dua komponen konflik peran ganda, yaitu Family Interference with Work (FIW) dan Work Interference with Family (WIF). Pertama, Family Interference with Work (FIW) adalah konflik peran ganda dapat muncul akibat urusan keluarga mengganggu urusan pekerjaan, artinya bentuk konflik antar peran dimana tuntutan yang muncul di dalam keluarga mengganggu pelaksanaan tanggung jawab pekerjaan. Kedua, Work Interference with Family (WIF) adalah konflik


(41)

peran ganda dapat muncul akibat urusan pekerjaan mengganggu urusan keluarga, artinya bentuk konflik antar peran dimana tuntutan yang muncul di dalam pekerjaan mengganggu pelaksanaan tanggung jawab keluarga.

Greenhaus & Beutell (1985) menjelaskan bahwa konflik peran ganda disebabkan oleh tiga faktor, yaitu waktu, ketegangan dan penyesuaian peran. Konflik peran ganda yang disebabkan oleh waktu, terjadi ketika seorang ibu yang bekerja mengalami kesulitan memenuhi peran yang lain karena waktu yang ada habis digunakan untuk pemenuhan satu peran saja. Contoh, seorang ibu yang waktunya terkuras habis di tempat kerja tidak dapat meluangkan waktunya ketika sudah berada di rumah atau keterlambatan ibu yang bekerja ketika sampai di tempat kerja karena harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Kedua adalah ketegangan, faktor ini timbul oleh salah satu peran dimana ketegangan yang ada pada peran tertentu dapat mempengaruhi pelaksanaan peran lainnya. Teori ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa perawat yang memiliki ketegangan dalam keluarga akan menurunkan semangat dan produktivitas kerjanya (Wulandari, 2013). Terakhir adalah penyesuaian peran, hal ini terjadi jika seorang ibu tidak bisa menyesuaikan perannya ketika harus menjadi ibu di rumah dan menjadi pekerja di luar rumah.

Setiap pilihan pasti mendatangkan konsekuensi, begitu pula yang dirasakan ibu yang bekerja. Cukup banyak masalah yang muncul karena konflik peran ganda yang dialami oleh ibu yang bekerja. Dampak ini tak


(42)

hanya berupa keletihan fisik, namun juga psikis. Hasil penelitian Barnett & Hyde (dalam Syarifah & Kusumaputri, 2014) menunjukkan bahwa ibu yang berperan ganda terbukti memiliki dampak negatif, seperti meningkatnya stress, depresi dan gangguan fisik. Selain itu, ketika sebuah perusahaan tidak memiliki kebijakan yang mengadaptasi dari masalah konflik peran ganda pada karyawan perempuan akan menyebabkan karyawan perempuan menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Situasi yang tidak menyenangkan di perusahaan akan memudahkan munculnya stress yang kemudian berpengaruh pada kinerja karyawan perempuan serta produktivitas dan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang (Triaryati, 2003). Oleh sebab itu perlu adanya perhatian khusus dari dalam diri dan juga lingkungan sekitar perempuan menikah yang bekerja untuk menyikapi dampak konflik peran ganda agar tidak semakin memperburuk keadaan.

D. Regulasi Emosi Pada Ibu Bekerja Yang Mengalami Konflik Peran Ganda

Meningkatnya jumlah pekerja perempuan di Jawa dan Bali sebesar 0,11% pada tahun 2012 (Kusumasmara, Widyawan, Wibowo & Hapsari, 2016) membawa dampak positif dan negatif dalam kehidupan ibu yang bekerja. Dampak positif yang dirasakan adalah meningkatnya pendapatan keluarga, dapat mengembangkan kemampuan diri dan memperluas wawasan serta pertemanan (Hermayanti, 2014). Dampak negatif yang dapat dirasakan oleh ibu bekerja, seperti tidak adanya keberadaaan ibu


(43)

bekerja letika dibutuhkan untuk urusan keluarga, lebutuhan keluarga yang tidak dapat terpenuhi secara menyeluruh, kelelahan fisik yang muncul karena terkurasnya tenaga saat bekerja menyebabkan ibu bekerja tidak dapat dengan maksimal melakukan tanggung jawabnya sebagai ibu di rumah secara maksimal dan tidak dapat menemani suami dalam kegiatan-kegiatan tertentu (Latuny, 2012)

adalah adanya tuntutan waktu dan tenaga yang ekstra karena harus melakukan pekerjaan sebagai ibu bekerja dan sebagai ibu rumah tangga secara bersamaan. Selain itu, adanya konflik pekerjaan atau konflik rumah tangga yang mempengaruhi satu dengan lainnya serta mulai berkurangnya perhatian untuk anak. Adanya tuntutan peran pekerjaan dan tuntutan peran rumah tangga disaat bersamaan menyebabkan munculnya konflik peran ganda pada ibu bekerja.

Kahn, dkk (dalam Al Shofa & Kristiana, 2015) mendefinisikan konflik peran ganda sebagai suatu situasi di mana adanya perbedaan harapan yang menimbulkan ketidakselarasan tekanan peran sehingga mengakibatkan konflik psikologis pada individu. Konflik peran ganda yang dialami ibu yang bekerja membawa dampak negatif pada psikisnya. Dampak psikis yang dirasakan oleh ibu yang bekerja, seperti tegang, cemas, mudah marah, dan sedih. Pernyataan ini selaras dengan penelitian yang dilakukan Barnett & Hyde (dalam Syarifah & Kusumaputri, 2014) menunjukkan adanya dampak negatif seperti meningkatnya stress, depresi


(44)

dan adanya gangguan fisik pada ibu bekerja yang mengalami konflik peran ganda.

Untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dari konflik peran ganda maka perlu adanya regulasi emosi pada ibu yang bekerja. Regulasi emosi menurut Widuri (2012) sebagai suatu kemampuan individu dalam mengatur dan mengekspresikan emosi serta perasaannya dalam kehidupan sehari-hari. Melengkapi pengertian sebelumnya Thompson (1994) mendefinisikan regulasi emosi sebagai suatu proses pertanggung jawaban individu dalam memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosi secara intensif dan khusus untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini dilakukan untuk mengurangi respon yang kurang tepat akibat emosi negatif yang dirasakan (Sobur, 2003).

Regulasi emosi menurut Gross (2014) dapat dilakukan dalam beberapa bentuk, pertama, situation selection dimana ibu yang bekerja berusaha untuk mendekati, menjauh atau bahkan menghindari seseorang, objek, tempat ataupun situasi yang dapat menimbulkan emosi. Kedua, situation modification yang merupakan usaha ibu yang bekerja untuk memodifikasi situasi secara langsung yang mendatangkan situasi baru. Ketiga, attention deployment dimana ibu yang bekerja berusaha untuk mengarahkan perhatiannya didalam sebuah situasi untuk mengatur emosinya. Dalam bentuk regulasi ini, ibu yang bekerja dapat melakukannya dengan dua cara, yaitu distraksi dan konsentrasi. Distraksi adalah memfokuskan perhatian pada aspek berbeda dari sebuah situasi


(45)

atau memindahkan perhatian jauh dari situasi yang tidak menyenangkan secara bersamaan. Pengertian konsentrasi dalam bentuk regulasi emosi Attention Deployment adalah ketertarikan atau perhatian individu pada keistimewaan emosi yang ditimbulkan akibat situasi tertentu. Keempat, cognitive change yang merupakan usaha ibu yang bekerja untuk merubah cara pandangnya dalam menilai situasi ketika dirinya mengalami situasi yang tidak menyenangkan. Terakhir, response modulation yang merupakan usaha ibu yang bekerja untuk mengatur dan menampilkan respon emosi yang tidak berlebihan. Regulasi emosi yang dilakukan individu memiliki dampak positif apabila dilakukan dan memiliki dampak negatif apabila individu tidak melakukan regulasi emosi dalam kesehariannya. Dampak negatif yang terjadai pada diri individu apabila tidak melakukan regulasi emosi, antara lain cenderung merasakan emosi yang bergantian antara sedih dan bahagia, individu akan cenderung dikuasai oleh emosi negatif serta melampiaskan emosi negatifnya pada orang-orang disekitarnya (Yusuf, 2015). Kelima bentuk regulasi emosi dalam penelitian sebelumnya (Aprisandityas & Diana, 2012; Kusumaningrum, 2012; Yusuf, 2015) menunjukkan adanya dampak positif yang dirasakan apabila individu melakukan regulasi emosi pada dirinya. Dampak positif yang dirasakan, diantaranya munculnya perasaan tenang dalam diri, berkurangnya kecemasan dalam diri, menjadi lebih dekat dengan Tuhan, emosi yang dirasakan lebih positif dan bahagia dalam menjalani kesehariannya.


(46)

Skema 1 Kerangka Berpikir

E. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian adalah bagaimana gambaran regulasi emosi yang dilakukan ibu bekerja yang mengalami konflik peran ganda.

Ibu yang Bekerja

Keluarga:

- Peningkatan pendapatan keluarga

- Waktu dengan keluarga berkurang

- Kurang terpenuhinya perhatian dan perawatan untuk anak dan keluarga

Konflik Peran Ganda

Emosi Negatif

(Marah, Sedih, Cemas, Takut, Malu,

Cemburu, Rasa Bersalah, dan Iri)

Regulasi Emosi 1. Situation selection 2. Situation modification 3. Attention deployment 4. Cognitive change 5. Response

modulation

Pekerjaan: - Terpenuhinya

aktualisasi diri

- Bertambahnya wawasan dan pergaulan

- Tenaga, pikiran dan waktu perempuan terkuras habis di kantor


(47)

26 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Bodgan dan Taylor (dalam Suwandi & Basrowi, 2008) adalah sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penelitian kualitatif memiliki tujuan khusus dalam ranah psikologi. Tujuan dari penelitian kualitatif difokuskan pada penggalian dari pengalaman-pengalaman partisipan penelitian di mana pengalaman tersebut menjadi dasar dalam besikap dan berperilaku dalam batasan fokus penelitian (Herdiansyah, 2015).

Pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan oleh peneliti adalah analisis isi deduktif atau analisis isi terarah (directed content analysis). Analisis isi terarah menurut Hsieh dan Shannon (dalam Supratiknya, 2012) memiliki tujuan untuk memvalidasi atau menguji ulang sebuah kerangka teoritis atau bahkan sebuah teori. Supratiknya (2012) mengatakan bahwa pendekatan ini sesuai jika diterapkan ketika sudah ada teori atau hasil-hasil penelitian tertentu tentang suatu fenomen dan kita ingin memvalidasi atau mengujinya kembali dalam konteks baru anatara lain dengan menggunakan kelompok subjek yang baru pula. Hsieh dan Shannon (dalam Supratiknya, 2012) mengatakan bahwa teori atau hasil penelitian terdahulu yang sejenis


(48)

digunakan untuk membantu peneliti dalam merumuskan pertanyaan penelitian atau membantu menentukan skema awal pengkodean atau skema awal hubungan antar kode.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian yang dilakukan peneliti lebih menekankan pada bagaimana regulasi emosi pada ibu bekerja yang mengalami konflik peran ganda.

C. Partisipan Penelitian

Partisipan yang diteliti sejumlah 3 orang. Keputusan ini didasarkan pada pernyataan Patton (1990) yang menyatakan bahwa tidak ada aturan pasti untuk jumlah partisipan dalam penelitian kualitatif. Jumlah partisipan tergantung pada apa yang ingin diketahui serta tujuan penelitian. Selain itu, pemilihan 3 partisipan dalam penelitian juga bertujuan agar data yang didapatkan lebih mendalam (Patton, 1990).

Pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan purposive

sampling dan snowball sampling. Purposive sampling yaitu pemilihan

partisipan berdasarkan ciri-ciri atau keriteria yang sesuai dengan tujuan penelitian (Herdiansyah, 2015). Untuk dapat mencapai tujuan penelitian, maka peneliti menentukan beberapa kriteria untuk partisipan penelitiannya. Pertama, partisipan penelitian adalah seorang ibu yang berusia dewasa awal dalam rentang 21-40 tahun (Sobur, 2003). Kriteria ini dipilih dengan alasan bahwa pada usia tersebut individu sedang mengalami fase kehidupan perkawinan, mengurus anak serta keluarga dan mencapai puncak karir. Kedua, memilih


(49)

seorang ibu yang berstatus karyawati atau pegawai. Ketiga, perusahaan atau instansi tempat partisipan bekerja memiliki jam kerja terikat, yaitu kurang lebih 7 jam/hari selama 5 hari kerja. Ibu yang bekerja dengan jam kerja yang mengikat disertai dengan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga, diharapkan konflik peran gandanya dapat terlihat.

Teknik sampling kedua adalah snowball sampling. Snowball sampling adalah penelusuran lebih lanjut yang bersifat sambung menyambung hingga sampai pada sasaran yang hendak diteliti (Herdiansyah, 2015). Peneliti menggunakan teknik ini dengan bertanya kepada orang tua, keluarga, kerabat dan teman untuk mendapatkan partisipan yang sesuai dengan kriteria.

D. Metode Pengambilan Data

Pada penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara semi-terstruktur. Metode ini dianggap tepat karena pertayaan yang diajukan adalah pertanyaan terbuka yang menghasilkan jawaban yang lebih bebas namun tidak keluar dari konteks pembicaraan. Pertanyaan yang diajukan pada partisipan lebih fleksibel, tergantung situasi-kondisi serta alur pembicaraan. Meskipun terkesan bebas dan fleksibel, namun tetap ada kontrol di dalamnya. Kontrol pada metode ini melalui acuan pedoman wawancara yang ditetapkan atau dibuat peneliti sebelum melakukan wawancara pada partisipan. Pedoman wawancara yang dibuat peneliti hanya topik-topik yang sekiranya dapat diimprovisasikan sesuai situasi-kondisi dan alur pembicaraan alamiah antara peneliti dengan partisipan. Pedoman wawancara hanya ditujukan agar peneliti


(50)

dan partisipan tidak keluar dari tema atau konteks penalitian (Herdiansyah, 2015).

Sebelum melakukan wawancara dengan partisipan, peneliti akan membuat panduan wawancara yang bertujuan untuk mengingatkan peneliti pada topik-topik yang ingin diketahui dari partisipan. Selain itu, panduan wawancara juga tidak dibuat kaku agar mendapatkan jawaban yang mendalam mengenai fenomena yang dialami oleh partisipan (Herdiansyah, 2015). Selama proses wawancara, peneliti akan merekam semua jawaban partisipan menggunakan recorder dan handphone yang kemudian akan dipindah menjadi data tertulis berupa verbatim yang akhirnya akan dikoding sesuai dengan tema-tema yang ada. Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti membuat pertanyaan utama untuk penelitian ini, berupa bagaimana regulasi emosi pada ibu bekerja yang mengalami konflik peran ganda. Untuk mempermudah mendapatkan jawaban atas pertanyaan utama tersebut maka peneliti akan membuat beberapa pertanyaan kecil yang dapat membantu menjelaskan bagaimana proses-proses yang terjadi pada partisipan dalam melakukan regulasi emosinya. Daftar panduan pertanyaan seperti berikut:


(51)

Tabel 1. Panduan Pertanyaan Umum

Konflik Peran Ganda

1. Bisakah ibu ingat-ingat dan ceritakan kembali pada saya pengalaman pertama ibu ketika menjalani peran sebagai karyawan dan ibu rumah tangga secara bersamaan?

2. Kendala apa yang ibu alami ketika melakukan aktivitas kerja dan mengurus rumah tangga?

3. Apa yang ibu rasakan ketika menghadapi kendala tersebut?

4. Bagaimana perasaan ibu ketika meninggalkan anak pertama kali untuk bekerja?

5. Bagaimana perasaan ibu ketika harus dengan terpaksa meninggalkan anak yang sakit di rumah untuk keperluan pekerjaan?

6. Bagaimana pendapat suami ibu ketika ibu memutuskan untuk bekerja? 7. Apakah di kantor ibu ada sistem lembur? Bagaimana tanggapan keluarga

mengenai hal tersebut?

8. bagaimana tanggapan keluarga ibu yang kurang / tidak mendukung sistem kerja kantor ibu (lembur)?

9. Bagaimana perasaan ibu ketika harus meninggalkan rumah dalam waktu yang lama untuk keperluan pekerjaan?

Regulasi Emosi

10.Bagaimana ibu mengelola perasaan sedih, marah, kecewa, takut cemas ibu karena kendala mengatasi aktivitas sebagai pekerja dan ibu rumah tangga? 11.Apa yang ibu lakukan untuk mencari ketenangan ketika merasakan

kesedihan, marah, kecewa, iri, cemas akibat ketidak mampuan ibu mengatasi kendala sebagai ibu dan sebagai pekerja sekaligus?

12.Dari beberapa cara ibu mengatasi perasaan sedih, kecewa, iri, takut, marah dan cemas, kira-kira ada tidak cara paling efektif untuk mengatasi hal tersebut?

13.Ada tidak cara lain yang ibu temukan sekarang untuk mengatasi perasaan sedih, kecewa, takut, cemas, iri dan marah karena menghadapi kendala dalam menyelesaikan tututan rumah dan pekerjaan

E. Proses Pengumpulan Data

Setelah pedoman wawancara dibuat, maka proses pengumpulan data yang akan dilakukan peneliti sebagai berikut:

1. Menentukan partisipan yang sesuai dengan kriteria penelitian

2. Ketika sudah mendapatkan calon partisipan, peneliti akan melakukan rapport terlebih dahulu untuk mendekatkan diri dengan partisipan


(52)

sekaligus untuk menjelaskan maksud dan tujuan peneliti untuk mendapatkan data yang digunakan untuk pemenuhan tugas akhir. Selain itu, partisipan menggunakan kesempatan ini untuk menscreening pengalaman partisipan apakah muncul konflik peran ganda dalam perjalanan hidup peran ganda partisipan atau tidak. Jika pengalaman konflik peran ganda yang diinginkan tidak ada maka partisipan akan berterimakasih dan menghentikan proses pengambilan data pada tahap ini kemudian mencari partisipan yang sesuai.

3. Peneliti menjelaskan kepada setiap calon partisipan secara personal mengenai topik dan tujuan penelitian.

4. Peneliti bertanya pada partisipan mengenai kesediaan partisipan untuk menjadi partisipan dalam penelitian dan memberikan data yang dibutuhkan oleh peneliti

5. Partisipan menandatangani informed consent sebagai tanda kesediaan untuk menjadi partisipan pada penelitian ini

6. Peneliti menanyakan kesediaan waktu partisipan untuk tatap muka selanjutnya dan melaksanakan wawancara

7. Peneliti dan partisipan akan melaksanakan wawancara sesuai dengan jadwal yang disepakati bersama. Sebelum memulai wawancara, peneliti akan meminta ijin pada partisipan untuk merekam semua jawaban selama proses wawancara berlangsung menggunakan handphone dan recorder. Tujuan merekam semua jawaban adalah untuk mempermudah peneliti dalam membuat verbatim.


(53)

8. Peneliti mendengarkan hasil rekaman wawancara dan membuat verbatim

9. Setelah membuat verbatim, peneliti lalu memulai menganalisis data yang ada

10.Peneliti membaca hasil analisis data secara berulang dan jika masih ada yang kurang, maka peneliti akan melakukan wawancara tambahan untuk memperdalam data yang masih belum tampak dan kurang mendalam.

11.Hasil analisis yang sudah dibuat oleh peneliti, diberikan oleh teman atau pembimbing peneliti untuk memperoleh kredibilitas penelitian.

F. Analisis Data

Pelaksanaan analisis isi terarah dengan basis penerapan kategori secara deduktif ini akan mencakup langkah-langkah sebagaimana diuraikan berikut ini (Supratiknya, 2012):

1. Menurut Elo dan Kyngas (dalam Supratiknya, 2012) peneliti harus menyususn matriks kategorisasi. Hsieh dan Shannon (dalam Supratiknya, 2012) mengatakan jika pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, maka para partisipan yang dipilih peneliti akan diberikan pertanyaan utama yang bersifat terbuka tentang aneka pengalaman atau suka duka yang dialami atau dirasakan masing-masing partisipan. Kemudian, peneliti juga menyertakan pertanyataan-pertanyaan lanjutan yang lebih terarah sekitar kategori-kategori yang sudah ditentukan sebelumnya.


(54)

2. Peneliti melakukan coding atau pengkodean. Tujuan penelitian dengan analisis isi terarah adalah mengidentifikasikan dan mengkategorisasikan semua bentuk manifestasi dari fenomen tertentu yang sedang diteliti. Hsieh dan Shannon (dalam Supratiknya, 2012) terdapat dua strategi dalam melakukan pengkodean. Strategi pertama mencakup dua langkah, yaitu pertama peneliti terlebih dulu membaca keseluruhan transkrip wawancara yang merupakan satuan analisis dan menandai setiap bagian dari teks yang mempresentasikan fenomena yang sedang diteliti. Kedua, sesudah itu peneliti langsung menentukan kode dari semua bagian dari teks yang sudah ditandai dengan menggunakan kode-kode yang sudah ditentukan dari matriks kode. Setiap bagian teks yang dipandang mempresentasikan fenom yang diteliti namun yang tidak cocok dimasukkan ke dalam salah satu dari kode-kode yang tercantum dalam matriks kode diberi kode baru atau kode tambahan. Strategi kedua, saat membaca keseluruhan transkrip wawancara peneliti langsung melakukan pengkodean dengan menggunakan kode-kode yang sudah ditentukan dalam matriks kode. Data atau bagian-bagian dari teks yang tidak bisa segera dimasukkan ke dalam salah satu kode yang ada dalam matriks kode ditandai. Sesudah selesai dengan pengkodean, bagian-bagian tersebut merepresentasikan satu atau lebih kategori baru atau hanya merupakan subkategori dari salah satu kode yang sudah tersedia.


(55)

3. Pengkategorian data verbatim, peneliti lakukan dengan pedoman teori yang tertulis di bab dua dan dirangkum dalam table berikut:

Tabel 2. Indikator Pengkategorisasian

Kategori Indikator Situation

Selection

Segala bentuk usaha partisipan baik menjauhi maupun mendekati objek, orang maupun kejadian yang memicu munculnya emosi

Situation Modification

Segala bentuk usaha yang dilakukan partisipan untuk memodifikasi situasi secara langsung yang mendatangkan situasi baru, seperti; mangatur waktu, meminta bantuan, merancang rencana, melakukan persiapan sebelum berkegiatan, dan lain-lain.

Attention Deployment

Segala bentuk usaha partisipan untuk mengarahkan perhatiannya di dalam sebuah situasi untuk mengatur emosinya, seperti jalan-jalan, berkonsentrasi pada suatu kegiatan, bermain dengan anak dan lain-lain

Cognitive change Segala bentuk usaha partisipan dengan merubah cara pandangnya dalam menilai situasi ketika individu tersebut mengalami situasi yang tidak menyenangkan.

Response modulation

Segala bentuk usaha yang dilakukan individu untuk mengatur dan menampilkan respon emosi yang tidak berlebihan, seperti berolahraga, yoga, relaksasi.

G. Kredibilitas dan Dependabilitas Penelitian

Kredibilitas pada penelitian ini menggunakan dua strategi, yaitu peer debriefing dan member checking. Peer debriefing adalah sebuah proses yang mengharuskan peneliti mencari seorang rekan yang dapat mereview untuk berdiskusi mengenai penelitian kualitatif sehingga hasil penelitiannya dapat dirasakan oleh orang lain selain peneliti sendiri. Strategi ini digunakan dengan


(56)

melibatkan interpretasi lain selain interpretasi peneliti sehingga dapat menambah validitas atas hasil penelitian (Creswell, 2012). Member checking diterapkan untuk mengetahui akurasi hasil penelitian. Member checking dilakukan dengan membawa hasil laporan akhir ke hadapan partisipan untuk mengecek kembali apakah partisipan merasa laporan atau deskriptif atau tema tersebut sudah akurat (Creswell, 2012).

Dependabilitas dalam penelitian kualitatif sama halnya dengan

realibilitas pada penelitian kuantitatif. Dependabilitas digunakan untuk melihat sejauh mana temuan penelitian kualitatif memperlihatikan konsistensi hasil temuan ketika dilakukan oleh penelitian yang berbeda dengan waktu yang berbeda tetapi dengan metodologi dan interview script yang sama (Afiyanti, 2008). Uji dependabilitas yang digunakan pada penelitian ini adalah konsistensi. Konsistensi dalam penelitian ini dapat dinilai atau diuji jika interview script atau daftar kuisioner yang digunakan peneliti untuk mewawancarai partisipannya dapat suatu jawaban yang terintegrasi dan sesuai dengan pertanyaan atau topik yang diberikan (Afiyanti, 2008).


(57)

36 BAB IV

PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Persiapan Dan Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan penelitian dan perijinan

Penelitian ini menggunakan partisipan seorang ibu yang bekerja pada sebuah institusi atau perusahaan. Penentuan partisipan dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling dan snowball sampling. Sebelum mencari partisipan untuk penelitian ini, maka peneliti menentukan beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh partisipan. Kriteria partisipan dalam penelitian kali ini: seorang ibu yang berusia 21- 40 tahun dan bekerja di sebuah institusi atau perusahaan. Setelah menentukan kriteria, peneliti kemudian mencari partisipan yang sesuai dengan kriteria peneliti dengan bertanya kepada orangtua, keluarga dan teman.

Setelah mendapatkan beberapa informasi bahwa terdapat partisipan yang sesuai dengan kriteria peneliti, maka peneliti langsung menghubungi partisipan melalui alat telekomunikasi (telepon, SMS atau chatting) untuk menanyakan kesedian partisipan dalam penelitian. Jika bersedia, maka peneliti dan partisipan akan mengatur jadwal pertemuan untuk wawancara. Sebelum wawancara dilakukan, peneliti akan membuat panduan wawancara. Panduan wawancara yang dibuat peneliti mengacu pada teori yang digunakan peneliti pada penelitiannya.


(58)

Ketika panduan wawancara sudah siap dan jawal pertemuan sudah ditetapkan maka peneliti akan memulai wawancara. Sebelum wawancara, peneliti akan sedikit menjelaskan tujuan wawancara, meminta partisipan mengisi informed consent serta meminta ijin partisipan untuk merekam proses wawancara menggunakan alat perekam dan handphone. Untuk pertemuan wawancara (probing) akan ditentukan setelah peneliti melihat hasil data yang diperoleh. Jika memang tidak dibutuhkan probing maka peneliti tidak akan melakukannya. Jika memang dibutuhkan, maka peneliti dan partisipan akan kembali mengatur waktu dan tempat untuk proses wawancara (probing).

2. Pelaksanaan penelitian

Peneliti melakukan pengambilan data dengan metode wawancara. Proses pengambilan data dilakukan 2 (dua) kali, yaitu: rapport sekaligus wawancara dan probing. Tahapan ini dilakukan peneliti pada partisipan pertama dan kedua. Pada partisipan ketiga, peneliti melakukan rapport, wawancara dan probing dihari yang sama. Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan waktu dan jarak. Perlu diketahui, partisipan pertama dan kedua adalah orang yang sejak kecil hidup di Yogyakarta sedangkan untuk partisipan ketiga adalah perantau yang tinggal dan bekerja di Tangerang. Berikut ini merupakan waktu dan tempat pengambilan data:


(59)

Tabel 3.Waktu dan Tempat Penelitian

No Keterangan Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3 1 Wawancara Sabtu, 23 Juli

2016 di Ruangan Kerja Partisipan

Minggu, 6 Nov 2016 di Rumah Makan

Sabtu, 26 Nov 2016 di Rumah Partisipan 2 Probing Jumat, 18 Nov

2016 di Ruangan Kerja Partisipan

Senin, 7 Nov 2016 di Coffee Shop

Sabtu, 26 Nov 2016 di Rumah Partisipan

B. Partisipan Penelitian 1. Data partisipan

Tabel 4.Data Partisipan

No Keterangan Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3 1 Nama Inisial P1 P2 P3

2 Usia 37 Tahun 27 Tahun 32 Tahun 3 Pendidikan

Terakhir

D3 S1 S1

4 Status Menikah Menikah Menikah 5 Usia

Perkawinan

10 Tahun 2 Tahun 9 Tahun 6 Pekerjaan

Suami

Wiraswasta Kontraktor Karyawan Swasta

7 Jumlah Anak 3 1 1

8 Pekerjaan Karyawan Rumah Sakit Swasta

Pengacara Karyawan Perusahaan Swasta 9 Usia Pekerjaan 10 Tahun 1 Tahun 12 Tahun 10 Agama Kristen Katolik Islam

2. Latar belakang partisipan a. Partisipan 1

P1 (34 tahun) adalah seorang ibu rumah tangga sekaligus wanita karir. P1 dengan pendidikan D3 Analisis Kesehatan telah bekerja selama 10 tahun di Rumah Sakit Swasta ternama di Yogyakarta. Di Rumah Sakit


(60)

tersebut, P1 bertanggung jawab sebagai koordinator laboratorium bagian analisis kesehatan. P1 bekerja selama kurang lebih 7 jam/hari (07.00-14.00 WIB) dan pada hari Sabtu bekerja dari jam 07.00-12.00 WIB. Pada hasil wawancara terlihat bahwa P1 menikmati dan bersyukur atas pekerjaan yang sedang dijalaninya. Meskipun sudah memiliki pekerjaan tetap dan penghasilan yang mencukupi, tak membuat P1 berpuas diri. P1 memiliki bisnis sampingan yaitu online shop produk kecantikan. Hasil dari bisnis onlinenya tersebut, dikatakan P1 dapat digunakannya untuk menambah penghasilan keluarga.

Ketika P1 memutuskan untuk bekerja, ada beberapa alasan yang melatar belakangi keputusannya. Alasan utama P1 bekerja adalah untuk membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu, keinginan orang tua P1 untuk melihat anaknya tidak hanya sebagai ibu rumah tangga tetapi juga dapat bekerja mencari nafkah dinyatakan P1 sebagai alasan lain pendorong keputusannya. Terakhir, keinginan untuk mengaplikasikan ilmu serta aktualisasi diri menjadi pendorong terakhir keputusan P1 untuk tetap bekerja ketika sudah berumah tangga.

P1 di luar rumah memiliki tanggung jawab sebagai pegawai. Sebagai seorang perempuan yang sudah menikah tentunya P1 tidak melupakan kodratnya sebagai ibu. P1 telah menikah dengan suaminya (34 tahun) yang merupakan seorang wiraswasta selama kurang lebih 10 tahun. Selama perjalanan pernikahannya, P1 telah dikarunia 3 orang anak. P1 memiliki 2 anak laki-laki yang 7 tahun dan 11 bulan serta 1 anak


(61)

perempuan yang berusia 3,5 tahun. Di rumahnya, P1 tidak hanya tinggal dengan keluarga intinya, namun kedua mertuanya ikut tinggal bersama dengan P1.

Meskipun bekerja, P1 tak lantas meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu. Di tengah padatnya rutinitas sebagai wanita karir, P1 tetap menyempatkan untuk mengurus keperluan rumah tangga, seperti berbelanja kebutuhan keluarga, menyiapkan bekal sekolah anak, memandikan anak dan menyiapkan makan untuk anaknya yang masih bayi. Selain itu, sebelum berangkat bekerja P1 juga mengantarkan anaknya ke sekolah yang kebetulan searah dengan tempat kerja P1. Setelah pulang bekerja pun rutinitasnya belum selesai, P1 masih harus menyuapi anaknya, memberi ASI, mendampingi anaknya belajar dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga lainnya. Rutinitas itu terus dilakukan P1 setiap harinya selain rutinitas pekerjaan.

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan peneliti dengan P1, terlihat bahwa P1 adalah tipe orang yang cenderung pendiam ketika memiliki masalah. P1 menceritakan bahwa dirinya ketika memiliki masalah lebih memilih untuk diam dan tak ingin orang lain tahu tentang masalahnya. P1 juga ketika berselisih paham dengan orang lain, memilih untuk diam agar tidak semakin memperkeruh suasana dan mencari waktu lain untuk menyelesaikannya. Selain itu, P1 adalah seorang perempuan yang mandiri. P1 terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri, dari mulai menyelesaikan pekerjaan rumah tangga hingga ketika bekerja pun P1


(62)

berangkat kerja sendiri dengan menggunakan sepeda motor. Ketika keuangan rumah tangga sedang kurang, P1 berusaha untuk mencari tambahan agar tidak terlalu menambah beban suami.

b. Partisipan 2

P2 (27 tahun) adalah seorang ibu yang bekerja sebagai seorang pengacara di sebuah lembaga bantuan hukum di Yogyakarta. P2 sudah menikah dengan suaminya (36 tahun) yang seorang kontraktor selama kurang lebih 2 tahun dan dikaruniai seorang anak perempuan. P2 telah menjalani dua perannya, sebagai ibu rumah tangga sekaligus pengacara selama kurang lebih 1 tahun. Setelah menikah, P2 dan suami menempati rumah bersama dengan mertuanya. P2 dan suami tetap tinggal bersama dengan mertua karena belum diijinkan oleh mertua untuk tinggal terpisah, meskipun sebenarnya secara finansial P2 dan suami sudah mampu untuk tinggal mandiri. Pekerjaan P2 sebagai pengacara sebenarnya memiliki jam kerja dari jam 09.00 WIB – 16.00 WIB. Jika akan ada sidang atau bertemu klien di esok hari, maka terkadang P2 pulang jam 17.00 WIB atau berangkat ke kantor lebih awal yaitu jam 08.00 WIB.

P2 memutuskan untuk bekerja dan mengurus rumah tangga setelah memiliki anak. Hal ini dipilih P2 karena alasan utamanya bekerja adalah untuk aktualisasi diri. P2 merasa ingin mengembangkan dirinya dengan bekerja, selain itu P2 juga ingin mengaplikasikan ilmu yang dimilikinya. Alasan ekonomi bukanlah pendorong utama P2 bekerja. Meskipun tidak bekerja, suami P2 masih dapat membiayai kehidupan keluarga. P2 juga


(63)

tidak suka rutinitas yang monoton dan berdiam diri di rumah, hal ini yang semakin membulatkan tekad P2 untuk bekerja sambil mengurus rumah tangga.

c. Partisipan 3

P3 (32 tahun) adalah ibu rumah tangga yang bekerja di sebuah perusahaan besar di Tangerang sebagai staff accounting. P3 telah bekerja pada perusahaan tersebut sejak 12 tahun lalu dan kemudian memutuskan untuk menikah setelah 3 tahun bekerja. Suami P3 (34 tahun) bekerja sebagai karyawan pabrik di perusahaan besar di Tangerang. P3 telah menjalani perkawinan dengan suaminya selama kurang lebih 9 tahun dan sudah dikaruniai anak perempuan berusia 1,5 tahun. P3 dan suami tinggal di sebuah rumah dekat dengan tempat P3 dan suami bekerja. Mereka tinggal berjauhan dengan keluarga besarnya yang berada di Purworejo.

P3 memilih untuk tetap menjadi wanita karir setelah menikah karena memiliki tujuan utama yaitu membantu perekonomian kelaurga. P3 merasa di keadaan seperti sekarang jika hanya suami yang bekerja tentu belum bisa mencukupi segala kebutuhan yang ada. P3 juga merasa jika ia bekerja maka dapat mengisi waktu luangnya dan mengaktualisasikan dirinya. Selain itu, pekerjaan P3 tidak mengharuskan dirinya untuk lembur dan memiliki jam kerja pasti. P3 bekerja dari jam 08.00 WIB – 17.00 WIB, dilakukan selama 5 hari kerja (Senin-Jumat).

Selama ini P3 menjalani perannya sebagai ibu dan sebagai wanita karir secara bersamaan. Hampir seluruh pekerjaan rumah dilakukan P3


(64)

secara mandiri, dari mulai masak, mencuci, membersihkan rumah, mengasuh anak dan mengurus keluarga. Saat bekerja, P3 terpaksa menitipkan anaknya pada pengasuh yang juga sekaligus tetangganya. Selama bekerja, P3 mempercayakan pengasuhan anaknya pada pengasuhnya tersebut. Meskipun dititipkan pada pengasuh, untuk urusan kebutuhan makan dan keperluan anak lainnya tetap disiapkan P3 dengan baik. Sebelum pergi bekerja, P3 tetap masak dan menyuapi anaknya sarapan. Ketika dititipkan, P3 juga menyiapkan segala kebutuhannya dari mulai susu, pakaian, mainan dan makanan. Tak lupa, P3 menitipkan uang kepada pengasuhnya untuk membelikan anaknya makanan yang diinginkan ketika anaknya tidak menyukai bekal makan siangnya. Meskipun diperbolehkan membeli makan dari luar, P3 tetap memberikan pesan pada pengasuh anaknya agar tidak membelikan anaknya makanan atau jajanan sembarangan. Hal ini dilakukan P3 sebagai usaha perlindungan P3 terhadap kesehatan dan kontrol asupan gizi anaknya. P3 akan menjemput anaknya setelah pulang kerja, apabila suami P3 pulang lebih awal, maka anaknya akan dijemput oleh suami P3.

C. Analisis Data Penelitian 1. Analisis P1

a. Konflik peran ganda

Perempuan menikah yang bekerja memiliki dua tuntutan peran dalam hidupnya, yaitu tuntutan sebagai ibu rumah tangga dan tuntutan sebagai pekerja. Keinginan untuk memenuhi tuntutan peran satu yang terkadang


(65)

bertentangan dengan pemenuhan tuntutan peran lainnya menyebabkan munculnya konflik peran ganda pada perempuan menikah yang bekerja. Hal ini yang menjadi pusat penelitian dan muncul dalam data penelitian kali ini.

Berdasarkan data analisis P1, ditemukan beberapa konflik peran ganda dan beberapa tuntutan lainnya yang muncul ketika P1 menjalani peran gandanya. Konflik peran ganda dirasakan P2 di pagi hari, saat harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, memandikan anak, mengurus bekal anak hingga menyiapkan keperluan untuk bekerja. Semua itu harus dilakukan P1 di pagi hari dan P1 merasa dirinya seperti kemrungsung untuk meyelesaikan tuntutan rumah tangga sekaligus tuntutan pekerjaannya.

Perasaan kemrungsung itu juga dirasakan ketika P1 masih harus memberikan ASI untuk anak pertamanya. P1 saat itu masih memiliki keterbatasan ekonomi, sehingga tidak memiliki lemari pendingin untuk menyimpan ASI. Keadaan tersebut memaksa P1 untuk tetap bekerja tetapi juga tetap memberikan ASI pada anak, dengan mengalokasikan waktu istirahat kerja untuk memberikan ASI kemudian kembali lagi ke kantor.

Muncul pergolakan batin ketika meninggalkan anak untuk bekerja pertama kali. Selain adanya pergolakan batin, P1 juga memiliki keinginan untuk bisa bersama keluarganya dalam waktu yang lama namun hal ini terhalang karena P1 harus bekerja. Pekerjaan P1 yang berhubungan


(66)

dengan pusat kesehatan masyarakat membuatnya tidak dapat libur dalam waktu yang lama.

Saat tiba di rumah P1 tidak lantas bisa istirahat. Rasa lelah dengan berbagai tuntutan dan masalah kantor, seperti: kerjaan yang menumpuk, pasien yang tidak sabar dan mendesak P1 untuk mendapatkan hasil serta perilaku rekan kerja yang terkadang membuat P1 jengkel, marah dan tertekan. Tetapi ketika sampai di rumah, P1 masih harus membereskan pekerjaan rumah, menemani anak mengerjakan PR, memberikan ASI dan menemani ketiga anaknya tidur.

Saat-saat tertentu keadaan yang membuatnya lelah di kantor dan masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah membuat P1 dan suami terlibat konflik. Tidak hanya dengan suami, tapi mertua yang juga tinggal bersama dengan P1 juga ikut campur urusan rumah tangga P1. Keadaan ini beberapa kali memicu pertengkaran antara P1 dengan mertuanya. P1 dengan mertua beberapa kali terlibat konflik karena mertua P1 tidak puas dengan kerjaan P1 di rumah. Belum lagi mertua selalu menasehati P1 untuk menasehati suaminya agar tidak pulang malam. Hal ini membuat P1 sangat tidak nyaman dan marah pada mertuanya.

Selain itu, tuntutan ekonomi juga menekan P1, terlebih karena suami P1 tidak memiliki pekerjaan tetap sehingga penghasilan P1 menjadi penghasilan utama untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya itu, P1 juga memiliki online shop untuk membantu perekonomian keluarganya.


(1)

273 ya masalah itu pasti ada ya, kadang kalo

suami saya orangnya gak bener atau apa-apa gitu yaudah ya kalo saya ya yaudah piliha ya sudah seperti i i ya kayak gitu, tapi ya cuman jadi kalo punya suami itu, semakin suami itu dibentak maka suami itu akan lari, tapi ketika suami salah, dan kita ya g erusaha oh i i loh, i i loh… da kita gak marah, malah nanti dia akan erasa ih ya a pu kok gak arah, kok tega sih seperti i i .

mangkel tapi ketika saya mangkel dan malah marah- arah ka u itu i i i ii .. itu malah gak sepaham, malah gak akan jadi baik, malah sua i saya gerti aku esu kok alah di eso i gitu ya alah ditambah dimarahin nanti dia akan malah ta ah ales diru ah jadi ya kita die

Ketika a ak ibu ya g perta a itu di awal -awal tahun pertama lebih dekat dengan mbah nya, apa yang ibu rasakan?Ya tetep kok i i kok, kok kayak, saya pula g kok saya gak ada ya g e ya ut atau apa tapi terus itu, tapi itu pas awal-awal aja,

maksudnya ee.. maksudnya bukan orang lain yang keluarga inti maksudnya kayak pembantu gitu kan kalo, kalo anakku tak titipin pembantu mesti kan aku bakalan rasanya lain maksudnya khawatir gitu lho khawatir takut anakku diapa-apain gitu kan maksudnya ee.. di kasih apa atau diapain atau diperlakukan kayak gimana gitu kan tapi kan aku ninggalin anakku itu kan sama orang-orang yang sudah aku percaya gitu kan maksudnya kan eyang nya sendiri kan

ggak u gki jahat.

kita ka setiap hari iasa ya ka kete u ya namanya sama anak sendiri kan, tapi kalo apa kalo untuk sedih itu paling kita pikirnya Aduh kok ggak selesai selesai ya , gitu ka masih berapa hari lagi udah udah kepengen pulang ketemu anak paling kan mikirnya cuma kayak gitu aja cuma balik lagi ke ee.. konsekuensinya maksudnya kalo aku kayak gitu terus maksudnya mikir kayak gitu terus kan nggak ada apa pekerjaannya kan nggak bakalan selesai-selesai gitu lho ee..

ora g-orang yang momong dia gitu karena kan eyang nya eyang-eyang nya papanya kan baik maksudnya ee.. mereka itu sangat


(2)

274 setelah itu ka saya gi i ah pali g a ti

kalo udah kepengen sama ibunya, mesti sa a i u ya, esti date g ke i u ya gitu aja.

semua kembali saya kembalikan ke Tuhan ya, kalo Tuhan ngasih asi seberapa dikit apa banyak itu disediakan buat anak ku nih, jadi meskipun sedikit pasti cukup, dan ya cukup juga akhirnya jadi semakin kita kemrungsung nanti asinya sedikit gitu. Pokoknya saya itu, hidup itu dikembalikan ke Tuhan, kalo saya ya, apapun yang terjadi, meskipun secara keuangan aja ini ya, kita hitung berapa rupiah yang kita dapet berapa rupiah yang akan kita keluarkan secara matematika gak akan sampe, tapi ketika kita pasrahkan, yang penting kita usaha ini ini ini, ya ternyata cukup loh, malah terkadang sisa gitu hehe.

pas a ak perta a, ka rasa ya eraat gitu ya, tapi ya i i sudah harus seperti i i.

sangat tanggung jawab gitu untuk apa ya ee.. jadi aku nggak pernah berpikir anakku bakal diapa-apain maksudnya ee.. kadang kan ee.. orang yang kerja di titipin ke pembantu gitu kan ee.. selalu kepikrian kan cemas maksudnya anakku ee.. dikasih makan apa gitu ee.. banyak kasus yang apa yang terjadi gitu ee.. anak-anak itu dikasi obat penenang biar cepet tidur atau apa gitu kan nah karena pembantunya capek atau apa gitu kan alasann lain nah itu dialami orang gitu lho nah itu tidak terjadi di saya gitu ee.. karena memang yang jagain keluarga sendiri jadi percaya aja gitu.

harus percaya diri gitu lho harus percaya diri tapi ya itu percaya diri itu emang harus dari kita sendiri gitu ya ee.. percaya diri bahwa aku itu bisa untuk melakukan kayak gitu itu lho aksu ya.

kan tapi kembali lagi sama pilihan ya jadi ya aku au ilih ya g a a.

aksudnya ee.. karier itu kan bisa di cari maksudnya uang itu kan juga bisa di cari gitu karier itu kan ujung-ujung nya ke uang kan


(3)

275 itu maksud ku bisa di cari tapi untuk kesuskesan untuk mendidik itu kan susah kan jadi apa ya sekarang sih lebih ke merhatiin Carol tetep ngasih waktu dia misalnya ya kayak weekend gitu.


(4)

(5)

(6)