Penelitian Tindakan Kelas Pkn Kelas v Materi Organisasi

(1)

i

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PKN KONSEP

ORGANISASI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN

KOOPERATIF TIPE JIGSAW PADA SISWA KELAS V SDN

UJUNG BATU 2 KECAMATAN PELAIHARI KABUPATEN

TANAH LAUT

SKRIPSI

OLEH

AULIA RAHMAN

NIM. A1E 307927

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

BANJARMASIN


(2)

(3)

iii

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PKN KONSEP

ORGANISASI MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN

KOOPERATIF TIPE JIGSAW PADA SISWA KELAS V SDN

UJUNG BATU 2 KECAMATAN PELAIHARI KABUPATEN

TANAH LAUT

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian Program Sarjana (S1) pada Program Pendidikan Guru Sekolah Dasar

FKIP Unlam Banjarmasin

OLEH :

AULIA RAHMAN

NIM. A1E 307927

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

BANJARMASIN


(4)

(5)

(6)

vi ABSTRAK

Rahman, Aulia. 2011. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar PKn Konsep Organisasi Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Siswa Kelas V SDN Ujung Batu 2 Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut. Skripsi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Pembimbing (I) Drs. H. Mahlan Asmar, M. Pd, Pembimbing (II) Dra. Hj. Ike Hananik, M. Pd

Kata Kunci: Konsep Organisasi, PKn, Model Pembelajaran Kooperatif, dan Jigsaw.

Permasalahan dalam proses pembelajaran, yakni kurangnya persiapan/motivasi belajar siswa, siswa kurang mampu dalam memahami materi PKn yang bersifat teoritis, dan kurangnya kemampuan siswa merumuskan contoh-contoh implementasi konsep PKn dalam kehidupan, sehingga hasil belajar rendah. Guru melakukan pembelajaran satu arah, sehingga siswa menjadi bosan dan pasif. Oleh karena itu, perlu dicari strategi baru untuk melibatkan proses pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif. Penyampaian pembelajaran tidak sekedar ceramah seperti yang selama ini dilakukan oleh guru. Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw merupakan salah satu alternatif yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan aktivitas guru, meningkatkan aktivitas siswa, dan meningkatkan hasil belajar siswa.

Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam dua siklus, dimana tiap siklus terdiri dari dua pertemuan. Setting penelitian adalah siswa kelas V SDN Ujung Batu 2 Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut tahun ajaran 2010/2011, dengan jumlah siswa 14 orang yaitu terdiri dari 6 siswa laki-laki dan 8 siswa perempuan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar observasi aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran, dan tes evaluasi siswa untuk mengetahui hasil belajar siswa setiap akhir pertemuan. Teknik analisis data digunakan, distribusi, frekuensi, persentasi, dan interpretasi.

Hasil penelitian membuktikan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi konsep organisasi di kelas V SDN Ujung Batu 2 Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut. Aktivitas guru meningkat, yakni rata-rata siklus I 76,55% meningkat menjadi 88,28% pada siklus II. Rata-rata aktivitas siswa pada siklus I adalah 78,47% meningkat menjadi menjadi 93,05% pada siklus II. Hasil belajar siswa meningkat yakni pada evaluasi siklus I 76,42 meningkat menjadi 86,07 pada evaluasi siklus II. Ketuntasan klasikal pada siklus I mencapai 64,28% meningkat menjadi 92,85% pada siklus II. Berdasarkan hasil penelitian ini maka disimpulkan bahwa hasil belajar PKn Konsep Organisasi menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw pada siswa kelas V SDN Ujung Batu 2 Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut meningkat dan hipotesis dapat diterima. Disarankan untuk menjadikan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini sebagai alternatif pembelajaran PKn dikelas khususnya pada materi konsep organisasi.


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat-Nya jualah sehingga penulis berhasil melaksanakan penelitian dan membuat laporan akhir ini untuk penyelesaian skripsi yang berjudul : “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar PKn Konsep Organisasi Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Siswa Kelas V SDN Ujung Batu 2 Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut”.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan dengan segala kerendahan hati telah mempersiapkan dan menyusun laporan hasil penelitian ini banyak menerima bimbingan, masukan dan dukungan dari Bapak Drs. Mahlan Asmar,M. Pd, selaku pembimbing I dan Ibu Dra. Hj. Ike Hananik,M. Pd, selaku pembimbing II yang juga telah meluangkan waktu dan tenaga untuk memberikan arahan dalam penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, selaku Penyelenggara PHK A S1 PGSD Terintegrasi Banjarmasin.

2. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Muhammd Ruslan, M.Si selaku Rektor UNLAM Banjarmasin

3. Bapak Drs. H. Ahmad Sofyan, MA, selaku Dekan FKIP UNLAM Banjarmasin.

4. Bapak Drs. H. Sihabbudin Chalid, M. M.Pd selaku Plt Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Laut

5. Bapak Drs. H. A. Suriansyah, M. Pd, selaku Ketua Pengembang PGSD/PGTK FKIP UNLAM Banjarmasin.

6. Bapak Dr. H. Karyono Ibnu Ahmad, selaku Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP UNLAM Banjarmasin.

7. Ibu Dra. Hj. Aslamiah, M. M.Pd, selaku Ketua Program Strata-I PGSD FKIP UNLAM Banjarmasin.

8. Bapak Drs. H. Fansuri, M. Pd, selaku ketua UPP PGSD FKIP UNLAM Banjarbaru.

9. Seluruh Dosen dan Staf Program S1 PGSD FKIP UNLAM yang telah banyak memberi Ilmu pengetahuan kepada penulis.


(8)

viii

10. Bapak Drs. H. Soemidjan, B. Sc, selaku Ketua Asrama PGSD UNLAM Banjarbaru periode 2007-2010.

11. Ibu Sami, S,Pd selaku Kepala SDN Ujung Batu 2, Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut

12. Seluruh dewan guru dan siswa siswi kelas V SDN Ujung Batu 2 Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut.

13. Orang tua, saudara dan keluarga yang telah mendoakan serta mendukung. 14. Semua pihak yang membantu terlaksananya Penelitian Tindakan Kelas ini.

Penulis merasa banyak sekali kekurangan yang terdapat pada laporan ini dan berharap kiranya ada kritik dan saran yang membangun.

Semoga bantuan dan dukungan yang Bapak/Ibu berikan mendapat berkah dari Allah SWT. Mudah-mudahan hasil penelitian ini bermanfaat bagi saya dan bagi kita semua sebagai insan pendidik untuk meningkatkan keprofesionalan guru dimasa mendatang.

Banjarmasin, Juni 2011 Peneliti

Aulia Rahman NIM A1E307927


(9)

ix DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN SAMPUL ... i

LEMBAR LOGO ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ... v

LEMBAR ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Rencana Pemecahan Masalah ... 7

D. Tujuan ... 10

E. Manfaat ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ... 12

1. Belajar dan Mengajar ... 12

2. Teori-Teori Belajar ... 20

3. Pendidikan Kewarganegaraan ... 24

4. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ... 29


(10)

x

6. Peran Guru dalam Pembelajaran Kooperatif ... 45

7. Penelitian yang Relevan ... 47

B. Kerangka Berpikir ... 49

C. Hipotesis ... 50

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 51

B. Setting Penelitian ... 55

C. Faktor Yang Diteliti ... 55

D. Skenario Tindakan ... 57

E. Cara Pengumpulan Data ... 66

F. Indikator Keberhasilan ... 68

G. Jadwal Penelitian ... 69

BAB IV PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN TEMUAN A. Deskripsi Setting/Lokasi Penelitian ... 70

B. Persiapan Penelitian Tindakan Kelas ... 71

C. Pelaksanaan Tindakan Kelas ... 72

D. Pembahasan ... 113

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 125

B. Saran ... 126

DAFTAR PUSTAKA ... 127


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1.1 Rencana Pemecahan ... 8

Tabel 2.1 Kompetensi Dasar, Materi Pokok, dan Indikator materi Organisasi .... 28

Tabel 2.2 Sintaks Pembelajaran Kooperatif ... 33

Tabel 3.1 Rencana Pelaksanaan Tindakan Siklus 1 ... 58

Tabel 3.2 Indikator dan Tujuan Siklus I Pertemuan 1 ... 59

Tabel 3.3 Indikator dan Tujuan Siklus I Pertemuan 2 ... 62

Tabel 4.1 Tanggal Pelaksanaan Tindakan Kelas Siklus I ... 73

Tabel 4.2 Perbandingan Aktivitas Guru Siklus I ... 79

Tabel 4.3 Perbandingan Aktivitas Siswa Siklus I ... 83

Tabel 4.4 Distribusi Nilai Hasil Belajar Kelompok Siklus I ... 86

Tabel 4.5 Distribusi Nilai Hasil Belajar Individu Siklus I ... 87

Tabel 4.6 Ketuntasan Klasikal Hasil Belajar Siklus I ... 89

Tabel 4.7 Tanggal Pelaksanaan Tindakan Kelas Siklus II ... 95

Tabel 4.8 Perbandingan Aktivitas Guru Siklus II ... 101

Tabel 4.9 Perbandingan Aktivitas Siswa Siklus II ... 104

Tabel 4.10 Distribusi Nilai Hasil Belajar Kelompok Siklus II ... 106

Tabel 4.11 Distribusi Nilai Hasil Belajar Individu Siklus II ... 108


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 3.1 Alur Penelitian Tindakan Kelas ... 52

Gambar 4.1 Perbandingan Aktivitas Guru Pada Tiap Pertemuan Siklus I ... 82

Gambar 4.2 Perbandingan Aktivitas Siswa Siklus I ... 85

Gambar 4.3 Hasil Belajar Kelompok Siklus I ... 86

Gambar 4.4 Persentasi Ketuntasan Klasikal Hasil Belajar Siklus I ... 90

Gambar 4.5 Perbandingan Aktivitas Guru Pada Tiap Pertemuan Siklus II ... 103

Gambar 4.6 Perbandingan Aktivitas Siswa Siklus II ... 105

Gambar 4.7 Hasil Belajar Kelompok Siklus II ... 107

Gambar 4.8 Persentasi Ketuntasan Klasikal Hasil Belajar Siklus II ... 110

Gambar 4.9 Perbandingan Aktivitas Guru Siklus I dan Siklus II ... 114

Gambar 4.10 Perbandingan Aktivitas Siswa Siklus I dan Siklus II ... 117


(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Silabus ... 129

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pertemuan Pertama Siklus I ... 134

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pertemuan Kedua Siklus I ... 147

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pertemuan Pertama Siklus II ... 162

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Pertemuan Kedua Siklus II ... 177

Soal Evaluasi Siklus I ... 190

Soal Evaluasi Siklus II ... 194

Foto-Foto Kegiatan Penelitian Tindakan Kelas ... 199

Lembar Observasi Aktivitas Guru Pertemuan Pertama Siklus I ... 203

Lembar Observasi Aktivitas Guru Pertemuan Kedua Siklus I... 205

Lembar Observasi Aktivitas Guru Pertemuan Pertama Siklus II ... 207

Lembar Observasi Aktivitas Guru Pertemuan Kedua Siklus II ... 209

Lembar Observasi Aktivitas Siswa Pertemuan Pertama Siklus I... 211

Lembar Observasi Aktivitas Siswa Pertemuan Kedua Siklus I ... 213

Lembar Observasi Aktivitas Siswa Pertemuan Pertama Siklus II ... 215

Lembar Observasi Aktivitas Siswa Pertemuan Kedua Siklus II ... 217

Rekapitulasi Nilai Evaluasi Siswa ... 219

Hasil Kerja Siswa ... 225

Bimbingan Skripsi Pembimbing I ... 259

Bimbingan Skripsi Pembimbing II ... 260

Jurnal Revisi ... 261


(14)

xiv

Surat Izin Penelitian dari Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Laut ... 263

Surat Keterangan Penelitian dari SDN Ujung Batu 2 ... 264

Berita Acara (Nilai) ... 265

Surat Pernyataan Keaslian Penelitian... 266


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia berusaha untuk melaksanakan amanat tersebut yang terwujud dengan lahirnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003, yang pada pasal 1 ayat 1 menyebutkan “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Pada pasal 1 ayat 4 “Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu”.

Pasal 3 yang memuat tentang fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya


(16)

2

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003).

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi paradigma pembelajaran di sekolah banyak mengalami perubahan, terutama dalam pelaksanaan proses pembelajaran dari yang bersifat behavioristik menjadi konstruktivistik, dari berpusat pada guru (teaching centered) menuju berpusat pada siswa (student centered).

Konstruktivisme mengajarkan bahwa belajar adalah membangun pemahaman atau pengetahuan (constructing understanding or knowledge), yang dilakukan dengan cara mencocokkan fenomena, ide atau aktivitas yang baru dengan pengetahuan yang telah ada dan sudah pernah dipelajari. Konsekuensi dari konsep belajar seperti itu adalah siswa dengan sungguh-sungguh membangun konsep pribadi (mind concept) dalam sudut pandang belajar bermakna dan bukan sekedar hafalan atau tiruan.

Oleh karena itu, peranan guru tidak semata-mata hanya memberikan ceramah yang sifatnya teksbook (book oriented) kepada siswa, melainkan guru harus mampu merangsang/memotivasi siswa agar mampu membangun pengetahuan dalam pikirannya. Cara yang dapat dilakukan oleh guru adalah dengan membangun jaring-jaring komunikasi dan interaksi belajar yang bermakna melalui pemberian informasi yang sangat bermakna dan relevan dengan kebutuhan siswa. Upaya guru tersebut dilakukan dengan cara memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan


(17)

3

sendiri ide-ide dan mengajak siswa untuk belajar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri. Implementasinya adalah setiap manusia memiliki gaya belajar yang unik, dan setiap manusia memiliki kekuatan sendiri dalam belajar. Dengan demikian peranan guru hanya terbatas pada pemberian rangsangan kepada siswa agar ia dapat mencapai tingkat tertinggi, namun harus diupayakan siswa sendiri yang mencapai tingkatan tertinggi itu dengan cara dan gayanya (ktiptk,2009: online).

Terdapat anggapan umum bahwa Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang mudah sehingga tidak perlu dirisaukan kesanggupan siswa untuk menguasainya. Namun kenyataan tidak semua siswa menunjukkan hasil belajar yang memuaskan, dan belum mampu menunjukkan sikap kerjasama dalam pergaulan sehari-hari serta berbagai sikap positif seorang warga negara, seperti tolong menolong, taat beribadah, dan lain-lain.

Hal ini sangat jauh dari tujuan pembelajaran PKn yakni: berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan; berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, serta bertindak cerdas dalam kegiatan kemasyararakatan, berbangsa dan bernegara; berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lainnya; berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam pecaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Tim Penyusun, 2005:34).


(18)

4

Gambaran tersebut menujukkan adanya kesenjangan antara kondisi aktual yang dihadapi di kelas dengan kondisi optimal yang diharapkan. Kesenjangan tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain, dari sudut pandang siswa: rendahnya kemampuan siswa dalam memahami materi PKn yang bersifat teoritis, kurangnya kemampuan siswa merumuskan contoh-contoh implementasi konsep PKn dalam kehidupan, kurangnya persiapan/motivasi belajar siswa sehingga hasil belajar rendah. Sedangkan dari sudut pandang guru, belum optimalnya usaha yang dilakukan guru untuk membantu kesulitan belajar siswa, kurang kondusifnya metode mengajar yang digunakan guru untuk memotivasi belajar siswa di kelas(ktiptk,2009: online).

Jika permasalahan tersebut di atas tidak segera dipecahkan akan memberikan dampak negatif terhadap kelancaran proses pembelajaran di kelas, antara lain: kesulitan dalam menghidupkan suasana kelas, karena kurangnya keaktifan siswa dalam kegiatan pembelajaran, kurangnya motivasi siswa dalam belajar PKn, dan prestasi belajar siswa mata pelajaran PKn kurang memuaskan. Hal tersebut yang terjadi pada siswa kelas V SDN Ujung Batu 2 dimana ketuntasan hasil belajar siswa yang hanya mencapai 28,57% atau sekitar 71,42% yang masih belum tuntas.

Oleh karena itu, perlu dicari strategi baru untuk melibatkan proses pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif. Penyampaian pembelajaran tidak sekedar ceramah seperti yang selama ini dilakukan dalam pembelajaran. Guru harus merubah proses pembelajaran yang berpusat dari guru menjadi pembelajaran yang berpusat pada siswa, untuk mendukung pencapaian tujuan


(19)

5

pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Pembelajaran Kooperatif tipe Jigsaw merupakan salah satu alternatif yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyataan itu, belajar berkelompok secara kooperatf siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, dan tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih berinteraksi-komunikasi-sosialisasi karena kooperatif adalah miniatur dari hidup bermasyarakat, belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing (Suyatno, 2009:51).

Model pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa tipe dengan langkah yang berbeda-beda. Salah satunya adalah tipe jigsaw, dengan sintak sebagai berikut: pengarahan, informasi bahan ajar, buat kelompok heterogen, berikan bahan ajar (LKS) yang terdiri dari beberapa bagian sesuai dengan banyak siswa dalam kelompok. Tiap anggota kelompok bertugas membahas bagian tertentu, bahan belajar tiap kelompok adalah sama sehingga terjadi kerjasama dan diskusi. Kembali ke kelompok asal, pelaksana tutorial pada kelompok asal oleh anggota kelompok ahli, penyimpulan, evaluasi, dan refleksi (Suyatno, 2009:53).

Model jigsaw dapat digunakan secara efektif di tiap level dimana siswa telah mendapatkan keterampilan akademis dari pemahaman, membaca, maupun keterampilan kelompok untuk belajar bersama. Jenis materi yang


(20)

6

paling mudah digunakan untuk pendekatan ini adalah bentuk naratif seperti ditemukan dalam literatur, penelitian sosial membaca, dan ilmu pengetahuan (Isjoni, 2010:58). Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Abdul Azis yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dalam meningkatkan hasil belajar PKn di sekolah dasar, dimana hasil ketuntasan belajar siswa mencapai 85,3 di atas ketentuan yang ditetapkan yaitu 70 (Azis, 2010: online).

Berdasarkan masalah dan alternatif tindakan diatas, maka perlu dilakukan penelitian dengan judul:

“Upaya Meningkatkan Hasil Belajar PKn Konsep Organisasi Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Siswa Kelas V SDN Ujung Batu 2 Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini yaitu, antara lain:

1. Apakah dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dapat meningkatkan aktivitas guru di kelas V SDN Ujung Batu 2 Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut?

2. Apakah dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dapat meningkatkan aktivitas siswa dikelas V SDN Ujung Batu 2 Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut?


(21)

7

3. Apakah dengan menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar siswa tentang Organisasi pada siswa kelas V SDN Ujung Batu 2 Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut?

C. Rencana Pemecahan Masalah

Rendahnya hasil belajar PKn siswa sekolah dasar yang disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya sistem penyampaiannya lebih menekankan pada pembelajaran satu arah dengan dominasi guru yang lebih menonjol, rendahnya kemampuan siswa dalam memahami materi PKn yang bersifat teoritis, dan kurangnya kemampuan siswa merumuskan contoh-contoh implementasi konsep PKn dalam kehidupan.

Peneliti memilih model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sebagai alternatif pemecahan masalah dalam pembelajaran PKn materi organisasi. Alasan pemilihan tersebut karena materi organisasi pada pelajaran PKn kelas V cukup luas dan alokasi waktu yang diberikan sedikit. Namun, materi organisasi tersebut terpecah dalam beberapa bagian, sehingga memudahkan dalam menggunakan model jigsaw. Hal itulah yang juga menjadi alasan kenapa peneliti tidak memilih model role playing dalam memecahkan masalah tersebut. Model role playing memerlukan waktu yang cukup banyak, sehingga dikhawatirkan alokasi waktu yang ada tidak mencukupi. Selain itu, siswa kelas V sudah mulai memasuki tahap operasional konkrit, dimana sifat egosentrisnya sudah mulai berkurang sehingga dapat bekerjasama dengan teman sebayanya.


(22)

8

Tabel 1.1 Rencana Pemecahan

Siklus Pertemuan Indikator Materi

I 1 Produk (Kognitif)

1. Menjelaskan pengertian organisasi.

2. Menjelaskan pentingnya berorganisasi.

3. Menyebutkan ciri-ciri organisasi.

Proses (Psikomotor) Mempraktekkan cara berorganisasi.

Sikap (Afektif) Mengaplikasikan

konsep berorganisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Pengertian Organisasi, Pentingnya Organisasi, Ciri-Ciri Organisasi, dan Manfaat Organisasi

2 Produk (Kognitif) 1. Menyebutkan organisasi

yang ada di lingkungan sekolah.

2. Menyebutkan organisasi yang ada di lingkungan masyarakat.

Proses (Psikomotor) Membuat struktur organisasi yang ada di sekolah dan masyarakat. Sikap (Afektif)

Mengaplikasikan

konsep berorganisasi dalam kehidupan sehari-hari.

Organisasi Sekolah, Organisasi Kelas, Rukun Tetangga (RT), dan Rukun Warga (RW)

Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw memiliki beberapa kelebihan antara lain:

1) Melibatkan seluruh peserta didik dalam belajar dan sekaligus mengajarkan kepada orang lain.


(23)

9

2) Meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain.

3) Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompok yang lain.

4) Siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan bekerjasama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan.

5) Melatih peserta didik agar terbiasa berdiskusi dan bertanggungjawab secara individu untuk membantu memahamkan tentang suatu materi pokok kepada teman sekelasnya.

Kelebihan-kelebihan yang dimiliki jigsaw tersebut diharapkan dapat membuat perubahan sikap dari peserta didik kearah yang lebih baik, seiring dengan peningkatan hasil belajarnya.

Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Siswa dikelompokkan ke dalam 4 – 5 orang anggota tim (sesuai dengan jumlah bagian materi), kelompok ini disebut kelompok asal.

2. Setiap orang dalam tim diberikan bagian materi yang berbeda.

3. Anggota dari tim yang berbeda yang telah dipelajari bagian/ sub bab yang sama bertemu dalam kelompok baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan sub bab mereka dan bagaimana menyampaikan dengan anggota kelompok asal.

4. Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli, tiap anggota kembali ke kelompok asal dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang sub bab yang


(24)

10

mereka kuasai dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

5. Tiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi. 6. Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.

7. Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan. 8. Guru memberikan evaluasi.

9. Penutup

D. Tujuan Penelitian

1. Bagaimana peningkatan aktivitas guru di kelas V SDN Ujung Batu 2 Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut dengan menggunakan Model Pembelajaran Koopertif Tipe Jigsaw.

2. Bagaimana peningkatan aktivitas siswa di kelas V SDN Ujung Batu 2 Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut dengan menggunakan Model Pembelajaran Koopertif Tipe Jigsaw.

3. Bagaimana peningkatan hasil belajar siswa di kelas V SDN Ujung Batu 2 Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut dengan menggunakan Model Pembelajaran Koopertif Tipe Jigsaw.

E. Manfaat Hasil Penelitian 1. Bagi Guru

Sebagai bahan informasi ilmiah tentang metode pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, di samping itu juga dapat meningkatkan kemampuan dan pengalaman dalam mengembangkan


(25)

11

pendekatan, media dan metode pembelajaran yang lebih efektif dalam upaya memperbaiki proses pembelajaran PKn kearah yang lebih baik. 2. Bagi Siswa

Siswa akan mempunyai pengalaman belajar yang lebih baik bermakna sehingga dapat memudahkan pemahaman dan penugasan bukan hanya pada materi pelajaran akan tetapi juga mampu meningkatkan prestasi belajar dan perubahan tingkah laku.

3. Bagi Kepala Sekolah

Hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan yang signifikan bagi inovasi sekolah dalam rangka menigkatkan mutu pembelajaran.


(26)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Belajar dan Mengajar

a. Konsep Belajar, Mengajar, dan Pembelajaran

Menurut Gagne, belajar adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Perubahan disposisi tersebut bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara alamiah (Suprijono, 2010: 2).

James O. Whittaker merumuskan belajar sebagai proses di mana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Cronbach berpendapat bahwa learning is shown by a change in behaviour as result of experience. Belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Howard L. Kingskey mengatakan bahwa learning is the process by which behavior (in the border sense) is originated or changed through practice or training. Belajar adalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan (Djamarah, 2008:12).

Dapat disimpulkan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa dan raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikomotor


(27)

13

Mengajar adalah menyampaikan pengetahuan pada anak didik. Kemudian dalam pengertian luas, mengajar diartikan sebagai suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan anak, sehingga terjadi proses belajar. Mengajar dapat diartikan sebagai kegiatan mengorganisasi proses belajar (Sardiman, 2006: 47-50).

Jadi, mengajar pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi atau sistem lingkungan yang mendukung dan memungkinkan untuk berlangsungnya proses belajar.

Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik (Krisna,2009:online).

Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu sistem atau proses membelajarkan subjek didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar subjek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien (Komalasari, 2010:3).

Dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya


(28)

14

perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha.

b. Hakikat Belajar

Hakikat belajar adalah perubahan dan tidak setiap perubahan adalah sebagai hasil belajar (Djamarah, 2008: 15).

c. Tujuan Belajar

Ditinjau secara umum, maka tujuan belajar itu ada tiga jenis: 1. Untuk mendapatkan pengetahuan

Hal ini ditandai dengan kemapuan berpikir. Pemilikan pengetahuan dan kemampuan berpikir sebagai yang tidak dapat dipisahkan. Dengan kata lain, tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir tanpa bahan pengetahuan, sebaliknya kemampuan berpikir akan memperkaya pengetahuan. Tujuan inilah yang memiliki kecenderungan lebih besar perkembangannya di dalam kegiatan belajar. Dalam hal ini peranan guru sebagai pengajar lebih menonjol.

Adapun jenis interaksi atau cara yang digunakan untuk kepentingan pada umumnya dengan model kuliah (presentasi), pemberian tugas-tugas bacaan. Dengan cara demikian, anak didik/siswa akan diberikan pengetahuan sehingga menambah pengetahuannya dan sekaligus akan mencarinya sendiri untuk


(29)

15

mengembangkan cara berpikir dalam rangka memperkaya pengetahuannya.

2. Penanaman konsep dan keterampilan

Penanaman konsep atau merumuskan konsep, juga memerlukan suatu keterampilan. Jadi soal keterampilan yang bersifat jasmani maupun rohani. Keterampilan jasmaniah adalah keterampilan-keterampilan yang dapat dilihat, diamati, sehingga akan menitikberatkan pada keterampilan gerak/penampilan dari anggota tubuh seseorang yang sedang belajar. Termasuk dalam hal ini masalah-masalah “teknik” dan “pengulangan”. Sedangkan keterampilan rohani lebih rumit, karena tidak selalu berurusan dengan masalah-masalah keterampilan yang dapat dilihat bagaimana ujung pangkalnya, tetapi lebih abstrak, menyangkut persoalan-persoalan penghayatan, dan keterampilan berpikir serta kreativitas untuk menyelesaikan dan merumuskan suatu masalah atau konsep. Jadi semata-mata bukan soal “pengulangan”, tetapi mencari jawaban yang cepat dan tepat. 3. Pembentukan sikap

Pembentukan sikap mental dan prilaku anak didik, tidak akan terlepas dari soal penanaman nilai-nilai, transfer of values. Oleh karena itu, guru tidak sekedar “pengajar”, tetapi betul-betul sebagai pendidik yang akan memindahkan nilai-nilai itu kepada anak didiknya. Dengan dilandasi nilai-nilai itu, anak didik/siswa akan tumbuh kesadaran dan kemauannya untuk mempraktekkan


(30)

16

segala sesuatu yang sudah dipelajarinya (Sardiman, 2006 :26-28).

Jadi, pada intinya tujuan belajar itu adalah ingin mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan penanaman sikap mental/nilai-nilai. Pencapaian tujuan belajar berarti akan menghasilkan sebuah hasil belajar.

Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi, dan keterampilan. Merujuk pemikiran Gagne, hasil belajar berupa:

1. Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan merespons secara spesifik terhadap rangsangan spesifik. Kemampuan tersebut tidak memerlukan manipulasi simbol, pemecahan masalah maupun penerapan aturan.

2. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelektual terdiri dari kemampuan mengkategorisasi, kemampuan analisis-sintesis fakta-konsep dan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. Keterampilan intelektual merupakan kemampuan melakukan aktivitas kognitif bersifat khas.

3. Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.


(31)

17

4. Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.

5. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan menginternalisasikan dan eksternalisasi nilai-nilai. Sikap merupakan kemampuan menjadikan nilai-nilai sebagai standar prilaku.

Menurut Bloom, hasil belajar mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Domain kognitif adalah knowledge (pengetahuan, ingatan), comprehension (pemahaman, menjelaskan, meringkas, contoh), application (menerapkan), analysis (menguraikan, menentukan hubungan) synthesis (mengorganisasikan, merencanakan, membentuk bangunan baru), evaluation (menilai). Domain afektif adalah receiving (sikap menerima), responding (memberikan respons), valuing (nilai), organization (organisasi), characterization (karakterisasi). Domain psikomotor meliputi initatory, pre-routine, rountinized. Psikomotor juga mencakup keterampilan produktif, teknik, fisik, sosial, managerial, dan intelektual. Sementara, menurut Lindgren hasil pembelajaran meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Yang harus diingat, hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusiaan saja. Artinya, hasil pembelajaran yang dikategorisasi oleh para pakar pendidikan


(32)

18

sebagaimana tersebut di atas tidak dilihat secara fragmentaris atau terpisah melainkan komprehensif (Suprijono, 2010: 5-7).

Jadi, hasil belajar adalah pencapaian dari tujuan belajar dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar antara lain:

1. Faktor Lingkungan

Lingkungan merupakan bagian dari kehidupan anak didik. Selama hidup anak didik tidak bisa menghindarkan diri dari lingkungan alami dan lingkungan sosial budaya. Interaksi dari kedua lingkungan yang berbeda ini selalu terjadi dalam mengisi kehidupan anak didik. Keduanya mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap belajar anak didik di sekolah.

2. Faktor Instrumental

Setiap sekolah mempunyai tujuan yang akan dicapai. Tujuan tentu saja pada tingkat kelembagaan. Dalam rangka melicinkan kearah itu diperlukan seperangkat kelengkapan dalam berbagai bentuk dan jenisnya. Semuanya dapat diberdayagunakan menurut fungsi masing-masing kelengkapan sekolah. Kurikulum dapat dipakai oleh guru dalam merencanakan program pengajaran. Program sekolah dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan kualitas belajar mengajar. Sarana dan fasilitas yang tersedia harus dimanfaatkan sebaik-baiknya agar berdaya


(33)

19

guna dan berhasil guna bagi kemajuan belajar anak didik di sekolah.

3. Kondisi Fisiologis

Kondisi fisiologi pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang. Orang yang dalam keadaan segar jasmaninya akan berlainan belajarnya dari orang yang dalam keadaan kelelahan. Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kondisi panca indera (mata, hidung, pengecap, telinga dan tubuh), terutama mata sebagai alat untuk melihat dan telinga sebagi alat untuk mendengar karena sebagian besar yang dipelajari manusia (anak) yang belajar berlangsung dengan membaca, melihat contoh atau model, melakukan observasi, mengamati hasil-hasil eksperimen, mendengarkan keterangan guru, mendengarkan ceramah, mendengarkan keterangan orang lain dalam diskusi dan sebagainya.

4. Kondisi Psikologis

Belajar pada hakikatnya adalah proses psikologis. Oleh karena itu, semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja mempengaruhi belajar seseorang. Itu berarti belajar bukanlah berdiri sendiri, terlepas dari faktor lain seperti faktor dari luar maupun faktor dari dalam. Faktor psikologis sebagai faktor dari dalam tentu saja merupakan hal yang utama dalam menentukan intesitas belajar seorang anak. Meski faktor dari luar mendukung, tetapi faktor psikologis tidak mendukung, maka


(34)

20

faktor luar itu akan kurang signifikan. Oleh karena itu, minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan kemampuan-kemampuan kognitif adalah faktor-faktor psikologis yang utama mempengaruhi proses dan hasil belajar anak didik (Djamarah, 2008: 176-191).

Jadi dapat disimpulkan, ada 4 faktor yang mempengaruhi hasil belajar, yakni faktor lingkungan, faktor instrumental, kondisi fisiologi, dan kondisi psikologis.

2. Teori-Teori Belajar

a. Teori Belajar Menurut Para Ahli 1) Menurut Thorndike

Thorndike adalah orang yang mengemukakan teori konektionisme. Dari penelitiannya dia menyimpulkan bahwa respon lepas dari kurungan itu lambat laun diasosiasikan dengan situasi stimulus dalam belajar coba-coba, trial and error. Inilah kesimpulan Thorndike terhadap prilaku binatang dalam kurungan. Ada tiga hukum belajar yang utama dan ini diturunkannya dari hasil-hasil penelitiannya. Ketiganya adalah hukum efek, hukum latihan, dan hukum kesiapan.

Jadi, menurut Thorndike dasar dari belajar tidak lain adalah asosiasi antara kesan panca indera dengan impuls untuk bertindak. Asosiasi ini dinamakan connecting. Sama maknanya dengan belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus


(35)

21

dan respon, antara aksi dan reaksi. Antara stimulus dan respons ini akan terjadi suatu hubungan yang erat bila sering dilatih. Berkat latihan yang terus menerus, hubungan antara stimulus dan respon itu akan menjadi terbiasa dan otomatis (Djamarah, 2008:24).

2) Teori Belajar Menurut Skinner

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku. Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan


(36)

perubahan-22

perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya (Madziatul,2009:online).

3) Teori Belajar Menurut Ausubel

David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Menurut Ausubel (1996) bahan pelajaran yang dipelajari haruslah “bermakna” (meaning full). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.

Misalnya, dalam hal pembelajaran sejarah, bukan hanya sekedar menekankan pada pengertian konsep-konsep sejarah belaka, tetapi bagaimana melaksanakan proses pembelajarannya, dan meningkatkan kualitas proses pembelajaran tersebut menajdi benar-benar bermakna. Dengan cooperative learning tentu materi sejarah yang dipelajarinya tidak hanya sekedar menjadi sesuatu yang dihafal dan diingat, melainkan ada sesuatu yang dapat dipraktekkan dan dilatihkan dalam situasi nyata dan terlibat dalam pemecahan masalah. Untuk memperlancar proses tersebut diperlukan bimbingan langsung dari guru, bak lisan maupun dengan contoh tindakan. Sedangkan siswa diberi kebebasan untuk membangun pengetahuannya sendiri (Isjoni, 2010:35-36).


(37)

23

b. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di SD

Lampiran Permendiknas No 22 tahun 2006 mengemukakan bahwa “mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukkan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarekter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945”.

Berdasarkan Pemendiknas No. 22 tahun 2006 ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Pendidikan Dasar dan Menengah secara umum meliputi aspek-aspek sebagai berikut:

1) Persatuan dan Kesatuan Bangsa 2) Norma, Hukum dan Peraturan 3) Hak Asasi Manusia

4) Kebutuhan Warga Negara 5) Konstitusi Negara

6) Kekuasaan dan Politik 7) Pancasila

8) Globalisasi

PKn mata pelajaran dengan visi utama sebagai pendidikan demokrasi yang bersifat multidimensional. PKn merupakan pendidikan demokrasi, pendidikan moral, pendidikan sosial, dan masalah pendidikan politik.

PKn dinilai sebagai mata pelajaran yang mengusung misi pendidikan nilai dan moral, dengan alasan sebagai berikut:


(38)

24

1) Materi PKn adalah konsep- konsep nilai Pancasila dan UUD 1945 beserta dinamika perwujudan dalam kehidupan masyarakat negara Indonesia.

2) Sasaran akhir belajar PKn adalah perwujudan nilai-nilai tersebut dalam perilaku nyata dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajaran menuntut terlibatnya emosional, intelektual, dan sosial dari peserta didik dan guru sehingga nilai-nilai itu bukan hanya dipahami (bersifat kognitif) tetapi dihayati (bersifat objektif) dan dilaksanakan (bersifat perilaku) (Ian,2010:online).

3. Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

a. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan adalah merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukkan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945 (Ian,2010:online).

b. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Pendidikan kewarganegaraan (Civic Education) adalah merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan


(39)

25

berkarakter yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945 (Tim Penyusun, 2005:33).

Pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan berdasarkan nilai-nilai pancasila sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestatikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan menjadi jati diri yang diwujudkan dalam bentuk prilaku dalam kehidupan sehari-hari para mahasiswa baik sebagai individu, sebagai calon guru/pendidik, anggota masyarakat dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (Ian,2010:online).

c. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Tujuan mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan sebagai berikut:

1) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.

2) Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, serta bertindak cerdas dalam kegiatan kemasyararakatan, berbangsa dan bernegara. 3) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lainnya.

4) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam pecaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Ian,2010:online).


(40)

26

d. Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan

Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan berfungsi sebagai wahana membentuk warga negara cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.

Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dapat menjadi pengikat untuk menyatukan visi peserta didik yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa tentang budaya kebersamaan atau persatuan yang dapat mendukung tetap berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (Tim Penyusun, 2005: 34-35).

e. Karakteristik Mata Pelajaran Kewarganegaraan

Mata pelajaran pendidikan Kewarganegaraan memiliki tiga ciri khas, yaitu pengetahuan, keterampilan dan karakter kewarganegaraan. Ketiga hal tersebut merupakan bekal bagi peserta didik untuk meningkatkan kecerdasan multidimensional yang memadai untuk menjadi warga negara yang baik.

Isi pengetahuan (body of knowledge) dari mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diorganisasikan secara interdisipliner dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial seperti ilmu politik, hukum, tata negara, psikologi, dan berbagai bahan kajian lainnya yang berasal dari kemasyarakatan, nilai-nilai budi pekerti, dan hak asasi manusia dengan penekanan pada hubungan antarwarga, warga negara, dan


(41)

27

pemerintahan warga negara, serta warga negara dan warga dunia (Tim Penyusun, 2005: 38).

f. Jenis-Jenis Materi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)

Materi Pendidikan Kewarganegaraan yang tertuang dalam setiap jenjang kelas mengandung norma Pancasila yang harus dikembangkan pada tingkat/kelas yang dinyatakan kompetensi dasar, indikator, dan materi pokok.

Pada dasarnya jenis-jenis dan isi materi Pendidikan Kewarganegaraan dibedakan menjadi 5 (lima) macam yaitu: fakta, konsep, prinsip, prosedur, dan nilai (Tim Penyusun, 2005 : 44-45).

Pada penelitian ini, materi yang diangkat sebagai judul adalah materi Organisasi pada Kelas V semester II. Materi ini tergolong dalam jenis materi konsep. Materi yang berjenis konsep berisikan definisi atau arti sesuatu obyek baik bersifat abstrak maupun konkrit. Berikut peneliti sajikan kompetensi dasar, indikator, dan materi pokok dari materi organisasi yang diangkat sebagai permasalahan dari penelitian ini.


(42)

28

Tabel 2.1 Kompetensi Dasar, Materi Pokok, dan Indikator Materi Organisasi Kompetensi Dasar Materi Pokok Indikator

3.1 Mendeskripsikan pengertian organisasi

Organisasi 1. Menjelaskan pengertian organisasi.

2. Menjelaskan manfaat dari organisasi.

3. Menyebutkan unsur-unsur organisasi.

4. Menyebutkan tugas-tugas pengurus organisasi.

5. Mempraktekkan cara berorganisasi.

6. Mengaplikasikan konsep berorganisasi dalam kehidupan sehari-hari.

3.2 Menyebutkan contoh organisasi di sekolah dan masyarakat

Organisasi dilingkungan sekolah dan masyarakat

1. Menyebutkan organisasi yang ada di lingkungan sekolah. 2. Membuat struktur organisasi

yang ada di sekolah.

3. Mengaplikasikan konsep berorganisasi dalam kehidupan sehari-hari.

4. Menyebutkan organisasi yang ada di lingkungan masyarakat. 5. Membuat struktur organisasi

yang ada di masyarakat. 6. Mengaplikasikan konsep

berorganisasi dalam kehidupan sehari-hari.

3.3 Menampilkan peran serta dalam memilih organisasi di sekolah.

Berorganisasi di sekolah

1. Menyebutkan hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum berorganisasi.

2. Mengetahui peran dan tugas pengurus organisasi di sekolah.

3. Menjelaskan cara memilih pengurus organisasi di sekolah.

4. Mempraktekkan cara memilih pengurus organisasi di sekolah.

5. Mengaplikasikan konsep berorganisasi dalam kehidupan sehari-hari.


(43)

29

4. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

a. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)

Cooperative Learning berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau tim. Slavin (1995) mengemukakan bahwa Cooperative Learning adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar (Isjoni, 2010: 15).

Anita Lie menyebut Cooperative Learning dengan istilah pembelajaran gotong-royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur (Isjoni, 2010: 16).

Djahiri K menyebutkan Cooperative Learning sebagai pembelajaran kelompok kooperatif yang menuntut diterapkannya pendekatan belajar yang siswa sentries, humanistik, dan demokratis yang disesuaikan dengan kemampuan siswa dan lingkungan belajarnya (Isjoni, 2010: 19).

Model pembelajaran kooperatif dikembangkan berdasarkan teori belajar kooperatif kontruktivis. Hal ini terlihat pada salah satu teori Vigotsky yaitu penekanan pada hakikat sosio kultural dari pembelajaran Vigotsky yakni bahwa fase mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul pada percakapan atau kerjasama antara


(44)

30

individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi terserap dalam individu tersebut. Implikasi dari teori Vigotsky dikehendakinya susunan kelas berbentuk kooperatif (Amri dan Ahmadi, 2010:67).

Pembelajaran kooperatif sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang penuh ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab bersama, pembagian tugas dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan kenyataan itu, belajar berkelompok secara kooperatf siswa dilatih dan dibiasakan untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, dan tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih berinetraksi-komunikasi-sosialisasi karena kooperatif adalah miniatur dari hidup bermasyarakat, belajar menyadari kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Metode belajar yang menekankan belajar dalam kelompok heterogen saling membantu satu sama lain, bekerjasama menyelesaikan masalah, dan menyatukan pendapat untuk memperoleh keberhasilan yang optimal baik kelompok maupun individual.

Jadi, model pembelajaran kooperatif adalah kegiatan pembelajaran dengan cara berkelompok untuk bekerja sama saling membantu mengkonstruksi konsep, menyelesaikan persoalan, atau inkuiri. Menurut teori dan pengalaman agar kelompok kohesif (kompak dan partispatif), tiap anggota kelompok heterogen (kemampuan, gender, dan karakter), ada kontrol dan fasilitasi, dan meminta tanggung jawab hasil kelompok berupa laporan atau presentasi (Suyatno, 2009: 51).


(45)

31

Tujuan utama dalam penerapan model belajar mengajar cooperative learning adalah agar peserta didik dapat belajar secara berkelompok bersama teman-temannya dengan cara saling menghargai pendapat dan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk mengemukakan gagasannya dengan menyampaikan pendapat mereka secara berkelompok (Isjoni, 2010: 21).

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sengaja mengembangkan interaksi yang silih asuh untuk menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan, sebagai latihan hidup di masyarakat (Sugiyanto, 2010:40).

Beberapa ciri dari cooperative learning adalah: 1) Setiap anggota memiliki peran.

2) Terjadi hubungan interaksi langsung diantara siswa.

3) Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya.

4) Guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok.

5) Guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan. (Isjoni, 2010: 20)

Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua belajar kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah:


(46)

32

1) Possitive interdependence (saling ketergantungan positif). 2) Personal responsibility (tanggung jawab perseorangan). 3) Face to face promotive interaction (interaksi promotif). 4) Interpersonal skill (komunikasi antar anggota).

5) Group processing (pemrosesan kelompok).

Unsur pertama pembelajaran kooperatif adalah saling ketergantungan positif. Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut.

Unsur kedua pembelajaran kooperatif adalah tanggung jawab individual. Pertanggungjawaban ini muncul jika dilakukan pengukuran terhadap keberhasilan kelompok. Tujuan pembelajaran kooperatif adalah membentuk semua anggota kelompok menjadi pribadi yang kuat. Tanggung jawab perseorangan adalah kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama.

Unsur ketiga pembelajaran kooperatif adalah interaksi promotif. Unsur ini penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan positif.

Unsur keempat pembelajaran kooperatif adalah keterampilan sosial. Untuk mengoordinasikan kegiatan peserta didik dalam pencapaian tujuan peserta didik harus:


(47)

33

1) Saling mengenal dan mempercayai.

2) Mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius. 3) Saling menerima dan saling mendukung.

4) Mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif.

Unsur kelima pembelajaran kooperatif adalah pemrosesan kelompok. Pemrosesan mengandung arti menilai. Melalui pemrosesan kelompok dapat diidentifikasikan dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan dari anggota kelompok. Siapa di antara anggota kelompok yang sangat membantu dan siapa yang tidak membantu. Tujuan pemrosesan kelompok adalah meningkatkan efektivitas anggota dalam memberikan konstribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok (Suprijono, 2010: 58-61).

Tabel 2.2 Sintaks Pembelajaran Kooperatif

FASE-FASE PERILAKU GURU

Fase 1: Present goals and set

Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan peserta didik

Menjelaskan tujuan pembelajaran dan mempersiapkan peserta didik siap belajar Fase 2: Present information

Menyajikan informasi

Mempresentasikan informasi kepada peserta didik secara verbal

Fase 3: Organize students into learning teams

Mengorganisir peserta didik kedalam tim-tim belajar

Memberikan penjelasan kepada peserta didik tentang cara pembentukan tim belajar dan membantu kelompok melakukan transisi yang efisien

Fase 4: Assist team work and study Membantu kerja tim dan belajat

Membantu tim-tim belajar selama peserta didik mengerjakan tugasnya

Fase 5: Test on the materials Mengevaluasi

Menguji pengetahuan peserta didik mengenai berbagai materi pembelajaran

atau kelompok-kelompok

mempresentasikan hasil kerjanya Fase 6: Provide recognition

Memberikan pengakuan atau penghargaan

Mempersiapkan cara untuk mengakui usaha dan prestasi individu maupun kelompok

(Suprijono, 2010: 65). b. Jigsaw


(48)

34

Jigsaw dikembangkan dan diuji oleh Elliot Aronson dan rekan-rekan sejawatnya (Arends, 2008 : 13). Model belajar kooperatif jigsaw merupakan model belajar kooperatif, dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari tiga sampai enam orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan positif dan bertanggung jawab secara mandiri. Setiap anggota kelompok adalah bertangggung jawab atas ketuntasan bagian materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikannya kepada anggota kelompok yang lainnya. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama anggota kelompok dalam suasana kooperatif dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan komunikasi (Takari, 2009: 103).

Pembelajaran kooperatif jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Dalam model belajar ini terdapat tahap-tahap dalam penyelenggaraannya. Tahap pertama siswa dikelompokkan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Pembentukan kelompok-kelompok siswa tersebut dapat dilakukan guru berdasarkan pertimbangan tertentu. Untuk mengoptimalkan manfaat belajar kelompok keanggotaan seyogyanya heterogen, baik dari segi kemampuan maupun karakteristik lainnya. Dengan demikian, cara yang efektif untuk menjamin heterogenitas kelompok ini adalah guru membuat kelompok-kelompok itu. Jika siswa dibebaskan membuat kelompok


(49)

35

sendiri maka biasanya siswa akan memilih teman-teman yang sangat disukainya misalnya sesama jenis, sesama etnik, dan sama dalam kemampuan.

Hal ini cenderung menghasilkan kelompok-kelompok yang homogen dan seringkali siswa tertentu tidak masuk dalam kelompok manapun. Oleh karena itu, memberikan kebebasan siswa untuk membentuk kelompok sendiri bukanlah cara yang baik, kecuali guru membuat batasan-batasan tertentu sehingga dapat menghasilkan kelompok-kelompok yang heterogen. Pengelompokkan secara acak juga dapat digunakan, khusus jika pengelompokkan itu terjadi pada awal tahun ajaran baru dimana guru baru sedikit mempunyai informasi tentang siswa-siswanya.

Jumlah siswa yang bekerja sama dalam masing-masing kelompok harus dibatasi, agar kelompok-kelompok yang terbentuk dapat bekerja sama secara efektif, karena suatu ukuran kelompok mempengaruhi kemampuan produktivitasnya. Dalam hal ini, Soejadi (2000) mengemukakan, jumlah anggota dalam satu kelompok apabila makin besar, dapat mengakibatkan makin kurang efektif kerjasama antar para anggotanya.

Menurut Edward (1989), kelompok yang terdiri dari empat orang terbukti sangat efektif. Sedangkan Sudjana (1989) mengemukakan, beberapa siswa dihimpun dalam satu kelompok dapat terdiri 4-6 orang siswa. Jumlah yang paling tepat adalah menurut hasil penelitian Slavin adalah hal itu dikarenakan kelompok yang beranggotakan 4-6 orang


(50)

36

lebih sepaham dalam menyelesaikan suatu permasalahan dibandingkan dengan kelompok yang beranggotakan 2-4 orang. Dalam jigsaw ini setiap anggota kelompok ditugaskan untuk mempelajari materi tertentu. Kemudian siswa-siswa atau perwakilan dari kelompoknya masing-masing bertemu dengan anggota-anggota dan kelompok lain yang mempelajari materi yang sama. Selanjutnya materi tersebut didiskusikan, dipelajari, serta memahami setiap masalah yang dijumpai sehingga perwakilan tersebut dapat memahami dan menguasai materi tersebut.

Pada tahap ketiga, setelah masing-masing perwakilan tersebut dapat menguasai materi yang ditugaskannya, kemudian masing-masing perwakilan tersebut kembali ke kelompok masing-masing-masing-masing atau kelompok asalnya. Selanjutnya masing-masing anggota tersebut saling menjelaskan pada teman satu kelompoknya sehingga teman satu kelompoknya dapat memahami materi yang ditugaskan guru.

Pada tahap ini siswa akan banyak menemui permasalahan yang tahap kesukarannya bervariasi. Pengalaman seperti ini sangat penting terhadap perkembangan mental anak. Piaget (dalam Ruseffendi, 1991) menyatakan, “... bila menginginkan pekembangan mental maka lebih cepat dapat masuk kepada tahap yang lebih tinggi, supaya anak diperkaya dengan banyak pengalaman”. Lebih lanjut Russefendi mengemukakan, kecerdasan manusia dapat ditingkatkan hingga bats optimalnya dengan pengayaan melalui pengalaman.


(51)

37

untuk mengetahui apakah siswa sudah dapat memahami suatu materi. Dengan demikian, secara umum penyelenggaran model belajar jigsaw dalam proses belajar mengajar dapat menumbuhkan tanggung jawab siswa sehingga terlibat langsung secara aktif dalam memahami suatu persoalan dan menyelesaikannya secara kelompok. Pada kegiatan ini keterlibatan guru dalam proses belajar mengajar semakin berkurang dalam arti guru menjadi pusat kegiatan kelas. Guru berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan dan memotivasi siswa untuk belajar mandiri serta menumbuhkan rasa tanggung jawab serta siswa akan merasa senang berdiskusi tentang Matematika dalam kelompoknya. Mereka dapat berinteraksi dengan teman sebayanya dan jua dengan gurunya sebagai pembimbing. Dalam model pembelajaran biasa atau tradisional guru menjadi pusat semua kegiatan kelas. Sebaliknya, di dalam model belajar tipe jigsaw, meskipun guru tetap mengendalikan aturan, ia tidak lagi menjadi pusat kegiatan kelas, tetapi siswalah yang menjadi pusat kegiatan kelas (Isjoni, 2010: 54-57).

Ciri-ciri pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, yaitu: setiap anggota terdiri 5-6 orang yang disebut kelompok asal, kelompok asal tersebut dibagi lagi menjadi kelompok ahli, kelompok ahli dari masing-masing kelompok asal berdiskusi sesuai keahliannya, dan kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk saling bertukar informasi (Suyatno, 2009:54).

Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut :


(52)

38

1) Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri dari 4 – 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal. Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Dalam tipe jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG). Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji). Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli. Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun kelompok asal.

2) Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok


(53)

39

atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.

3) Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.

4) Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya.

5) Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi pembelajaran.

6) Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai (Sudrajat,2008:online).

Jumlah peserta kadang tidak dapat dibagi tepat dengan banyaknya segmen pembelajaran. Bila hal ini terjadi, kita dapat menyesuaikannya dengan menggunakan partner belajar sebagai pengganti kelompok. Bagilah materi pembelajaran hanya menjadi dua segmen , berikan satu segmen kepada salah satu anggota pasangan dan segmen lain kepada partnernya. Misalnya, dalam handout yang berisi tujuh poin, satu orang yang ditugaskan mulai dari poin 1 sampai 4. Dan partnernya dapat ditugaskan mulai dari poin 5 sampai 7. Bentuklah “teman belajar” dari anggota pasangan yang mempunyai tugas yang sama.


(54)

40

Kemudian pasangan aslinya bertemu kembali untuk saling mengajarkan apa yang telah mereka pelajari (Silberman, 2010:178).

Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw memiliki beberapa kelebihan antara lain:

1) Melibatkan seluruh peserta didik dalam belajar dan sekaligus mengajarkan kepada orang lain.

2) Meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain.

3) Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompok yang lain.

4) Siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan bekerjasama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan. 5) Melatih peserta didik agar terbiasa berdiskusi dan

bertanggungjawab secara individu untuk membantu memahamkan tentang suatu materi pokok kepada teman sekelasnya.

Kelebihan-kelebihan yang dimiliki jigsaw tersebut diharapkan dapat membuat perubahan sikap dari peserta didik kearah yang lebih baik, seiring dengan peningkatan hasil belajarnya.

5. Hakikat Peserta Didik

a. Pengertian Peserta Didik

Menurut Sinolungan (1997) peserta didik dalam arti luas adalah setiap orang yang terkait dengan proses pendidikan sepanjang hayat,


(55)

41

sedangkan dalam arti sempit adalah setiap siswa yang belajar di sekolah. Departemen Pendidikan Nasional (2003) menegaskan bahwa, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Peserta didik usia SD/MI adalah semua anak yang berada pada rentang usia 6-12/13 tahun yang sedang berada dalam jenjang pendidikan SD/MI (Kurnia, 2007: 4).

b. Karakteristik Peserta Didik Usia Sekolah Dasar (SD)

Menurut Nasution (1993) masa usia sekolah dasar sebagai masa kanak-kanak akhir yang berlangsung dari usia enam tahun hingga kira-kira sebelas atau dua belas tahun. Usia ini ditandai dengan mulainya anak masuk sekolah dasar, dan dimulainya sejarah baru dalam kehidupannya yang kelak akan mengubah sikap-sikap dan tingkah lakunya. Para guru mengenal masa ini sebagai “masa sekolah”. Tetapi bisa juga dikatakan bahwa masa usia sekolah adalah masa matang untuk belajar maupun masa matang untuk sekolah. Disebut masa sekolah, karena anak sudah menamatkan taman kanak-kanak, sebagai lembaga persiapan bersekolah yang sebenarnya. Disebut masa matang untuk belajar, karena anak sudah berusaha untuk mencapai sesuatu, tetapi perkembangan aktivitas bermain yang hanya bertujuan untuk mendapatkan kesenangan pada waktu melakukan aktivitasnya itu sendiri. Disebut masa matang untuk bersekolah, karena anak sudah menginginkan kecakapan-kecakapan baru, yang


(56)

42

dapat diberikan sekolah. Pada masa keserasian bersekolah ini secara relatif anak-anak lebih mudah dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya. Masa ini menurut Suryobroto dapat diperinci menjadi dua fase, yaitu:

a. Masa Kelas-Kelas Rendah Sekolah Dasar

Beberapa sifat khas anak-anak pada masa ini antara lain adalah seperti yang disebutkan dibawah ini:

1) Adanya korelasi positif yang tinggi antara keadaan kesehatan pertumbuhan jasmani dengan prestasi sekolah.

2) Adanya sikap yang cenderung untuk mematuhi peraturan-peraturan permainan yang tradisional.

3) Ada kecendrungan memuji diri sendiri.

4) Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain kalau hal itu dirasanya menguntungkan untuk meremehkan anak lain. 5) Kalau tidak dapat menyelesaikan sesuatu soal, maka soal itu

dianggapnya tidak penting.

6) Pada masa ini (terutama pada umur 6-8 tahun) anak menghendaki nilai (angka rapor) yang baik, tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas diberi nilai baik atau tidak. b. Masa Kelas-Kelas Tinggi Sekolah Dasar

Beberapa sifat khas anak-anak pada masa ini adalah sebagai berikut.


(57)

43

1) Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini menimbulkan adanya kecendrungan untuk membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis.

2) Amat realistik, ingin tahu, dan ingin belajar.

3) Menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus, yang oleh para ahli ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor.

4) Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang-orang dewasa lainnya.

5) Anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya biasanya untuk dapat bermain bersama-sama. Di dalam permainan ini biasanya anak tidak lagi terikat pada aturan permainan yang tradisional, mereka membuat peraturan sendiri. Melihat sifat-sifat khas anak seperti dikemukakan di atas, maka memang beralasan pada saat umur anak antara umur 7 sampai dengan 12 tahun dimasukkan oleh para ahli kedalam tahap perkembangan intelektual (Djamarah, 2008: 123-125).

Para ahli psikologi dan ahli pendidikan banyak yang telah melakukan penelitian tentang perkembangan intelektual/perkembangan kognitif atau mental anak. Hasil penelitian yang paling popular adalah Jean Piaget. Piaget adalah ahli ilmu jiwa anak dari Swiss. Ia berkeyakinan bahwa dengan memahami proses berpikir yang terjadi pada anak, dia dapat menajwab pertanyaan: “Bagaimana memperoleh pengetahuan?”; dan “Bagaiman kita tahu apa yang kita ketahui?” (Depdiknas, 2005:7).


(58)

44

Jean Piaget membagi perkembangan kognitif menjadi empat tahapan, yaitu: Tahap Sensori Motoris, tahap ini dialami pada usia 0-2 tahun. Pada tahap ini anak berada dalam suatu masa pertumbuhan yang ditandari oleh kecendrungan-kecenderungan sensori motoris yang amat jelas. Segala perbuatan merupakan perwujudan dari proses pematangan aspek sensori motoris tersebut. Tahap praoperasional, tahap ini berlangsung pada usia 2-7 tahun. Tahap ini disebut juga tahap intuisi sebab perkembangan kognitifnya memperlihatkan kecendrungan yang ditandari oleh suasana intuitif; dalam arti semua perbuatan rasionalnya tidak didukung oleh tapi oleh unsur perasaan, kecendrungan alamiah, sikap-sikap yang diperoleh dari orang-orang bermakna, dan lingkungan sekitarnya. Pada tahap ini menurut Piaget, anak sangat bersifat egosentris sehingga seringkali mengalami masalah dengan lingkungannya, termasuk dengan orang tuanya. Tahap operasional konkrit, tahap ini berlangsung antara usia 7-11 tahun. Pada tahap ini anak mulai menyesuaikan diri dengan realitas konkrit dan sudah mulai berkembang rasa ingin tahunya. Pada tahap ini, menurut Piaget, interaksinya dengan lingkungan, termasuk dengan orang tuanya, sudah semakin berkembang dengan baik karena egosentrisnya sudah semakin berkurang. Anak sudah dapat mengamati, menimbang, mengevaluasi, dan menjelaskan pikiran-pikiran orang lain dalam cara-cara yang kurang egosentris dan lebih obyektif. Tahap operasional formal, tahap ini dialami oleh anak pada usia 11 tahun ke atas. Pada masa ini anak telah mampu mewujudkan suatu kesuluruhan dalam pekerjaannya yang merupakan hasil dari berpikir logis. Aspek perasaan dan moralnya juga


(59)

45

telah berkembang sehingga dapat mendukung penyelesaian tugas-tugasnya (Asrori, 2007:49).

6. Peran Guru dalam Pembelajaran Kooperatif

Peran guru dalam pelaksanaan cooperative learning adalah sebagai fasilitator, mediator, director-motivator, dan evaluator. Sebagai fasilitator seorang guru harus memiliki sikap-sikap sebagai berikut: 1) mampu menciptakan suasan kelas yang nyaman dan menyenangkan, 2) memabntu dan mendorong siswa untuk mengungkapkan dan menjelaskan keinginan dan pembicaraannya baik secara individual maupun kelompok, 3) membantu kegiatan-kegiatan dan menyediakan sumber atau peralatan serta membantu kelancaran belajar mereka, 4) membina siswa agar setiap orang merupakan sumber yang bermanfaat bagi yang lainnya, dan 5) menjelaskan tujuan kegiatan pada kelompok dan mengatur penyebaran dalam bertukar pendapat.

Sebagai mediator, guru berperan sebagai penghubung dalam menjembatani mengaitkan materi pembelajaran yang sedang dibahas melalui cooperative learning dengan permasalahan yang nyata ditemukan di lapangan. Peran ini sangat penting dalam menciptakan pembelajaran yang bermakna (meaningful learning), yaitu istilah yang dikemukakan Ausubel untuk menunjukkan bahan yang dipelajari memiliki kaitan makna dan wawasan dengan apa yang menjadi milik siswa.

Guru juga berperan dalam menyediakan sarana pembelajaran, agar suasana belajar tidak monoton dan membosankan. Dengan kreativitasnya,


(1)

122

pembelajaran kooperatif jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal (Isjoni, 2010: 54).

Selain itu, motivasi juga mempengaruhi hasil belajar siswa. Motivasi termasuk dalam faktor psikologis, yaitu salah satu faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Faktor psikologis sebagai faktor dari dalam tentu saja merupakan hal yang utama dalam menentukan intesitas belajar seorang anak. Meski faktor dari luar mendukung, tetapi faktor psikologis tidak mendukung, maka faktor luar itu akan kurang signifikan (Djamarah, 2008: 178).

Peningkatan hasil belajar pada penelitian ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdul Azis pada tahun 2010 dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Jigsaw untuk Meningkatkan Hasil Belajar PKn Materi Globalisasi Pada Siswa Kelas IV SDN Pungging, Tutur, Pasuruan”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prestasi belajar PKn setelah mendapat pembelajaran PKn materi globalisasi dengan menerapkan model pembelajaran Jigsaw. Peningkatan ini dilihat dari partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran dan hasil belajar yang ditunjukkan oleh skor hasil tes. Dilihat dari hasil belajar siswa sebelum penerapan model jigsaw memperoleh nilai rata-rata menjadi 72,4 pada siklus I dan menjadi 83 pada siklus II. Sedangkan pada penilaian proses sebelum penerapan model pembelajaran jigsaw memperoleh nilai rata-rata


(2)

123

66,7 menjadi 74,3 pada siklus I dan menjadi 85,3 pada siklus II (Azis,2010:online).

Hasil belajar siswa dengan ukuran keberhasilan klasikal yaitu 75% siswa mencapai nilai 65 atau lebih mengalami peningkatan yang signifikan. Pada siklus I sebanyak 45% siswa mampu mencapai nilai tuntas dan 55% tidak tuntas sedangkan pada siklus II sebanyak 90% siswa mencapai nilai tuntas dan hanya 10% siswa yang tidak mencapainya (Salman, 2011: 117). Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi operasi hitung campuran di kelas IV sdn hamparaya. Pada siklus I rata-rata ketuntasan klasikal hanya mencapai 20,83% sedangkan pada siklus II rata-rata ketuntasan tersebut meningkat menjadi 77,08% (Bastian, 2011:120). Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw sangat efektif dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa dari rata-rata 71,67 dengan ketuntasan 75% pada siklus I meningkat menjadi rata-ata 83,33 dengan ketuntasan 91,7% (Sujito, 2011: 119).

Berdasarkan hasil penelitian inilah, peneliti menyimpulkan bahwa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan hasil belajar PKn materi Kebebasan Berorganisasi pada siswa kelas V SDN Ujung Batu 2 Kabupaten Tanah Laut. Sehingga hipotesis pada Bab II yang berbunyi “Jika menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, maka hasil belajar siswa kelas V semester II SDN Ujung Batu 2 Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut dapat ditingkatkan” dapat diterima.


(3)

124 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Upaya Meningkatkan Hasil Belajar PKn Konsep Organisasi Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Siswa Kelas V SDN Ujung Batu 2 Kecamatan Pelaihari Kabupaten Tanah Laut diperoleh peningkatan yang signifikan. Peningkatan tersebut dapat dilihat dalam beberapa indikator berikut ini: 1. Aktivitas guru meningkat setelah menggunakan model pembelajaran

kooperatif tipe jigsaw, yakni rata-rata siklus I 76,55% meningkat menjadi 88,28% pada siklus II.

2. Aktivitas siswa pada siklus I pertemuan pertama adalah 79,16% dan pertemuan kedua 77,78%. Peningkatan terjadi pada siklus II pertemuan pertama menjadi 87,49%, kemudian meningkat lagi pada pertemuan kedua menjadi 93,05%.

3. Hasil belajar siswa meningkat setelah menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, yakni pada siklus I, rata-rata nilai evaluasi pertemuan pertama adalah 63,92 meningkat menjadi 69,28 pada pertemuan kedua, kemudian meningkat lagi pada evaluasi siklus I yakni 76,42. Pada siklus II, rata-rata nilai evaluasi pertemuan pertama adalah 78,21 meningkat menjadi 85 pada pertemuan kedua, kemudian meningkat lagi pada evaluasi siklus II yakni 86,07. Ketuntasan klasikal pada siklus I mencapai 64,28% meningkat menjadi 92,85% pada siklus II.


(4)

125 B. Saran

Sebagai tindak lanjut terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti dapat memberikan beberapa saran, antara lain:

1. Kepada guru hendaknya dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw agar dapat meningkatn hasil belajar siswa.

2. Kepada siswa agar lebih meningkatkan lagi aktivitasnya pada materi ini dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, sehingga dapat meningkatkan hasil belajar.

3. Kepada kepala sekolah hendaknya dapat meningkatkan penggunaan model-model pembelajaran agar dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa.

4. Kepada teman-teman sejawat yang ingin melakukan Penelitian Tindakan Kelas terutama yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, hendaknya menjadikan penelitian ini sebagai bahan masukan.


(5)

126

DAFTAR PUSTAKA

Amri, Sofan & Ahmadi, Lif Khoiru.2010.Proses Pembelajaran Kreatif dan Inovatif dalam Kelas. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Arends, Richard I.2008. Learning to Teach Belajar untuk Mengajar. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Arikunto, Suharsimi, dkk.2010.Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Asrori, Muhammad.2007. Psikologi Pembelajaran.Bandung: Wacana Prima. Bastian.2011. Meningkatkan Hasil Belajar Operasi Hitung Campuran Melalui

Model Kooperatif Tipe Jigsaw Kelas IV SDN Hamparaya Kecamatan Batumandi-Balangan. Banjarmasin: Tidak diterbitkan.

Darmadi.2009. Penerapan Model Kooperatif Tipe STAD sebagai Upaya Meningkatkan Pemahaman Operasi Hitung Campuran Bilangan Bulat di SDN Hilir Mesjid Kecamatan Anjir Pasar Kabupaten Barito Kuala. Banjarmasin: Tidak diterbitkan.

Darmono, Ikhwan Sapto dan Sudarsih.2008.Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SD/MI Kelas V.Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

Depdiknas.2005.Materi Pelatihan Terintegrasi: Ilmu Pengetahuan Alam.Jakarta:Depdiknas.

Depdiknas.2008. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar Model Silabus Kelas V.Jakarta: Depdiknas.

Djamarah, Syaiful Bahri.2008. Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Fatchan, Achmad & Wayan Dasna.2009.Metode Penelitian Tindakan Kelas.Malang:Jenggala Pustaka Utama.

Ian.2010.hakikat fungsi dan tujuan pendidikan kewarganegaraan di SD. (Online).(http://ian43.wordpress.com/2010/10/18/hakikat-fungsi-dan-tujuan-pendidikan-kewarganegaraan-di-sd/,16 Maret 2011 Pukul 20.00 WITA).

Isjoni.2010.COOPERATIVE LEARNING Efektivitas Pembelajaran Kelompok.Bandung: CV Alfabeta.

Komalasari, Kokom.2010.Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: Refika Aditama

Krisna.2009.Pengertian dan Ciri-Ciri Pembelajaran. (Online).(http://krisna1.blog.uns.ac.id/2009/10/19/pengertian-dan-ciri-ciri-pembelajaran/, Diakses pada tanggal 14 Maret 2011 Pukul 19.30 WITA).

Kunandar.2010.Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas Sebagai Pengembangan Profesi Guru.Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Kurnia, Ingridwati.2007.Perkembangan Belajar Peserta Didik. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Madziatul. 2009. Teori Belajar Behavioristik. (Online).

(http://madziatul.blogspot.com/2009/07/teori-belajar-behavioristik-dan.html, Diakses pada tanggal 20 Nopember 2010 Pukul 21.00 WITA). Rosadi, Abdi.2009.Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Learning Tipe

Team Games Tournament (TGT )Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Perkalian Dan Pembagian Di Kelas Iv Sdn 1


(6)

127

Karatungan Kabupaten Hulu Sungai Tengah Pada Tahun Ajaran

2009/2010. Banjarmasin: Tidak diterbitkan.

Sardiman.2006.Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar.Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Silberman, Mel.2010.101 Cara Pelatihan dan Pembelajaran Aktif.Jakarta : PT Indeks.

Salman.2011. Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Tentang Pengerjaan Hitung Campuran Dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Pada Kelas IV SDN Pingaran Ulu Kecamatan Astambul Kabupaten Banjar. Banjarmasin: Tidak diterbitkan.

Sudrajat, Akhmad. 2008. Cooperative Learning Teknik Jigsaw. (Online). (http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/31/cooperative-learning-teknik-jigsaw/, Diakses pada tanggal 2 Oktober 2010 Pukul 20.30 WITA).

Sugiyanto.2010.Model-Model Pembelajaran Inovatif. Surakarta:Yuma Pustaka. Sujito.2011. Meningkatkan Hasil Belajar Materi Kerajaan Hindu, Budha, dan

Islam di Indonesia Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Siswa Kelas V SDN Bagak Kecamatan Hatungun Kabupaten Tapin. Banjarmasin: Tidak diterbitkan.

Sukidin, dkk.2008.Manajemen Penelitian Tindakan Kelas.Jakarta:Insan Cendekia. Sulhan, Nadjib, dkk.Mari Belajar Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SD/MI

Kelas V.Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Suprijono, Agus.2010.Cooperative Learning Teori dan Aplikasi

PAIKEM.Yogyakarta:Pustaka Belajar.

Suwandi, Sarwiji.2010. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dan Penulisan Karya Ilmiah. Surakarta: Yuma Pustaka.

Suyatno.2009.Menjelajah Pembelajaran Inovatif.Surabaya: Masmedia Buana Pustaka.

Takari, Enjah.2009.Pembelajaran IPA dengan SAVI dan Kontekstual. Sumedang: PT Genesindo.

Tim Penyusun.2005.Materi Pelatihan Terintegrasi Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Depdiknas.

Tim Penyusun.2010.Pendidikan Kewarganegaraan Untuk SD dan MI Kelas V.Klaten: Intan Pariwara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Wiriaatmadja, Rochiati.2008.Metode Penelitian Tindakan Kelas.Bandung:PT Remaja Rosdakarya.

---.2009. laporan penelitian tindakan kelas ptk pkn.(Online) (http://ktiptk.blogspirit.com/archive/2009/01/02/laporan-penelitian-tindakan-kelas-ptk-pkn.html, Diakses pada tanggal 15 Maret 2011 Pukul20.30 WITA).

---.2010.peranan guru dalam proses pembelajaran. (Online).(http://education-mantap.blogspot.com/2010/06/peranan-guru-dalam-proses-pembelajaran.html, Diakses pada tanggal 20 Nopember 2010 Pukul 21.00 WITA).