Peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan wanita dewasa di Dusun Krodan tentang antibiotika dengan metode seminar.

(1)

INTISARI

Kurangnya pengetahuan tentang penggunaan antibiotika dapat menyebabkan resistensi, sehingga dapat diatasi dengan pemberian edukasi melalui seminar. Penelitian bertujuan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan tindakan wanita dewasa tentang antibiotika dengan metode seminar.

Jenis penelitian yaitu eksperimental semu, dengan rancangan time series. Pemberian kuesioner dilakukan sebelum intervensi, segera setelah intervensi, satu dan dua bulan setelah intervensi kepada 32 ibu-ibu Dusun Krodan secara purposive sampling. Analisis menggunakan uji Shapiro-wilk untuk normalitas data, uji hipotesis menggunakan uji Wilcoxon dengan nilai p<0,05 maka terjadi peningkatan signifikan.

Hasil menunjukkan jumlah responden kategori pengetahuan baik pre intervensi 9,4%, sedang 75%, buruk 15,6%. Responden pengetahuan baik post-1 meningkat signifikan menjadi 37,5%, sedang 50%, buruk 12,5%. Responden pengetahuan baik post-2 meningkat signifikan menjadi 43,8%, sedang 50%, buruk 6,2%. Responden pengetahuan baik post-3 meningkat signifikan menjadi 34,3%, sedang 65,6% (p<0,05). Responden sikap baik pre 25%, sedang 62,5%, buruk 12,5%. Responden sikap baik post-1 meningkat signifikan menjadi 53,1%, sedang 46,9%. Responden sikap baik post-2 meningkat signifikan menjadi 53,1%, sedang 46,9%. Responden sikap baik post-3 meningkat signifikan menjadi 43,8%, sedang 56,2% (p<0,05). Pada aspek tindakan tidak terjadi peningkatan secara signifikan pada ketiga post (p>0,05).

Kesimpulan penelitian ini yaitu metode seminar dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang antibiotika, namun pada tindakan tidak terjadi peningkatan.


(2)

ABSTRACT

Having lack of knowledge about the use of antibiotic causes resistance, those problem can be solved by seminar. This study is aimed to improving women`s knowledge, attitude, and practice towards antibiotic by seminar method.

This research is quasi-experimental with time series design. The questionnaire was distributed pre intervention, immediately, one and two months post intervention to 32 women in Dusun Krodan by purposive sampling. Data analyze uses Shapiro-Wilk for normality and Wilcoxon for hypothesis, significantly improved with p-value<0,05.

The result shows number of respondents with good knowledge pre-intervention 9,4%, fair 75%, poor 15,6%. Good knowledge`s respondents post-1 significantly improved up to 37,5% fair 50%, poor 12,5%. Good knowledge`s respondents post-2 significantly improved up to 43,8%, fair 50%, poor 6,2%. Good knowledge`s respondents post-3 significantly improved up to 34,3%, fair 65,6% (p<0,05). Good attitude`s respondents pre 25%, fair 62,5%, poor 12,5%. Good attitude`s respondents post-1 significantly improved up to 53,1%, fair 46,9%. Good atitude`s respondents post-2 significantly improved up to 53,1%, fair 46,9%. Good attitude`s respondents post-3 significantly improved up to 43,8%, fair 56,2% (p<0,05). There is no significantly improvement for attitude (p>0,05).

In conclusion, the seminar method can be improving knowledge and attitude towards antibiotic, but there is no improvement for attitude.


(3)

i

PENINGKATAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN WANITA DEWASA DI DUSUN KRODAN TENTANG ANTIBIOTIKA

DENGAN METODE SEMINAR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Elisabet Asri Yunita Sari NIM : 118114116

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

Kupersembahkan untuk :

Bapak, Ibu, Mbak Ning, alm. Mbak Rini, dan seluruh keluarga

atas segala cinta kasih, sebagai tanda hormat dan baktiku

Keluarga Fakultas Farmasi,

atas kesempatan untuk menimba ilmu

dan semua pengalaman hidup yang berharga

Teman-teman yang selalu mendukung dan menyemangati dalam senang dan susah,

dan yang selalu tanya kapan ujian?

Almamaterku, yang saya banggakan


(7)

(8)

(9)

vii PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa berkat kasih dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penyelesaian skripsi tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dra. Th. B. Titien Siwi Hartayu, M.Kes., Ph.D., Apt. sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, dan kritik selama proses penyusunan karya ini.

2. Ibu-ibu RT 02 Dusun Krodan, Maguwoharjo, Depok, Sleman yang berkontribusi besar selama dilaksanakannya penelitian ini.

3. Para dosen penguji yang telah memberi kritik dan saran dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Seluruh pihak yang memberikan izin penelitian.

5. Dekan dan segenap staff karyawan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah mendukung dalam penelitian ini.

6. Seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Akhir kata, penulis berharap semoga karya ini dapat memberikan manfaat dalam perkembangan ilmu kefarmasian dan bagi seluruh pembaca.


(10)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang... 1

1. Perumusan masalah ... 4

2. Keaslian penelitian... 4

3. Manfaat penelitian... 7

B. Tujuan Penelitian ... 8

1. Tujuan umum ... 8


(11)

ix

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 9

A. Pengetahuan ... 9

1. Pengertian ... 9

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan ... 10

3. Pengukuran pengetahuan ... 10

B. Sikap ... 12

1. Pengertian ... 12

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap ... 13

3. Pengukuran sikap ... 14

C. Tindakan ... 15

1. Pengertian ... 15

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan ... 16

3. Pengukuran tindakan ... 16

D. Antibiotika ... 17

1. Definisi dan mekanisme kerja antibiotika ... 17

2. Penggolongan antibiotika sebagai obat keras ... 17

3. Penggunaan antibiotik secara rasional ... 18

4. Definisi resistensi ... 19

5. Penyebab resistensi ... 19

6. Masalah yang timbul dari resistensi ... 19

7. Pencegahan resistensi ... 20

E. Upaya Peningkatan Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan ... 20


(12)

x

2. CBIA ... 22

3. Simulasi ... 22

4. Diskusi kelompok ... 23

5. Ceramah ... 23

F. Landasan Teori ... 24

G. Hipotesis ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 25

B. Variabel Penelitian ... 25

C. Definisi Operasional ... 26

D. Lokasi Penelitian ... 27

E. Subyek Penelitian dan Sampling ... 27

1. Subyek penelitian ... 27

2. Sampling ... 28

F. Instrumen Penelitian ... 28

G. Tata Cara Penelitian ... 30

1. Studi pustaka ... 30

2. Analisis situasi ... 31

3. Pembuatan instrumen penelitian ... 32

4. Intervensi dan penyebaran kuesioner ... 35

H. Analisis Data ... 36

1. Editing ... 36


(13)

xi

3. Cleaning ... 38

4. Uji normalitas ... 38

5. Uji hipotesis ... 39

I. Kelemahan Penelitian ... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

A. Karakteristik Demografi Responden ... 40

1. Usia ... 40

2. Tingkat pendidikan terakhir ... 41

3. Pekerjaan ... 42

B. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Responden terkait Antibiotika Sebelum Seminar ... 43

C. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Responden terkait Antibiotika Sesudah Seminar ... 44

1. Pengetahuan ... 45

2. Sikap ... 46

3. Tindakan ... 48

D. Perbandingan Tingkat Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Responden tentang Antibiotika Sebelum dan Sesudah Seminar ... 50

1. Pengetahuan ... 50

2. Sikap ... 51

3. Tindakan ... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 55


(14)

xii

B. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57

LAMPIRAN ... 62


(15)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Pernyataan favorable dan unfavorable pokok bahasan aspek pengetahuan, sikap, dan tindakan ... 30


(16)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Distribusi jumlah responden berdasarkan usia... 41 Gambar 2. Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan

terakhir ... 42 Gambar 3. Distribusi jumlah responden berdasarkan kategori pekerjaan... 43 Gambar 4. Distribusi jumlah responden berdasarkan aspek pengetahuan,

sikap, dan tindakan dengan kategori baik pada pre intervensi... 44 Gambar 5. Perbandingan jumlah responden berdasarkan aspek

pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan kategori baik pada post-1, post-2, dan post-3 intervensi ... 49 Gambar 6. Peningkatan jumlah responden berdasarkan aspek pengetahuan

dengan kategori baik pada pre intervensi sampai dengan post-3 intervensi... 51 Gambar 7. Peningkatan jumlah responden berdasarkan aspek sikap

dengan kategori baik pada pre intervensi sampai dengan post-3 intervensi... 52 Gambar 8. Peningkatan jumlah responden berdasarkan aspek tindakan

dengan kategori baik pada pre intervensi sampai dengan post-3 intervensi... 54


(17)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner penelitian ... 63

Lampiran 2. Surat izin penelitian dari Bappeda Kabupaten Sleman ... 68

Lampiran 3. Revisi kuesioner ... 69

Lampiran 4. Contoh kuesioner yang sudah diisi responden ... 77

Lampiran 5. Data demografi responden ... 81

Lampiran 6. Hasil uji reliabilitas kuesioner aspek pengetahuan ... 82

Lampiran 7. Hasil uji reliabilitas kuesioner aspek sikap ... 84

Lampiran 8. Hasil uji reliabilitas kuesioner aspek tindakan ... 85

Lampiran 9. Hasil uji normalitas data aspek pengetahuan ... 86

Lampiran 10. Hasil uji normalitas data aspek sikap ... 87

Lampiran 11. Hasil uji normalitas data aspek tindakan ... 88

Lampiran 12. Hipotesis... 89

Lampiran 13. Hasil uji hipotesis aspek pengetahuan ... 90

Lampiran 14. Hasil uji hipotesis aspek sikap ... 91

Lampiran 15. Hasil uji hipotesis aspek tindakan ... 92


(18)

xvi INTISARI

Kurangnya pengetahuan tentang penggunaan antibiotika dapat menyebabkan resistensi, sehingga dapat diatasi dengan pemberian edukasi melalui seminar. Penelitian bertujuan meningkatkan pengetahuan, sikap, dan tindakan wanita dewasa tentang antibiotika dengan metode seminar.

Jenis penelitian yaitu eksperimental semu, dengan rancangan time series. Pemberian kuesioner dilakukan sebelum intervensi, segera setelah intervensi, satu dan dua bulan setelah intervensi kepada 32 ibu-ibu Dusun Krodan secara purposive sampling. Analisis menggunakan uji Shapiro-wilk untuk normalitas data, uji hipotesis menggunakan uji Wilcoxon dengan nilai p<0,05 maka terjadi peningkatan signifikan.

Hasil menunjukkan jumlah responden kategori pengetahuan baik pre intervensi 9,4%, sedang 75%, buruk 15,6%. Responden pengetahuan baik post-1 meningkat signifikan menjadi 37,5%, sedang 50%, buruk 12,5%. Responden pengetahuan baik post-2 meningkat signifikan menjadi 43,8%, sedang 50%, buruk 6,2%. Responden pengetahuan baik post-3 meningkat signifikan menjadi 34,3%, sedang 65,6% (p<0,05). Responden sikap baik pre 25%, sedang 62,5%, buruk 12,5%. Responden sikap baik post-1 meningkat signifikan menjadi 53,1%, sedang 46,9%. Responden sikap baik post-2 meningkat signifikan menjadi 53,1%, sedang 46,9%. Responden sikap baik post-3 meningkat signifikan menjadi 43,8%, sedang 56,2% (p<0,05). Pada aspek tindakan tidak terjadi peningkatan secara signifikan pada ketiga post (p>0,05).

Kesimpulan penelitian ini yaitu metode seminar dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap tentang antibiotika, namun pada tindakan tidak terjadi peningkatan.


(19)

xvii ABSTRACT

Having lack of knowledge about the use of antibiotic causes resistance, those problem can be solved by seminar. This study is aimed to improving women`s knowledge, attitude, and practice towards antibiotic by seminar method.

This research is quasi-experimental with time series design. The questionnaire was distributed pre intervention, immediately, one and two months post intervention to 32 women in Dusun Krodan by purposive sampling. Data analyze uses Shapiro-Wilk for normality and Wilcoxon for hypothesis, significantly improved with p-value<0,05.

The result shows number of respondents with good knowledge pre-intervention 9,4%, fair 75%, poor 15,6%. Good knowledge`s respondents post-1 significantly improved up to 37,5% fair 50%, poor 12,5%. Good knowledge`s respondents post-2 significantly improved up to 43,8%, fair 50%, poor 6,2%. Good knowledge`s respondents post-3 significantly improved up to 34,3%, fair 65,6% (p<0,05). Good attitude`s respondents pre 25%, fair 62,5%, poor 12,5%. Good attitude`s respondents post-1 significantly improved up to 53,1%, fair 46,9%. Good atitude`s respondents post-2 significantly improved up to 53,1%, fair 46,9%. Good attitude`s respondents post-3 significantly improved up to 43,8%, fair 56,2% (p<0,05). There is no significantly improvement for attitude (p>0,05).

In conclusion, the seminar method can be improving knowledge and attitude towards antibiotic, but there is no improvement for attitude.


(20)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Penyakit infeksi bakteri merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting dan banyak terjadi di masyarakat. Antibiotika merupakan obat yang sangat dikenal oleh kalangan masyarakat dan digunakan untuk pengobatan infeksi bakteri. Hampir semua masyarakat mengenal antibiotika secara salah, dan pada kenyataannya antibiotika merupakan obat yang paling banyak digunakan secara tidak rasional (Sadikin, 2011).

Dalam Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika secara tidak tepat di Indonesia sebesar 40-62%. Antibiotika tersebut paling banyak digunakan untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotika pada pengobatannya. Pada sebuah penelitian lain, penggunaan antibiotika di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa 30%-80% penggunaannya tidak berdasarkan indikasi (Kemenkes, 2011).

Antibiotika yang disimpan untuk swamedikasi merupakan suatu indikasi penggunaan antibiotika secara tidak rasional. Hal ini ditunjukkan oleh Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, bahwa sebanyak 27,8% dari 294.969 rumah tangga yang diteliti menyimpan antibiotika untuk swamedikasi. Di propinsi Yogyakarta terdapat 90,2% proporsi rumah tangga yang menyimpan antibiotika tanpa resep dokter (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).


(21)

Penggunaan antibiotika secara tidak rasional dapat menyebabkan resistensi, yaitu tidak terhambatnya perkembangan bakteri dengan pemberian antibiotika. Penyebab terjadinya resistensi adalah tingginya tingkat penggunaan antibiotika secara tidak tepat di kalangan masyarakat serta ketidakpatuhan pasien dalam meminum antibiotika (Utami, 2012).

Tingginya resistensi di Indonesia khususnya bakteri Escherichia coli ditunjukkan pada penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study). Sebanyak 2494 individu yang diteliti, 43% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotika, yaitu ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%), dan kloramfenikol (25%) (Kemenkes, 2011). Bakteri yang resisten terhadap antibiotika akan memperpanjang durasi pengobatan sehingga biaya pengobatan akan semakin mahal.

Dampak resistensi antibiotika dapat mengancam kesehatan masyarakat bahkan resistensi dapat menyebabkan kematian. Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa penyakit yang disebabkan karena resistensi sebanyak 2.049.442 penyakit, dan angka kematian akibat resistensi sebesar 23.000 kasus (CDC, 2013).

Dalam upaya menekan tingginya angka kejadian resistensi, edukasi mengenai penggunaan antibiotika secara tepat merupakan hal yang penting untuk mencegah resistensi (WHO, 2001). Edukasi perlu dilakukan agar pemahaman masyarakat tentang antibiotika akan meningkat, sehingga penggunaan antibiotika secara tidak tepat di kalangan masyarakat tidak semakin bertambah dan kejadian resistensi terhadap antibiotika dapat ditekan. Penggunaan antibiotika yang


(22)

3

terkendali akan menghemat pemakaian antibiotika, sehingga dapat mempersingkat durasi pengobatan dan mengurangi beban biaya pengobatan (Kemenkes, 2011).

Subyek penelitian ini adalah wanita dewasa dengan usia 26-45 tahun (Depkes, 2009). Wanita sebagai ibu dalam keluarga berperan penting dalam menjaga kesehatan keluarga, yaitu merawat, menjaga, memutuskan, dan mencari upaya pengobatan untuk anggota keluarga yang sakit. Pada kenyataannya ibu adalah penggerak dalam penanganan kesehatan keluarga, sehingga pemahaman ibu tentang kesehatan perlu ditingkatkan melalui edukasi (Nurnahdiaty, Sanil, dan Said, 2014). Edukasi tentang antibiotika kepada ibu sangat penting agar para ibu tidak sembarangan dalam menggunakan obat khususnya antibiotika. Lokasi penelitian di Dusun Krodan, Maguwoharjo, Depok, Sleman dimana tempat penelitian berada di lingkungan kampus dan sebelumnya belum pernah ada edukasi tentang antibiotika di daerah ini.

Edukasi yang diberikan berupa seminar karena seminar merupakan salah satu jenis edukasi yang dapat mengubah kebiasaan seseorang dengan cara meningkatkan pengetahuan (WHO, 2001). Penelitian yang dilakukan oleh Hu (2015), Bindawas (2013), dan Warburton (2006), menunjukkan bahwa intervensi berupa seminar dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, serta tindakan. Seminar merupakan salah satu jenis edukasi yang sudah sering diadakan untuk masyarakat. Selain itu, edukasi melalui seminar mudah untuk dilaksanakan karena peserta hanya mendengarkan informasi yang diberikan oleh pembicara.

Adanya pemberian edukasi mengenai antibiotika ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman ibu tentang antibiotika menjadi semakin baik. Dengan


(23)

demikian, ibu menjadi paham akan pentingnya penggunaan obat khususnya antibiotika secara tepat dan rasional untuk mencegah semakin tingginya resistensi terhadap antibiotika.

1. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut :

a. Seperti apakah karakteristik demografi responden?

b. Seberapa tinggi tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat mengenai antibiotika sebelum seminar?

c. Seberapa tinggi tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat mengenai antibiotika sesudah seminar?

d. Apakah ada peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan sebelum dan sesudah seminar?

2. Keaslian penelitian

Dari penelusuran pustaka yang telah dilakukan, penelitian tentang peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan wanita dewasa di Dusun Krodan tentang antibiotika dengan metode seminar belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang ditemukan penulis terkait antibiotika antara lain:

a. Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat Mengenai Antibiotika di Kecamatan Gondokusuman Kota Yogyakarta tahun 2011 oleh Marvel. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada subyek, lokasi, dan fokus penelitian. Subyek yang digunakan pada penelitian oleh Marvel adalah masyarakat umum


(24)

laki-5

laki maupun perempuan, sedangkan pada penelitian ini yang menjadi subyek adalah wanita usia 26-45 tahun. Lokasi penelitian oleh Marvel di Kecamatan Gondokusuman Kota Yogyakarta, sedangkan lokasi penelitian ini di Dusun Krodan, Kabupaten Sleman. Fokus penelitian oleh Marvel adalah mengevaluasi tingkat pendidikan mempengaruhi pengetahuan masyarakat mengenai antibiotika. Pada penelitian ini peneliti meneliti apakah seminar dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan tindakan wanita terkait antibiotika. Hasil penelitian oleh Marvel menunjukkan bahwa tingkat pendidikan tidak berpengaruh terhadap pengetahuan masyarakat terkait antibiotika.

b. Pengaruh Edukasi Tentang Penyakit Menular Seksual Terhadap Perilaku dalam Penggunaan Antibiotika pada Pekerja Seks Komersial di Lokasi Jalanan Yogyakarta tahun 2006 oleh Ida. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada subyek, lokasi, dan fokus penelitian. Subyek pada penelitian ini adalah wanita usia 26-45 tahun, sedangkan pada penelitian oleh Ida subyek yang digunakan adalah wanita Pekerja Seks Komersial (PSK). Lokasi penelitian pada penelitian ini di Dusun Krodan, sedangkan penelitian oleh Ida berlokasi di jalanan Yogyakarta. Penelitian oleh Ida berfokus untuk melihat apakah edukasi tentang penyakit menular seksual berpengaruh terhadap penggunaan antibiotika terhadap PSK. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan pada perilaku dalam penggunaan antibiotika pada PSK sebelum dan sesudah intervensi.


(25)

c. Meningkatkan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Penggunaan Antibiotika dengan Metode Cara Belajar Ibu Aktif (CBIA) di Kabupaten Jember oleh Rossetyowati pada tahun 2012. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada intervensi yang diberikan kepada subyek penelitian dan lokasi penelitian. Intervensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode seminar, sedangkan pada penelitian oleh Rossetyowati intervensi yang digunakan adalah metode CBIA. Lokasi penelitian oleh Rossetyowati di Kabupaten Jember, sedangkan lokasi penelitian ini di Dusun Krodan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode CBIA dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku penggunaan antibiotika.

d. Pengaruh Penyuluhan Penggunaan Antibiotika Terhadap Tingkat Pengetahuan Masyarakat di Kota Manado oleh Wowiling, Goenawi, dan Citraningtyas pada tahun 2013. Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada intervensi, lokasi penelitian, dan fokus penelitian. Intervensi yang digunakan pada penelitian oleh Wowiling et al. adalah penyuluhan, sedangkan penelitian ini menggunakan seminar. Penelitian ini berlokasi di Dusun Krodan, sedangkan penelitian oleh Wowiling et al. berlokasi di Kota Manado. Penelitian ini berfokus pada peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan karena diberikan seminar, sedangkan penelitian oleh Wowiling et al. berfokus pada peningkatan pengetahuan karena pengaruh penyuluhan. Hasil penelitian oleh Wowiling et al. menunjukkan bahwa penyuluhan penggunaan antibiotika terhadap tingkat pengetahuan masyarakat bermakna perubahannya.


(26)

7

e. Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Ibu Terhadap Penggunaan Antibiotika dengan Metode CBIA di Kelurahan Rempoa Ciputat Timur pada tahun 2013 oleh Indijah, Nida, dan Suprapti. Apabila dibandingkan dengan penelitian ini, perbedaannya terletak pada intervensi, lokasi penelitian, dan fokus penelitian. Intervensi yang digunakan penelitian ini adalah metode seminar, sedangkan penelitian oleh Indijah menggunakan metode CBIA. Lokasi penelitian Indijah di Kelurahan Rempoa Ciputat Timur, sedangkan penelitian ini di Dusun Krodan. Fokus penelitian Indijah et al. adalah melihat adanya peningkatan pengetahuan dan sikap dengan adanya CBIA, sedangkan penelitian ini melihat adanya peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan diberikan seminar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode CBIA dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu terhadap penggunaan antibiotika.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat Teoretis. Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan bidang kesehatan terkait peningkatkan pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat tentang antibiotika.

b. Manfaat Praktis. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan pihak-pihak terkait antara lain:

1) Bagi masyarakat, meningkatkan pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat mengenai antibiotika dan meningkatkan motivasi untuk


(27)

mencari dan memanfaatkan sumber informasi mengenai antibiotika sebagai penunjang kesehatan.

2) Bagi pemerintah, dapat digunakan Dinas Kesehatan sebagai dasar untuk evaluasi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mengenai penggunaan dan informasi tentang antibiotika.

3) Bagi mahasiswa, sebagai sumber informasi dan pengetahuan sehubungan dengan pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat mengenai antibiotika.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Meningkatkan pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat mengenai antibiotika dengan metode seminar ditinjau dari jenis kelamin wanita dengan rentang usia 26-45 tahun.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi karakteristik demografi responden.

b. Mengukur tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat mengenai antibiotika sebelum seminar.

c. Mengukur tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat mengenai antibiotika sesudah seminar.

d. Mengukur peningkatan tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan sebelum dan sesudah seminar.


(28)

9 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pengetahuan 1. Pengertian

Pengetahuan adalah hasil tahu seseorang terhadap obyek, sebagian besar obyek tersebut diperoleh dengan sendirinya melalui panca indra. Pengetahuan yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap obyek tersebut. Pengetahuan lebih bersifat pengenalan terhadap suatu hal secara obyektif (Notoatmodjo, 2010; Sarwono, 2012).

Pengetahuan seseorang memiliki dua aspek, yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek tersebut akan menentukan sikap seseorang. Apabila aspek positif dari pengetahuan semakin banyak maka sikap yang terbentuk semakin positif. Apabila aspek negatif pengetahuan lebih banyak maka terbentuk sikap negatif (Wawan dan Dewi, 2010).

Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman dan fasilitas yang berasal dari berbagai narasumber, misalnya media cetak, media elektronik, atau melalui komunikasi interpersonal dengan orang lain. Semakin banyak fasilitas yang dimiliki maka akan memungkinkan seseorang memperoleh informasi semakin banyak sehingga pengetahuan yang dimiliki akan semakin meningkat (Notoatmodjo, 2010).


(29)

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Pengetahuan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, pengalaman, intelegensi, informasi, dan pendidikan. Semakin cukup umur maka tingkat kematangan dan kekuatan berpikir seseorang akan lebih matang. Pada usia lanjut, kemampuan untuk menerima dan mengingat pengetahuan akan berkurang. Pengalaman sebagai faktor yang mempengaruhi pengetahuan, yaitu cara memperoleh kebenaran dengan mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan suatu masalah. Intelegensi merupakan kemampuan untuk belajar dan berpikir abstrak dimana intelegensi akan mempengaruhi hasil dari proses belajar. Perbedaan intelegensi dari seseorang akan berpengaruh pula terhadap tingkat pengetahuannya (Budi dan Riyanto, 2013; Wawan dan Dewi, 2010).

Faktor lainnya yang mempengaruhi pengetahuan adalah informasi. Adanya informasi yang baik dari berbagai media dapat meningkatkan pengetahuan seseorang, meskipun orang tersebut memiliki pendidikan yang rendah. Pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh pada pengetahuan, dengan adanya pendidikan maka pengetahuan akan meningkat. Meskipun seseorang memiliki pendidikan rendah, tetapi pengetahuan dapat ditingkatkan melalui informasi dari berbagai sumber selain dari pendidikan formal (Budi dan Riyanto, 2013; Wawan dan Dewi, 2010).

3. Pengukuran pengetahuan

Pengukuran tingkat pengetahuan bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan seseorang dan hasilnya disajikan pada tabel distribusi frekuensi.


(30)

11

Pengukuran pengetahuan menggali jawaban yang diketahui responden dari sebuah pernyataan. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan metode wawancara tertutup menggunakan instrumen kuesioner. Wawancara tertutup adalah wawancara yang melibatkan responden untuk menjawab suatu pernyataan dengan memilih opsi jawaban yang telah tersedia. Dalam wawancara tertutup tersebut responden memilih jawaban yang mereka anggap benar (Notoatmodjo, 2010).

Pada pengukuran pengetahuan, pengetahuan responden dikatakan baik apabila respoden mampu menjawab dengan benar 76-100% dari total pernyataan pengetahuan. Tingkat pengetahuan responden sedang jika mampu menjawab pernyataan 56-75%. Tingkat pengetahuan responden buruk jika mampu menjawab pernyataan <56% (Arikunto, 2006).

Pengukuran pengetahuan dilakukan dengan pernyataan dengan bentuk dichotomous scale. Skala tersebut merupakan pernyataan untuk mengukur pengetahuan yang jawaban pernyataan tersebut telah disediakan. Pada pernyataan telah disediakan dua alternatif jawaban dan harus dipilih salah satu. Alternatif jawaban tersebut menggunakan pendekatan logika, yaitu “benar” dan “salah” atau

“ya” dan “tidak”. Cara pengukuran pengetahuan dilakukan dengan memberikan

penilaian (scoring) yaitu untuk jawaban yang benar diberi nilai 1 dan nilai 0 untuk jawaban yang salah (Mustafa, 2009).


(31)

B. Sikap 1. Pengertian

Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau obyek yang melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. Stimulus berperan penting dalam proses terbentuknya sikap. Pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting dalam menentukan sikap yang utuh (Notoatmodjo, 2010).

Pengetahuan merupakan komponen yang penting bagi seseorang untuk memiliki sikap yang tepat terhadap suatu obyek. Sikap tertentu terhadap suatu obyek menunjukkan tentang pengetahuan seseorang terhadap obyek sikap yang bersangkutan (Wawan dan Dewi, 2010).

Sikap terdiri dari tiga komponen yaitu afektif, kognitif, dan konatif. Afektif yaitu penilaian emosional seperti senang, benci, atau sedih. Kognitif terkait pengetahuan terhadap suatu hal. Konatif yaitu kecenderungan untuk bertindak (Sarwono, 2012).

Sikap memiliki tingkat kedalaman yang berbeda-beda seperti misalnya benci atau sangat benci. Sikap tidak sama dengan tindakan dan tindakan tidak setiap kali mencerminkan sikap seseorang. Terkadang seseorang memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap dapat berubah dengan adanya tambahan informasi, melalui persuasi dan juga tekanan dari kelompok sosialnya (Sarwono, 2012).

Sikap memiliki output yang sangat tergantung pada setiap individu. Apabila individu tersebut tertarik maka ia akan mendekat, namun apabila tidak


(32)

13

suka maka individu tersebut akan merespon sebaliknya. Sikap dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu sikap yang berorientasi memihak atau mendukung (favorable) dan sikap yang berorientasi sebaliknya (unfavorable). Kesiapan seseorang untuk merespon suatu obyek akan bergantung pada sikap tersebut (Budi dan Riyanto, 2013).

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan sikap antara lain pengalaman pribadi, orang yang dianggap penting, media massa, pengaruh kebudayaan, dan faktor emosional. Sikap mudah terbentuk jika pengalaman terjadi dalam situasi yang melibatkan emosional sehingga akan meninggalkan kesan yang kuat. Seseorang cenderung memiliki sikap searah dengan orang yang dianggap penting, hal tersebut merupakan sebuah motivasi dan keinginan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting (Azwar, 2011).

Dalam penyampaian informasi, media massa membawa pesan yang berisi sugesti. Apabila pesan sugesti tersebut cukup kuat maka akan memberi dasar yang efektif dalam menilai sesuatu sehingga pembentukan sikap tergantung dari penilaian tersebut (Azwar, 2011).

Kebudayaan telah memberi pengaruh sikap terhadap berbagai masalah yang dihadapi. Kebudayaan telah memberi warna pada sikap masyarakat, karena kebudayaan memberi corak pengalaman pada masyarakat. Sikap terkadang bentuk pernyataan yang didasari emosi dan berfungsi sebagai penyalur frustasi dan pengalihan bentuk pertahanan ego (Azwar, 2011).


(33)

3. Pengukuran sikap

Metode yang digunakan untuk pengukuran sikap sama dengan metode pada pengukuran pengetahuan. Perbedaan dengan pengukuran sikap adalah terletak pada substansi pertanyaannya. Pada pengukuran sikap sebuah pernyataan akan menggali pendapat atau penilaian responden terhadap suatu obyek (Notoatmodjo, 2010).

Jawaban biasanya berada dalam rentang antara sangat setuju sampai sangat tidak setuju. Dalam pengukuran sikap dapat dibagi menjadi empat kategori berdasarkan sistem scoring. Sikap responden dapat dikatakan baik jika mampu menjawab pernyataan dengan benar 76-100% dari total pernyataan sikap. Kategori sikap responden sedang jika mampu menjawab pernyataan 56-75%. Kategori sikap responden buruk jika mampu menjawab pernyataan <56% (Arikunto, 2006; Notoatmodjo, 2010).

Konsep yang digunakan untuk pengukuran sikap, yaitu sikap merupakan penilaian dan atau pendapat seseorang terhadap suatu obyek (Likert). Pada instrumen pengukuran responden akan diminta pendapatnya terhadap pernyataan dengan memilih “sangat setuju”, “setuju”, “tidak setuju”, atau “sangat tidak

setuju”, yang kemudian skala tersebut disebut dengan skala Likert ( Notoatmodjo,

2010).

Cara pengukuran dengan memberikan penilaian (scoring). Pada pernyataan yang sifatnya mendukung (favorable), untuk pilihan “sangat setuju” diberi nilai 4, pilihan “setuju” diberi nilai 3, “tidak setuju” diberi nilai 2, dan “sangat tidak setuju” diberi nilai 1. Kemudian untuk pernyataan yang sifatnya


(34)

15

tidak mendukung (unfavorable), pilihan “sangat setuju” diberi nilai 1, pilihan “setuju” diberi nilai 2, pilihan “tidak setuju” diberi nilai 3, dan pilihan “sangat tidak setuju” diberi nilai 4 (Notoatmodjo, 2010).

C. Tindakan 1. Pengertian

Tindakan adalah mekanisme dari suatu pengamatan yang muncul dari persepsi sehingga ada respon untuk mewujudkan suatu tindakan. Terwujudnya tindakan perlu faktor antara lain adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Fasilitas dan sarana prasarana yang baik menjadi pendukung untuk terbentuknya tindakan yang baik (Notoatmodjo, 2010).

Tindakan dapat tercermin setelah seseorang mengetahui stimulus atau obyek, kemudian mengadakan penilaian terhadap apa yang diketahui, tahap selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan apa yang diketahuinya. Tindakan merupakan sebuah reaksi terbuka dari suatu stimulus, sedangkan pengetahuan dan sikap merupakan reaksi tertutup dari stimulus. Reaksi tertutup inilah yang kemudian akan terbentuk menjadi reaksi terbuka (Fitriani, 2011; Notoatmodjo, 2010).

Apabila pembentukan tindakan baru terjadi dengan didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan juga sikap yang positif, maka tindakan tersebut akan bertahan lama. Sebaliknya apabila tindakan tersebut tidak didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka tindakan tersebut tidak akan bertahan lama (Notoatmodjo, 2010).


(35)

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan

Menurut Parsons (cit., Sarwono, 2012), terdapat tiga sistem yang dapat mempengaruhi tindakan individu dan kelompok, yaitu sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian masing-masing individu. Dalam sistem sosial, seseorang akan menduduki suatu tempat (status) dan bertindak (berperan) sesuai dengan aturan yang dibuat dalam sistem tersebut dan perilaku seseorang akan ditentukan oleh tipe kepribadiannya.

Tindakan terbentuk dari sebuah sikap, namun untuk mewujudkan menjadi sebuah tindakan diperlukan faktor lain yaitu fasilitas atau sarana dan prasarana. Selain itu dari dalam diri individu yang berpengaruh terhadap tindakan yaitu persepsi, motivasi, dan emosi (Sarwono, 2012).

Persepsi yaitu kumpulan pengamatan dari hasil penglihatan, pendengaran, penciuman, dan pengalaman masa lalu. Beberapa orang dapat memiliki persepsi yang berbeda terhadap suatu hal yang sama. Motivasi yaitu dorongan memenuhi kebutuhan yang diwujudkan melalui tindakan. Motivasi yang rendah dapat menghasilkan tindakan yang kurang kuat. Emosi berkaitan dengan kepribadian seseorang (Sarwono, 2012).

3. Pengukuran tindakan

Penelitian tindakan dilakukan untuk mencari dasar pengetahuan praktis guna memperbaiki kondisi kesehatan masyarakat dan dilakukan terhadap suatu keadaan yang sedang berlangsung. Pengukuran tindakan biasanya dengan memberikan penilaian terhadap apa yang dilakukan responden terkait dengan kesehatan, cara peningkatan kesehatan, atau cara memperoleh pengobatan yang


(36)

17

tepat. Pengukuran tindakan dapat menggunakan skala Likert seperti halnya dalam pengukuran sikap (Budi dan Riyanto, 2013; Notoatmodjo, 2010).

D. Antibiotika 1. Definisi dan mekanisme kerja antibiotika

Antibiotika merupakan obat yang digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri maupun sebagai pencegahan terhadap infeksi misalnya pada pembedahan. Antibiotika tidak akan aktif terhadap sebagian besar virus karena metabolisme virus tergantung pada inangnya. Antibiotika dihasilkan oleh mikroorganisme atau dihasilkan secara sintetik, yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri atau organisme lain (BPOM, 2011; Tjay dan Raharja, 2007).

Mekanisme kerja antibiotika antara lain dengan menghambat sintesis protein sehingga menyebabkan bakteri mati (makrolida, tetrasiklin, kloramfenikol, aminoglikosida, dan linkomisin), bekerja pada dinding sel bakteri (sefalosporin dan penisilin), dan perusakan permeabilitas membran sel bakteri (polimiksin dan imidazol) (Tjay dan Raharja, 2007).

2. Penggolongan antibiotika sebagai obat keras

Undang Undang Obat Keras St. No. 419 tanggal 22 Desember 1949 menyatakan bahwa obat keras dibagi menjadi dua golongan yaitu obat golongan G (gevaarlijk) atau obat-obat keras yang terdapat pada daftar obat-obatan berbahaya, dan obat golongan W (warschuwing) atau obat yang masuk pada daftar obat keras dengan peringatan. Pendistribusian serta penjualannya harus


(37)

dilakukan dengan resep dokter kecuali untuk pedagang-pedagang besar yang diakui, apoteker, dokter, dokter gigi, dan dokter hewan.

Beberapa jenis antibiotika yang terdapat dalam daftar obat wajib apotek (OWA) dapat diperoleh tanpa resep dokter. OWA adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Sesuai dengan Permenkes No. 347 tahun 1990, Permenkes No. 924 tahun 1993, dan Permenkes No. 1176 tahun 1999 tentang OWA, terdapat beberapa jenis antibiotika yang termasuk dalam daftar OWA sehingga dapat diperoleh tanpa resep dokter, terutama antibiotika untuk antituberkolosa dan antibiotika dengan bentuk sediaan topikal.

Antibiotika merupakan golongan obat keras yang pemakaiannya harus dibawah pengawasan dokter. Hal ini ditujukkan untuk menghindari penggunaan obat yang tidak tepat, misalnya dalam pemilihan antibiotika, dosis obat, durasi dan waktu penggunaan antibiotika. Penggunaan antibiotika yang tidak tepat akan menyebabkan resistensi antibiotika (BPOM, 2011).

3. Penggunaan antibiotika secara rasional

Penggunaan obat secara rasional dapat dirumuskan dengan menggunakan indikator 8 tepat dan 1 waspada. Indikator 8 tepat dan 1 waspada tersebut antara lain tepat diagnosis, tepat pemilihan obat, tepat indikasi, tepat pasien, tepat dosis, tepat cara dan lama pemberian, tepat harga, tepat informasi, dan waspada terhadap efek samping obat (Swandari, 2013). Obat antibiotika sendiri harus digunakan dengan resep dokter dan walaupun kondisi tubuh telah membaik harus tetap


(38)

19

diminum sampai habis. Hal ini dilakukan untuk mencegah resistensi antibiotika (American Academy of Family Physicians, 2009).

4. Definisi resistensi

Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri dengan pemberian antibiotika dengan dosis normal atau kadar hambat minimalnya. Resistensi terjadi ketika ada perubahan bakteri yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia, atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi (Utami, 2012).

5. Penyebab resistensi

Penyebab utama resistensi adalah penggunaan antibiotika secara tidak tepat dan tidak rasional. Beberapa faktor yang mendukung resistensi adalah penggunaan yang kurang tepat atau tidak rasional, yaitu penggunaan yang terlalu singkat, dosis terlalu rendah, diagnosa yang salah, atau dalam potensi yang tidak adekuat. Pasien dengan pengetahuan rendah akan cenderung menganggap antibiotika wajib diberikan digunakan untuk berbagai macam penyakit (Bisht, Katiyar, Singh, dan Mittal, 2009).

6. Masalah yang timbul dari resistensi

Resistensi antibiotika dapat menimbulkan beberapa masalah. Penyakit yang gagal berespon terhadap pengobatan mengakibatkan penyakit menjadi tidak kunjung sembuh, meningkatnya resiko kematian, dan semakin lamanya masa rawat inap di rumah sakit. Ketika infeksi menjadi resisten terhadap pengobatan antibiotika lini pertama, maka harus digunakan antibiotika lini kedua atau ketiga dengan harga yang lebih mahal. Biaya kesehatan akan semakin meningkat seiring


(39)

dengan kebutuhan antibiotika baru yang lebih kuat dan lebih mahal (Bisht et al., 2009).

7. Pencegahan resistensi

Strategi penanganan maupun pencegahan resistensi yang dapat dilakukan yang pertama dan utama adalah terapi yang rasional. Penggunaan antibiotika secara rasional didasarkan pada beberapa aspek. Dalam pemilihan jenis antibiotika harus berdasar pada kondisi pasien, dosis yang tepat, rute pemberian, lama pemberian, informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi, hasil pemeriksaan mikrobiologi, waspada terhadap efek samping obat, dan cost effective, yaitu obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman bagi pasien (Kemenkes, 2011; Utami, 2012). Dalam masyarakat, strategi pengendalian resistensi yang paling utama adalah memberi pendidikan dengan mempromosikan penggunaan antibiotika yang sesuai (Wowiling, Goenawi, dan Citraningtyas, 2013).

E. Upaya Peningkatan Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan

Peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan dapat dilakukan dengan edukasi kesehatan. Edukasi kesehatan bertujuan untuk menciptakan perilaku yang kondusif untuk kesehatan, yaitu dengan adanya perubahan perilaku. Upaya ini dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan, dengan pengetahuan tersebut akan menimbulkan sikap dan akhirnya menyebabkan seseorang akan berperilaku yang didasarkan pada kesadaran serta kemauan individu yang bersangkutan. Meskipun perubahan perilaku melalui cara ini memerlukan waktu yang lama, namun


(40)

21

perubahan yang terjadi akan bersifat langgeng karena didasari pada pengertian dan kesadaran yang tinggi dan bukan karena paksaan (Maulana, 2009; Notoatmodjo, 2010). Metode edukasi kesehatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan tindakan antara lain :

1. Seminar

Seminar merupakan suatu penyajian atau presentasi dari seorang ahli atau beberapa ahli tentang suatu topik. Metode seminar hanya cocok untuk sasaran kelompok besar dengan latar belakang pendidikan menengah ke atas. Dalam metode kelompok besar, yang dimaksud disini adalah jika peserta penyuluhan dalam edukasi kesehatan lebih dari lima belas orang (Notoatmodjo, 2010).

Seminar tidak menghasilkan sebuah kesepakatan atau keputusan. Tujuan dari seminar adalah untuk memperkenalkan suatu pemikiran yang baru tentang topik yang dibicarakan. Dalam sebuah seminar ada seorang moderator yang menjadi penghubung antara peserta seminar dengan pembicara seminar (Djojodibroto, 2004).

Dalam sebuah seminar, peserta seminar mendapat keterangan teoretis secara lebih luas dan mendalam tentang topik yang dibahas. Dalam melaksanakan suatu tugas atau topik dalam seminar, peserta seminar akan mendapatkan petunjuk praktis untuk melaksanakannya. Peserta dalam seminar juga diajak untuk dapat berpikir dan bersikap secara logis dan ilmiah. Peserta seminar juga menjadi kurang aktif karena peserta lebih banyak mendengarkan penjelasan dan waktu yang digunakan untuk tanya jawab terbatas. Seminar membutuhkan penataan ruang tersendiri dalam pelaksanaannya (Santoso, 2010).


(41)

Penelitian oleh Bindawas (2013), Hu (2015), dan Warbuton (2006) memberikan hasil bahwa edukasi dalam bentuk seminar dapat meningkatkan pengetahuan. Penelitian oleh Prabandari dan Prawitasari (1995) menunjukkan bahwa metode seminar lebih efektif untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan tindakan dibandingkan dengan metode diskusi.

2. CBIA

Metode ini pada dasarnya merupakan metode pembelajaran untuk ibu rumah tangga agar lebih aktif dalam mencari informasi tentang obat yang digunakan dalam keluarga. Dalam metode ini, peserta dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Tiap kelompok-kelompok terdapat seorang tutor yang bertugas sebagai fasilitator diskusi dan membimbing peserta untuk menemukan atau memecahkan masalah yang ada. Dalam CBIA juga terdapat narasumber yang bertanggungjawab dalam menjawab permasalahan yang ditemukan saat diskusi dan tidak dapat dijawab oleh peserta (Suryawati, 1995). Penelitian oleh Rossetyowati (2012) dan penelitian Indijah et al. (2013) menunjukkan hasil bahwa CBIA dapat untuk meningkat pengetahuan, sikap, dan tindakan.

3. Simulasi

Metode simulasi merupakan bentuk metode praktek yang menggunakan situasi nyata dan digunakan untuk mengembangkan keterampilan peserta, sehingga peserta terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Simulasi terdiri dari dua tipe yaitu latihan simulasi dan bermain peran. Metode simulasi harus disesuaikan dengan materi yang akan disampaikan, karena tidak semua materi dan situasi dapat disimulasikan menjadi keadaan nyata. Simulasi dapat memperkaya


(42)

23

pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta dalam menghadapi suatu masalah (Fitriani, 2011; Nursalam, 2008). Penelitian oleh Kumoboyono, Hanafi, dan Lestari (2004) menunjukkan hasil bahwa metode simulasi dapat digunakan untuk meningkatkan sikap.

4. Diskusi kelompok

Diskusi kelompok merupakan pembahasan topik dengan tukar pikiran antara dua orang atau lebih yang telah dibagi dalam kelompok-kelompok kecil. Metode ini digunakan untuk mengembangkan putusan dan pendapat yang sama dari suatu persoalan. Setelah diskusi kelompok, proses dilanjutkan dengan diskusi pleno yang dimulasi dengan penjelasan hasil diskusi kelompok (Fitriani, 2011). Penelitian oleh Kumoboyono et al. (2004) menunjukkan hasil bahwa metode diskusi kelompok dapat digunakan untuk meningkatkan sikap.

5. Ceramah

Ceramah merupakan metode yang cocok digunakan untuk sasaran berpendidikan tinggi maupun rendah. Penyampaian informasi dalam ceramah dilakukan secara langsung kepada peserta yang pada umumnya mengikuti secara pasif. Metode ceramah adalah metode yang ekonomis untuk menyampaikan informasi dan paling efektif dalam mengatasi terbatasnya pustaka yang sesuai dengan daya paham peserta. Peserta pada ceramah lebih pasif, sehingga pembicara lebih mudah menerangkan materi dalam jumlah besar (Fitriani, 2011; Simamora, 2008). Penelitian oleh Octavyani (2012) menunjukkan bahwa ceramah dapat meningkatkan pengetahuan, sikap, dan tindakan responden.


(43)

F. Landasan Teori

Resistensi antibiotika merupakan masalah kesehatan yang besar karena angka kejadian resistensi terus bertambah. Resistensi dapat dicegah dengan penggunaan antibiotika secara tepat dan rasional. Masyarakat perlu memiliki pengetahuan, sikap, dan tindakan yang baik tentang antibiotika agar dapat menggunakan antibiotika secara tepat dan rasional,. Upaya untuk meningkatkan pengetahuan sehingga dapat mengubah sikap dan tindakan masyarakat mengenai antibiotika dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain seminar, CBIA, demonstrasi, simulasi, diskusi kelompok, dan ceramah. Adanya peningkatan pengetahuan dapat berpengaruh terhadap sikap dan tindakan masyarakat dalam menggunakan antibiotika secara tepat dan rasional, sehingga resistensi dapat dicegah.

G. Hipotesis

Terjadi peningkatan pengetahuan, perubahan sikap dan tindakan mengenai antibiotika setelah pemberian edukasi berupa seminar.


(44)

25 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah eksperimental semu. Eksperimental berarti adanya intervensi yang diberikan kepada responden, disebut penelitian eksperimental semu karena tidak dapat atau sulit mengendalikan variabel dari luar yang seharusnya dikontrol, sehingga efek yang diberikan tidak sepenuhnya dari intervensi dan menghadapi kesulitan teknis untuk dapat melakukan randomisasi (Notoatmodjo, 2012; Pratiknya, 2001). Rancangan penelitian yang digunakan adalah time series, karena pengambilan data yang dilakukan secara berulang-ulang dalam kurun waktu dua bulan, yaitu sebelum seminar, segera setelah seminar, satu bulan setelah seminar, dan dua bulan setelah seminar. Penelitian ini merupakan penelitian tim yang dilakukan oleh enam orang peneliti dengan instrumen penelitian, metode penelitian, rancangan penelitian, dan analisis data yang sama. Perbedaan terletak pada subyek dan tempat penelitian.

B. Variabel Penelitian

1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah intervensi berupa seminar.

2. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah pengetahuan, sikap, dan tindakan tentang antibiotika.


(45)

3. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah informasi yang diperoleh melalui pendidikan formal atau non formal (penyuluhan atau ceramah) tentang antibiotika.

4. Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah informasi tentang antibiotika yang telah diperoleh sebelumnya melalui media cetak (surat kabar, majalah, brosur), media elektronik (radio, internet, televisi), atau melalui komunikasi interpersonal (penjelasan dari tenaga kesehatan atau sesama masyarakat).

C. Definisi Operasional

1. Pengetahuan merupakan pemahaman responden tentang antibiotika dan diukur berdasarkan jawaban yang diberikan dalam kuesioner. Kategori pengetahuan dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan sistem scoring. Pengetahuan responden dikatakan baik jika skor 76-100% atau responden mendapatkan skor 16-20, sedang jika skor 56-75% atau responden mendapatkan skor 12-15, buruk jika skor <56% atau responden mendapatkan skor <12.

2. Sikap merupakan respon dan kecenderungan responden terhadap penggunaan antibiotika yang diukur dengan kuesioner. Kategori sikap dibagi menjadi empat kategori berdasarkan sistem scoring. Kategori baik jika skor 76-100% atau responden mendapatkan skor 31-40, sedang jika skor 56-75% atau responden mendapatkan skor 23-30, buruk jika skor <56% atau responden mendapatkan skor <23.


(46)

27

3. Tindakan adalah bentuk tindakan nyata yang dilakukan responden terkait penggunaan antibiotika yang diukur dengan kuesioner. Tindakan diindentifikasi berdasarkan sistem scoring. Kategori tindakan yang baik jika skor 76-100% atau responden mendapatkan skor 31-40, kategori sedang jika skor 56-75% atau responden mendapatkan skor 23-30, dan kategori buruk jika skor <56% atau responden mendapatkan skor <23.

4. Pre intervensi adalah pengukuran pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan kuesioner yang diberikan sebelum seminar.

5. Post-1 intervensi adalah pengukuran pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan kuesioner yang diberikan segera setelah seminar.

6. Post-2 intervensi adalah pengukuran pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan kuesioner yang diberikan satu bulan setelah seminar.

7. Post-3 intervensi adalah pengukuran pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan kuesioner yang diberikan dua bulan setelah seminar.

D. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dusun Krodan, RT 02, Maguwoharjo, Depok, Sleman.

E. Subyek Penelitian dan Sampling 1. Subyek penelitian

Subyek penelitian yang digunakan adalah ibu-ibu di Dusun Krodan, RT 02 dan memenuhi kriteria inklusi. Kriteria inklusi adalah yaitu berusia 26-45


(47)

tahun, dapat membaca dan menulis, tidak mempunyai latar pendidikan dan pekerjaan di bidang kesehatan, tidak pernah mengikuti seminar atau pelatihan tentang antibiotika selama dua tahun terakhir, dan bersedia untuk mengikuti kegiatan selama periode penelitian berlangsung secara sukarela dengan mengisi “informed consent”. Kriteria eksklusi responden adalah responden yang sesuai kriteria inklusi namun tidak bersedia mengisi kuesioner, responden yang bersedia mengisi kuesioner namun tidak diisi secara lengkap, dan responden yang tidak dapat mengisi kuesioner sendiri.

2. Sampling

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan non random sampling. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Peneliti mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam pengambilan sampel, yaitu sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang sudah ditentukan.

Pada seminar di RT 02, anggota PKK yang hadir dalam seminar sebanyak 36 orang. Jumlah responden yang tidak masuk kriteria umur sebanyak 4 orang. Total seluruh responden RT 02 yang masuk kriteria inklusi sebanyak 32 orang.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner yang terdiri atas empat bagian, yaitu sebagai berikut:


(48)

29

1. Bagian pertama berupa lembar kuesioner dengan bentuk close form item yang memuat tentang data demografi responden yang terdiri dari nama, alamat, pendidikan terakhir, usia, dan pekerjaan.

2. Kuesioner bagian kedua menggunakan tipe skala dichotomous untuk mengetahui tingkat pengetahuan responden mengenai antibiotika. Responden diminta memilih salah satu alternatif jawaban “ya” atau “tidak” yang terdiri dari 20 pernyataan dan terbagi dalam 10 pernyataan favorable dan 10 pernyataan unfavorable. Pokok bahasan bagian pertama ini meliputi pengertian antibiotika, tempat memperoleh antibiotika, cara memperoleh antibiotika, cara penggunaan antibiotika, dan bahaya atau akibat penggunaan antibiotika (resistensi).

3. Kuesioner pada bagian ketiga ini menggunakan skala Likert dengan empat pilihan jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS) yang berfungsi untuk mengetahui sikap responden terkait antibiotika. Bagian ini terdiri dari 10 pernyataan dan terbagi dalam 5 pernyataan favorable dan 5 pernyataan unfavorable. Pokok bahasan bagian kedua ini meliputi penggunaan sisa antibiotika, sumber informasi antibiotika, dan tempat memperoleh antibiotika. Pernyataan tersebut antara lain mengenai: gaya hidup, sumber informasi antibiotika, dan tempat memperoleh antibiotika.

4. Bagian keempat menggunakan skala Likert yang terdiri dari 10 pernyataan yang berfungsi untuk mengetahui tindakan responden terkait antibiotika dan terbagi dalam 5 pernyataan favorable dan 5 pernyataan unfavorable. Pokok


(49)

bahasan bagian kedua ini meliputi gaya hidup, cara penggunaan antibiotika, efek samping obat, dan penghindaran untuk menggunakan antibiotika. Pernyataan-pernyataan kuesioner ini secara terperinci dapat dilihat pada Tabel I berikut:

Tabel I. Pernyataan favorable dan unfavorable pokok bahasan aspek pengetahuan, sikap, dan tindakan

G. Tata Cara Penelitian 1. Studi pustaka

Penelitian dimulai dengan studi pustaka, yaitu membaca literatur yang berhubungan dengan pengetahuan, sikap, tindakan, antibiotika, edukasi kesehatan,

Aspek Pokok Bahasan Nomor Pernyataan

Favorable Unfavorable

Pengetahuan a. Pengertian 3 1 dan 2

b. Tempat memperoleh

5 4 dan 6

c. Cara memperoleh 7 dan 8 -

d. Cara penggunaan 10 dan 11 9 dan 12 e. Aturan

penggunaan

13 dan 15 14 dan 16 f. Resistensi 18 dan 19 17 dan 20

Jumlah Pernyataan 10 10

Sikap a. Gaya hidup 5 dan 6 1, 2, 3, dan 4

b. Sumber informasi 7 dan 8 - c. Tempat

memperoleh

9 10

Jumlah Pernyataan 5 5

Tindakan a. Gaya hidup 4 1, 2, dan 3

b. Cara penggunaan 5 dan 7 6

c. Efek samping obat

8 -

d. Resistensi 9 10

Jumlah Pernyataan 5 5


(50)

31

pembuatan kuesioner, metodologi penelitian, statistik, dan analisis data yang diperlukan.

2. Analisis situasi

Tahap ini dilakukan pengumpulan informasi mengenai kemungkinan diadakannya penelitian dan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian, yaitu jumlah responden yang memenuhi kriteria inklusi, waktu yang tepat untuk mengambil data dan mengetahui batas wilayah daerah pengambilan data. Penelitian dimulai dengan melakukan observasi ke Dusun Krodan wilayah Krodan RW 03 yang terdiri dari dua RT, yaitu RT 01 dan RT 02. Peneliti melakukan observasi pada RW 03 dikarenakan berada disekitar tempat tinggal kepala dukuh. Penelitian diadakan di Wilayah Krodan dikarenakan belum ada penyuluhan tentang obat di daerah ini.

Pada RT 01 jumlah ibu-ibu anggota PKK yaitu 36 orang dan yang masuk dalam kriteria inklusi sebanyak 31 orang. Pada RT 02 jumlah ibu-ibu anggota PKK berjumlah 38 orang dan yang masuk dalam kriteria inklusi sebanyak 34 orang. Peneliti memutuskan untuk mengadakan seminar di RT 02 karena jumlah ibu-ibu yang masuk dalam kriteria inklusi lebih banyak. Seminar dilakukan bersamaan dengan arisan PKK karena apabila diadakan melalui undangan dan tidak bersamaan arisan dikhawatirkan ibu-ibu yang menghadiri seminar tidak banyak.

Ethical clearence merupakan jaminan legalitas penelitian. Dalam penelitian ini, ethical clearence didapat melalui perizinan yang diberikan dari Bappeda Kabupaten Sleman. Surat keputusan izin penelitian diberikan dengan


(51)

rentang waktu tiga bulan untuk pengambilan data penelitian, dan izin tersebut harus diketahui oleh bupati, dinas kesehatan, pejabat kecamatan, pejabat kelurahan, kepala dukuh, dan kepala RT setempat. Untuk subyek penelitian diberikan informed consent. Informed consent adalah lembar pernyataan kesediaan responden untuk mengikuti kegiatan penelitian selama periode penelitian berlangsung dan mengisi kuesioner secara sukarela untuk memberikan jawaban dan atau data-data lain yang diperlukan dalam penelitian tanpa adanya rekayasa atau paksaan.

3. Pembuatan instrumen penelitian

a. Penyusunan kuesioner. Kuesioner penelitian ini merupakan pengembangan dari kuesioner sebelumnya yang telah valid. Kuesioner yang dikembangkan yaitu kuesioner pada penelitian oleh Marvel (2012). Kuesioner tersebut sudah divalidasi menggunakan validasi isi melalui professional judgement. Kuesioner terdiri dari 3 bagian, yaitu data demografi responden, informed consent, dan kuesioner yang memuat pernyataan terkait antibiotika. Pertama yang dilakukan adalah membuat kuesioner dengan model open form item yang berkaitan dengan data demografi responden. Kuesioner yang memuat pernyataan tentang antibiotika dibuat dalam dua tipe, yaitu skala dichotomous dan skala Likert. Skala dichotomous terdiri dari dua alternatif jawaban, yaitu “ya” dan “tidak” sebanyak 20 pernyataan untuk aspek pengetahuan. Skala Likert terdiri dari empat altefnatif jawaban, yaitu “sangat setuju”,


(52)

33

“setuju”, “tidak setuju”, dan “sangat tidak setuju” sebanyak masing -masing 10 pernyatan untuk aspek sikap dan tindakan.

b. Uji validitas dan uji pemahaman bahasa. Validitas merupakan suatu ukuran untuk menunjukkan tingkat kesahihan atau kevalidan instrumen. Apabila instrumen tersebut valid atau sahih, maka akan memiliki validitas yang tinggi. Sebaliknya, apabila instrumen kurang valid maka memiliki validitas yang rendah (Arikunto, 2006). Uji validitas yang digunakan adalah validitas isi (content validity). Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau melalui professional judgement, yaitu apoteker. Uji validitas melalui professional judgement dalam penelitian ini merupakan konfirmasi pengembangan kuesioner, karena kuesioner sebelumnya yang dikembangkan telah valid. Pernyataan atau aitem yang dibuat dinilai kemampuannya dalam menjawab nilai yang akan diukur namun tidak keluar dari batasan tujuan (Azwar, 2011). Sebelum divalidasi jumlah butir pernyataan sebanyak 40. Kemudian divalidasi oleh apoteker dengan perbaikan tata kalimat dan pemilihan kata untuk 40 pernyataan. Setelah uji validasi kemudian uji pemahaman bahasa. Uji pemahaman bahasa dilakukan untuk mengetahui pemahaman responden terhadap maksud atau tujuan pernyataan yang dibuat oleh peneliti. Uji pemahaman bahasa dilakukan kepada 30 orang sesuai dengan kriteria inklusi, yaitu wanita usia 26-45 tahun dan tidak dilakukan di lokasi penelitian. Pada uji pemahaman bahasa, responden mengisi kuesioner dengan memilih dua


(53)

alternatif jawaban, yaitu “mengerti” dan “tidak mengerti”. Apabila responden tidak mengerti pada satu pernyataan maka responden dapat memberikan catatan pada bagian atau kata yang tidak dimengerti. Uji pemahaman bahasa menunjukkan bahwa sebagian besar responden uji pemahaman bahasa tidak paham dengan kata resistensi, sehingga pada pernyataan yang terdapat kata resistensi diberi tambahan keterangan “kekebalan kuman”.

c. Uji reliabilitas. Reliabilitas instrumen juga memiliki kaitan dengan seleksi aitem yang dilakukan dengan korelasi aitem total. Korelasi aitem total didapat dari korelasi Point-Biserial dan korelasi Pearson Product Moment. Uji korelasi Point-Biserial digunakan untuk seleksi aitem dengan data skala dichotomous yaitu digunakan pada aspek pengetahuan. Uji korelasi Pearson Product Moment digunakan pada aitem skala Likert yaitu pada aspek sikap dan tindakan. Pengukuran reliabilitas dilakukan dengan menggunakan koefisien alpha (α) dari Cronbach dan uji reliabilitas dilakukan pada responden yang tinggal bukan di lokasi penelitian dan masuk dalam kriteria inklusi. Reliabilitas instrumen dihitung menggunakan uji statistik R. Suatu variabel dikatakan reliabel jika memberi nilai koefisien Cronbach Alpha > 0,60 (Budi dan Riyanto, 2013). Nilai alpha yang rendah dapat dikarenakan korelasi yang rendah antar aitem, sehingga beberapa aitem dapat diperbaiki atau dihilangkan. Untuk menemukan aitem yang harus dihilangkan adalah dengan melihat koefisien korelasi aitem yang negatif atau yang mendekati 0 (Travakol


(54)

35

dan Dennick, 2011). Setelah dilakukan uji korelasi aitem tidak terdapat koefisien korelasi aitem yang negatif dan mendekati 0. Uji reliabilitas yang dilakukan pada 30 responden didapatkan hasil α = 0,66 untuk kuesioner aspek pengetahuan, α = 0,72 untuk kuesioner aspek sikap, dan α = 0,63 untuk kuesioner aspek tindakan, sehingga dapat dikatakan kuesioner telah reliabel.

4. Intervensi dan penyebaran kuesioner

Intervensi yang digunakan pada penelitian ini adalah seminar. Seminar dilakukan bersamaan dengan arisan PKK. Secara teori seminar membutuhkan penataan ruang tersendiri untuk pelaksanaannya seperti diperlukan kursi untuk peserta seminar, namun pada penelitian ini tempat yang dilakukan untuk seminar tidak dilakukan penataan tersendiri dan diadakan pada tempat yang seadanya. Hal tersebut karena seminar diadakan bersamaan dengan arisan sehingga tempat seminar menyesuaikan dengan rumah responden tempat diadakan arisan.

Untuk menarik minat responden dalam memperhatikan seminar, sebelum seminar dimulai responden dijelaskan bahwa akan diadakan door prize setelah tanya jawab seminar. Seminar dimulai dengan pembagian pretest kemudian dilanjutkan dengan presentasi yang disampaikan oleh apoteker yang berkompeten dan dilanjutkan dengan tanya jawab lalu door prize. Durasi presentasi, tanya jawab, dan door prize selama satu jam. Setelah itu dibagikan posttest kepada responden untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan setelah seminar. Pengisian posttest satu bulan dan dua bulan setelah seminar dilakukan saat arisan ibu-ibu RT 02.


(55)

H. Analisis Data 1. Editing

Editing merupakan penyuntingan data meliputi pemeriksaan kelengkapan jawaban dari kuesioner hasil penelitian dan pemilihan kuesioner yang memenuhi kriteria inklusi. Data yang tidak termasuk dalam ketentuan akan dikeluarkan (drop out). Jika responden masuk dalam kriteria inklusi, maka data responden dapat dimasukkan ke dalam tabel pada lembar kerja. Setelah itu karakteristik demografi responden dapat dihitung.

2. Data coding

Peneliti melakukan scoring pada jawaban pernyataan yang diisi oleh responden. Scoring dilakukan dengan memberikan skor pada tiap pernyataan pada tiap aspek pengetahuan, sikap, dan tindakan.

a. Pengetahuan. Pada aspek pengetahuan, responden yang menjawab pernyataan dengan benar maka diberikan skor satu (1) dan jika responden menjawab salah akan diberi skor nol (0). Apabila skor total responden 16-20 maka masuk dalam kategori pengetahuan baik, yang berarti responden mampu menjawab dengan benar 76-100% dari total pernyataan. Apabila skor total responden 12-15 maka masuk dalam kategori pengetahuan sedang, yang berarti responden mampu menjawab dengan benar 56-75% dari total pernyataan. Apabila skor total responden <12 maka masuk dalam kategori pengetahuan buruk, yang berarti responden mampu menjawab dengan benar <56% dari total pernyataan. Angka pada rentang skor total tersebut didapat dari perhitungan antara


(56)

37

rentang skor dalam persen dikalikan dengan skor total pernyatan, yaitu 20.

b. Sikap. Sistem scoring untuk aspek sikap dibagi menjadi dua, yaitu untuk jawaban pernyataannya positif (favorable) diberi skor SS=4, S=3, TS=2, STS=1, sedangkan skor untuk jawaban pernyataannya negatif (unfavorable) adalah SS=1, S=2, TS=3, STS=4. Setelah memberikan skor pada tiap pernyataan kemudian dilakukan penghitungan skor total. Apabila skor total responden 31-40 maka masuk dalam kategori sikap baik, yang berarti responden mampu menjawab 76-100% dari total pernyataan. Apabila skor total responden 23-30 maka masuk dalam kategori sikap sedang, yang berarti responden mampu menjawab 56-75% dari total pernyataan. Apabila skor total responden <23 maka masuk dalam kategori sikap buruk, yang berarti responden mampu menjawab <56% dari total pernyataan. Angka pada rentang skor total tersebut didapat dari perhitungan antara rentang skor dalam persen dikalikan dengan skor total pernyatan, yaitu 40.

c. Tindakan. Untuk aspek tindakan, cara pemberian skor sama dengan aspek sikap, karena pernyataan aspek tindakan juga dibagi menjadi dua, yaitu favorable dan unfavorable. Apabila skor total responden 31-40 maka masuk dalam kategori tindakan baik, yang berarti responden mampu menjawab 76-100% dari total pernyataan. Apabila skor total responden 23-30 maka masuk dalam kategori tindakan sedang, yang berarti responden mampu menjawab 56-75% dari total pernyataan.


(57)

Apabila skor total responden <23 maka masuk dalam kategori tindakan buruk, yang berarti responden mampu menjawab <56% dari total pernyataan. Angka pada rentang skor total tersebut didapat dari perhitungan antara rentang skor dalam persen dikalikan dengan skor total pernyatan, yaitu 40.

3. Cleaning

Data yang dimasukkan ke dalam program komputer diperiksa kembali kebenarannya untuk melihat kemungkinan adanya kesalahan dalam proses pemasukan data sehingga dapat dilakukan koreksi.

4. Uji normalitas

Penelitian ini menggunakan alat uji statistik R. Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data dalam penelitian terdistribusi normal atau tidak. Pengujian normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk. Uji Shapiro-Wilk digunakan untuk pengujian normalitas pada 3-5000 sampel (Royston, 1995).

Setelah dilakukan uji normalitas data pada masing-masing variabel yang dibandingkan, didapatkan hasil bahwa terdapat beberapa data yang tidak terdistribusi normal. Distribusi data dikatakan normal dengan nilai p > 0,05. Adanya variabel yang memiliki distribusi data tidak normal, menjadi dasar peneliti untuk menganalisis data hipotesis aspek pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan uji Wilcoxon. Ringkasan hasil uji normalitas data pengetahuan, sikap, dan tindakan disajikan pada tabel II.


(58)

39

Tabel II. Hasil uji normalitas data pengetahuan, sikap, dan tindakan

Variabel Perbandingan Nilai p Keterangan

Pengetahuan

Pre 0,11 Normal

Post-1 0,16 Normal

Post-2 0,01 Tidak normal

Post-3 0,21 Normal

Sikap

Pre 0,00 Tidak normal

Post-1 0,25 Normal

Post-2 0,54 Normal

Post-3 0,00 Tidak normal

Tindakan

Pre 0,09 Normal

Post-1 0,28 Normal

Post-2 0,22 Normal

Post-3 0,26 Normal

5. Uji hipotesis

Pengetahuan dan sikap responden sebelum dan setelah seminar dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dengan p < 0,05 dinyatakan terjadi peningkatan secara signifikan dan hipotesis diterima. Taraf kepercayaan yang digunakan pada penelitian ini adalah 95%.

I. Kelemahan Penelitian

Dalam penelitian ini hanya digunakan satu kuesioner untuk pengukuran sebelum dan setelah intervensi. Pengukuran yang baik disarankan menggunakan dua kuesioner yang berbeda untuk menghindari kemungkinan responden menghafal pernyataan dan jawaban kuesioner.

Penelitian ini dilakukan dengan non random sampling. Seluruh subjek dalam populasi di lokasi penelitian tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi responden dalam penelitian, sehingga hasil dalam penelitian ini tidak dapat digeneralisir terhadap populasi.


(59)

40 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini akan dijelaskan berdasarkan tujuan penelitian pada pendahuluan.

A. Karakteristik Demografi Responden

Responden dalam penelitian ini adalah ibu-ibu di Dusun Krodan, Sleman yang berjumlah 32 orang dan seluruh subyek penelitian telah memenuhi kriteria inklusi.

1. Usia

Responden dalam penelitian ini adalah wanita dewasa dengan rentang usia 26 sampai 45 tahun. Menurut Depkes RI tahun 2009, kategori dewasa dibagi menjadi dua, yaitu dewasa awal dengan rentang usia 26-35 tahun dan dewasa akhir dengan rentang usia 36-45 tahun. Dalam penelitian ini jumlah responden paling banyak terdapat pada kelompok rentang usia 36-45 tahun sebesar 53%, sedangkan rentang umur 26-35 tahun sebesar 47%. Rangkuman hasil penelitian disajikan dalam gambar 1.


(60)

41

Gambar 1. Distribusi jumlah responden berdasarkan usia 2. Tingkat pendidikan terakhir

Tingkat pendidikan terakhir pada penelitian ini terdiri dari lima kategori, yaitu SD, SMP, SMA/SMK, diploma, dan sarjana. Tingkat pendidikan terakhir dalam penelitian ini perlu diketahui karena responden dengan latar belakang pendidikan kesehatan tidak masuk kriteria inklusi responden. Hal ini perlu dilakukan karena responden dengan latar belakang pendidikan kesehatan sudah mengetahui tentang antibiotika. Jumlah responden dengan tingkat pendidikan terakhir paling banyak adalah SMA/SMK sebesar 47%. Dalam penelitian ini tidak ada responden dengan latar belakang pendidikan kesehatan. Rangkuman hasil penelitian disajikan dalam gambar 2.

46,9 %

53,1 % 26-35 tahun


(61)

Gambar 2. Distribusi jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan terakhir

3. Pekerjaan

Karakteristik demografi responden berdasarkan pekerjaan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu PNS, guru, wiraswasta, karyawan/buruh, dan ibu rumah tangga. Pekerjaan responden dalam penelitian ini juga perlu diketahui karena responden dengan pekerjaan di bidang kesehatan tidak masuk dalam kriteria inklusi.

Hasil yang diperoleh menunjukkan responden paling banyak bekerja sebagai ibu rumah tangga, jumlahnya sebesar 75%. Jumlah responden yang bekerja sebagai wiraswasta sebesar 15,6% dan jumlah responden yang bekerja sebagai karyawan/buruh sebesar 9,4%. Rangkuman hasil penelitian disajikan dalam gambar 3.

16%

28% 47%

3%

6%

SD SMP SMA/SMK Diploma Sarjana


(62)

43

Gambar 3. Distribusi jumlah responden berdasarkan kategori pekerjaan

B. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Responden terkait Antibiotika Sebelum Seminar

Untuk aspek pengetahuan dari hasil pengukuran pre intervensi, jumlah responden yang memiliki pengetahuan baik sebesar 9,4%, sedangkan 75% responden memiliki pengetahuan sedang dan 15,6% responden memiliki pengetahuan buruk. Responden yang perlu ditingkatkan pengetahuannya yaitu responden dengan kategori pengetahuan sedang dan buruk, sehingga terdapat 90,6% responden yang perlu ditingkatkan pengetahuannya menjadi baik.

Untuk aspek sikap pada pre intervensi terdapat 25% responden dengan kategori sikap baik, jumlah responden dengan kategori sikap sedang sebesar 62,5%, dan jumlah responden dengan kategori sikap buruk sebesar 12,5%. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat 75% responden kategori sikap sedang dan buruk yang sikapnya perlu ditingkatkan menjadi baik.

Untuk aspek tindakan, jumlah responden dengan kategori tindakan baik pada pre intervensi sebesar 43,70%, sedangkan jumlah responden untuk kategori

15,60%

9,40%

75%

Wiraswasta Karyawan/buruh Ibu rumah tangga


(63)

tindakan sedang sebesar 46,9% dan kategori tindakan buruk sebesar 9,4%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa jumlah responden yang perlu ditingkatkan menjadi kategori tindakan baik sebesar 56,3% responden pada kategori tindakan sedang dan buruk. Rangkuman hasil penelitian disajikan dalam gambar 4.

Gambar 4. Distribusi jumlah responden berdasarkan aspek pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan kategori baik pada pre intervensi

C. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Responden terkait Antibiotika Sesudah Seminar

Fokus dalam penelitian ini yaitu mengidentifikasi adanya peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan dilihat dari adanya peningkatan jumlah responden dengan kategori pengetahuan baik, kategori sikap baik, dan kategori tindakan baik. Peningkatan tersebut dibandingkan antara jumlah responden pada pre intervensi dengan post-1 intervensi, jumlah responden pada pre intervensi dengan post-2 intervensi, dan jumlah responden pada pre intervensi dengan post-3 intervensi. 9,4 25 43,7 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Baik Ju m lah R e sp o n d e n (% ) Pengetahuan Sikap Tindakan


(64)

45

1. Pengetahuan

Pada post-1 intervensi ini apabila dibandingkan dengan pre intervensi, jumlah responden dengan kategori pengetahuan baik terdapat peningkatan yang signifikan dari 9,4% menjadi 37,5% (p<0,05), yang berarti pada post-1 intervensi jumlah responden yang mengalami peningkatan pengetahuan menjadi baik sebanyak 28,1%. Jumlah responden dengan kategori pengetahuan sedang menurun dari 75% menjadi 50%. Jumlah responden dengan kategori pengetahuan buruk juga berkurang dari 15,6% menjadi 12,5%.

Responden kemudian diberikan posttest kembali satu bulan setelah seminar. Pada post-2 intervensi, jumlah responden dengan kategori pengetahuan baik mengalami peningkatan signifikan dari 9,4% menjadi 43,8% (p<0,05), atau sebanyak 34,3% responden yang mengalami peningkatan pengetahuan menjadi baik. Jumlah responden dengan kategori pengetahuan sedang sebesar 50% dan responden yang dengan kategori pengetahuan buruk menurun menjadi 6,2%.

Hasil pengukuran pada post-3 intervensi menunjukkan bahwa jumlah responden pada kategori pengetahuan baik terjadi peningkatan yang signifikan dari 9,4% menjadi 34,4% (p<0,05), atau jumlah responden yang mengalami peningkatan pengetahuan menjadi baik sebanyak 25%. Jumlah responden dengan pengetahuan sedang sebesar 65,6%, dan tidak ada responden yang memiliki pengetahuan buruk. Rangkuman hasil penelitian disajikan dalam gambar 5.

Pengetahuan dapat meningkat dengan adanya informasi (Notoatmodjo, 2010). Teori tersebut mendukung hasil penelitian ini yaitu terjadinya peningkatan


(65)

pengetahuan responden setelah diberikan informasi tentang antibiotika melalui seminar.

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian oleh Wowiling et al. (2013) yang menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah responden yang memiliki pengetahuan baik mengenai antibiotika yang diukur menggunakan posttest setelah intervensi berupa penyuluhan. Hasil tersebut menunjukkan jumlah responden yang memiliki pengetahuan baik sebelum intervensi sebesar 9,3% dan setelah intervensi jumlahnya meningkat menjadi 40%.

Adanya peningkatan pengetahuan setelah diberikan seminar menunjukkan bahwa responden dapat memahami dengan baik seminar yang diberikan. Hasil penelitian ini memperkuat kesimpulan penelitian Wowiling et al. (2013) bahwa edukasi kesehatan berpengaruh pada pengetahuan responden.

2. Sikap

Pengukuran pada post-1 intervensi menunjukkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan pada jumlah responden kategori sikap baik dari 25% menjadi 53,1% (p<0,05), atau sebanyak 28,1% responden yang mengalami peningkatan sikap menjadi baik. Jumlah responden dengan kategori sikap sedang berkurang dari 62,5% menjadi 46,9% dan tidak ada respoden dengan kategori sikap buruk.

Pada post-2 intervensi, jumlah responden dengan kategori sikap baik meningkat signifikan dari 25% menjadi 53,1% (p<0,05), yang berarti jumlah responden yang mengalami peningkatan sikap menjadi baik sebesar 28,1%.


(1)

(2)

(3)

Lampiran 16. Materi seminar

Apa yang perlu diketahui tentang

ANTIBIOTIKA?

Antibiotika adalah :

Obat yang digunakan untuk menyembuhkan berbagai penyakitinfeksi

yang disebabkan oleh bakteri.

Penyakit infeksi dapat pula disebabkan oleh jamur atau virus.

Akan tetapi hanya infeksi bakteri yang dapat disembuhkan oleh antibiotika.

Apa yang perlu diketahui tentang

ANTIBIOTIKA?

Mengapa antibiotika dapat menyembuhkan infeksi bakteri?

Antibiotika mengandung suatu zat yang dihasilkan oleh suatu mikroorganime (bakteri atau jamur)

Zat tersebut dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri yang lain.

Apakah yang dimaksud dengan INFEKSI?

Masuknya suatu mikroorganisme (bakteri/jamur/virus) ke dalam tubuh manusia sehingga menyebabkan timbulnya penyakit.

Bagaimana cara ANTIBIOTIKA

menyembuhkan INFEKSI?

Dengan jalan menghambat

pertumbuhannya sehingga

jumlah bakteri tidak

bertambah atau

membunuh bakteri secara

langsung

Apa saja Jenis obat ANTIBIOTIKA?

• Amoksisilin dibeli di apotek harus dengan resep dokter

• Salep Neomisin dapat dibeli di apotek tanpa resep dokter, penggunaannya dioleskan 2-4x sehari (Obat Wajib Apotek)

Bagaimana Cara menggunakan antibiotika

agar dapat menyembuhkan penyakit?

Umumnya antibiotika digunakan minimal selama 5 hari, dengan aturan pakai 2-3 kali seharisecara rutindantepat waktu sesuai dosis yang dianjurkan dan harus dihabiskan.

Tidak diminum bersama susu, teh, atau kopi.

Dosis, lama penggunaan, aturan pakai dan cara penggunaanantibiotikaberbeda satu dengan yang lain, tergantung jenis penyakit yang dialami.


(4)

Apa yang dimaksud dengan RESISTENSI?

Suatu kondisi dimana suatu bakteri sudah tidak dapat dihambat atau dihentikan pertumbuhannya dengan menggunakan antibiotika tertentu sehingga dibutuhkan antibiotika jenis lain:

“BAKTERI KEBAL TERHADAP ANTIBIOTIKA”

Mengapa

RESISTENSI

bakteri

berbahaya?

Pemicu terjadinya RESISTENSI

Menghentikan penggunaan antibiotika karena gejala sakit berkurang/hilang

Menggunakan antibiotika sisa orang lain

Menggunakan antibiotika tidak sesuai anjuran dokter/apoteker

Menyimpan antibiotika untuk digunakan lain waktu baik bagi diri sendiri, orang lain, atau hewan peliharaan

Membeli antibiotika tanpa resep dokter

Bagaimana cara mencegah RESISTENSI ?

Tips Penggunaan Antibiotika Secara

Aman

1. Gunakan antibiotika :  secara teratur  sesuai aturan dosis

 Sesuai aturan waktu penggunaan  Sesuai cara penggunaan yang

dianjurkan dokter/apoteker

2. Jika terlambat/lupa minum obat ?

Segeralah minum obat sesuai dengan aturan yang dianjurkan dokter/apoteker


(5)

Tips Penggunaan Antibiotika Secara

Aman

3. Jika minum obat lain di samping antibiotika ?

Konsultasikan dengan Apoteker terutama waktu minumnya

4. Jika ada alergi ?

Segera konsultasikan dengan Apoteker/Dokter jangan membuat keputusan sendiri

5. Jika badan merasa sudah nyaman tapi obat

masih ?

Tetap wajib dilanjutkan minum obat sesuai aturan sampai habis

KESIMPULAN tentang ANTIBIOTIKA?

Antibiotika hanya menyembuhkan infeksi bakteri.

Antibiotika tidak dapat menyembuhkan penyakit infeksi Jamur, virus, atau gatal-gatal pada kulit.

Tidak semua luka pada bagian tubuh luar/kulit selalu membutuhkan antibiotika.

Penggunaan antibiotika harus secara teratur, sesuai aturan dosis, waktu penggunaan, dan sesuai cara penggunaan yang dianjurkan dokter/apoteker

Sudah banyak ANTIBIOTIKA yang tidak mempan terhadap bakteri karena sudah resisten.


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Elisabet Asri Yunita Sari, dilahirkan di Bandarjaya,

Lampung Tengah pada tanggal 30 Juni 1993. Merupakan putri

bungsu dari tiga bersaudara, dari pasangan Herman Yosef

Sartono dan Fransiska Sunarti. Penulis telah menyelesaikan

jenjang pendidikan di TK Yos Sudarso Bandarjaya tahun

1998-1999, SD Yos Sudarso Bandarjaya tahun 1999-2005,

SMP Pangudi Luhur Kalibawang tahun 2005-2008, SMAN 1

Sleman tahun 2008-2011 dan sejak tahun 2011 hingga saat ini

penulis sedang menempuh jenjang S1 di Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Pada lingkup universitas, penulis pernah tergabung dalam organisasi DPMF

(Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas) tahun 2012-2013 dengan menjabat sebagai

anggota divisi

Quality Control

. Penulis juga terlibat dalam beberapa kepanitiaan yaitu

sebagai Pendamping Kelompok (Dampok) dalam kegiatan TITRASI (Tiga Hari Temu

Akrab Farmasi) pada tahun 2012 dan 2013, sebagai sekretaris dalam panitia Seminar

Nasional Menyongsong Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tahun 2013, dan

sebagai anggota sie expo dalam acara Pharmacy Days tahun 2012.


Dokumen yang terkait

Peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan wanita pra lansia di Kecamatan Umbulharjo tentang antibiotika dengan metode CBIA.

1 8 113

Peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan wanita usia lanjut pada kelompok Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Kelurahan Terban, Yogyakarta tentang antibiotika dengan metode seminar.

0 0 113

Peningkatan pengetahuan sikap dan tindakan pria lansia tentang antibiotika dengan metode seminar di Kelurahan Baciro Kecamatan Gondokusuman Yogyakarta.

0 1 147

Peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan wanita dewasa di Kecamatan Tegalrejo Kota Yogyakarta tentang diabetes melitus dengan metode CBIA.

0 0 134

Peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan wanita usia dewasa tentang antibiotika dengan metode CBIA di Kelurahan Warungboto, Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta periode Desember 2014 – Maret 2015.

6 63 133

Peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan pria usia lanjut di Kecamatan Umbulharjo tentang antibiotika dengan metode CBIA.

0 0 128

Peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan pria dewasa tentang antibiotika di Kecamatan Gondokusuma Yogyakarta dengan metode seminar.

0 2 114

Peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan siswi di SMA Stella Duce 2 Yogyakarta tentang antibiotika melalui metode seminar.

0 0 103

Peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan pria dewasa tentang antibiotika dengan metode CBIA (Cara Belajar Insan Aktif) di Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta.

0 6 137

Peningkatan pengetahuan, sikap dan tindakan remaja wanita di Kecamatan Umbulharjo tentang antibiotika dengan metode CBIA.

0 2 122