Gelombang Laut Ekologi Habitat Mangrove TNK

gelombang rambat yang berasal dari wilayah atas Kalimantan yang kemudian merambat mencapai pesisir. Pada umumnya gelombang alun lebih tinggi daripada gelombang angin. Gelombang tinggi terjadi bila terdapat super posisi gelombang alun dan gelombang angin Unmul 2002. Menurut nelayan lokal, musim angin di perairan laut Kabupaten Kutai Timur dapat dibedakan menjadi 3, yaitu musim angin utara Pebruari-April, musim angin selatan Mei-September, dan musim angin pancarobaperalihan Oktober-Januari. Pada musim angin utara, gelombang kecil, sehingga perairan laut relatif tenang. Pada musim angin selatan mulai bertiup angin yang menyebabkan gelombang menjadi tinggi. Musim yang paling buruk biasanya terjadi pada musim peralihan dimana terjadi putaran angin yang menyebabkan gelombang tinggi dan arah gelombang tidak menentu, sehingga berbahaya bagi pelayaran. Gelombang laut di perairan pesisir Kabupaten Kutai Timur relatif kecil. Berdasarkan informasi nelayan setempat gelombang pada kondisi normal maksimum sekitar 30 – 50 cm. Di wilayah perairan laut antara 1 sampai 2 mil dari garis pantai terdekat kisaran tinggi gelombang lebih tinggi dibandingkan wilayah laut lainnya sedangkan pada perairan terluar mempunyai tinggi gelombang berkisar 50 – 70 cm Unmul 2002. Berdasarkan hasil penelitian kerjasama antara Bappeda Kutai Timur dengan Universitas Mulawarman 2002 yang dilaksanakan pada bulan Nopember 2001, tinggi gelombang rerata mencapai 20 cm dengan periode gelombang 20 detik per rangkaian gelombang. Tinggi gelombang laut ini sangat berpengaruh bagi kelangsungan budidaya sylvofishery dalam mangrove. Karena budidaya ini menggunakan jaring nilon yang relatif lemah, adanya gelombang yang besar dan kadang kala membawa batang-batang kayu yang dapat menghancurkan jaring. Pada bulan Februari-Maret 2010 ini, tingginya gelombang pada musim peralihan telah menghancurkan kurungan tancap kepiting nelayan di Muara Sangatta, dan juga alat tangkap ikan yang berupa belat sero yang dipasang di pinggir pantai. Oleh karena itu perlu diperhatikan teknologi dalam pembuatan kurungan tancap sylvofishery ini, agar dapat mengantisipasi kondisi buruk akibat gelombang.

5.1.2 Karakteristik Habitat Mangrove

Karakteristik habitat mangrove dianalisis dengan analisis statistik multivariabel, yaitu dengan menggunakan Analisis Komponen Utama PCAPrincipal Component Analysis. Hasil analisis matriks korelasi menunjukkan bahwa informasi penting yang menggambarkan korelasi antar parameter tergambarkan pada dua sumbu utama F1 dan F2, dengan kualitas informasi masing-masing 43 dan 25, sehingga ragam karakteristik habitat mangrove menurut stasiun penelitian berdasarkan parameter biofisik kimia lingkungan sudah dapat dijelaskan melalui dua sumbu utama sebesar 68 dari ragam total. Parameter lainnya yang berada pada sumbu F3 dan seterusnya tidak dibahas disini, karena dianggap kecil pengaruhnya. Parameter yang berkontribusi pada sumbu utama F1 adalah DO, salinitas, tekstur substrat, BOD, dan kelimpahan S. serrata. Parameter yang berkontribusi pada sumbu utama F2 adalah kerapatan vegetasi, pH, kelimpahan makrozoobenthos, COD, dan temperatur. a Diagram lingkaran korelasi antara parameter biofisik kimia lingkungan dengan kelimpahan S. serrata pada sumbu F1 dan F2. b Diagram representasi distribusi substasiun penelitian berdasarkan paramater biofisik kimia lingkungan pada sumbu F1 dan F2. Gambar 32 Grafik Analisis Komponen Utama keterkaitan karakteristik habitat biofisik kimia perairan dan kelimpahan S. serrata bulan Juli 2009. pHa SALa DOa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL -1.5 -1 -0.5 0.5 1 1.5 -2 -1 1 2 -- ax is 2 2 5 - - -- axis 1 43 -- Correlations circle on axes 1 and 2 68 A-1 A-2 A-3 B-1 B-2 B-3 C-1 C-2 C-3 pHa SALa DOa BODa TEMPa CODa TEKs VEG BENTH SCYL -3 -2 -1 1 2 3 -4 -2 2 4 6 -- axe 2 25 -- -- axe 1 43 -- Biplot on axes 1 and 2 68 Diagram lingkaran korelasi perpotongan sumbu F1 dan F2 Gambar 32 a untuk data pengamatan bulan Juli kondisi musim kemarau memperlihatkan adanya korelasi positif antara parameter kelimpahan S. serrata dengan BOD dan tekstur substrat yang berkontribusi membentuk sumbu F1 positif, sedangkan parameter DO, dan salinitas berkontribusi membentuk sumbu F1 negatif. Hal ini menunjukkan bahwa kelimpahan S. serrata sangat dipengaruhi oleh tekstur substrat dan BOD. Peningkatan fraksi debusilt lumpur pada tekstur substrat akan meningkatkan kelimpahan S. serrata. Tekstur substrat dan kerapatan vegetasi mempunyai hubungan yang positif, semakin tinggi kerapatan vegetasi makin tinggi lumpur substratnya. Peningkatan salinitas akan berpengaruh negatif terhadap kelimpahan S. serrata , sedangkan BOD akan menurun bila DO meningkat. Kerapatan vegetasi membentuk sumbu F2 positif, dan mempunyai hubungan positif terhadap kelimpahan S. serrata. pH air yang terletak pada sumbu F2 positif, mempunyai hubungan yang negatif dengan temperatur dan COD, setiap peningkatan COD dan temperatur akan menurunkan pH dan menurunkan kelimpahan S. serrata. Dekatnya hubungan antara kerapatan vegetasi, tekstur substrat dan kelimpahan kepiting bakau menunjukkan bahwa hutan mangrove merupakan habitat bagi kepiting bakau. Hal ini telah dinyatakan sebelumnya oleh Moosa et al. 1985, yang menyatakan bahwa jenis kepiting bakau berdistribusi luas sesuai dengan sebaran geografi hutan mangrove di Indopasifik Barat, sehingga daerah perikanan kepiting bakau yang produktif diperkirakan selalu berada di sekitar hutan mangrove. Sedangkan McNae dalam Sihainenia 2008, menyatakan bahwa sebagian besar siklus hidup kepiting bakau dilalui di sekitar muara sungai dan hutan mangrove. Sistem perakaran vegetasi mangrove yang padat dan kusut, merupakan tempat yang aman bagi kepiting bakau untuk berlindung terutama ketika berada dalam keadaan bertubuh lunak setelah proses ganti kulit. Snedaker dan Getter 1985, menyatakan bahwa habitat kepiting bakau adalah perairan intertidal, atau daerah dekat hutan mangrove yang bersubstrat lumpur. Sistem perakaran mangrove yang khas dan kompleks menjadi penjebak sedimen, sehingga membentuk fraksi substrat dasar yang halus. Menurut Nybakken 1992, gerakan air yang lambat pada daerah hutan mangrove