sudah bersuami. Wanita-wanita itu tak pernah kembali. Konon mereka dijebloskan ke kamp-kamp Jepang untuk menjadi jugun
ianfu .
Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan bahwa penjajah menggunakan para gadis bahkan perempuan yang sudah bersuami untuk dijadikan
pemuas nafsu. tersebut.
173 “Bangsa kita ini...sudah diperas harta, masih pula diinjak-injak
harga diri kita. Kamu toh pasti sudah dengar kabar tentang para gadis, bahkan yang sudah bersuami sekalipun, yang dipaksa
sebagai pemuas mafsu bejat serdadu Jepang,” tambah kawan yang lain Devita, 2014 : 68.
Situasi perang melawan penjajah membuat keadaan tidak menentu. Para pejuang dan rakyat biasa harus mau keluar masuk hutan dan kota demi
keselamatan nyawa mereka masing-masing. Tak jarang mereka harus berjalan beribu-ribu kilo meter jauhnya. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung
pernyataan tersebut.
174 Berkilo-kilo rombongan berjalan dalam kegelapan. Tatkala dini
hari menjelang fajar tiba, masing-masing komandan kompi memerintahkan anak buahnya beristirahat. Mereka memilih tempat
yang terlindung pepohonan. Anak-anak dan wanita satu per satu tertidur lelap saking kelewat lelah. Hanya beberapa lelaki dewasa
duduk berkelompok, bergantian berjaga Devita, 2014 : 166.
Meskipun penjajah terus melakukan pertempuran, semangat para pejuang tidak pernah surut. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan
tersebut.
175 Sroedji bersama para pejuang republik tetap gigih mempertahankan Surabaya bagian selatan. Mereka bertempur penuh semangat,
mempertahankan setiap jengkal bumi pertiwi dari gempuran Inggris Devita, 2014 86.
Latar tempat ditunjukkan dari kutipan 127 sampai 154. Latar tempat sebagian besar terjadi di Jawa Timur. Pengarang menggunakan kota, sungai, dan
hutan sebagai tempat untuk menceritakan peristiwa yang terjadi. Latar waktu dimulai dari masa kecil Sroedji. Kutipan 155 merupakan bukti
masa kecil Sroedji. Kutipan 156 dan kutipan 157 merupakan bukti bahwa sebagai seorang mantri malaria Sroedji harus malayani orang-orang yang
membutuhkan pertolongannya meski di siang hari. Kutipan 158 sampai kutipan 161 merupakan bukti perjalanan Sroedji menjadi tentara hingga ia gugur di
medan perang. Kutipan 162 merupakan bukti waktu bahwa Indonesia benar- benar merdeka.
Latar sosial dalam novel ini menceritakan tentang kehidupan masyarakat Indonesia pada zaman penjajahan. Saat itu pendidikan masih sangat sulit didapat.
Hanya orang-orang tertentu saja yang boleh mengenyam pendidikan. Kutipan 163 dan kutipan 164 adalah bukti bahwa pendidikan saat itu sulit didapat. Para
perempuan pada zaman itu juga tidak boleh sekolah terlalu tinggi. Hal ini akan
membuat laki-laki enggan mendekatinya. Oleh sebab itu perjodohan adalah jalan untuk segera mendapatkan jodoh dan momongan. Kutipan 165 sampai kutipan
169 adalah bukti bahwa saat itu wanita tidak boleh sekolah terlalu tinggi dan harus mau bila dijodohkan. Kutipan 170 sampai kutipan 174 adalah bukti
keadaan masyarakat pada waktu itu, dimana masyarakat Indonesia masih mudah ditipu, kehidupan rakyat yang terpandang serba berkecukupan sedangkan rakyat
miskin serba kekurangan, para perempuan yang dijadikan pemuas nafsu, dan sulitnya mencari perlindungan, rakyat harus mau kluar masuk hutan untuk
menghindari serangan lawan. Kutipan 175 adalah bukti bahwa masyarakat Indonesia tetap bersemangat menghadapi para penajajah.
4.2.3 Analisis Tema
Novel yang berjudul Sang Patriot, memiliki tema bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan diperlukan perjuangan. Bentuk perjuangan
tersebut ditunjukkan oleh tokoh utama dan tokoh tambahan dalam novel. Tema dalam novel ini ditunjukkan saat Sroedji ingin membebaskan tanah airnya dari
serangan penjajah. Berikut kutipan tidak langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
176 Sroedji bersama para pejuang republik tetap gigih mempertahankan Surabaya bagian selatan. Mereka bertempur penuh semangat,
mempertahankan setiap jengkal bumi pertiwi dari gempuran Inggris Devita, 2014:86.
177 Sroedji tak melewatkan pelurunya tanpa membuat Belanda meregang nyawa, tapi musuh kelewat banyak. Tatkala pistolnya
kehabisan amunisi, pelipis dan dada kiri Sroedji tertembak telak, peluru musuh menghajar jantung. Sroedji tersentak keras ke
belakang, limbung sesaat lalu tersuruk jatuh. Sang komandan gugur sebagai kusuma bangsa Devita, 2014:234.
178 Sroedji, Soebandi, dan para perwira yang tersisa terus bahu- membahu bertahan dengan gagah berani tanpa memperdulikan
bahaya yang mengintai mereka Devita, 2014:223. 179 Sejak Sroedji pergi memimpin pasukan menunaikan Wingate
Action untuk merebut Karesidenan Besuki, Rukmini dan anak-anak
diminta mengungsi ke Malang Devita, 2014:216.
Berikut kutipan langsung yang mendukung pernyataan bahwa Sroedji ingin membebaskan tanah airnya dari serangan penjajah.
180 “Mereka pikir, semudah itu masuk Sidoarjo? Tak akan kami
biarkan mereka se enaknya menembus pertahanan pejuang” batin
Sroedji penuh tekad Devita, 2014:82. 181
“Baiklah pak,…aku ijinkan dengan satu syarat, kau harus berjanji untuk kembali ke kami dengan selamat. Engkau harus tetap hidup,
demi aku…demi anak-anak kita.” Devita, 2014:138. 182
“Hidup dan mati sudah kehendak Allah…tapi, jika harus mati, setidaknya kita mati setelah melakukan perlawanan berarti,” lanjut
Sroedji Devita, 2014:171.
183 Perjuangan dan pengorbanan para syuhada tidak sia-sia. Setelah melalui perjuangan dan perundingan yang panjang, akhirnya pada
tanggal 27 Desember 1949, Belanda secara de jure dan de facto mengakui kedaulatan Republik Indonesia Devita, 2014:251
– 252.
Berdasarkan kutipan 176 sampai 183 dapat disimpulkan bahwa bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan diperlukan perjuangan. Sroedji
beserta anak buahnya berjuang keras untuk memerdekakan tanah air tercinta. Meskipun pada akhirnya Sroedji meninggal, perjuangan kerasnya tetap
membuahkan hasil.
4.2.4 Analisis Nilai Patriotisme
Pada bagian ini akan diuraikan mengenai nilai patriotisme dalam novel Sang Patriot.
Nilai patriotisme diwujudkan melalui perlakuan Sroedji beserta anak buahnya yang siap menghadapi segala tantangan untuk membebaskan tanah air
tercinta dari penjajah. Berikut nilai patriotisme yang terkandung dalam novel Sang Patriot
karya Irma Devita.
4.2.4.1 Keberanian
Sroedji beserta para pejuang yang lain memiliki sifat berani. Mereka berani menghadapi segala rintangan yang menghadang meskipun dalam situasi
yang sulit dan jumlah penjajah yang lebih banyak daripada mereka. Berikut
kutipan langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
184 “Hebat…hebat…meski tegang, sama sekali tidak tampak wajah
takut…,” gumam Sroedji dalam hati, puas sekaligus bangga Devita, 2014:79.
185 “Aku tahu, prajurit-prajuritku gagah luar biasa. Tidak ada satu pun
dari kita yang takut pada musuh, berapa pun banyaknya.” Sroedji tersenyum sabar Devita, 2014:160.
186 “Tapi, Pak…kami tidak gentar menghadapi musuh sebanyak apa pun,”
sergah Letnan Prajoto yang berperawakan gempal dan memang terkenal berani Devita, 2014:160.
Keberanian Sreodji dan para pejuang lainnya memang sangat besar. Mereka berani bertempur mengusir penjajah meski nyawa taruhannya. Berikut kutipan
langsung yang mendukung pernyataan tersebut.
187 “Saya dukung perjuangan rakyat Surabaya mempertahankan kota
Kami, TKR Jember, siap ikut bertempur” seru Sroedji Devita, 2014:76.
188 “Mereka pikir, semudah itu masuk Sidoarjo? Tak akan kami biarkan
mereka seenaknya menembus pertahanan pejuang” batin Sroedji penuh tekad Devita, 2014:82.
189 “Hidup dan mati sudah kehendak Allah…tapi, jika harus mati,
setidaknya kita mati setelah melakuka n perlawanan berarti,” lanjut
Sroedji Devita, 2014:171. 190
“Kita hadapi Belanda. Ayo ke tempat pasukan, semua keluar dengan siap siaga, langsung adakan perlawanan dan cepat buat pertahanan”
lanjut Sroedji Devita, 2014:220.
Bertempur melawan penjajah memang dibutuhkan keberanian yang besar. Begitu pula yang ditunjukkan oleh Sroedji dan para pejuang. Kutipan 184 sampai
kutipan 190 merupakan bukti bahwa Sroedji dan anak buahnya memiliki keberanian untuk mengusir penjajah.
4.2.4.2 Rela Berkorban
Pertempuran menghadapi penjajah memang tidak mudah. Dibutuhkan keberanian besar untuk bertempur melawan penjajah. Sroedji dan para pejuang juga
memiliki rasa rela berkorban. Rela dianiaya dan disiksa demi kemerdekaan Indonesia. Melalui rasa itu, perjuangan mereka menjadi totalitas. Berikut kutipan langsung yang
mendukung pernyataan tersebut. 191
“Dji…aku mau kabur saja. Tiap hari kita disiksa. Di bawah terik matahari kita disuruh lari sampai-sampai baju kita yang hijau jadi putih
karena keringat yang mongering. Eh, malamnya kita juga masih harus menerima gebukan. Belum lagi tamparan, siksaan para bintara dan
kopral Jepang sialan itu yang tambah hari semakin brutal” lanjut Murjani dengan nada geram sambil berusaha keras menahan air mata
yang hendak runtuh Devita, 2014:55.
192 Melihat Murjani sudah tenang, Sroedji berbisik, “Mur, kita memang
menderita secara fisik dan mental di sini. Tapi itu belum seberapa dibandingkan penderitaan bangsa Indonesia selama ratusan tahun Mur.
Kita semua di sini punya semangat yang sama, semangat menjadi tentara yang kuat, untuk kemerdekaan Indonesia.” Devita, 2014:57.
193 “Cara mereka melatih memang sadis, bahkan di luar batas
kemampuan kita. Tapi mereka benar.” Devita, 2014:57.
Keberadaan para penjajah di bumi pertiwi memang sangat meresahkan rakyat Indonesia. Para pejuang bahu-membahu bekerja sama untuk mengusir penjajah. Tak
terkecuali Titiwardoyo, lurah Tunjungrejo. Demi melindungi para pejuang yang bersembunyi di rumahnya, ia rela disiksa oleh para penjajah. Berikut kutipan tidak
langsung yang mendukung pernyataan tersebut.